By Nursalam Rahmatullah
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. lewat perantara malaikat Jibril, mengandung aneka macam macam sumber pengetahuan mulai dari cara penciptaan lagit, bumi, insan bahkan meliputi dongeng-cerita umat terdahulu.
Al-Qur’an selaku sumber aturan Islam yang paling utama merupakan mukjizat terbesar nabi Muahammad saw. yang oleh para mufassir merupakan suatu objek penelitian yang tidak akan pernah selelsai untuk dibahas. Yang mana salah satu obejek pembahasan para mufassir tersebut ialah ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan topik muşībah.
Mengingat bahwa negara kita Indonesia sedang berjuang menghadapi muşībah wabah penyakit yang telah tersebuar hampir ke seluruh dunia. Yang menyebabkan kerugian yang amat besar baik kerugian dari sisi materil maupun nonmateril.
Oleh karena itu, penting untuk dikaji kembali ihwal bagaimana desain petaka yang diterangkan dalam al-Qur’an serta bagaimana cara merespon hal tersebut.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, nampak bahwa yang menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini ialah bagaimana rancangan muşībah menurut al-Qur’an yang mau diuraikan ke dalam beberapa sub-pembahasan selaku berikut:
a. Apa yang dimaksud dengan muşībah?
b. Bagaimana cara merespon muşībah menurut al-Qur’an?
c. Apa pesan tersirat dari adanya muşībah berdasarkan al-Qur’an?
B. Pembahasan
1. Term Muşībah dalam al-Alquran
a. Etimologi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), muşībah diartikan dengan 1). insiden (peristiwa) menyedihkan yang menimpa; 2). bencana, bencana.[1] Sedangkan dalam Kamus Al-Munawwir karya Ahmad Warson Munawwir dijelaskan
bahwa lafal itu memiliki arti tragedi atau malapetaka.[2] Dalam Kamus Al-Bisri disebutkan bahwa lafal الصابة : المصيبة itu mempunyai arti bencana atau muşībah.[3] Kata muşībah berasal dari bahasa Arab, ialah muşībah ( مصيبة ) diambil dari akar kata yang terdiri dari karakter şad, wau, dan ba’ (şad-wa-ba/ص- و- ب ). Menurut Raghib Al-Asfahani asal makna kata tersebut ialah الرمية(lemparan).[4] Adapun derivasi bentuk beserta maknanya, antara lain selaku berikut:
1) Şaub, inşāb, şayyib, dan şayuūb dari perubahan kata şāba-yaşūbu (صاب- يصوب), maka memiliki arti turun hujan, seperti diterangkan berikut:
Artinya:
(kata al-şaub berarti turun hujan, keduanya mempunyai arti turun hujan, begitu juga şayyib dan şayyūb. Sebagaimana firman Allah swt. atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit.
2) Şawāb/صواب dari kata aşāba-yuşību ((أصاب- يصيب, maka mempunyai arti benar atau kebenaran, seperti diterangkan selaku berikut:
والصواب ضد الخطاء…وفي حديث أبي وائل كان يسأل عن التفسير فيقول أصاب الله الذي أراد يعني أراد الله الذي أراد واصله من الصواب وهو ضد الخطإ[6]
Artinya:
Kata şawāb / صواب adalah musuh dari kata khaţa’/ خطإ … dalam sebuah hadis Abi Wa’il, beliau pernah ditanya tentang penjelasan (kata şawāb / صواب), kemudian dia menjawab أصاب الله الذي أراد ialah Allah swt. mengharapkan yang beliau kehendaki. Pada dasarnya yang dikehendaki oleh Allah swt. yakni kebenaran. Kebenaran itu adalah lawan dari kesalahan.
3) Muşībah/ مصيبة dari kata aşāba-yuşību, maka mempunyai arti tragedi besar atau sesuatu yang tidak digemari kedatangannya oleh manusia, mirip diterangkan selaku berikut:
Artinya:
(siapa yang diharapkan oleh Allah swt. untuk menerima kebaikan, maka ia akan ditimpa muşībah adalah diuji dengan berbagai tragedi semoga Allah swt. memberikan pahala padanya. Musîbah adalah wacana yang turunnya atau kehadirannya pada insan tidak diminati.)
حكاه ابن الأعرابي وأصابته مصيبة فهو مصاب والصابة والمصيبة ما أصابك من الدهر وكذلك المصابة والمصوبة بضم الصاد والتاء للداهية أو للمبالغة والجمع مصاوب ومصائب[8]
Artinya:
(diceritakan oleh ibn al-A’arabiyyî, kata مصيبة muşībah yakni diambil dari أصابته مصيبة / aşābathu muşībah, masdarnya bisa مصاب / maşābun, الصابة/ al-şābah atau المصيبة/muşībah. (Engkau telah ditimpa oleh tragedi). Demikian juga kata المصابة /al-maşābah, dan المصوبة/al-maşūbah. Sedangkan ta marbuthah (ة) yang ada di simpulan kata tersebut berfaidah untuk menegaskan suatu bencana besar للداهية والمبالغة/al-dāhiyah al-mubālagah. Sementara jamaknya yaituمصاوب ومصائب / maşāwib atau maşāib.
Artinya:
(Al-Akhfasy menerka bahwa kata / maşāwib bahu-membahu hamzah terdapat dalam kata tersebut adalah ganti dari wau alasannya adalah wau itu penyakit (tidak lezat diucapkannya) dalam kata مصيبة/muşībah.
وقال أحمد بن يحيى مصيبة كانت في الأصل مصوبة ومثله أقيمواالصلاة أصله أقوموا فألقوا حركة الواو على القاف فانكسرت وقلبواالواو ياء لكسرة القاف[10]
Artinya:
(Ahmad bin yahya berkata, “kata مصيبة/ muşībah asalnya yakni kata مصوبة/ maşūbah, mirip halnya kata أقيموا الصلاة / aqimū al-şalāta asalnya adalah أقوموا/aqwimū dirubah dengan harkat wau dimasukan ke karakter qaf lalu dikasrahkan dan wau nya dirubah jadi ya’ sebab kasrahnya qaf)
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kata muşībah berarti ibtalāhu bi al-maşāib liyuśibahu ‘alaiha wahuwa al-amr al-makrūh yanzilu bi al-inşān [11] (ujian yang menimpa manusia atau yang sama atasnya, yakni segala hal yang negatif yang datang menimpa insan). Sementara menurut sebagian mufassir, muşībah diartikan sebagai cobaan yang berat[12] atau segala sesuatu yang dapat melukai atau menyakiti orang yang beriman.[13]
Adapun kata muşībah dengan segala bentuknya digunakan dalam al-Qur’an sebanyak 77 kali, yang tersebar pada 56 ayat, di 27 surah. 33 kali dalam bentuk kata kerja lampau, 31 kali dalam bentuk kata kerja sekarang, dalam bentukمصيب 1 kali, dalam bentuk صواب1 kali, dalam bentuk صيّب1 kali, dan 10 kali dalam bentuk مصيبة/muşībah.[14] Untuk memperjelas bentuk-bentuk lafaz tersebut mampu dilihat pada tabel berikut:
Surah & Ayat
|
Jumlah Lafaz
|
Bentuk Lafaz
