Surga untuk Petani | Cerpen Gde Aryantha Soethama

Oleh: Gde Aryantha Soethama


Seorang petani uzur, di desa kaki gunung, menghabiskan 90 tahun, seluruh hidup, untuk bercocok tanam. Ia lahir di gubuk tengah sawah, di sebelah lenguh sapi & kotek ayam. Usia sembilan bulan ia diajak ke ladang oleh ibunya memetik cabai. Masa kanak-kanak, remaja, sampaumur, kawin, beranak cucu & bercicit, ia lakoni sebagai petani. Ia benar-benar petani tulen, nyaris di sawah sepanjang pagi, sore, petang, seringkali malam, kalau mempertahankan air untuk mengairi sawah yg tengah disemai padi.

Suatu pagi, petani itu memetik tomat di ladang. Dengan tangan keriput, napas tersengal, ia angkat sekeranjang tomat ranum itu ke gubuk. Siang nanti cucu perempuannya akan mengambil tomat itu, dijual ke pasar esok pagi. Petani itu merasa nyaman tatkala angin bertiup semilir. Ia melepas baju kausnya yg lapuk berlubang-lubang, kemudian merebahkan dirinya di balai-balai, dekat sapi yg tengah asyik memamah rumput. Beberapa ekor anak ayam bertengger di pagar bambu & cabang-cabang pohon kelor.

Ia tidur sungguh lelap, terlalu lelap, sehingga tak mendengar panggilan cucunya. Ia tak bangun tatkala cucu itu menggoyang-goyangkan tubuhnya yg hambar. “Duh, Kakek meninggal!” seru cucunya tertahan berbalut sedih.

Tentu tak ada yg istimewa seorang petani mati. Kentongan pun dipukul di bale banjar mewartakan seorang petani telah merampungkan darma baktinya di bumi. Orang-orang desa berbagi petani itu joli, dr bambu, dgn sedikit dekorasi dr kertas minyak warna-warni, untuk mengusung mayatnya ke kuburan. Dengan kesederhanaan, sesaji secukupnya, diiringi gamelan kelentangan, tiga hari kemudian jenazahnya dibakar, diaben, selepas tengah hari. Cicit, cucu, belum dewasa, & keluarga besarnya damai-tenang saja mendapatkan realita petani itu mati. Sedih, mereka sedih, tapi itu biasa. Bahkan banyak kerabat berkomentar, memang semestinya ia meninggal, karena sudah renta renta, sebelum telanjur jadi beban bagi yg lain.

Alkisah, roh petani itu dlm perjalanan menghadap Sang Pencipta. Kini ia tiba di tepi sungai yg sangat lebar. Tatkala ia gundah mencari logika untuk menyeberang, seekor buaya merangkak ke arahnya. Petani itu kaget ketakutan, bermaksud balik berlari, tapi buaya mendongakkan kepalanya, memandang tajam petani itu, mirip hendak bicara. Mata reptil itu berkedip sayu, memberi tanda ia tak berencana mencaploknya. Si buaya membalikkan tubuh, bergerak mundur, menyerahkan punggungnya untuk dinaiki si petani. Mereka menyeberangi sungai basah sejuk itu dgn santai.

Turun dr punggung buaya tatkala sampai di tepi, petani itu komat-kamit mencakupkan tangan di dada menyampaikan terima kasih. Buaya itu berlalu, berenang ke tengah, & menyelam. Sekarang, petani itu terbengong-melongo memandang hutan lebat di hadapannya. Seekor macan tiba-tiba muncul dr semak belukar, mengibas-ibaskan ekor. Petani itu paham, binatang berkaki empat kalau ekornya bergerak-gerak, menerangkan memberikan salam akrab, seperti tingkah laku anjing-anjing yg pernah dipeliharanya.

  Di Balik Sebuah Tawa | Cerpen Dwi Rezki Fauziah

Macan itu menggerak-gerakkan kepala, membalikkan badan, memberi instruksi supaya petani itu mengikuti langkahnya menerobos belukar. Mereka melalui padang ilalang, sebelum hasilnya tiba di depan suatu gerbang. Burung-burung terbang berseliweran, sesuka hati hinggap di ranting-ranting pohon, setelah letih terbang bebas berputar-putar.

Jogor Manik mengelu-elukan kedatangan petani itu, memeluk & menepuk-nepuk bahunya. Perjumpaan itu seperti pertemuan dua teman lama.

“Aku besar hati padamu!” ujar penjaga gerbang itu setengah berseru. Dipegangnya kedua pundak petani itu, memandangnya dr ubun-ubun hingga ke jari kaki. “Di bumi makin sedikit yg sudi jadi seperti dirimu, menentukan jalan nestapa untuk menunaikan darma bakti.”

Petani itu termangu. Rasanya ia pernah berjumpa penjaga gerbang ini sekian kali. Rambutnya dikuncir, ceruk matanya jauh ke dalam, tapi bola mata itu besar bulat. Pipinya sedikit gembul, dgn hidung mungil, dagu lancip, & bibir tipis melebar.

