Gelap sudah hampir menyentuh malam. Sisa hujan semenjak siang tadi memperbesar aroma malam yg menegas. Aku masih bersimpuh di pusara makam anak wedokku. Ya, anak wedokku gres saja dikirim ke kawasan gres, kawasan keabadian yg sama sekali tak gue bayangkan secepat ini menjemput.
Aku masih belum bermaksud meninggalkannya. Kasihan anakku sendirian dgn tumpukan tanah merah yg masih berair & penuh taburan bunga mawar berwarna-warni. Orang-orang masih saja memandangiku, entah apa yg mereka pertimbangkan & rasakan. Sementara sobat-teman anakku masih saja menundukkan kepala dgn air bening yg masih saja menetes dr kelopak mata mereka. Aku pula tak bisa mengira apa yg tengah mereka pikirkan. Namun gue yakin mereka semua sungguh kehilangan, kehilangan sesuatu yg teramat bersahabat.
Aku masih tergugu. Bukan menyesali apa yg baru saja terjadi, melainkan membayangkan berpisah dr anak wedokku selamanya adalah penderitaan yg tak akan berujung. Ya, anak satu-satunya yg kumiliki ternyata lebih dicintai oleh Tuhan dibandingkan dengan cintaku padanya atau apakah Tuhan mewaspadai cintaku pada anakku? Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran mengimpitku. Kepalaku seakan diikat tali tambang & kemudian ditarik ke sana kemari. Pusing.
Malam-malam dokter memanggilku. Ya, malam yg masih belum menyelesaikan gerimis, gue berbegas dgn langkah kupercepat walaupun bahu-membahu jaraknya pula hanya beberapa langkah dr kamar tempat anakku dirawat. Kusalami dokter dgn ragu. ia mempersilakan gue duduk. Namun gue tak segera duduk. Kupandangi dokter itu lekat-lekat sebab kutahu akan ada info penting yg akan ia sampaikan.
“Dokter memanggil saya?” tanyaku menentukan.
Dokter itu belum menjawab. Justru helaan napas panjang yg keluar. Aku makin gemetar.
“Dok, saya ayah pasien berjulukan Tusning,” sengaja kukeraskan suaraku.
“Silakan duduk, Pak.”
Aku duduk dgn tidak yakin. Belum duduk, tetapi pantatku rasanya panas. Sebenarnya gue tak ingin duduk, tapi alasannya dokter memintaku kembali untuk duduk, maka kuturuti.
“Betul Bapak keluarga pasien bernama Tusning?”
Aku merasa peranyaan itu tak perlu kujawab. Toh dokter itu sudah tahu. Aku hanya menganggukkan kepala supaya dokter itu puas.
“Begini, Pak…,” dokter itu tak melanjutkan. Pandangannya lurus menatapku.
“Ada sesuatu terjadi pada anak saya, Dok?”
“Begini, Pak,” ulangnya lagi. “Dari hasil laboratorium, anak Bapak terkena leukemia,” kata dokter itu meyakinkan.
Aku terenyak. Badanku tiba-tiba gemetar. Pandanganku lurus memandang dokter itu lekat-lekat. Barangkali dokter itu tahu. Ia pun berupaya mencampakkan pandangan ke arah lain. Beberapa menit kami saling membisu, memainkan angan kami masing-masing.
“Barangkali Dokter salah menganalisis,” sanggahku masih dgn tubuh gemetar.
“Ya semoga,” tukas dokter mengambang seakan tahu keresahanku. “Namun umumnya hasil laboratorium tak pernah keliru,” ujar dokter setengah baya itu meyakinkan.
Aku melongo & tetap melongo. Ya, Tuhan, ujian apa yg tengah Kautimpakan kepadaku? Apakah selama ini gue kurang mengimani-Mu? Apakah gue punya dosa besar, sehingga eksekusi itu tertuju padaku? Pikiran itu berkelebat & berkecamuk dlm pikiranku. Ada air bening perlahanlahan mengalir pelan di pipiku. Makin lama semakin menderas. Aku pun tak tahu bagaimana memberikan kabar ini pada istri & anakku. Aku membayangkan, mereka niscaya akan stress berat.