|
No
|
QS. Hud ayat 89/ QS. Al-Rum ayat 48/ QS. Sad ayat 36/ QS. Al-Hadid ayat 57/ QS. Al-Tagabun ayat 11
|
5
|
أصاب
|
1
|
QS. Ali Imran ayat 117
|
1
|
أصابت
|
2
|
QS. Ali Imran ayat 165/ QS. Al-Nisa ayat 72/ QS. Al-Maidah ayat 106
|
3
|
أصابتكم
|
3
|
QS. Al-Hajj ayat 11
|
1
|
أصابته
|
4
|
QS. Al-Baqarah ayat 156/ QS. Al-Nisa ayat 62
|
2
|
أصابتهم
|
5
|
QS. Al-Nisa ayat 79/ QS. Al-Nisa ayat 79/ QS. Luqman ayat 17
|
3
|
أصابك
|
6
|
QS. Ali Imran ayat 153/ QS. Ali Imran ayat 166/ QS. Al-Nisa ayat 73/ QS. Al-Syura ayat 30
|
4
|
أصابكم
|
7
|
QS. Al-Baqarah 264/ QS. Al-Baqarah 266/ QS. Al-Hajj ayat 11
|
3
|
أصابه
|
8
|
QS. Al-Baqarah ayat 265/ QS. Al-Baqarah 266
|
2
|
أصابها
|
9
|
QS. Ali Imran ayat 146/ QS. Ali Imran ayat 172/ QS. Hud ayat 81/ QS. Al-Nahl ayat 34/ QS. Al-Hajj ayat 35/ QS. Al-Zumar ayat 51/ QS. Al-Syura ayat 39
|
7
|
أصابهم
|
10
|
QS. Ali Imran ayat 165
|
1
|
أصبتم
|
11
|
QS. Al-A’raf ayat 100
|
1
|
أصبناهم
|
12
|
QS. Al-A’raf ayat 156
|
1
|
أصيب
|
13
|
QS. Al-Taubah ayat 50/ QS. Al-Taubah ayat 50
|
2
|
تصبك
|
14
|
QS. Ali Imran ayat 120
|
1
|
تصبكم
|
15
|
QS. Al-Nisa ayat 78/ QS. Al-Nisa ayat 78/ QS. Al-A’raf ayat 131/ QS. Al-Rum ayat 36/ QS. Al-Syura ayat 48
|
5
|
تصبهم
|
16
|
QS. Al-Fath ayat 25
|
1
|
فتصيبكم
|
17
|
QS. Al-Maidah ayat 52
|
1
|
تصيبنا
|
18
|
QS. Al-Anfal ayat 25
|
1
|
تصيبنّ
|
19
|
QS. Al-Ra’d ayat 31/ QS. Al-Nur ayat 63/ QS. Al-Qashash ayat 37
|
3
|
تصيبهم
|
20
|
QS. Al-Hujrat ayat 6
|
1
|
تصيبوا
|
21
|
QS. Yusuf ayat 56
|
1
|
نصيب
|
22
|
QS. Gafir ayat 28
|
1
|
يصبكم
|
23
|
QS. Al-Baqarah ayat 265
|
1
|
يصبها
|
24
|
QS. Al-An’am ayat 124/ QS. Al-Taubah ayat 90/ QS. Yunus ayat 107/ QS. Al-Ra’d ayat 13/ QS. Al-Nur ayat 43
|
5
|
يصيب
|
25
|
QS. Al-Taubah ayat 52/ QS. Hud ayat 79
|
2
|
يصيبكم
|
26
|
QS. Al-Taubah ayat 51
|
1
|
يصيبنا
|
27
|
QS. Al-Maidah ayat 49/ QS. Al-Taubah ayat 120/ QS. Al-Nur ayat 63/ QS. Al-Zumar ayat 51
|
4
|
يصيبهم
|
28
|
QS. Hud ayat 81
|
1
|
مصيبها
|
29
|
QS. Al-Naba ayat 38
|
1
|
صوابا
|
30
|
QS. Al-Baqarah ayat 19
|
1
|
كصيب
|
31
|
QS. Al-Baqarah ayat 152/ QS. Ali Imran ayat 165/ QS. Al-Nisa ayat 62/ QS. Al-Nisa ayat 72/ QS. Al-Maidah ayat 106/ QS. Al-Taubah ayat 50/ QS. Al-Qashash ayat 47/ QS. Al-Syura ayat 30/ QS. Al-Hadid ayat 22/ QS. Al-Tagabun ayat 11
|
10
|
مصيبة
|
32
|
b. Terminologi
Pengertian muşībah secara terminologi diungkapkan oleh beberapa ulama antara lain:
1) Al-Qurtubi menyatakan bahwa muşībah yakni segala sesuatu yang mengusik orang mukmin dan menjadi peristiwa baginya. Muşībah ini biasanya diucapkan jikalau seseorang mengalami malapetaka, meskipun malapetaka yang dinikmati itu ringan atau berat baginya. Kata muşībah ini juga sering digunakan untuk peristiwa-insiden yang jelek dan tidak diharapkan.[15]
2) Hamka menyatakan bahwa muşībah adalah bencana, baik bencana besar yang terjadi pada alam, seperti gunung meletus, banjir, gempa bumi dan lain-lain, maupun bencana kecil yang terjadi pada insan seperti sakit dan tenggelam.[16]
3) Menurut Ahmad Mustafa al-Maragi menyatakan bahwa muşībah adalah semua kejadian yang mengenaskan, mirip meninggalkan seseorang yang dikasihani, kehilangan harta benda atau penyakit yang menimpa, baik ringan atau berat.[17]
4) Menurut Quraish Shihab kata muşībah tidak senantiasa memiliki arti peristiwa, tetapi mencakup segala sesuatu yang terjadi, baik nyata maupun negatif, baik anugerah maupun peristiwa‛.[18]
5) Menurut Imam al-Baidawi, muşībah adalah semua kemalangan yang dibenci dan menimpa umat insan.[19]
6) Menurut Imam Nawawi muşībah ialah segala sesuatu yang menimpa insan, berupa kesedihan, kepayahan, kesusahan dan lain-lain. Allah sedang mengangkatnya dan meniadakan kesalahannya. Di dalamnya terdapat pesan ihwal turunnya kebahagiaan agung bagi umat Islam yang ditimpa muşībah. Tidak ada kabar terindah yang mampu membahagiakan seorang muslim, kecuali terhapusnya dosa dan kekeliruan.[20]
Jadi, dapat diketahui bahwa muşībah merupakan segala sesuatu yang menimpa insan baik berbentukkebaikan meupun kejelekan. Tetapi pada umumnya lafal muşībah sering disandarkan terhadap hal-hal yang bersifat negatif sebagaimana beberapa definisi muşībah yang diutarakan oleh sebagain besar ulama tafsir di atas.
2. Klasifikasi dan Syarah Ayat-Ayat al-Qur’an wacana Muşībah
a. Bentuk-bentuk muşībah
Surat al-Baqarah: 155
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
Terjemah :
Dan Kami niscaya akan menguji kau dengan sedikit cemas, kelaparan, kelemahan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar bangga kepada orang-orang yang tabah.[21]
Musibah kesusahan hidup yang menjadi cobaan bagi orang-orang yang beriman yang dimaksud dalam ayat tersebut di atas yakni: Pertama, sedikit ketakutan ialah kerisauan hati menyangkut sesuatu yang buruk atau hal-hal yang tidak menggembirakan kepada orang lain yang disangka akan terjadi.[22] Kedua, sedikit kelaparan alasannya mereka mengingkari ketetapan-ketetapan Allah. Baik ketetapan berupa sunnahtullah yang tersebar di jagat raya maupun informasi-info yang sudah diberikan terhadap umat insan melalui para rasul-Nya, Ketiga kekurangan harta yakni kekalutan habisnya harta yang dimilki dikala mengeluarkan zakat,[23] kekuarangan jiwa seperti kematian sanak saudara, teman dan orang-orang yang dicintai[24] dan kekuarangan buah-buahan seperti musim paceklik.
Selanjutnya abjad من/min dalam ayat tersebut berfungsi sebagai bayan sekaligus tab’idh yang mampu membuktikan bahwa ujian dalam bentuk musibah hakikatnya sedikit dibanding dengan peluangyang diberikan oleh Allah swt terhadap mereka untuk memikulnya. Demikian alasannya Allah swt. Maha Mengetahui dengan segala sesuatu yang terdapat dalam diri hamba-Nya. Maka cobaan yang diberikan pastilah sesuai dengan kesempatankesanggupan orang yang diujinya.
