Surat untuk Presiden | Cerpen Syahirul Alim Ritonga

“Keluar kamu, Kardi!” teriak Wahyu yg kemudian diikuti suara pintu digedor sepenuh tenaga. Teriakan Wahyu betul-betul menghancurkan ketenangan pagi itu. “Keluar kau atau kudobrak pintu ini,” ancamnya sembari terus menggedor.

Sontak kericuhan yg dibentuk Wahyu memanggil warga untuk tiba menyaksikan. Mereka saling berbisik & menduga, apa gerangan yg menjadikan Wahyu kalap pagi-pagi begini. Baru saja ia hendak mendobrak, pintu terbuka & muncullah muka Kardi yg kebingungan melihat halaman rumahnya mendadak mirip bioskop, penuh warga.

“Ada apa ini, Wahyu?”

Kardi keluar dgn busana lengkap hendak berangkat kerja. Burung merpati yg menjadi lambang perusahaan pos nasional tersemat di lengannya.

“Ini semua gara-gara ananda & teman-temanmu, Kar!” Wahyu menunjuk-nunjuk tampang Kardi.

Lho, hening dulu, Yu. Jangan emosi. Aja kesusu nuduh orang. Lha, gue ini salah apa?”

“Sudah tiga ahad gue menulis surat pada Presiden. Tapi hingga hari ini belum dibalas. Pasti kalian tak memberikan suratku kan!”

Lho, kami profesional, Yu. Bahkan kau tahu, gue sudah menentukan suratmu sampai ke tujuan.”

Kardi tak habis pikir, kenapa Wahyu menuduh mirip itu. Akan namun di satu segi, ia semakin kasihan menyaksikan sahabatnya itu. Bagi Wahyu, surat pada Presiden yakni impian satu-satunya untuk menyelamatkan tanahnya dr bahaya pembangunan hotel.

Kardi masih ingat betapa kalap temannya itu ketika menyaksikan beberapa pekerja mengukur-ukur luas pekarangannya. Pembangun hotel itu mulai bekerja tanpa seizin Wahyu, sehabis berkali-kali merayu ia memasarkan tanah di depan rumah, namun tak pula berhasil.

“Bagaimana mungkin gue menjual tanah di depan rumahku itu, Kar. Kau tahu, itu kenangan terbesar Marni,” ucap Wahyu suatu malam.

  3033 | Cerpen Martin Aleida

Kecintaan Wahyu pada Marni memang sangat besar. Di pekarangan depan rumah itulah dulu Marni menanam bunga-bunga indah & aneka pohon yg ia rawat dgn telaten. “Marni pernah berkata, bunga & pohon di pekarangan itu yaitu daerah bermain anak kami kelak,” curhat Wahyu suatu hari.

Namun, nahas, belum sempat mereka diamanahi buah hati, Marni meninggal akhir kecelakaan. Wajar bila Wahyu menolak ajuan dr pengusaha hotel. Saat melihat pekarangan itu, ia senantiasa teringat pada Marni. Mereka sudah melaporkan pembangunan itu ke pihak RT & RW. Namun mereka malah menyalahkan Wahyu. Mereka berkata, Wahyu udik menolak ajuan begitu tinggi.

Wahyu pula sudah melaporkan tindakan pembangun hotel itu ke abdnegara keselamatan. Tatkala itu dibilang, kasus itu akan secepatnya diproses. Wahyu akhirnya sadar, kata “memproses” itu sungguh ambigu. Bahkan hingga detik ini, jika ditanya mengenai kemajuan penanganan masalah itu, aparat keamanan akan berkata sedang memproses.

Kardi tak sampai hati menyaksikan Wahyu terduduk lemas di dingklik ruang tunggu kantor abdnegara keselamatan selepas mendengar kabar untuk kali kesekian bahwa masalah itu sedang diproses.

“Aku tak tahu lagi mesti mengadu pada siapa, Kar,” ucap Wahyu saat mengatakan niat mengantarsurat ke Presiden.

Sore itu, mereka berdua duduk sambil memandangi pekarangan peninggalan Marni. Ranting pepohonan itu bergerak mengikuti tiupan angin sore. Sementara di beberapa titik mampu terlihat jelas bekas galian yg akan dijadikan patok pembangunan.

Kardi masih ingat, saat Wahyu menyerahkan surat itu sambil berkaca-kaca beberapa minggu lalu. “Aku titip harapanku padamu, Kar.”

Tak kuasa hati Kardi menahan air mata. Kedua kawan dekat itu menangis sejadi-jadinya. Orang-orang yg kemudian lalang pun menyaksikan mereka dgn tatapan gila.

  Haji Moraldin | Cerpen Rifan Nazhif

Kardi pun memperlakukan surat itu dengan-cara spesial. Saat menyortir surat, ia pisahkan surat Wahyu dr surat-surat lain. Tatkala dikirim ke Ibu Kota, ia minta temannya yg bekerja di sana memutuskan surat itu baik-baik saja & sampai ke tujuannya: rumah Presiden.

Maka pagi ini, tatkala Wahyu dgn emosi menggedor-gedor pintu rumahnya & menuduh ia mengkhianati, bukan amarah yg muncul di hati Kardi. Namun rasa iba. Sudah sedemikian frustrasikah sahabatnya itu sampai kehilangan akal sehat? ia merangkul Wahyu sambil mengelus-elus pundaknya. Maka pecahlah tangis Wahyu pagi itu.

“Mereka sudah membangun tembok di pekaranganku, Kar. Pohon peninggalan Marni pula sudah mereka tebang,” Wahyu bercerita sambil terisak-isak.

“Mungkin memang seharusnya kaujual saja pekarangan itu. Jangan cemas, Sahabat, keikhlasan & perjuanganmu akan diganjar konferensi dgn Marni di kawasan yg lebih abadi kelak,” ujar Kardi sambil menggigit bibir, menahan haru.

Sembari sesenggukan, Wahyu mengangguk perlahan.

Sesampai di kantor, kejadian pagi itu masih membayangi Kardi. Alangkah terkejut ia dikala menyortir surat yg tiba, ada sebuah amplop berlambang kepresidenan ditujukan ke alamat Wahyu. ia girang bukan kepalang. Namun ia ingin melihat isi surat itu sebelum memperlihatkan pada Wahyu. ia tak ingin sahabatnya kecewa.

Perlahan ia buka & baca surat itu. Di surat itu tertulis, “Ikhlaskan saja. Itu semua demi pembangunan & peningkatan ekonomi.” (*)

Syahirul Alim Ritonga, mahasiswa Teknik Mesin UGM, anggota FLP Yogyakarta.