Surat Menteri dan Mimpi Pengarang Tua | Cerpen Kolaborasi Pengarang


Oleh: Kolaborasi Pengarang

Tohari, pengarang tua itu, gemetar memandangi surat yg gres saja diterimanya. Dari Menteri Pendidikan & Kebudayaan Indonesia. Di pengujung usia senjanya selaku pengarang, gres kali ini ia merasa diamati. Ia akan mendapatkan hadiah Rp 100 juta. Astagfirullah, itu duit yg tak pernah dibayangkan, bila mengenang selama ini ia cuma mendapat puluhan ribu dr honor tulisannya. Memang sesekali ia mendapat uang sekian juta bila diundang di program pemerintah, namun itu pun sudah dipotong sana-sini, & ia hanya menandatangani kuitansi kosong. Sekarang Rp 100 juta! Tumben pemerintah memberi kado sebanyak itu.

Masih dlm kekagetan yg teramat sungguh, Tohari mulai merancang-rancang akan dikemanakan duit sebanyak itu. Ia sedang berpikir untuk memakai sedikit uang tersebut untuk belanja online? Siapa tahu? Baru ahad lalu, cucunya memperlihatkan Instagram belanja online yg penuh dgn barang-barang gres menggiurkan mata yg tak pernah dilihatnya.

Mbah,” kata sang cucu. “Beli ini saja.”

Apa itu?

Smartphone versi terbaru.

Ahhh enggak mau. Handphone yg Mbah beli sepuluh tahun lalu masih bisa dipakai, kenapa harus beli yg baru.

Tetapi tiba-tiba, ponsel Tohari berbunyi, pribadi yg mengatakan Pak Menteri. “Maaf Pak Tohari, hadiahnya dicabut. Tolong, ini hanya mimpi saya. Lebih baik besok malam Pak Tohari mimpi saja sendiri. Hadiahnya mungkin Rp 1 miliar.”

Tapi Pak, kalau Rp 1 miliar, saya enggak mau mimpi sendiri. Lebih baik saya mengajak sobat-teman saya berkhayal bersama. Banyak tuh yg pengen mampu mimpi mampu Rp 1 miliar. Di antaranya sobat-sobat penulis cerpen bau tanah seperti saya ini. Putu Wijaya, Budi Darma, atau Seno Gumira Ajidarma. Eh tapi Seno seringkali terlalu banyak improvisasi kalau diajak berkhayal. Lebih baik lagi saya mengajak sobat-teman penulis muda untuk berkhayal bersama. Mereka inovatif-inovatif lho Pak kalau diajak mimpi. Kayak itu tuh, Ni Komang Ariani, Iqbal, Guntur, Oddang, Miranda, mereka pinter-pinter lho kalau ngimpi.

Silakan saja Pak Tohari. Mau mimpi sendiri atau ngajak sahabat-teman. Yang penting Bapak sudah cukup jelas kan bahwa hadiahnya sudah dicabut? Coba susun dahulu tawaran mimpi Rp 1 miliar Pak Tohari, nanti olok-olokan saja ke saya. Nanti saya kasih kontak nomornya Dirjen saya, si Hilmar itu. Biar nanti ia baca dahulu usulan Rp 1 miliar Pak Tohari,” ujar Pak Menteri.

Tohari termenung sejenak. Ia mencoba menafsir makna di balik perkataan Pak Menteri yg bekerjsama sudah sungguh terang benderang itu.

Maaf Pak Menteri, apakah saya boleh mengajukan pertanyaan?

Silakan, Pak Tohari.

Apakah Bapak mampu mengontrol mimpi?

Mengapa tidak?

Bapak pernah menertibkan mimpi?

Berkali-kali.