Surat Ali Imran: 165
أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
Terjemahnya:
Dan mengapa kamu (heran) saat ditimpa petaka (kekalahan pada Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan bencana alam dua kali lipat (terhadap musuh-musuhmu pada Perang Badar) kau berkata, “Dari mana hadirnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.. (QS. Ali Imran/3: 165)[25]
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Umar bin Khattab berkata bahwa menderitanya orang-orang dalam perang Uhud balasan perbuatan mereka mengambil fida’ di Perang Badar. Pada waktu perang uhud, ada 70 teman yang syahid, sebahagian lagi lari bercerai berai bahkan gigi Nabi patah, topi besinya pecah, sehingga berlumuran darah di mukanya. Allah menurunkan ayat tersebut di atas selaku peringatan bahwa penderitaan tersebut akhir tindakan mereka sendiri.[26]
Maksud muşībah pada ayat di atas ialah kekalahan pasukan muslimin dalam perang Uhud. Muşībah itu ialah imbalan bagi kekalahan pasukan musyrikin dalam perang Badar adalah 70 orang terbunuh dan 70 orang tertawan. Allah mengambarkan bahwa mereka tidak butuhmencari alasannya adalah-karena kekalahan itu, alasannya itu semuanya disebabkan kesalahan yang telah dilakukan oleh regu pemanah dengan meninggalkan pos strategisnya, walaupun ditugaskan oleh Nabi untuk tetap bertahan di daerah meski dalam keadaan bagaimanapun. Dalam menafsirkan ayat di atas, Zamaksyari mengutip QS. Ali Imran: 152 yang menerangkan wacana karena-alasannya terjadinya kekalahan dalam perang Uhud. Allah memenuhi janjinya ketika kaum muslimin membunuh orang-orang kafir sampai dengan kaum muslimin mendurhakai perintah Nabi sehingga terjadi kekalahan dalam peperangan. Ada pun firman Allah قل ھو من عند أنفسكم maksudnya bahwa terjadinya muşībah berupa kekalahan dalam perang Uhud itu disebabkan kesalahan kaum muslimin sendiri dengan meninggalkan pos yang ditugaskan oleh Rasulullah.[27]
Surat al-Nisa: 72
وَإِنَّ مِنكُمْ لَمَن لَّيُبَطِّئَنَّ فَإِنْ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَالَ قَدْ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَىَّ إِذْ لَمْ أَكُن مَّعَهُمْ شَهِيدًا
Terjemahnya:
Dan sebenarnya di antara kau pasti ada orang yang sungguh enggan (ke medan pertempuran). Lalu kalau kamu ditimpa petaka beliau berkata, “Sungguh, Allah sudah menunjukkan lezat kepadaku sebab aku tidak ikut berperang bareng mereka.” (QS. al-Nisa/4: 72)[28]
Dapat diketahui bahwa kata muşībah pada ayat di atas mengandung pemahaman kekalahan atau terbunuh (dikarenakan konteks ayat sesuai dengan kondisi pertempuran). Menurut Ibnu Katsir, Allah menggambarkan sikap orang-orang munafik yang enggan ikut berperang. Bila terjadi muşībah dan kerugian mirip jatuhnya korban dan kekalahan dalam perang yang mereka tidak ikut, mereka berkata bahwa Allah telah memberi karunia terhadap mereka dengan tidak ikut berperang. Padahal muslim yang wafat di medan perang adalah syahid dan ditawarkan bagi mereka pahala yang besar atas kesabaran dan pengorbanan mereka. Akan namun jika kaum muslimin menang dan memperoleh ganīmah (harta rampasan perang) mereka berkata “Alangkah beruntungnya andaikata kami bantu-membantu, niscaya kami akan mendapat bahagian dari kemenangan dan ganīmah yang diperoleh itu.[29]
Quraisy Shihab menyampaikan, ayat di atas menggambarkan perilaku orang munafik dikala panggilan jihad, mereka melambat-lambatkan bahkan berat hati jikalau diajak ke medan perang. Bahkan mendorong orang lain untuk ikut jejak mereka agar tidak ikut berjuang sebab kelemahan kepercayaan mereka. Lebih lanjut Quraisy Shihab menyampaikan ayat ini ialah kecaman, sekaligus menggambarkan perilaku aneh dari orang-orang munafik, pada saat orang beriman gagal, mereka bersyukur pada ketika kaum muslimin sukses, mereka sedih. Ketika itu mereka mengucapkan kata-kata yang bahwasanya sangat gila, keadaan mereka dan ucapan itu sama dengan ucapan orang yang tidak pernah ada relasi pergaulan yang mestinya akrab, harmonis dan penuh kasih sayang dengan orang-orang yang beriman.[30]
Surat al-Maidah: 106
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ ۚ تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلَاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۙ وَلَا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا إِذًا لَمِنَ الْآثِمِينَ
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang (di antara) kamu menghadapi kematian, sedang beliau akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kau, atau dua orang yang berbeda (agama) dengan kamu. Jika kau dalam perjalanan di bumi kemudian kau ditimpa ancaman akhir hayat, hendaklah kau tahan kedua saksi itu setelah salat, biar keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu sangsi, “Demi Allah kami tidak akan mengambil keuntungan dengan sumpah ini, walaupun dia karib kerabat, dan kami tidak menyembunyikan kesaksian Allah; bantu-membantu bila demikian tentu kami tergolong orang-orang yang berdosa.” (QS. al-Maidah/5:106)[31]
Dalam riwayat dikemukakan, asbāb al-nuzūl ayat di atas yaitu alasannya adalah dua orang Kristen bernama Tamim al-Dairi dan Adi bin Bada sering pulang pergi ke Syam berdagang sebelum mereka masuk Islam. Ikut bareng mereka seorang maula dari Bani Salim yang bernama Badil bin Abi Maryam yang juga membawa barang jualan serta menenteng bejana yang dibuat dari perak. Di perjalanan Badil bin Abi Maryam sakit dan dia berwasiat terhadap kedua orang itu semoga harta pusakanya disampaikan kepada hebat warisnya. Namun mereka tidak melaksanakan amanah tersebut.
Setelah Tamim masuk Islam, beliau merasa berdosa dari perbuatannya, lalu mengunjungi ahli waris Badil dan mengaku serta menyerahkan uang sebanyak lima ratus dirham dan sisanya lima ratus dirham ada pada kawannya (Adi bin Bada).
Maka berangkatlah ahli warisnya itu beserta Adi menghadap Nabi. Lalu Nabi minta bukti-bukti tuduhan terhadap Adi, tetapi mereka tidak dapat memenuhinya. Kemudian Nabi memerintahkan mereka menyumpah Adi dan dia pun bersumpah, maka turunlah ayat ini.[32]
Pada ayat sebelumnya, Allah mengingatkan bahwa kepada- Nyalah tempat kembali dan pada hari kiamat akan ada penghisaban/perhitungan dan pembalasan atas amal. Ayat ini Allah memperlihatkan isyarat biar berwasiat sebelum meninggal dan harus diadakan persaksian terhadap wasiat itu, sehingga tidak hilang dari orang yang berhak menerimanya.
