Namun, gelombang perasaan yg mengganggu itu selalu datang menyapa hati Wak Haji akhir-tamat ini. Tiga kemenakannya mengusulkan semoga surau itu dipugar, diganti dgn mushala baru yg lebih terbaru. Kuncup surau dr papan yg berukir, seharusnyalah sudah digantikan dgn kubah berwarna biru cerah. Lantai papan yg ongak di beberapa kepingan, sudah semestinya berganti dgn lantai keramik berwarna putih bersih. Lalu surau dgn versi rumah panggung seperti itu, sudah ketinggalan zaman.
Maka, atas anutan mereka yg mempunyai uang berlebih itu, surau akan diruntuhkan, digantikan mushala baru.
“Nanti para pekerja biar gue yg urus. Mereka para tukang yg gue pekerjakan senantiasa ulet. Pekerjaan merenovasi surau itu pasti akan cepat selesai.” Ujar Makmun, kemenakan tertua Wak Haji. ia melakukan pekerjaan di kontruksi bangunan, selaku mandor.
“Nah, benar itu. Untuk material bangunan, biar gue & Kang Muis yg urus,” timpal Misbah, kemenakan termuda Wak Haji.
Wak Haji bengong sebentar, sebelum ia berujar.
“Sebaiknya, tak perlulah surau itu dipugar. Bangunannya masih bagus, belum ada yg perlu sungguh-sungguh diperbaiki.”
“Wak, sebaiknya Wak tahu, surau itu bukan lagi sekadar milik Wak seorang.
Melainkan sudah menjadi milik banyak orang. Sebentar lagi puasa Ramadhan tiba, Wak. Tentulah surau itu harus bersolek, biar yg tadarus & shalat nanti semakin bersemangat!” Muis memandang uwaknya sungguh-sungguh.
“Tapi, yg tiba ke surau kita ini tak seramai dulu. Masjid besar di ujung kampung itu sudah cukup luas menampung mereka.”
“Wak, masalahnya surau kita sepi ya, menurutku karena keadaannya yg seperti kini. Bunyi kerat-kerat lantai kayu ini sungguh mengganggu kekhusyukan mereka yg sembahyang di sini,” sambung Muis santai.
“Kekhusyukan dlm bersembahyang bukan didasari di mana kita bersembahyang, Muis. Apalah artinya nanti kalau surau bau tanah ini digantikan mushala gres yg jauh lebih kokoh, tetapi tetap senyap dr doa-doa untuk Gusti Allah,” jawab Wak Haji sendu.
Namun, di tamat diskusi dgn ketiga kemenakannya, Wak Haji terpaksa mendapatkan keputusan bahwa surau yg ia dirikan berpuluh tahun kemudian itu akan dipugar. Surau dr papan akan digantikan tembok semen yg kuat. Meski setelahnya, Wak Haji mencicipi ada kekosongan di hatinya.
Wak Haji lari terbirit-birit tatkala mendengar bunyi mesin gergaji meraung-raung. Muis yg bertubuhtegap sedang bersiap menggergaji pohon duku di samping surau.
“Mau kau apakan pohon duku itu, Muis?” Wak Haji berdiri galau.
“Mau ditebang, Wak!” teriak Muis di tengah gemuruhnya suara bising gergaji mesin.
“Apa? Tebang? Tak salah kau, Muis? Mengapa lagi pohon duku itu kau tebas?”
“Untuk kawasan parkir, Wak. Nanti kalau surau, ah, mushala baru sudah jadi, tentulah banyak yg tiba bersembahyang di sini. Tentu kalau sudah mirip itu, kita perlu daerah parkir bukan?” Muis mematikan gergaji mesin yg sedang ia bopong.
“Keterlaluan kamu, Muis. Aku memperbolehkan kau & adik-adikmu merombak surau ini, tetapi tak perlu pula kau robohkan pohon duku ini,” sahut Wak Haji masbodoh.
Muis menghela napas panjang. Ditatapnya muka uwaknya sungguh-sungguh. Sejak kecil, waknya yg membesarkan ia & kedua saudaranya. Wak Haji tak memiliki seorang anak pun. Kesepiannya ditutup dgn merawat tiga kemenakannya. Bagi Muis & adik-adiknya, saat inilah ia membalas kebaikan sang wak. Merombak surau, menjadi mushala gres biar lebih hidup.
“Makara untuk pohon duku ini uwak keberatan?” tanya Muis sekali lagi.
“Tentu saja. Kita tak perlu lahan parkir yg terlalu luas. Biarkan pohon duku ini tetap seperti semula,” ujar Wak Haji sembari kembali masuk ke dalam.
Kemarahannya tiba-tiba berkobar. Siapa yg menyangka bila dirombaknya surau akan merembet ke mana-mana. Wak Haji memejamkan mata. Disebutnya asma Allah beberapa kali. Suara gergaji mesin yg bising tak terdengar lagi, tapi lamat-lamat ia masih mendengar suara Muis yg berbincang-bincang dgn seseorang di luar.