Wah, sungguh elok. Makara mampu ya, saya meminta diri saya mimpi mendapat Rp 100 juta kemudian saya minta sembilan pengarang lain mimpi mendapat Rp 100 juta? Bisa jugakah dlm mimpi itu saya meminta sembilan pengarang lain memberikan uang mereka untuk saya? Lalu, jika sudah terkumpul, bisakah saya meminta diri saya sendiri memberikan uang itu untuk guru-guru miskin di seluruh Tanah Air?

  Menjelang Kematian Dulkarim | Cerpen Guntur Alam

Bisa. Mengapa tidak?

Kok Bapak begitu yakin?

Saya telah melaksanakan berkali-kali, Pak Tohari.

Tohari kagum.

Boleh mengajukan pertanyaan lagi Pak Menteri?

Silakan, Pak Tohari.

Bagaimana cara mengontrol mimpi itu?

Pak Tohari harus tidur tepat pukul 00.13.

Tohari tak mengajukan pertanyaan kenapa mesti pukul 00.13. Ia justru menanyakan posisi tidur.

Kepala mesti mengarah ke selatan atau timur?

Ke utara, Pak Tohari. Sebelum tidur, bareng sembilan pengarang, Pak Tohari mesti membayangkan mendapat duit masing-masing Rp 100 juta bukan dr saya, melainkan dr Pak Jokowi. Pak Jokowi pasti tergerak menunjukkan duit itu. Hanya, Pak Tohari & sembilan pengarang, tak boleh bimbang dlm berimajinasi . Paham, Pak Tohari?

Paham, Pak Menteri.

Tohari memang paham pada setiap perkataan Pak Menteri. Akan tetapi, begitu suara Pak Menteri dr seberang menghilang, ia sedikit mewaspadai metode pengendalian mimpi yg tak masuk nalar.

Mimpi selalu tak masuk akal,” Tohari membatin, “Karena itu, haruskah gue memercayai sistem mimpi Pak Menteri?

Sunyi. Tohari merasa tak mampu menjawab pertanyaan itu sendiri. Karena itulah, ia perlu menelepon beberapa pengarang.

Mula-mula ia menelepon Triyanto Triwikromo.

Apakah Anda pernah mengendalikan mimpi?

Belum pernah, Pak Tohari, tetapi saya pernah mengendalikan dongeng. Cerita apa pun mampu saya kendalikan sesuai impian sukma.

Ia pula bertanya pada Seno. Seno menggeleng. “Saya cuma ahli mengatur senja, Pak Tohari. Sesekali saya mengontrol Tuhan untuk menyanggupi doa-doa saya.

Ia pula mengajukan pertanyaan pada Joko Pinurbo. Joko Pinurbo tertawa, “Saya cuma bisa mengatur sarung & celana saya. Celana & sarung saya jika tak dikendalikan suka berkibar ke mana-mana, Pak Tohari.”

Tohari pula mengajukan pertanyaan pada cerpenis baru namun senior Warih Wisatsana. Ia hanya menerima balasan, “Kalau mau kendalikan mimpi, jadilah ikan melayang dulu…,” kata Warih.

Tak frustasi, Tohari mengajukan pertanyaan pada pengarang lain mengenai teknik mengontrol mimpi. Kali ini pada Budi Darma. Budi Darma pula tertawa, “Satu-satunya sosok yg pernah saya kendalikan berjulukan Olenka. Justru Olenkalah yg bisa mengendalikan mimpi. Coba nanti saya tanyakan pada dia.

Jangan-jangan saya pula bisa bertanya pada Srintil atau Rasus, ya Pak Budi?

Mungkin saja, Mas Tohari. Mungkin saja. Sampeyan tahu di mana harus mengontak Rasus atau Srintil bukan?

Tohari mengangguk tetapi tak secepatnya melakukan rekomendasi Budi Darma. Tohari kemudian berjalan ke arah jendela. Ia menatap gerimis.

Masih gerimis air. Bukan gerimis yg sudah jadi logam,” Tohari bergumam sambil mengenang Goenawan Mohamad, penyair yg menulis “Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Makara Logam”.