Kumasuki kamar daerah anakku dirawat pelan-pelan. Sengaja gue berjalan berjingkat supaya tak menjadikan suara berlebihan. Kulihat ia sudah tidur. Tidur dlm sakit. Napasnya terorganisir. Badannya memang agak kurus dibandingkan dgn sebelum sakit. Kasihan anakku. Jujur, gue pun sebenarnya siap mengambil alih sakit anakku. Biarlah gue saja yg berbaring sambil menghitung detak jam di ruang perawatan rumah sakit. Biarlah anakku menikmati masa remaja yg tentu indah.
Istriku pula sudah tidur di sofa yg membujur di sebelah tempat tidur anakku. Barangkali ia capek & gue tahu pasti pula kurang tidur. Kudekati anakku perlahan. Kutempelkan tanganku di keningnya. Panas. Aku cium keningnya sambil kubisikkan, “Bapak sangat mencintaimu…”
Kupandangi anakku lekat-lekat. Tiba-tiba ada rasa sakit menusuk-nusuk hatiku. Perih, perih sekali. Apa yg harus kukatakan pada anakku tentang penyakitnya? ia hanya tahu masuk rumah sakit karena penyakit tifus. Itu hasil laboratorium sebelum gue bawa ia ke tempat tinggal sakit ini. Aku merasa tak berpengaruh memandang anakku lama-usang. Wajahnya yg ayu selalu tersenyum, meski dlm tidur & sakit. “Kamu tak patut menderita seperti ini,” batinku memberontak. Namun gue bisa apa?
Dalam hitungan detik, gue sudah duduk termangu di tikar di bawah kawasan tidur anakku. Tiba-tiba air mataku sudah tak bisa kubendung lagi. Mengalir deras. Aku tergugu. Aku lantas membayangkan betapa menderita anakku dlm proses pengobatan nanti. Keluar-masuk rumah sakit itu pasti, padahal sepekan lagi ada USBN & selanjutnya UNBK yg sudah menanti. Dan, anakku senantiasa antusiastatkala membicarakan kedua ujian itu sebagai pintu mengapai keinginan sebagai dokter gigi.
Semalaman gue nyaris insomnia. Mulut & hatiku senantiasa merapalkan doa-doa untuk kesembuhan anak wedokku. Sampai pagi.
Karena penyakitnya itu, anakku lantas dirujuk ke rumah sakit lebih besar, rumah sakit pusat yg katanya berperalatan lebih lengkap & lebih modern. Juga dokternya lebih jago. Aku manut saja. Semua niscaya demi kesembuhan anakku. Apa pun akan gue kerjakan demi anak semata wayang yg sungguh gue cintai. Kalau perlu ditukar sekalian gue pun siap. Biarlah gue yg menderita, tapi anakku jangan.
Pagi yg mendung. Sisa masbodoh semalam masih terasa mengikis kulit. Gumpalan-gumpalan awan perlahan berpindah dr satu titik ke titik lain, berarak terorganisir mengikuti arah angin. Muram. Semuram hatiku. Mataku masih pedih alasannya adalah kurang tidur dlm beberapa hari. Badanku pula lemas sebab mungkin kurang asupan kuliner yg harus masuk ke perutku.
Dalam beberapa hari ini gue tak pernah merasa lapar. Kupaksakan menyiapkan segala peralatan untuk mondok ke tempat tinggal sakit pusat itu. Istriku ternyata sudah terlebih dahulu bersiap-siap. Kami saling membisu. Diam dlm kesedihan. Aku sudah memperkirakan anakku akan mondok lagi. Hal yg bergotong-royong sungguh tak gue inginkan. Dalam angan-anganku pulang dr rumah sakit memiliki arti sembuh. Penyakit itu sudah hilang tuntas. Namun anakku pulang untuk kembali ke rumah sakit dgn penyakit berbeda. Duuhhh…
“Kita mau ke mana, Pak?” tanya anakku tatkala gue minta ia berkemas-kemas. Aku tak berani menatap matanya yg bening.
“Ke rumah sakit. Kontrol.”
Anakku diam. Ia menuruti ajakanku untuk bersiap-siap. Aku sengaja terlihat senang di hadapan anakku supaya ia pula bersemangat. Pergi ke tempat tinggal sakit bukanlah bepergian yg menggembirakan. Aku yakin itu. Beda tentunya pergi ke mal atau tempat rekreasi. Untuk kali kesekian gue berupaya tersenyum pada anakku, walaupun dlm hatiku menangis. Hatiku terasa perih sekali. Sungguh!