Kata-kata minkum pada ayat di atas menurut al-Maraghi bermakna di antara kaum mukminin atau kesaksian dua orang yang lain bukan dari kaum muslimin, bila kalian dalam kondisi bepergian, kemudian terkena bahaya dan menyaksikan gejala ajal kalian, sedang kalian ingin berwasiat. Tidak diragukan lagi, di dalam ayat ini tersirat proposal untuk menguatkan wasiat dan menunjukkan kesaksian terhadapnya.[33]
Ayat ini mengandung aturan yang sungguh berguna. Ada usulan bahwa hukum ayat ini mansukh, namun kebanyakan ulama beropini bahwa hukum ini tetap muhkam, sebab jikalau itu ada yang berpendapat mansukh mesti menerangkan buktinya, demikian usulan Ibnu Jarir.[34]
Ibnu Zaid sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir menyampaikan bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan adanya seseorang yang hendak meninggal dunia sementara di sampingnya tidak ada orang Islam. Sementara Ibnu Mas’ud saat ditanya mengenai ayat ini menyampaikan bahwa ayat itu mengenai seorang musafir menenteng hartanya tiba-datang akan mati, maka kalau mendapatkan dua orang muslim, diserahkan kepadanya hartanya dan dipersaksikan oleh kedua orang yang adil dari kaum muslimin.[35]
Surah al-Taubah: 50
إِن تُصِبْكَ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ ۖ وَإِن تُصِبْكَ مُصِيبَةٌ يَقُولُوا۟ قَدْ أَخَذْنَآ أَمْرَنَا مِن قَبْلُ وَيَتَوَلَّوا۟ وَّهُمْ فَرِحُونَ
Terjemahnya:
Jika engkau (Muhammad) mendapat kebaikan, mereka tidak senang; namun jika engkau ditimpa bencana, mereka berkata, “Sungguh, semenjak semula kami telah berhati-hati (tidak pergi berperang),” dan mereka berpaling dengan (perasaan) gembira. (QS. al-Taubah/9: 50)[36]
Menurut al-Maraghi kebaikan adalah sesuatu yang apabila tercapai akan menyenangkan jiwa, mirip harta rampasan perang, dan kemenangan, sebagaimana yang diperoleh dalam perang Badar. Hal itu menciptakan orang-orang kafir berduka cita, karena sangat dengki dan benci terhadap umat Islam. Jika ditimpa kesulitan mirip bercerai-berainya pasukan sebagaimana terjadi dalam perang Uhud, maka dengan membanggakan anggapan dan memuji perbuatannya, mereka berkata “Kami sudah menerima kepentingan kami dengan memerintahkan biar waspada, yang ialah kebiasaan kami ketika kami tidak turut berperang dan tidak menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan”. Mereka meninggalkan tempat dikala kata-kata itu dilontarkan, dengan rasa besar hati di atas penderitaan orang lain.[37]
Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Jabir bin Abdullah bahwa kaum munafik yang menyelusup ke Madinah mengembangkan gosip buruk ihwal Nabi dan para sahabatnya. Mereka menyampaikan bahkan kaum mukminin mendapatkan kesulitan dalam perjalanannya dan binasa. Namun kemudian sampai berita perihal kedustaan isu mereka dan selamatnya Nabi beserta para sobat. Akhirnya mereka menerima akibat yang jelek, lalu Allah menurunkan ayat ini.[38]
Allah menginformasikan Nabi Muhammad tentang rasa dengki dan permusuhan orang-orang munafik terhadap dirinya, sehingga jikalau Nabi mendapat kebaikan dan karunia mirip kemenangan dalam sebuah pertempuran, maka mereka tidak bahagia dan merasa jengkel. Tetapi sebaliknya jikalau ditimpa muşībah dan hal-hal yang buruk seperti kekalahan dalam sebuah peperangan, mereka menyambut peristiwa itu dengan suka ria dan bangga. Allah memberi isyarat bagaimana menghadapi perilaku kaum munafik dan memerintahkan biar Nabi menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka itu dengan menyampaikan “Sekali-kali tidak ada sesuatu yang akan menimpa diri kami selain apa yang sudah ditetapkan dan ditakdirkan oleh Allah. Dialah pelindung kami dan hanya terhadap-Nya kami dan orang-orang mukmin bertawakal.[39]
Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas dengan mengutip pertimbangan al- Biqa’i. Ayat ini ialah penjelasan mengapa neraka jahannam meliputi mereka. Apapun kekerabatan yang dipilih yang jelas yaitu hati kecil mereka tidak senang jika Nabi menang dalam pertempuran bahkan jika suatu kebaikan menimpa Muhammad, mereka tidak bahagia alasannya adanya kedengkian dalam jiwa mereka.
Dan jikalau sebuah bencana menimpa seperti saat terjadi perang Uhud, mereka berkata: “Sesungguhnya kami, sebelum jatuhnya muşībah ini sudah mengambil ancang-ancang menyangkut urusan kami sehingga kami tidak taat kepadanya dan tidak mengikutinya pergi berperang. Dan mereka terus menerus berpaling menuju tempat mereka dalam kondisi gembira, akibat muşībah yang menimpa Nabi serta keterhindaran mereka.[40]
Berdasarkan uraian dari beberapa ayat tersebut dapat dipahami bahwa muşībah dibedakan menjadi dua bentuk, yakni berbentukkebaikan dan keburukan. Sedangkan muşībah dalam bentuk keburukan menurut ayat-ayat di atas mampu diuraikan ke dalam beberapa hal selaku berikut:
a) Muşībah dalam bentuk rasa panik
b) Muşībah dalam bentuk kelaparan
c) Muşībah dalam bentuk kelemahan harta
d) Muşībah dalam bentuk kekurangan buah-buahan
e) Muşībah dalam bentuk kekalahan dalam perang
f) Muşībah dalam bentuk kematian, dan
g) Muşībah dalam bentuk azab sebagaimana yang diterangkan oleh al-Maragi dalam memaknai lafal muşībah dalam surah al-Qaşaş ayat 47.
b. Alasan-alasan mengapa terjadi muşībah
Surat al-Hadid: 22
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ
Terjemahnya:
Setiap peristiwa yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, seluruhnya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu gampang bagi Allah. (QS. al-Hadid/57: 22)[41]
Ibnu Katsir mengutip riwayat dari Ibnu Jarir al-Thabari dari Ya’qub dari Ibnu ‘Aliyah dari Manshur bin Abdurrahman, dia berkata: “Saya duduk bersama Hasan, dikala Hasan ditanya oleh seseorang wacana ayat di atas, maka Hasan menjawab, bahwa siapakah yang ragu wacana hal ini, bahwa tiap peristiwa muşībah yang terjadi diantara langit dan bumi semua sudah diputuskan sebelumnya oleh Allah. Apakah muşībah itu berupa kelemahan hasil kuliner, flora atau yang menimpa insan pada dirinya dan keluarganya. Dalam hadis dijelaskan “Tiada seseorang yang ditimpa muşībah terkena duri, terkilir, atau sakit di dalam urat melainkan semua itu disebabkan oleh dosa yang dilakukannya, sedang yang dimaafkan oleh Allah jauh lebih banyak.[42]
Al-Maraghi menafsirkan ayat di atas bahwa sehabis Allah menandakan bahwa kenikmatan dunia ini akan sirna dan binasa dan kebaikan maupun kejelekan yang ada padanya tidaklah infinit, maka dilanjutkan dengan menyatakan remehnya muşībah–muşībah yang menimpa orang-orang mukmin.
