PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah Swt. menciptakan manusia dengan dua tujuan, yakni selaku hamba yang bertugas untuk
beribadah kepadanya dan sekaligus selaku khalifah yang bertugas mengorganisir bumi dengan segala isinya. Ibadah yaitu bentuk pengabdian manusia sebagaihamba kepada Tuhan yang patut disembah. Ibadah tidak diartikan secara sempit berbentukshalat, zakat, sedekah, haji dan ibadah ritual lainnya. Tapi ibadah dapat mempunyai arti luas, yakni semua yang dikerjakan manusia dengan tulus dalam rangka memberikan ketundukan dan kepatuhannya selaku hamba kepada Tuhan. Bahkan Allah menyebutkan bahwa insan hanya diciptakan untuk beribadah terhadap Allah. Tugas kekhalifahan bahu-membahu juga masuk dalam kategori ibadah dalam artian yang luas.
Untuk kedua peran di atas, manusia disiapkan oleh Allah dengan beberapa bekal dan potensi. Dengan bekal dan kesempatanyang dimilikinya, manusia disediakan oleh Allah selaku makhluk yang layak mengamban tugas dan tanggung jawab di atas.
PEMBAHASAN
FITRAH BERAGAMA MANUSIA
A. Q.S. Ar-Rum : 30
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan insan berdasarkan fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; namun kebanyakan insan tidak mengetahui.” (Q.S. Ar-Rum: 30)
Ayat di atas menerangkan perihal keadaan fitrah manusia yang senantiasa condong untuk beragama, atau cenderung insan itu bertuhan. Pada ayat di atas, kata faaqim wajhaka (hadapkanlah wajahmu), yang dimaksud ialah perintah untuk menjaga dan mengembangkan upaya menghadapkan diri kepada Allah, secara sempurna sebab selama ini kaum muslimin terlebih Nabi Muhammad e yang sudah menghadapkan tampang terhadap tuntunan Agama-Nya, dari perintah yang tersirat di atas, tersirat juga perintah untuk tidak menghiraukan gangguan kaum musyrikin.[1]
Kata fitrah terambil dari kata fathara yang mempunyai arti mencipta. Sementara pakar menambahkan fitrah yakni “mencipta sesuatu pertama kali / tanpa ada acuan sebelumnya”. Dengan demikian kata tersebut mampu juga diketahui dengan denganasal kejadian, atau bawaan semenjak lahir.[2]
Thahir Ibn Asyur dalam uraiannya tentang fitrah, mengutip apalagi dahulu pendapat pakar tafsir Ibn Athiyyah yang memahami fitrah sebagai “keadaan atau kondisi penciptaan yang terdapat dalam diri insan yang menjadikannya memiliki potensi lewat fitrah itu, bisa membedakan ciptaan-ciptaan Allah serta mengenal ilahi dan syari’atnya.[3] Fitah Menurut Ibn Asyur adalah komponen-komponen dan tata cara yang Allah anugerahkan terhadap setiap makhluk. Fitrah manusia adalah apa yang diciptakan Allah dalam diri manusia yang berisikan jasad dan akal (serta jiwa).
Ibnu Manzhur, seorang pakar Bahasa Arab, menyebutkan kata fitrah memiliki arti sesuatu pengetahuan wacana Tuhan yang diciptakan oleh Allah bagi manusia. Ia berasal dari kata fathara yang bermakna penciptaan awal yang belum ada pola sebelumnya. Di antaranya firman Allah dalam surat Fathir ayat 1 menyebutkan الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ(segala puji bagi Allah sebagai pencipta lagit dan bumi). Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa ia tidak mengenali makna fathir al-samawati wa al-ardhi sampai pada suatu hari menyaksikan dua orang arab berantem perihal kepemilikan sumur. Salah seorang dari mereka menyebutkan ana fathartuha (saya yang pertama membuatnya).[4]
Sejalan dengan pendapat di atas, Al-Raghib al-Ashfahaniy—seorang pakar dan penyusun kamus bahasa al-Qur’an—juga menyebutkan bahwa fitrah adalah wawasan keimanan yang diberikan oleh Allah terhadap insan. Dalam surat al-Zukhruf ayat 87 disebutkan وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ(dan jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan mereka, maka mereka akan menjawab Allah)[5]
Agaknya istilah dua pakar Bahasa Arab di atas sejalan dengan perumpamaan hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah sebagaimana dikutip al-Suyuthi:
وأخرج البخاري ومسلم وابن المنذر وابن أبي حاتم وابن مردويه عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ” ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء ؟ ” ثم يقول أبو هريرة رضي الله عنه : اقرأوا ان شئتم فطرة الله التي فطر عليها لا تبديل لخلق الله لذلك الدين القيم
Artinya: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ibn Munzhir, Ibn Hatim dan Ibn Mardawaih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak satupun bayi yang terlahir kedunia ini kecuali atas dasar fitrah. Lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya menganut agama yahudi, nashrani atau majusi. Seperti halnya hewan yang lahir tepat. Apakah kau mendapatkan ada anggota badannya yang terpotong, kecuali jika kau yang memotongnya?.” Kemudian Abu Hurairah berkata: bacalah fitrhatallahi (ayat 30 surat al-Rum).
Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa adanya fitrah keagamaan yang perlu dipertahankan oleh insan. Bukankah permulaan ayat ini merupakan perintah untuk mempertahankan dan mengembangkan apa yang selama ini sudah dilakukan oleh Rasul Saw., yakni menghadapkan tampang ke agama yang benar? Bukankah itu yang dinamai oleh ayat ini selaku fitrah? Bukankah itu yang ditunjukkanya sebagai agama yang benar? Jika demikian, ayat ini mengatakan ihwal fitrah keagamaan.[6]
Ayat di atas mempersamakan antara fitrah dengan agama yang benar, sebagaimana dipahami dari lanjutan ayat yang menyatakan “itulah agama yang lurus”. Jika pernyataan ini dikaitkan dengan pernyataan sebelumnya bahwa Alllah yang telah menciptakan insan atas fitrah itu, ini memiliki arti bahwa agama yang benar atau agama Islam yakni agama yang sesuai dengan fitrah itu.
Sebagai bukti bahwa adanya fitrah beragama atau fitrah ketauhidan yang diberikan terhadap insan yaitu dengan adanya kesaksian manusia pada ketika sebelum dia dilahirkan ke atas bumi ini. Kesaksian itu yakni menyatakan bahwa Allah sebagai rabb (Tuhan).[7]
B. Q.S. Al-A’raf : 172
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢
Artinya: Dan (ingatlah), saat Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami kerjakan yang demikian itu) supaya di hari kiamat kau tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (Q.S. Al-A’raf: 172)
Kata jiwa dalam ayat diatas menurut Ikhwan al Shafa yaitu substansi ruhaniah yang mengandung unsur langit dan nuraniah, hidup dengan zatnya, mengetahui dengan daya, efektif secara budbahasa, mengalami proses mencar ilmu, aktif di dalam badan, mempergunakan badan, serta mengetahui bentuk segala sesuatu.[8]
Jiwa itu satu, dan diberi banyak sekali nama dengan fungsinya daya- dayanya yang bermacam-macam. Sedangkan daya jiwa itu ada 3 jenis, adalah daya jiwa tumbuh-tanaman, daya jiwa hewan, dan daya jiwa rasional.[9]
Daya jiwa berkembang-flora berpusat dihati dan mempunyai sifat diantaranya, keinginan untuk makan dan minum, menyerap, tumbuh, mencicipi dan membedakan antara enam arah, menyebarkan akar ke segala arah yang rendah dan tanah yang lembut, mengarahkan dahan dan ranting ke arah luas, kecenderungan, menyingkir dari kawasan-daerah yang sempit dan fisik yang menyiksa.[10]
Jiwa binatang berpusat dijantung, dan mempunyai sifat diantaranya yakni ; sahwat seksual, sahwat kepemimpinan dll.[11]
Jiwa rasional berpusat diotak mempunyai sifat dan daya disamping sifat dan daya yang ada pada tumbuh-flora dan sifat dan daya pada binatang. Sifat dan daya rasional ini mempunyai kehendak untuk menerima, memperluas dan membanggakan diri, mengwembangkan ilmu pengetahuan, untuk berkarya, berseni dan merasa tinggi untuk meraih tujuan.[12]
Jiwa rasional ini memiliki nalar gharizi (instink), yakni logika yang ada pada setiap orang dan mampu ditemukan dalam wataknya sendiri tanpa lewat mediator.[13] Jiwa rasional melakukan fungsinya yang dinisbahkan pada akal. Jiwa rasional atau nalar berdasarkan Ibnu Sina yakni kesempurnaan pertama bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana pada satu segi dia melaksanakan berbagai perilaku ekstensial menurut ikhtiyar fikiran dan kesimpulan pandangan baru, namun pada sisi lain ia mempersepsi sama dilema universal.[14]
Menurut Ibnu Hazm akal ialah kemampuan membedakan yang utama dari yang nista, melaksanakan tujuan yang baik bagi tujuan di alam keabadian.[15]Intinya logika yaitu sesuatu yang membedakan dan mampu menentukan mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk. Sebagaimana yang dijalankan oleh Nabi Ibrahim ketika mencari pengetahuan perihal Tuhan. Dan ia sudah ditunjukkan oleh Allah melalui akalnya wacana siapa Tuhan yang benar itu. Sehingga ia lalu tidak tergolong orang-orang yang mempersekutukan Allah, dan dia juga pengikut agama yang benar, yakni agama yang mengajarkan ihwal keesaan Allah.