“Lo, Pak, kok ke tempat tinggal sakit ini?” tanya anakku tatkala mobil masuk ke pekarangan rumah sakit yg kutuju.
“Bapak bohong. Katanya mau kendali, kok tak ke rumah sakit yg kemarin?” protes anakku. Tampaknya ia curiga. Secara nalar jikalau kontrol semestinya ke rumah sakit yg sama memang.
“Kebetulan dokternya pula praktik di rumah sakit ini,” gue beralasan sekenanya.
Anakku diam saja. Ia mulai murung.
“Aku kan sudah sembuh, gue nggak sakit lagi. Kenapa dibawa ke rumah sakit ini?” tanya anakku lagi sambil mengepalkan tangan berkali-kali untuk menunjukkan bahwa bantu-membantu ia sudah sembuh.
Tiba-datang ada setetes air bening mengalir dr mataku, diikuti tetes-tetes yg lain. Aku berupaya memalingkan paras supaya anak & istriku tak tahu.
“Oaalah, Ndhuk, ananda itu sakit, sakit yg lebih sakit,” kataku dlm hati, tetapi mulutku terkunci.
Kami saling membisu dlm duduk menanti giliran diundang. Kulirik, anakku asyik dgn gawai. Tampaknya ia tengah berbincang dgn temannya. Entah apa yg sedang mereka perbincangkan.
Tak berapa usang, anakku diundang. Kami memang mampu nomor antrean awal. Istriku berupaya menuntun anakku, tetapi ia menolak. Ia merasa sehat, tak perlu dituntun, terlebih dipapah. Aku memaklumi.
Dengan tangan gemetar, kusodorkan sehelai amplop yg kuyakini berisi tumpuan dr dokter sebelumnya. Dokter yg masih muda itu membuka perlahan. Dahinya mengernyit. Tiba-datang pandangannya mengarah ke anakku, saya, & istriku dengan-cara bergantian. Kuberanikan memandang dokter itu. Lantas persepsi kami pun bersirobok.
“Ayo periksa!” ujar dokter sambil mempersilakan anakku berbaring di kawasan tidur periksa. “Langsung mondok saja ya?” perintahnya dgn halus.
Aku hanya mengangguk, tapi anakku menggeleng.
“Aduh, Ndhuk, manut dokter ya supaya sembuh,” gue bergumam dlm hati.
Dokter lantas menerangkan prosedur penanganan pasien yg tak sepenuhnya kupahami. Aku memang tak sepenuhnya mendengarkan penjelasan dokter alasannya pikiranku mengembara entah ke mana.
Kami pun akibatnya mondok di rumah sakit pusat itu. Tahap-tahap pemeriksaan dilakukan. Anakku belum tahu & memang gue masih berusaha menyembunyikan. Aku masih resah bagaimana cara menyampaikan. Aku khawatir anakku stress berat. Namun gue percaya lama-lama anakku pula akan tahu. Biarlah proses yg membisikkan ke telinga & hati anakku.
Hari kedua di rumah sakit, ada kabar bangga dr dokter. Sebuah mukjizat dibawa oleh bidadari dr langit. Hasil laboratorium menyebutkan penyakit leukemia anakku ternyata negatif. Aku seakan tak percaya, namun dokter itu meyakinkan anakku tak pernah terkena leukemia mirip analisis dokter pertama. Kusalami dokter erat-erat. Tampaknya dokter muda itu tahu kegembiraanku. Kupeluk anak & istriku dengan-cara bergantian. Aku tak lagi mempermasalahkan dokter mana yg pintar & dokter mana yg ndeso. Aku pula tak mempermasalahkan hasil laboratorium mana yg betul & mana yg abal-abal. Yang kutahu, Tuhan sudah ikut campur tangan memperlihatkan mukjizat pada hamba-Nya. Kupandangi lekat-lekat anakku. Gadis 17 tahun itu tersenyum. Kupegang keningnya. Masih panas. Harapan baru timbul. Mungkin tak lama lagi anakku boleh pulang. Dokter masih ada di kamar perawatan anakku. Dalam sekejap, ia menyampaikan sesuatu kepadaku.
“Pak, menurut hasil laboratorium, leukosit anak Bapak memang wajar , tetapi…”
“Ada apa, Dokter?”
“Justru ada radang di liver anak Bapak,” kata dokter menerangkan.