  Malam ini Tidak Ada Susu, Rocky | Cerpen Oxandro Pratama

Masih gerimis yg biasa-umumsaja. Bukan sesuatu yg lebih sabar dr hujan bulan Juni,“ Tohari mendesis sambil mengingat Sapardi Djoko Damono, penyair “Hujan Bulan Juni”.

Tohari terus menikmati gerimis itu. Ia tak mau menelepon Srintil. Ia tidak mau menelepon Rasus. Ia justru menghubungi Putu Wijaya.

Bli Putu, apakah Anda mampu menertibkan mimpi?

Bisa. Apa pun mampu saya kendalikan.

Bisa bermimpi bertemu dgn Pak Menteri Pendidikan & Kebudayaan lalu mengajak dia menemui Pak Jokowi?

Bisa.

Bisa meminta Pak Jokowi memberi duit pada 10 pengarang masing-masing Rp 100 juta?

Bisa.

Bisa meminta para pengarang menunjukkan uang itu pada guru-guru miskin?

Bisa.

“Caranya?”

Tak ada balasan dr seberang.

Caranya?

Masih tak ada balasan.

Bli Putu? Ada apa? Bli Putu masih menyimak suara saya?

Tetap tak ada jawaban.

Halo, Bli? Masih mendengar suara saya?

Ya, masih Pak Tohari. Caranya kita harus puasa 40 hari dahulu di gua yg paling gelap. Setelah itu puasa 40 hari lagi di gedung paling tinggi. Terakhir kita mesti puasa 40 hari lagi di tepi sungai paling kotor.

Kok terlalu sukar. Ada cara yg gampang?

Ya, memang sulit, Pak Tohari, tetapi saya jamin kita akan mampu mengendalikan mimpi kalau sudah bisa melebihi semua itu.

Bli Putu menerima metode itu dr mana?

Ya, dr mimpi, Pak Tohari. Sekarang tidur & bermimpilah agar Pak Tohari menerima sistem mengontrol mimpi! Saya doakan Pak Tohari sukses. Pak Tohari orang baik. Alam pasti menolong Anda.

Tohari terdiam. Ia pun berkemas-kemas tidur. Di sana ia berjumpa dgn siapa pun yg dipikirkannya. Pak Menteri yg senyumnya semanis gula. Pak Jokowi yg matanya memantulkan sungai yg berwarna kecoklatan. Dan semua pengarang-pengarang yg ditemuinya itu. Mereka mirip menghadiri sebuah pesta dgn santapan kuliner yg serba yummy. Mulai dr kambing guling, sate maranggi, ayam panggang, hingga dgn kudapan manis tart kecil rasa cokelat & karamel.

Tohari tak ingat kapan pesta itu rampung, yg terperinci ia terbangun dgn tubuh pegal luar biasa. Seperti sehabis mencangkul sawah seharian. Pintu kamar terbuka sebagian, sementara Tohari hanya tergeletak tanpa daya. Tak kuasa menggerakkan tubuhnya untuk berdiri.

Di luar sana, halaman rumahnya tampakjorok dgn tumpukan daun berantakan, yg tak sempat dibersihkan. Namun, kali ini daun-daun berantakan itu terlihat berbeda. Warnanya merah terang & ada dua foto dua orang yg sangat dikenalnya. Dua pria ganteng mengenakan kopiah, yg ia kenal betul, tetapi ujung lidahnya gagal menyebutkan nama kedua orang itu.

Istrinya sudah beberapa kali ngomel.

Tuh lihat rumah tanpa saya. Dari dulu ananda terlalu sibuk berpesta. Sibuk tertawa-tawa seperti pejabat-pejabat itu. Sibuk mencecap kue tart rasa karamel. Lupa pada bibirmu yg hitam & keriput itu.

  Cerpen: Jujur Itu Sungguh Mulia

Tohari mengerang keras sesudah kembali gagal bangkit dr daerah tidur. Daun-daun gugur makin menumpuk, mirip membentuk gundukan di hadapannya.