Karena muşībah–muşībah itu merupakan kebahagiaan dan kenyamanan jiwa mereka. Tanpa muşībah tersebut, maka mereka akan mengalami kesengsaraan dan penderitaan. Oleh alasannya itu, tidak sepatutnya mereka bersedih atas apa yang luput dari mereka dan tidak perlu bersenang-senang dengan kelezatan dunia yang fana ini.[43]
Menurut Quraisy Shihab, ayat di atas mengingatkan semoga insan jangan terlalu resah dengan apa yang mungkin dibisikan syaithan menyangkut efek negatif dari berzakat dan berjuang. Muşībah bekerjsama meliputi segala sesuatu yang terjadi, baik positif maupun negatif, baik anugerah maupun bencana. Tetapi kata tersebut terkenal digunakan untuk makna tragedi. Bahkan Quraisy Shihab mengatakan ayat diatas mampu saja dimengerti dalam pemahaman biasa adalah selain bencana, sebab memang Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[44]
Surah al-Nisa: 62
فَكَيْفَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌۢ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَآءُوكَ يَحْلِفُونَ بِٱللَّهِ إِنْ أَرَدْنَآ إِلَّآ إِحْسَٰنًا وَتَوْفِيقًا
Terjemahnya:
Maka bagaimana halnya apabila (kelak) petaka menimpa mereka (orang munafik) disebabkan tindakan tangannya sendiri, lalu mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersumpah, “Demi Allah, kami sekali-kali tidak mengharapkan selain kebaikan dan kedamaian.”. (QS. al-Nisa/4: 62)[45]
Menurut riwayat al-Tabrani dari Ibnu Abbas, asbāb al-nuzūl ayat ini yakni alasannya ada seorang pendeta Yahudi yang berjulukan Abu Barzah al-Aslami menjadi hakim, untuk memberi keputusan pada hal-hal yang dipersengketakan, dan didatangi pula oleh orang-orang musyrikin untuk menuntaskan problem yang menjadi persengketaan, maka turunlah ayat ini.[46] Al-Maraghi menafsirkan bahwa ayat di atas menggambarkan bagaimana kondisi orang munafik yang menjadikan hakim selain Nabi dengan argumentasi untuk kebaikan di dalam mu’amalah dan tercapainya komitmen antara mereka dengan lawan-musuhnya dengan cara mengambil manfaat. Namun saat mereka tertimpa muşībah, mereka kembali menimbulkan Nabi selaku hakim mereka padahal mereka hanya mendustai.[47]
Ibnu Katsir lebih tegas mengatakan bahwa Allah mencela orang-orang munafik. Mereka terpaksa tiba kepadamu, disebabkan muşībah yang menimpa mereka, akhir dosa-dosa mereka dan mereka bersumpah untuk membenarkan langkah-langkah mereka berhakim terhadap thaghut. Namun mereka sebetulnya melaksanakan itu bukan dari hati mereka dan bukan alasannya percaya akan kebenaran hakim-hakim, namun hanya sekedar berpura-pura.[48] Sedangkan berdasarkan Quraisy Shihab, ayat ini merupakan citra tentang sifat dari orang munafik saat mereka ditimpa muşībah dan dapat juga dipahami dalam arti ancaman terhadap mereka dikala tragedi menimpa.[49]
Surat al-Taghabun: 11
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Terjemahnya:
Tidak ada sesuatu petaka yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, pasti Allah akan memberi isyarat kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Taghabun/64: 11)[50]
Menurut al-Maraghi, muşībah adalah sesuatu yang perihal dan menimpa manusia berbentukkebaikan dan kejelekan. Dan diharapkan bagi manusia untuk tekun dan melakukan pekerjaan , kemudian beliau tidak butuhmenghiraukan apa yang dikerjakan kepada dirinya, alasannya dia tahu bahwa yang demikian itu di luar kesanggupannya, tidak akan menyulitkan dan tidak akan menyusahkannya. Orang mukmin memiliki dua kewajiban, pertama berusaha dan mencurahkan tenaga untuk menghadirkan kebaikan dan menolak tragedi semampunya. Kedua, bertawakkal terhadap Allah, alasannya adalah yakin bahwa segala sesuatu itu terjadi berdasarkan qadha dan qadar-Nya. Sehingga tidak bersedih dan susah bila terjadi kejelekan dan tidak pula berkepanjangan dalam kesenangan jikalau terjadi kebaikan.[51]
Dalam ayat ini Ibnu Katsir berpendapat bahwa Allah menyatakan tiada sesuatu yang terjadi di alam ini melainkan dengan keinginandan kekuasaan Allah. Siapa yang beriman terhadap Allah pasti rela pada putusan Allah. Dengan iktikad itulah hati akan menerima ketenangan, alasannya adalah beliau sudah yakin bahwa yang diharapkan tidak akan terjadi.[52] Dalam riwayat Muslim, Nabi bersabda:
Sungguh menakjubkan keadaan mukmin itu alasannya adalah seluruhnya mengandung kebaikan, jika dia mendapat kenikmatan, maka ia bersyukur dan hal itu baik baginya dan apabila ditimpa kesengsaraan, maka dia bersabar dan itu baik pula baginya”.[53]
Dalam Tafsir al-Razi ada beberapa pendapat ulama ihwal maksud dari lafaz قلبه یھد pada ayat tersebut. Ibnu Abbas menafsirkan kepingan ayat tersebut dengan menyelamatkan alasannya perintah Allah. Para ulama ahl al-ma’āni mengartikannya dengan bersyukur saat mendapatkan kelapangan dan bersabar ketika terkena muşībah. Sedangkan al-Zujaj memaknainya dengan ketenangan.[54] Pendapat lain menyampaikan makna قلبه یھد yaitu istirjā’ kepada Allah saat ditimpa muşībah, sedangkan berdasarkan Mujahid adalah dengan bersabar.[55]
Sebelum ayat di atas, Allah berfirman mengancam kaum kafir dengan siksa neraka. Menurut Quraisy Shihab, para ulama berpendapat bahwa dikala itu kaum musyrikin berkata: “Jika kaum muslimin berada dalam kebenaran tentu Allah tidak akan menjatuhkan tragedi atas mereka, tergolong bencana yang terjadi lewat upaya kaum musyrikin. Untuk menyingkirkan keresahan itu, ayat di atas menyatakan bahwa seseorang tidak menimpa satu muşībah pun berkaitan permasalahan dunia atau agama kecuali atas izin Allah. Siapa yang kufur terhadap Allah, maka dia akan membiarkan hatinya dalam kesesatan dan siapa yang beriman terhadap Allah dan yakin bahwa tidak ada yang terjadi kecuali atas izin-Nya.
Sehingga dia akan semakin yakin, serta sabar dan rela atas muşībah yang menimpanya sambil mencari sebab-sebabnya dan makin berkembangpula amal baiknya. Allah Maha Kuasa dan Maha Mengetahui, alasannya itu hendaklah manusia bersabar menghadapi aneka cobaan serta kerjakan introspeksi dan taat kepada Allah di setiap daerah dan waktu dan taat kepada Rasul dalam segala hal yang diperintahkan.[56]
Surah al-Qaşaş: 47
وَلَوْلَآ أَن تُصِيبَهُم مُّصِيبَةٌۢ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَيَقُولُوا۟ رَبَّنَا لَوْلَآ أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولًا فَنَتَّبِعَ ءَايَٰتِكَ وَنَكُونَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ
Terjemahnya:
Dan biar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa yang mereka lakukan, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang rasul kepada kami, agar kami mengikuti ayat-ayat Engkau dan termasuk orang mukmin.”. (QS al-Qaşaş /28: 47).[57]
Al-Maraghi memaknai muşībah pada ayat di atas dengan azab, baik di dunia maupun di alam baka. Pada ayat di atas, al-Maraghi menerangkan perihal pengutusan Rasul terhadap orang-orang kafir, untuk mematahkan argumentasi mereka, sehingga kalau siksaan Allah tiba, mereka tidak akan mendapatkan hujjah lagi.
Sebelum Allah mengutus Nabi, orang-orang kafir ketika ditimpa azab berargumentasi dengan tidak diutusnya seorang rasul untuk diikuti dan diimani. Kesimpulan dari penafsiran al-Maraghi terhadap ayat di atas ialah Allah sudah mengutus Nabi terhadap manusia dan Allah tidak menyiksa seorang hambapun kecuali setelah Allah menyempurnakan penjelasan dan hujjah serta mendelegasikan para rasul.[58]
Adapun Ibnu Katsir menafsirkan Allah berfirman untuk mengambarkan salah satu bukti kebenaran risalah Muhammad. Bahwa dia mampu menceritakan hal-hal ghaib dan kisah-kisah umat terdahulu, padahal Nabi tidak pernah meninggalkan jazirah Arab dan melihat dengan eksklusif apa yang diceritakan dan kabarkan. Di samping itu, beliau seorang ummi yang tidak dapat menulis dan membaca, lahir dan dibesarkan di tengah bangsa yang demikian keadaannya.[59]
Menurut Quraisy Shihab, kata muşībah dapat meliputi muşībah duniawi dan ukhrawi, sedangkan kalimat bimā qaddamat aidīhim (disebabkan apa yang mereka lakukan), mampu meliputi amal batin mirip kepercayaan yang batil atau penyakit-penyakit hati lainnya mirip iri hati, takabur dan lain-lain dan dapat juga meliputi amal lahiriah berbentukaneka kedurhakaan mirip permusuhan, korupsi, perzinahan dan lain-lain.[60] Para ulama berdasarkan Quraisy Syihab memahami kata muşībah pada ayat ini dalam arti siksa duniawi.[61]
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa muşībah yang Allah timpakan terhadap insan tidak lain sebab ialah sebuah hal yang sudah menjadi ketetapan dari Allah swt. selaku bentuk dari qaḍa-Nya sedangkan muşībah yang terjadi akibat dari ulah insan itu sendiri sebagai bentuk dari qadar-Nya.