O ya, petani itu mampu mengingatnya sekarang. Dalam banyak dongeng, pria ini dikenal selaku penjaga nirwana yg sangar, gampang murka, suka membentak. Ia tak kenal ampun bagi roh jahat. Kisah-kisah itu ia peroleh dr ayahnya. Sang ayah memperoleh dr ayahnya juga. Lalu petani itu menceritakan kisah Jogor Manik itu pada anak & cucunya. Kelak, mereka akan menceritakan kisah itu pula pada bawah umur mereka. Kisah tegas & galak Jogor Manik terus beranak pinak, berbiak dr zaman ke zaman.

Tapi kepada petani itu, Jogor Manik sungguh akrab. “Mari, kuantar ananda ke surga!” ungkapnya membimbing tangan petani itu. Tapi petani itu terpaku ragu. Mengapa begitu mudah masuk surga, kata hatinya. Selama ini orang harus selalu berbuat baik, melakukan darma, biar bisa meraih gerbang surga. Dan gue ini, apa keistimewaanku?

“Hamba ini hanya seorang petani,” ujar petani itu gemetar.

“Kamu berhak masuk surga, justru sebab ananda petani.”

Petani itu mengikuti langkah Jogor Manik dgn gundah & ragu-ragu. Menjelang gerbang, ia kaget berjumpa seorang pendeta duduk termangu di bawah pohon sentul berbuah lingkaran kuning lebat. Petani itu kenal betul si pendeta. Dialah pendeta paling baik & santun yg memberi pelayanan umat di desanya & desa-desa tetangga. Dua puluh tahun kemudian pendeta itu meninggal karena capek terlalu sering memimpin upacara umat. Jika animo dewasa ayu, hari-hari baik melangsungkan upacara adat, sehari pendeta itu mampu memimpin upacara di empat daerah. Ia dijuluki pendeta laku.

“Kamu kenal beliau?” tanya Jogor Manik.

Petani itu mengangguk, eksklusif menghampiri pendeta itu, bersimpuh, menghaturkan sembah takzim. Jogor Manik secepatnya melarangnya, memaksa petani itu berdiri. “Di sini derajatmu lebih beruntung, tak lebih rendah. ia sudah sungguh usang menanti, tak pernah mendapat izin menembus gerbang surga.”

  Lelaki Berselempang Sarung | Cerpen Uniawati

Pendeta itu menghampiri Jogor Manik, menghaturkan sembah. “Maafkan kalau hamba lancang. Bagaimana mungkin seorang petani begitu mudah masuk nirwana, sementara hamba di sini menanti puluhan tahun?”

“Petani ini menyerahkan seluruh hidupnya untuk bercocok tanam, menghamba, & mencintai ibu pertiwi. Sejak lahir sampai mati ia petani. ia melakukan pekerjaan tak hanya untuk keluarganya, tetapi bagi siapa pun, termasuk dirimu.”

“Hamba pula bekerja untuk banyak orang, menjadi pelayan umat.”

“Tidak seluruh hidupmu untuk melayani. Sebelum jadi pendeta ananda guru, kemudian berjualan, & sempat jadi pengurus partai politik. Hidupmu dirasuki harapan menguasai, tak pernah rela, jauh dr ketulusan. Karena itulah ananda sering mengeluh kalau cita-cita tak tercukupi. Tapi petani ini tidak. Jika kemarau panjang, panas terik, ia tetap bekerja, tak pernah memaki. Tatkala hujan lebat sehingga panen terhalang, petani ini tak mengeluh. Jika flora rusak alasannya adalah dirterjang air bah atau diserbu hama, ia tabah. Sama sekali tak pernah ia menyalahkan alam. Yang ia kerjakan ialah tetap berdoa, menghaturkan sesaji, & tekun melakukan pekerjaan .”

Jogor Manik memegang bahu petani itu, yg merunduk terus. Ia aib dipuji di hadapan pendeta yg pernah ia sanjung & sembah setiap hendak menjemputnya untuk memimpin upacara di rumah-rumah tetangga di desanya.

“Kalau begitu, apakah keliru hamba memilih hidup sebagai pendeta?”

“Tidak ada opsi yg salah sepanjang sanggup mempertanggungjawabkan. Tapi keliru jikalau setiap opsi berhak masuk surga.”

“Terus terang, hamba menjadi pendeta karena ingin masuk surga. Hamba pikir alasannya setiap hari bergelut dgn yg serba suci, terus-menerus memuja Sang Pencipta, seorang pendeta pasti menemui nirwana.”

“Sudah takdirmu begitu. Tak seorang pun sanggup menolak takdir.”

“Tapi hamba tetap ingin masuk surga. Apa harus hamba lakukan?”

“Kamu punya pilihan, jadilah petani.”

“Hamba bersedia.”