Ayat-ayat ini menawarkan bahwa keperluan umat manusia kepada kekuasaan dan pengaturan Allah ialah sebuah hal yang fitrah, yang sudah tertanam dalam jiwa manusia semenjak dia dilahirkan. Ayat ini menceritakan saat ketika Allah menerima komitmen-janji dari umat insan yang berisi legalisasi di atas ketuhanan Allah Ta’ala. Kelak di Hari Kiamat, Allah akan menanyai setiap insan ihwal pelaksanaan janji yang pernah mereka ucapkan itu. Meskipun dalam al-Quran tidak dijelaskan bagaimana bentuk pengambilan janji tersebut, tetapi para mufassir sudah menerangkan dilema ini. Sebagian mufassir menyatakan bahwa ketika benih manusia keluar dari sulbi bapak dan tertanam dalam rahim ibu, Allah sudah menanamkan fitrah keimanan dan cita-cita untuk mencari kebenaran kepada-Nya dan fitrah ini diberikan Allah terhadap semua manusia.
Oleh karena itu, setiap orang pasti memiliki kecenderungan dalam hatinya untuk mengenal Allah Swt dan bergerak menuju ke jalan-Nya. Fitrah yang ditanamkan oleh Allah kepada seluruh insan ini merupakan suatu hujjah bagi semua umat manusia. Kelak pada Hari Kiamat, mereka tidak bisa lagi berkata, “Kami menjadi musyrik karena mengikuti ayah-ayah kami, sehingga tidak ada jalan lain bagi kami,”atau, “Kami terlupa kepada masalah ini dan tidak mempunyai wawasan perihal Tuhan pencipta jagat raya ini.”
C. Q.S. Yunus : 22
هُوَٱلَّذِي يُسَيِّرُكُمۡ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِۖ حَتَّىٰٓ إِذَا كُنتُمۡ فِي ٱلۡفُلۡكِ وَجَرَيۡنَ بِهِم بِرِيحٖ طَيِّبَةٖ وَفَرِحُواْ بِهَا جَآءَتۡهَا رِيحٌ عَاصِفٞ وَجَآءَهُمُ ٱلۡمَوۡجُ مِن كُلِّ مَكَانٖ وَظَنُّوٓاْ أَنَّهُمۡ أُحِيطَ بِهِمۡ دَعَوُاْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ لَئِنۡ أَنجَيۡتَنَا مِنۡ هَٰذِهِۦ لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلشَّٰكِرِينَ ٢٢
Artinya: Dialah Tuhan yang mengakibatkan kau dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga bila kau berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu menenteng orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira kesudahannya, datanglah angin angin ribut, dan (jika) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka sudah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan terhadap-Nya semata-mata. (Mereka berkata): “Sesungguhnya bila Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan tergolong orang-orang yang bersyukur” (Q.S. Yunus : 22)
Ayat ini dapat menjadi salah satu bukti cepatnya Allah I membalas makar dengan memperlihatkan acuan pengalaman manusia ketika berada di lautan lepas. Uraian ayat ini menjadi bukti pula bagaimana Allah I dengan segera dapat mengganti lezat/rahmat-Nya dengan musibah betapa buruk sifat insan yang idah tahu terima kasih.[16]
Dialah yang maha kuasa itu, bukan selainya yang menimbulkan kau wahai insan yang tidak terpelajar bersyukur lewat peluangyang dianugerahkannya serta hukum-hukum alam yang ditetapkannya, dapat berjalan dengan cepat di lautan baik dengan berjalan kaki maupun dengan berkendaraan, dan menyebabkan juga kau dapat berlayar di lautan lewat bahtera yang berlayar di air. Sehingga jika kau sudah berada di dalam perahu, dan meluncurlah perahu itu menenteng mereka, adalah orang-orang yang ada di dalamnya dengan kekuatan tiupan angin yang