Tohari memejamkan mata mengingat-ingat ucapan Pak Menteri. Sedikit-sedikit mulai dipercayainya ucapan pria itu. Karena ia pernah mengenali seseorang melakukan hal yg sama persis. Teman dr temannya. Namanya Leonardo. Laki-laki itu berwajah kaukasia. Hidungnya mancung & kulitnya putih mirip daging durian yg sudah dikupas.

Leonardo menjalankan suatu misi diam-diam dgn berimajinasi kolektif bareng sahabat-temannya. Apa misi rahasianya? Jelas Tohari tak tahu. Namanya pula belakang layar. Ia tersenyum-senyum sendiri. Tohari mengernyit kesakitan, mencicipi tarikan tajam di kedua pipinya yg mengeras.

Bukan saja badannya yg makin mengeras, ternyata urat-urat wajahnya mirip sudah disemen. Tohari memejamkan mata untuk memusatkan pikiran. Agar ia mampu mengerti apa yg sungguh terjadi, tatkala sekonyong-konyong, seorang pria, yg ia pahami berjulukan Eden berbisik di telinganya. “Aku mampu menolongmu. Aku bisa mengajarimu melaksanakan apa yg dilaksanakan oleh Leonardo & kawan-kawannya.” Suaranya serak & dlm seperti bunyi Hannibal Lecter.

Tohari tercengang. “Aku mampu mengajak sembilan orang yang lain untuk bermimpi dengan-cara bersamaan?” Eden mengangguk percaya. “Namun, kesempatanmu hanya sekali. Dalam kesempatanmu yg sekali itu, ada dua peluang. Peluang sukses lima puluh persen, peluang gagal lima puluh persen. Jika berhasil, mimpi 1 miliarmu akan terkabul, jika gagal, kesepuluh dr kalian akan terjebak di dlm dunia karangan kalian masing-masing.” Katanya dgn suara yg makin serak seperti tercekik.

Hah…! Apa tujuannya?

Ingat-camkan cerpen yg pernah ananda tulis. Seingatku terakhir kamu menulis ihwal seorang anak yg ingin mengencingi Jakarta. Nah, kalau gagal, kamu akan hidup di dunia bawah umur yg kau kisahkan itu.

Tohari merinding. Deru kereta api yg menggetarkan & suara klaksonnya yg menjerit-jerit, menyerbu ke gendang telinganya. Bau kuliner sisa bercampur busuk busuk menggulung mirip angin ribut di depan cuping hidungnya. Kawanan lalat meriung riang merayakan kecepatan tubuhnya yg menumpang bokong kereta yg beroma tak sedap. Debu & sampah-sampah kecil beterbangan menciptakan kelilipan.

Anginnya berpusing ke segala penjuru & menerbangkan gundukan daun berwarna merah terang di halaman. Dua laki-laki berkopiah & berparas ganteng tersenyum dgn manisnya. Sekilas senyumnya ibarat senyum Pak Menteri. Di titik batas alam sadarnya, Tohari melenguh kecil. Aku mau tersenyum & tertawa. Langit menggelap & titik embun membasahi kening Tohari yg keriput. Laki-laki itu terkekeh-kekeh geli.

Catatan:

Cerita ini ialah karya kolaboratif dr Agus Noor, Jujur Prananto, Dewi Ria Utari, Putu Wijaya, Triyanto Triwikromo, & Ni Komang Ariani, dimulai ketika Malam Jamuan Cerpen Kompas, Selasa (31/5/16). Setelah menulis dengan-cara pribadi di depan permintaan, penulisan dilanjutkan dengan-cara bergantian dr meja kerja masing-masing. Keenam penulis ini dianggap mewakili 23 penulis cerpen yg diundang malam itu. Judul “Surat Menteri & Mimpi Pengarang Tua” ditulis dengan-cara pribadi oleh Menteri Pendidikan & Kebudayaan Anies Baswedan yg pula hadir.