Dengan demikian, rancangan qaḍa dan qadar dalam hal ini mengandung makna bahwa manusia selaku satu-satunya ciptaan Allah yang dibekali logika fikiran diberikan keleluasaan untuk memilih opsi-opsi dalam menjalani kehidupannya di paras bumi. Oleh sebab itu ketetapan-ketetapan yang telah diputuskan oleh Allah swt. sebelumnya mampu terlaksana kalau sejalan dengan opsi yang diambil oleh insan itu sendiri.
c. Cara merespon muşībah
Surat al-Baqarah: 156
ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ
Terjemahnya:
(yakni) orang-orang yang kalau ditimpa musibah, mereka berkata “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn” (sebenarnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). (QS. al-Baqarah: 156)[62]
Menurut al-Maraghi, muşībah adalah semua peristiwa yang menyedihkan mirip meninggalkan seseorang yang dikasihi, kehilangan harta benda atau penyakit yang menimpa baik ringan atau berat. Ketika ditimpa ujian, hendaklah bersabar dan sampaikanlah isu bangga kepada orang-orang yang sabar, yakni orang-orang yang mengatakan perkataan tersebut sebagai perumpamaan rasa iman dengan kodrat kepastian Allah. Sabar bukannya bertentangan dengan perasaan murung ketika tiba suatu muşībah. Sebab perasaan sedih ini ialah perasaan halus yang ada secara fitri pada diri insan normal.[63]
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas, mengutip beberapa hadis Nabi. Hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, ia berkata “Pada suatu hari Abu Salamah pulang ke rumah dari majlis Nabi dan berkata “Aku mendengar Nabi bersabda yang sungguh menggembirakan hatiku: “Tiada seorang muslim yang ditimpa muşībah, lalu dia membaca “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn”, kemudian membaca “Ya Allah berilah pahala bagiku dalam muşībahku ini dan gantikanlah untukku yang lebih baik darinya, melainkan akan diganti oleh Allah”.[64]
Menurut al-Razi makna انا للّه pada ayat di atas ialah adanya keikhlasan mendapatkan segala sesuatu yang diturunkan oleh Allah dari semua cobaan dan ujian, sedangkan makna وإنا إليه راجعونyaitu adanya keikhlasan menerima segala sesuatu berupa ujian dan cobaan yang hendak terjadi kemudian dengan impian mendapatkan pahala dari Allah.[65] Al-Razi juga mengutip beberapa hadis Nabi dalam menafsirkan ayat di atas, diantaranya adalah Nabi bersabda “Barangsiapa mengembalikan kepasrahan ketika terkena muşībah, maka Allah akan mengubahnya, menjadikannya baik hasilnya dan menyebabkan orang yang saleh yang diridhai Allah”.
Surat al-Hadid: 23
لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰىكُمْ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۙ
Terjemahnya:
Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kau, dan jangan pula terlalu bangga terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menggemari setiap orang yang angkuh dan membanggakan diri,[66]
Pada ayat ini Allah swt menyatakan bahwa semua peristiwa itu ditetapkan sebelum terjadinya, agar insan bersabar mendapatkan ujian Allah. Cobaan Allah itu adakalanya berupa kesengsaraan dan malapetaka, adakalanya berbentukkesenangan dan kegembiraan. Karena itu janganlah terlalu bersedih hati mendapatkan kesengsaraan dan malapetaka yang menimpa diri, sebaliknya jangan pula terlalu bersenang hati dan bergembira menerima sesuatu yang menggembirakan hati. Sikap yang paling baik yaitu tabah dalam menerima tragedi dan malapetaka yang menimpa serta bersyukur kepada Allah atas setiap mendapatkan nikmat yang dianugerahkan-Nya. Ayat ini bukan untuk melarang kaum Muslimin bergembira dan bersedih hati, namun tujuannya adalah melarang kaum Muslimin bergembira dan bersedih hati dengan berlebih-lebihan. ‘Ikrimah berkata, “Tidak ada seorang pun melainkan beliau dalam kondisi sedih dan bangga, namun hendaklah ia menyebabkan kegembiraan itu selaku tanda bersyukur kepada Allah dan kesedihan itu selaku tanda bersabar.” Pada final ayat ini ditegaskan bahwa orang yang terlalu bergembira menerima sesuatu yang mengasyikkan hatinya dan terlalu bersedih hati mendapatkan tragedi yang menimpanya ialah orang yang pada dirinya terdapat tanda-tanda tabkhil dan angkuh, seolah-olah dia cuma memikirkan kepentingan dirinya saja. Allah swt menyatakan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang mempunyai sifat-sifat bakhil dan arogan.[67]
Dari uraian tersebut mampu dimengerti bahwa sebagai manusia, kita dituntut untuk senantiasa bersabar, tulus dan berserah diri kepada-Nya tatkala kita ditimpa muşībah dan senantiasa bersyukur atas segala kebaikan yang Allah berikan sebagai tanda kesyukuran kita kepada-Nya. Oleh sebab itu janganlah terlalu bersedih hati ketika ditimpa kesengsaraan dan bencana, sebaliknya jangan pula terlalu bersenang hati dan bergembira tatkala mendapatkan sesuatu yang menggembirakan hati. Adapun sikap yang paling baik yakni tabah dalam mendapatkan muşībah yang menimpa serta bersyukur kepada Allah atas setiap lezat yang dianugerahkan-Nya.
d. Hikmah dari Adanya Muşībah
QS al-Syura: 30
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ
Terjemahnya:
Dan musibah apa pun yang menimpa kamu ialah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. al-Syura/42: 30)[68]
Al-Maraghi menafsirkan bahwa muşībah–muşībah di dunia yang menimpa insan tidak lain selaku hukuman atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Namun Allah memaafkan insan atas kejahatan yang telah di lakukan dengan tidak menghukum atas semua kejahatan-kejahatan tersebut. Allah menjadikan dosa sebagai alasannya-alasannya adalah yang menciptakan akibat. Misalnya peminum khamar akan ditimpa banyak penyakit jasmani maupun nalar di dunia, penyakit itu merupakan salah satu bekas dari dosa yang dilakukan. Namun hukuman yang menimpa individu-individu di dunia ini tidaklah bersifat umum. Karena sering pula seorang pemabuk yang kecanduan, ternyata tidak ditimpa satu penyakit pun akibat tindakan. Sering juga ditemukan seorang pedagang berkhianat, ternyata tidak ditimpa kerugian dalam perdagangannya. Dalam keadaan demikian, maka hukuman bagi masing-masing dari keduanya ditangguhkan hingga hari hisab. Al-Maraghi selanjutnya menafsirkan ayat di atas dengan mengutip salah satu hadis Nabi. Menurut satu riwayat, Nabi bersabda terhadap Ali bin Abi Thalib,
“Dan saya akan tafsirkan ayat ini (QS. al-Syura: 30) kepadamu wahai Ali: Apapun yang menimpamu baik itu penyakit, sebuah eksekusi atau suatu peristiwa di dunia, maka ialah dikarenakan tindakan yang sudah dijalankan oleh tangan-tanganmu.
Sedang Allah terlalu mulia untuk mengulangi hukuman terhadapmu di darul baka. Sedangkan apa yang sudah dimaafkan oleh Allah di dunia ini, maka Allah terlalu mulia untuk mengulangi setelah ia memaafkan”.[69]
Sementara Ibnu Katsir menafsirkan bahwa muşībah dan bala yang menimpa insan yaitu akhir dari manusia sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.[70] Adapun Imam al-Razi menyampaikan bahwa yang dimaksud muşībah pada ayat di atas ialah semua insiden yang tidak digemari mirip sakit, paceklik, banjir, dan kesusahan lainnya.[71]
Menurut al-Razi, para ulama berlawanan usulan ihwal muşībah manusia, apakah muşībah yang terjadi di dunia akhir tindakan dosa-dosa yang telah kemudian? Kelompok pertama menyampaikan, bahwa Allah akan membalas amal perbuatan insan pada yaum al-jazā atau hari pembalasan, sebagaimana firman Allah اليوم تجزى كل نفس بما كسبت dan مالك یوم الدین . Dengan demikian, menurut golongan ini muşībah yang menimpa manusia di dunia ini bukan balasan dosa manusia.