Jogor Manik tercengang, nyaris tak percaya. “Sungguh ananda ingin jadi petani?”

“Ya, bila itu jalan terbaik untuk masuk nirwana.”

“Kamu mesti jadi petani begitu ananda lahir. Hidupmu berlumur sedih nestapa, miskin. Bajumu kaus oblong lapuk berlubang-lubang. Jika sakit ananda tidak memiliki cukup uang untuk berobat ke dokter.”

“Tapi hamba sering menyaksikan petani kaya, menjual hasil panen mahal, banyak untung, bisa beli mobil, tak usah punya gerobak.”

“Mereka itu pedagang, bukan petani. Mereka punya kesenangan & kebanggaan menyedot alam. Menjadi petani, ananda hidup selaras dgn alam, tidur di gubuk, di atas balai bambu, beralas tikar. Sehari-hari ananda berpeluh, kelelahan, sungguh jarang mampu menikmati hiburan. Kamu menentukan jalan nestapa untuk menyelesaikan darma bakti. Jika mati, tak ada keutamaan buatmu. Mayatmu dibakar dgn sesaji & upacara sederhana, jauh dr kemegahan.”

“Tidak apa, hamba akan melakoninya.”

“Karena keluargamu keturunan pendeta, tentu ananda tak mampu lagi berkumpul bareng mereka. Kamu harus hidup selaku anak petani, di tengah keluarga petani. Kelak ananda jadi perjaka petani, menjadi suami, ayah, kakek, petani. Turun-temurun ananda tak lagi pendeta, tetapi petani. Ini pilihan berat, pertimbangkanlah dgn cermat & matang.”

  Masjid Abah | Cerpen A Zakky Zulhazmi

“Hamba sanggup,” ujar pendeta itu mantap.

“Tak akan ada lagi orang memuliakan dirimu, tak ada yg memberi hormat & bersimpuh menghaturkan sembah. Hidupmu jauh dr kemewahan.”

“Hormat & sembah yg selama ini hamba terima ternyata fana, tak bisa sebagai bekal masuk nirwana. Kemewahan menciptakan hamba merasa hampa di sini.”

“Menjadi petani ananda sering diolok-olok, ditipu, diperalat, dijadikan kelinci percobaan, selalu dipaksa untuk tunduk takluk & mengalah. Disanjung tatkala diperlukan, dicampakkan dikala tak bermakna. Kamu akan alami pedihnya disepelekan. Sudi ananda seperti itu?”

“Hamba bersedia. Semua itu permulaan. Hamba ingin menuju tamat yg tepat, masuk nirwana.”

Jogor Manik memandang tajam pendeta itu. Ia tengah berhadapan dgn roh yg gigih. “Baiklah, kalau itu pilihanmu.”

Jogor Manik menjulurkan lehernya, memandang ke atas. Langit perlahan bersepuh perak. Sekeliling dingin seperti cuaca di pegunungan sedang berkabut tebal. Dua titik hitam muncul dr kaki langit, mendekat, membesar, menjadi dua ekor rajawali berparuh panjang, berputar di atas pendeta itu. Jogor Manik sekejap menggerakkan naik turun bola matanya, memerintahkan dua elang itu mencengkeram kedua pundak pendeta itu, mengangkatnya secepat kilat, menerbangkannya tinggi-tinggi, terus tinggi, makin tinggi, hingga menjadi sebuah titik. Bunyi mendesing terdengar tatkala titik itu lenyap. Cuaca kembali cerah & langit benderang.

Nun di sana, pada detik sama, di sebuah gubuk tengah sawah, seorang istri petani sedang mengumpulkan seluruh tenaga untuk menyentak gua garbanya. Seorang dukun bersalin yg merawatnya bergetar tatkala seorang bayi bergegas ke luar menghirup cuaca bumi, bersama lengking tangis panjang dr selangkangan ibu muda itu.

Sebentar lagi subuh. Kokok ayam, cicit burung, sudah terdengar di lembah itu. Ayah bayi itu buru-buru mengambil lampu teplok di dinding, mendekatkan ke wajah istrinya yg kecapekan terbaring di lantai bambu beralas tikar. “Laki-laki, ia akan jadi petani andal,” bisik si suami sembari mengusap peluh di dahi perempuan itu.

“Kita mujur, bumi akan punya petani cakap & cerdas,” ujar Jogor Manik tersenyum. Ia menggamit lengan petani itu, menuntunnya memasuki gerbang surga. “Di daerah ini ananda bukan lagi roh. Sekarang ananda atman.”

Sekeliling perlahan berubah lembab keperakan, sejuk, hening. Tak terdengar cicit burung, tak bunyi serangga. Sekian kali petani itu melangkah ke depan, ia menikmati cuaca cerah kembali, langit benderang, persis mirip tatkala pendeta tadi berkembang menjadi titik & lenyap. Jogor Manik menghilang.

“Inikah nirwana?” bisik petani itu.

Sukawati, September 2006