bagus yang dapat mengirim mereka ke tujuan, dan dengan demikian mereka merasa damai berlayar dan bergembira akhirnya, yaitu dengan kondisi yang mereka alami itu tiba-tiba mencekam mereka, dan datang pula gelombang dari segenap penjuru menimpa perahu mereka, dan saat itu mereka menerka, ialah percaya bahwa mereka telah terkepung oleh bahaya dan segera binasa sehingga mereka semakin cemas. Maka mereka berdoa terhadap Allah dengan mengikhlaskan diri kepada-Nya, ialah tidak mempersekutukannya, yaitu bahwa ia semata-mata yang dapat menyelamatkan mereka. Dalam doanya mereka berkata “sebenarnya jikalau engkau wahai Yang Maha Esa lagi Maha Pengasih menyelamatkan kami dari ancaman ini, maka kami berjanji demi kekuasaanmu pastilahkami akan termasuk kelompok orang-orang yang bersyukur, yaitu yang sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan kesyukuran dalam bentuk sempurna dan yang menyebabkan kami wajar masuk dalam kelompok terkemuka itu.[17]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ayat-ayat ini menawarkan bahwa keperluan umat insan kepada kekuasaan dan pengaturan Allah yakni suatu hal yang fitrah, yang telah tertanam dalam jiwa insan semenjak ia dilahirkan. Ayat ini menceritakan ketika ketika Allah menerima kesepakatan-janji dari umat insan yang berisi legalisasi di atas ketuhanan Allah Ta’ala. Kelak di Hari Kiamat, Allah akan menanyai setiap insan tentang pelaksanaan akad yang pernah mereka ucapkan itu. Meskipun dalam al-Alquran tidak dijelaskan bagaimana bentuk pengambilan komitmen tersebut, namun para mufassir telah menerangkan duduk perkara ini. Sebagian mufassir menyatakan bahwa saat benih insan keluar dari sulbi bapak dan tertanam dalam rahim ibu, Allah sudah menanamkan fitrah keimanan dan impian untuk mencari kebenaran kepada-Nya dan fitrah ini diberikan Allah terhadap semua manusia.
Benar istilah Allah yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang terbaik (Q.S. al-Tin/ 95: 4). Tidak ada makhluk lain yang diciptakan oleh Allah yang serupa dengan insan. Penciptaan yang terbaik itu tidak hanya terkait dengan fisik saja, namun juga dengan potensi-potensi yang lain. Ada banyak potensi diberikan kepada insan yang tidak seluruhnya diberikan kepada makhluk lain.
B. Saran
Kami selaku penulis apabila dalam penulisan dan penyusunan ini terdapat kelemahan dan keunggulan maka kritik dan saran dari pembaca dan pembimbing kami harapkan sehingga dalam pembuatan makalah yang selanjutnya lebih baik dari yang sebelumnya kami hanyalah insan umumyang tidak lepas dari kesalahan sehingga tanpa bantuan dan rekomendasi pembimbing sungguh jauh bagi kami untuk mencapai kesempurnaan.
Shihab.M. Quraisy, 2002. Tafsir Al-Misybah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,Jakarta : Lentera Hati,Vol. XI
Muhammad. Abû al-Fadhl Jamâl al-Dîn bin Mukarram bin Manzhûr al-Afrîqî al-Mishrî, 1990, Lisân al-‘Arab,Beirut: Dâr Shâdir, Format PDF.
al-Ashfahâniy. Al-Râghib, Mufradât Alfâz al-Qur`ân, Maktabah Syamilah
al-Qurthubiy, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, (naskah di-tahqîq oleh Hisyâm Syamîr al-Bukhâriy), maktabah Syamilah
Najati.Muhammad Ustman, 1993, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Bandung: Pustaka Hidayah, Cet I