Kelompok kedua berpendapat, muşībah di dunia mampu menimpa siapa saja baik orang zindiq atau orang yang sudah berbuat baik. Bahkan menurut kalangan ini, acap kali orang saleh dan bertakwa lebih banyak menerima muşībah dibandingkan orang yang berdosa. Dengan demikian golongan kedua ini sependapat dengan kelompok yang pertama bahwa muşībah yang terjadi di dunia bukan balasan perbuatan dosa dan bukan sebagai siksaan di dunia.
Sedangkan kelompok ketiga beropini bahwa dunia selaku tempat pembebanan (dīr al-taklīf) dan juga pembalasan (dār al-jazā’). Namun ketika ada yang menyampaikan bahwa muşībah di dunia ini selaku pembalasan balasan dosa yang telah kemudian, maka hal ini menurut hadis Nabi “Tidak akan ditimpa muşībah seseorang kecuali alasannya adalah berdosa”. Makara muşībah yang menimpa bagi para nabi dan para wali itu bukan mempunyai arti siksaan, melainkan cobaan dari Allah. Dengan demikian, muşībah itu cuma menimpa manusia yang telah remaja, tidak termasuk hewan atau anak kecil alasannya mereka tidak kena beban syari’at.[72]
Sedangkan berdasarkan al-Zamakhsyari, ayat di atas dikhususkan bagi orang yang berdosa, karena terjadinya muşībah akhir dari perbuatan orang-orang yang berdosa. Adapun orang yang tidak berdosa mirip para nabi, belum dewasa dan bayi yang masih dalam kandungan, kalau mereka tertimpa muşībah maka hal itu selaku pengganti dari ke-Maha-Pemaafnya Allah dan kemaslahatan bagi mereka.[73]
Quraisy Shihab menyampaikan muşībah yang menimpa insan kapan dan dimana pun terjadinya, maka itu ialah disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri yakni dosa dan kemaksiatan yang telah dijalankan, paling tidak disebabkan oleh kecerobohan atau ketidakhati-hatian. Muşībah yang dialami manusia hanyalah balasan sebagian kesalahan manusia, karena Allah tetap melimpahkan rahmat-Nya kepada manusia dan Allah memaafkan banyak kesalahan insan. Sehingga kesalahan itu tidak menyebabkan muşībah atas diri insan. Seandainya pemaafan itu tidak dilaksanakan-Nya, maka niscaya insan semua binasa bahkan tidak akan ada satu hewan melata pun di muka bumi ini.[74]
Menurut Quraisy Shihab, meskipun ayat di atas dari sisi konteksnya tertuju pada kaum musyrik Makkah, namun dari sisi kandungannya tertuju kepada seluruh manusia baik perorangan maupun kolektif, kapan dan dimana pun, baik mukmin atau pun kafir.[75] Lebih lanjut Quraisy Shihab menyampaikan bahwa ayat ini menggaris-bawahi adanya muşībah atau hal-hal negatif yang dijatuhkan Allah menimpa manusia dalam kehidupan dunia ini sebagai sanksi atas pelanggaran mereka. Namun demikian bisa saja ada pelanggaran yang ditangguhkan sanksinya di alam baka nanti. Sebagaimana ada juga yang dicukupkan di dunia dan ada yang ganjarannya di terima di dunia sebagai muqaddimah dari sanksi ukhrawi.
Di tamat ayat di atas, Allah berfirman ویعفوعن كثیر memiliki arti Allah memaafkan banyak kedurhakaan, sehingga tidak dijatuhkan sanksi duniawi. Pemaafan ini berhubungan dengan kehidupan duniawi. Itu sebabnya sekian banyak yang melakukan pelanggaran masih hidup tenteram dan terlihat senang. Mereka itulah yang dimaafkan, yaitu yang ditangguhkan Allah siksanya dalam kehidupan dunia ini. Bisa juga pemaafan ini meliputi pemaafan duniawi dan ukhrawi.[76]
Dengan demikian mampu dipahami bahwa muşībah ialah salah satu fasilitas biar Allah mampu mengampuni dosa-dosa manusia. Adapun berdasarkan Muhammad Yusuf ada lima keunggulan bagi orang yang ditimpa muşībah yakni mampu mengangkat derajatnya, meniadakan kejelekan, ditanamkan jiwa yang ikhlas, mendidik muslim biar gigih dalam berdakwah dan menerima syurga.[77]
Dalil-dalil yang menyebutkan wacana diangkatnya derajat manusia yakni QS. al-An’am: 165, Allah berfirman:
وَهُوَ ٱلَّذِى جَعَلَكُمْ خَلَٰٓئِفَ ٱلْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلْعِقَابِ وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌۢ
Terjemahnya:
Dan Dialah yang menjadikan kau sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kau di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sungguh cepat memberi eksekusi dan sangat, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS al-An’am/6: 165)[78]
Al-Razi menafsirkan lafaz رفع بعضكم فوق بعض درجتyakni dimaknai dengan kemuliaan, akal, harta, jabatan dan rizki. Kesemuanya itu tidak ada gunanya jika insan lemah, ndeso dan pelit alasannya pada intinya apa yang dianugerahkan Allah itu merupakan ujian bagi insan.[79] Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah, Nabi bersabda: “Tidak ada yang menimpa seorang mukmin yang tertusuk duri atau yang lebih dari itu, kecuali dinaikkan derajatnya oleh Allah dan dihapus kesalahan-kesalahannya.[80] Kelebihan lain ialah meniadakan kejelekan manusia, hal ini sesuai dengan sabda Nabi, “Tidak ada satu ujian yang menimpa muslim, mirip sakit, kesulitan, kesedihan, kecemasan, sekalipun muşībah itu hanya tertusuk duri, melainkan Allah menghapus dosa-dosanya.[81]
Kelebihan berikutnya adalah ialah penyebab masuk syurga, berdasarkan firman Allah:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلِكُم ۖ مَّسَّتْهُمُ ٱلْبَأْسَآءُ وَٱلضَّرَّآءُ وَزُلْزِلُوا۟ حَتَّىٰ يَقُولَ ٱلرَّسُولُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ مَتَىٰ نَصْرُ ٱللَّهِ ۗ أَلَآ إِنَّ نَصْرَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ
Terjemahnya:
Ataukah kamu mengira bahwa kau akan masuk nirwana, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kau. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan aneka macam cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang perlindungan Allah?” Ingatlah, bantu-membantu pinjaman Allah itu bersahabat. (QS. al-Baqarah/2: 214).[82]
Berdasarkan ayat tersebut dapat dimengerti bahwa akhir Allah akan diberikan kepada insan yang lulus dalam menghadapi muşībah ialah menemukan kasih sayang, rahmat dan hidayah Allah. Maka dari itu, sebagai orang yang beriman telah menjadi keharusan untuk menyadari bahwa muşībah yakni segala sesuatu yang menimpa pada diri baik berupa kesenangan ataupun kesulitan. Muşībah mampu saja terjadi pada setiap orang, terlepas dari dia saleh atau tidak, muslim atau tidak, renta atau muda. Muşībah mampu datang kapan dan dimana saja, tidak ada insan yang bebas dari muşībah, alasannya adalah semua berjalan sesuai ketentuan Allah swt. Dengan muşībah, Allah swt hendak menguji siapa yang paling baik amalnya. Karena muşībah bukan sekedar peristiwa alamiah biasa tetapi juga ialah peringatan untuk kembali terhadap Allah swt.