Surau yg ia dirikan benar-benar dipugar. Satu per satu papan dilepas, ditumpuk begitu saja di bawah pohon duku yg tak jadi ditebang. Tikar pandan digulung, Makmun menaruh gulungan tikar pandan itu di ruang tengah. Di kawasan umumWak Haji menonton televisi. Tikar pandan itu tak diharapkan, mushala yg gres nanti akan menggunakan karpet gres yg jauh lebih lembut.
Wak Haji memandang gulungan tikar pandan itu dgn nanar. Tikar pandan itu yg menganyam almarhumah istrinya, Siti Nafsiah. Istri yg sungguh disayanginya, yg meninggalkan dirinya lima tahun yg lalu. Bulir air mata Wak Haji mengalir perlahan. Bibirnya berbisik perlahan.
“Siti Nafsiah, istriku. Tikar hasil kemampuan tanganmu ini nantinya akan digantikan karpet gres.”
Surau yg lama sudah berganti menjadi mushala gres yg lebih modern. Kubah yg tak terlalu besar, tetapi berwarna biru cerah memperbesar kesan semarak. Empat pelantang bunyi dipasang menghadap ke empat penjuru.
“Nanti bunyi uwak akan menggema ke seluruh desa. Tak kalah dgn dengan bunyi dr masjid besar di ujung desa itu, Wak,” ujar Misbah bergurau dikala waknya menanyakan apa gunanya memasang pelantang suara hingga empat buah.
Semuanya dirasakan Wak Haji dgn keterasingan yg tak bisa diungkapkan.
Dinginnya dinding & lantai mushala tak pernah ia kenal sebelumnya. Suaranya yg menggema dr pelantang bunyi mushala baru terdengar gila di telinganya sendiri. Suara azan yg ia kumandangkan senantiasa berbaur dgn suara azan dr masjid besar di pinggir desa.
Awal mula mushala itu jadi, jamaah yg bersembahyang di sana cukup semarak.
Namun, tak lama kemudian, mushala Wak Haji sepi lagi. Tapi, bukan sepinya mushala baru yg membuat hati Wak Haji sedih. Dalam diamnya ia selalu merindukan suraunya yg usang. Surau dr papan, yg beralas tikar pandan.
Dulu ia membangun surau itu sedikit demi sedikit. Kayu-kayu yg kemudian menjadi cuilan utuh surau dikumpulkannya sendiri. Wak Haji sendiri yg mendesain surau panggung. Ukiran di atas atap, ia sendiri yg membuatnya. Kini surau yg dulu selalu ramai dgn anak-anak yg mencar ilmu mengaji, berganti menjadi mushala baru yg senyap.
Subuh belum betul-betul datang tatkala Wak Haji membuka pintu mushala perlahan. Keadaan senyap, tak ada seorang pun di dalamnya. Meraba dlm gelap, Wak Haji mencari panel saklar lampu neon. Seperti yg ia perkirakan sebelumnya, tak akan ada banyak yg berganti. Meski sudah dipugar menjadi mushola yg baru, tetap saja hanya ia seorang yg setia mengulum doa-doa di sana.
Gusti Allah tak terlalu mempersoalkan di mana para hamba-Nya bersembahyang.
Yang terpenting dr seluruhnya yaitu kekhusyukan yg tulus. Surau yg usang bahu-membahu tak menjadi soal, tapi bagaimana Wak Haji menolak mushala yg gres ini jikalau dipugarnya surau adalah bukti kasih dr kemenakan-kemenakan yg sudah dibesarkannya. Tapi, seringnya memang begitu, jawaban kebaikan acap kali luput dr apa yg dikehendaki.
Wak Haji cuma duduk tepekur. ia enggan mengambil mikrofon yg akan menyalurkan suaranya ke pelantang bunyi. Suara muazin masjid besar di pinggir desa sudah terdengar. Tapi, Wak Haji tak pula menjangkau mikrofon mushala gres miliknya. ia beranjak, ke daerah wudhu. Setelahnya ia bersembahyang.
Lepas mengucapkan salam terakhir, Wak Haji mencicipi ada yg menghentak dadanya. Napasnya tersengal. ia jatuh di atas karpet sajadah baru yg terbentang di atas lantai mushala. Kedua matanya yg mulai kabur menangkap satu sosok yg berdiri di pintu mushala.
“Siti Nafsiah…,” erang Wak Haji perlahan.
Namun, bayangan almarhumah istrinya makin usang kian kabur lalu menghilang. Dari bibirnya yg bergetar menahan sakit, Wak Haji hanya mampu berucap perlahan, Allah, Allah, Allah…
Sebelum akibatnya matanya tertutup, bibirnya berhenti bergetar.