Deg! Aku terkesiap. Pandangnaku lurus terarah ke dokter itu. Aku tak berani menoleh ke arah anakku. Aku takut ia akan sedih lagi.
“Kira-kira penyebabnya apa ya, Dok?” gue penasaran.
Dokter belum pula menjawab.
“Nanti bisa diketahui sehabis investigasi di laboratorium.”
Aku tidak ingin mengajukan pertanyaan lagi. Kekhawatiran kembali menyergap kesadaranku, meskipun tak sebesar kegundahan akan penyakit yg pertama.
Seminggu sudah anakku mondok di rumah sakit. Otomatis gue & istriku juga. Sesekali gue pulang ke tempat tinggal untuk mengambil busana bersih & mengantar pakaian kotor. Meskipun di rumah sakit, anakku tak pernah mengeluh apa-apa. Yang ia rasakan cuma batuk & panas. Mungkin demam. Berkali-kali pula darahnya diambil untuk diperiksa di laboratorium. Dari hasil laboratorium, dokter pernah mengatakan virus A & B negative, sehingga kemungkinan besar radang di liver anakku bukan sebab virus.
Pagi itu, pagi ketujuh anakku dirawat di rumah sakit terbesar di kotaku. Aku berencana pulang ke tempat tinggal untuk ambil baju kantor. Aku memang berencana masuk kantor alasannya tak ada sesuatu yg perlu kukhawatirkan. Pukul 04.00 kupacu mobilku membelah dingin kota yg semalam diguyur hujan deras. Niatku cuma mandi & ganti baju untuk kemudian ke tempat tinggal sakit lagi.
Pukul 06.00 gue sudah hingga ke tempat tinggal sakit lagi. Ada keinginan berpengaruh supaya gue mampir ke rumah sakit dulu sebelum ke kantor. Aku terkejut . Anakku sudah diberi oksigen oleh perawat. Kata istriku, anakku sesak napas. Aku tercekat, tetapi tak berpikir apa-apa. Anakku niscaya sembuh & kembali normal mirip tatkala kutinggal pulang tadi, doaku dlm hati.
Kudekati anakku. Kuelus rambutnya & kuberi semangat untuk sembuh. Kutatap matanya. Ada air mata bening yg meleleh perlahan, kemudian jatuh ke bantal. Sungguh, gue tak tega. Kupalingkan pandanganku ke arah lain, ke arah istriku. Ia tampak ketakutan, namun mulutnya tetap komat-kamit berdoa. Aku pun berdoa memohon kesembuhan bagi anakku.
Kembali kuelus rambutnya. Ia lantas menatapku kembali. Lama. Tatapan itu yg kemudian membuatku menangis. Bagiku tatapan itu mampu merobek-robek hatiku. Dalam tatapannya, anakku seakan minta tolong, minta dilindungi. Ya Tuhan…, gue bisa apa? Anakku sudah dikelilingi dokter & para perawat. Aku hanya bisa berdoa dgn air mata yg menderas. Terus menderas. Kalau gue bisa akan kubawa terbang anakku & kusembuhkan. Namun gue ini siapa?
Waktu terus mengejar-ngejar , berpacu dgn detak jantung & helaan napas anakku yg melemah. Melemah & akhirnya berhenti sama sekali. Anakku sudah diminta Sang Pemilik Sejati demikian cepat tanpa gue tahu penyebab penyakitnya yg pasti. Bahkan tadi malam pun anakku masih mampu berjalan ke toilet. Anakku pula masih minta dikeloni istriku. Pagi itu menjadi demikian kelam. Mentari yg menerobos melalui beling ruangan tak bisa lagi memberi kehangatan pada penghuninya. Badanku tetap menggigil. Menggigil dlm kedukaan mendalam.
Aku masih bersimpuh di gundukan tanah merah kawasan anakku disemayamkan tatkala ada tangan halus menyentuhku dgn lembuat. Istriku mengajakku pulang sebab gelap sudah menorehkan kuasa atas siang & sore yg sudah dilalui. Kutengok kanan-kiri. Sepi. Hanya ada beberapa kerabat yg masih mengawaldi makam.
Kuhela napas panjang, ada yg sesak di dada ini. Aku membayangkan kesepian panjang akan menemani hidupku sehari-hari. Tanpa anakku. Ya, anakku sekarang bukan milikku lagi. Kesadaran itu mesti kubiasakan.