C. Penutup
1. Kesimpulan
a. Muşībah ialah segala sesuatu yang ditimpakan Allah terhadap insan, baik berbentukkejelekan maupun kebaikan, tetapi kebanyakan lafal muşībah lebih cenderung dimaknai sebagai hal-hal yang mendatangkan kesedihan dan kepedihan.
b. Sikap yang paling baik dalam menghadapi muşībah dalam bentuk keburukan yaitu dengan bersabar dan tidak terlampau bersedih hati. Sedangkan sikap yang paling baik tatkala diberikan anugrah adalah dengan cara bersyukur dan tidak terlampau bersenang hati yang mampu mengarahkan insan kepada sikap arogan dan angkuh. Dengan selalu mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn.
c. Hikmah dari muşībah yang Allah timpakan kepada manusia adalah sebagai fasilitas semoga insan selalu lebih mendekatkan diri kepada-Nya dan dengannya pula Allah menghapus dosa-dosa mereka yang selalu bersabar dalam menghadapi cobaan dan cobaan yang dihadapinya.
Daftar Pustaka
Adib Bisri, Munawwir AF, Kamus Al-Bisri, .Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif, 1999.
al-Maragi, Ahmad bin Mustafa, Tafsir al-Maragi, .Cet. I; Misr: Maktabah Mustafa al-Babi, 1946.
Ahmmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir. Cet. IV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. 800.
Ainur Rozon, Penafsiran Ayat-Ayat Muşībah Dalam Al-Qur’an (Studi Analisis Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir al-Mishbah) “Skripsi .Semarang: Fak. Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo, 2015.
Al-Andalusi, Muhammad bin Yusuf al-Syahir bi al-Hayyan. Al-Bahr al-Muhith fi al-Tafsir. Beirut: Dar al Fikr, tt.
Al-Ashfahani, Raghib. Mu’jam Mufradat al fazh al Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Al-Baidawi, Nasir al-Din Abu Sa’id ‘Abdillah bin ‘Umar bin Muhammad al-Syirazi. Anwar al-Tanzil wa asrar al-Ta’wil. Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, 1418.
al-Baqi, Fu’ad ‘Abd. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, Bairut: Dar al-Fikr, 1981.
al-Hambali, Muhammad al-Manjibi. Menghadapi Muşībah Kematian, Penerjemah Muhammad Suhadi .Jakarta: Hikmah, 2007.
Al-Nisaburi, Abu Husain Muslim bin Hajjaj al Qusyairi. Shahih Muslim. t.tp: Dar al-Ihya wa al-Kutub al-Arabiyah, tt.
Al-Qurtubi, Al-Jami’ Liahkam al-Qur’an, Juz II, Cet. 1 ,Beirut: Muassasah Risalah, 2006.
Al-Razi, Muhammad Fakhruddin. Tafsir al-Razi. Beirut: Dar al Fikr, tt.
Al-Wahidi, Abi Hasan Ali bin Ahmad. Asbab al-Nuzul. Beirut: al-Maktabah al-Tsaqafiyah, 1989
Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf. Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1995.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia .KBBI pusat bahasa.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, tt.
Ibnu Katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Madinah: Maktabah al-Ulum wa al- Hikam, 1993
Ibnu Manzhur. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Shadir, t.t.
Nurcholish, Asbabun Nuzul .Surabaya: Pustaka Anda, 1997.
Shihab, M. Quraisy. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002
Team Penulis, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Yusuf, Muhammad. Al-Insan baina al-Sarra wa al-Dadharra fi Taswir al-Qur’an al-Karim. Kairo: Dar al-Salam, 2002.
[1]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI pusat bahasa), h. 942.
[2]Ahmmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Cet.CIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 800.
[3]Adib Bisri, Munawwir AF, Kamus Al-Bisri, (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), h. 422.
[4]Al-Ragib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat li Alfaz al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h. 297.
[5]Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, verbal al-Arabi, Juz I, h. 534
[6]Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, lisan al-Arabi, Juz I, h. 534
[7]Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, lisan al-Arabi, Juz I, h. 536.
[8]Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, mulut al-Arabi, Juz I, h. 535.
[9]Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, mulut al-Arabi, Juz I, h. 536.
[10]Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, mulut al-Arabi, Juz I, h. 536.
[11]Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, Lisan al-‘Arab, h. 536.
[12]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 1, Cet. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000). h. 343.
[13]Al-Qurtubi, Al-Jami’ Liahkam al-Qur’an, Juz II, Cet. 1 (Beirut: Muassasah Risalah, 2006) h. 465.
[14]Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, (Bairut: Dar al-Fikr, 1981), h. 415-416.
[15]Al-Qurtubi, Al-Jami’ Liahkam al-Qur’an, h. 465.
[16]Hamka, Tafsir al-Azhar (Juz. XXVII; Jakarta: Pustaka Panji Mas, tt), h. 299.
[17]Ahmad bin Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Cet. I; Misr: Maktabah Mustafa al-Babi, 1946) h. 21.
[18]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Kesrasian al-Qur’an , h. 43.
[19]Nasir al-Din Abu Sa’id ‘Abdillah bin ‘Umar bin Muhammad al-Syirazi Al-Baidawi, Anwar al-Tanzil wa asrar al-Ta’wil (Juz. 1; Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, 1418), h. 115.
[20]Muhammad al-Manjibi al-Hambali, Menghadapi Muşībah Kematian, Penerjemah Muhammad Suhadi (Jakarta: Hikmah, 2007), h. 12.
[21]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 24.
[22]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan-pesan dan Keserasian al-Qur’an, jilid I, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 342
[23]Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Juz I, (Beirut : Al-Mâktabah al-Ăshriyah, 2000) h. 343
[24]Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Juz I, h. 343.
[25]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 71.
[26]Abi Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbab al-Nuzul (Beirut: al-Maktabah al- Saqafiyah, 1989), 73; lihat juga Nurcholish, Asbabun Nuzul (Surabaya: Pustaka Anda, 1997), h. 119.
[27]Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, jilid. 1, h. 427.
[28]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 89.
[29]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 1, h. 524.
[30]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2, h. 482.
[31]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 125.
[32]Nurcholis, Asbab al-Nuzul, h. 221-222
[33]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 3, h. 39-40
[34]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 2, h. 113
[35]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 2, h. 113.
[36]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 195.
[37]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 4, h. 110.
[38]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 4, h. 110
[39]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 2, h. 370
[40]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 5, h. 583.
[41]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 540.
[42]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 4, h. 313-314.
[43]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 9, h. 438.
[44]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 14, h. 43.
[45]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 88.
[46]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, juz. 1, h. 519.
[47]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 2, h. 77.
[48]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, juz. 1, h. 519.
[49]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 467.
[50]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 557.
[51]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 10, h. 126-127.
[52]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 4, h. 375.
[53]Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Nisaburi, Shahih Muslim, juz. 4 (ttp: Dar al-Ihya wa al-Kutub al-Arabiyah, tt.), h. 2295.
[54]Muhammad Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 30, h. 27.
[55]Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, jil. 4, h. 537
[56]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 14, h. 274-275.
[57]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 391.
[58]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 7, h. 176.
[59]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur an al-‘Azhim, juz. 3, h. 405.
[60]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 10, h. 360.
[61]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 10, h. 360.
[62]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 24.
[63]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 1, h. 206-207.
[64]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, h. 8.
[65]Muhammad Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 4, h. 2.
[66]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 540.
[68]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 486.
[69]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 9, h. 38-40.
[70]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur an al-‘Azim, juz. 4, h. 116.
[71]Muhammad Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 27, h. 173.
[72]Muhammad Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 27, h. 173.
[73]Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, jil. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1995), h. 219.
[74]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mihsbah, h. 503.
[75]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 504.
[76]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 505-505.
[77]Muhammad Yusuf, al-Insan baina al-Sarra wa al-Dharra fi Taswir al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dar al-Salam, 2002), h. 127-128.
[78]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 150.
[79]Muhammad Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 7, h. 31
[80]Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Nisaburi, Shahih Muslim, juz. 2, h. 427
[81]Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Nisaburi, Shahih Muslim, h. 428
[82]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 33.