SUKRI pemilik kedai kopi depan Pasar Kliwon itu senantiasa tutup sepuluh hari sejak hari pertama perayaan Hari Raya Idul Fitri. Padahal sehari-harinya kedai kopi itu tak pernah tutup. Hanya dikala Sukri memang sedang pergi ke luar kota, atau ada keperluan keluarga yg lebih penting, kedai itu terpaksa tutup.
Kalau ada yg sukarela menggantikannya meracik kopi, Sukri akan dgn senang hati memersilakan semua orang untuk menjaga kedainya. Kesehariannya pun demikian, ia dgn santainya tidur di kedai. Jika pelanggan tiba, konsumen itu dapat meracik kopinya sendiri. Sungguh asas kepercayaan yg sangat tinggi antara pedagang & pembeli.
Kedai kopi yg sudah bebuyutan ada di keluarganya itu memang unik. Selain desain bangunannya yg mempertahankan bangunan joglo khas rumah-rumah di Jawa, kedai itu pun cuma menyediakan satu jenis kopi. Kopi asli kampungnya. Menu yg lain, hanyalah jajanan pasar.
Jajanan pasar milik Mbok Mi yg berjualan di dlm Pasar Kliwon. Kaprikornus, selain menjaga sendiri lapak jajanannya itu, Mbok Mi menitipkan jajanannya di kedai Sukri. Kerja sama antara Sukri & Mbok Mi itu sudah dikerjakan pula sejak kakek nenek Sukri & Mbok Mi, sejak zaman kemerdekaan masih dlm usia belia.
Sukri sendiri sudah nyaris lima tahun menjaga kedai kopi peninggalan keluarganya itu. Semenjak kepulangannya dr Jawa Timur, seusai nyantri di seorang kiai. Sukri diminta dengan-cara khusus oleh ibunya untuk melanjutkan usaha keluarga itu. Sekaligus supaya anak laki-laki satu-satunya dr keluarga Salim itu pulang & hidup erat keluarga.
Ibunya tak pernah menuntutnya untuk menjadi ini & itu. Tapi ibunya hanya ingin di masa tuanya bisa senantiasa bersahabat dgn Sukri.
Sebab kisah perihal Sukri kecil yg nyaris saja hilang tidak ingin dialaminya lagi. Tentang dongeng yg menyerebak luas ke seluruh warga kampung itu, menjadi kenangan kelam, sekaligus mengakibatkan ketakutan tersendiri bagi ibunya.
Sukri pun menyadari itu, & tak memaksakan diri bekerja jauh dr ibunya. Di sisi lain, kecintaannya pada kopi turut menjadi cuilan penting dr alasannya pulang & tetap tinggal di rumah.
Syahdan, Sukri kecil hilang & lenyap ditelan bengawan ketika terpeleset dr jembatan. Ibunya yg mengajak pergi pengajian ketika itu tak tahu lagi bagaimana nasib anaknya yg terbawa arus bengawan. Penuh kegelisahan, ibunya balik pulang sambil teriak ke seluruh sudut kampung.
“Tolong…”
“Tolong…”
“Tolong…”
Tak perlu banyak waktu, warga kampung yg mendengar teriakannya pun eksklusif berlari mendatanginya. Dengan gagap, napas yg naik turun tak teratur, ibunya menjajal menginformasikan orang kampung. Sambil menunjuk-nunjuk ke arah jembatan yg membelah bengawan, kesadarannya hilang. Ibunya pingsan.
Beberapa anak mengatakan bahwa Sukri tadi menyeberang jembatan bareng ibunya. Anak-anak itu dijaili Sukri ketika berpapasan tadi, & sempat jengkel karenanya.
Orang-orang kampung pun akhirnya berhasil memaknai instruksi ibu Sukri. Adalah, Sukri tenggelam terbawa arus bengawan.
Secepat kilat, para laki-laki muda, bau tanah, bahkan ibu-ibu pun menghamburkan diri menuju tepi bengawan. Hanya menyisakan Mbok Mi yg meneteskan air mata sambil memangku ibu Sukri, yg masih dlm ketaksadarannya itu. Mbok Mi pun semakin tak berpengaruh menahan keharuannya dikala ibu Sukri mengundang-manggil nama anak kesayangannya itu. Satu-satunya anak pria yg ia dambakan seusai menikah dgn Salim selama dua puluh tahun lalu. Kini hanyut diseret arus bengawan.
Kakak-kakak wanita Sukri dikala insiden itu, semuanya sudah merantau ke berbagai pondok pesantren yg tersebar di Nusantara. Memang itulah nazar dr ibunya, jikalau Sukri lahir, seluruh kakaknya akan dikirim ke pondok pesantren untuk mengaji. Sementara itu, ibunya akan merawat Sukri kecil dgn perhatian penuh. Seperti putra mahkota sang sultan, yg akan menjadi pemimpin bagi banyak orang nantinya.
Semua orang kampung yg ikut lari menuju tepi bengawan terlihat ketakutan. Air bengawan yg tadinya cuma mengalir hening, tiba-tiba mengalir deras & warnanya berganti hitam pekat.
Beberapa gelondong kayu yg tampak terbakar sebagian sisinya, ikut hanyut. Sisa-sisa penebangan liar & pula kebakaran hutan tempo hari luluh lantak diseret air.
Seperti yg terlihat dikala itu, langit meredup tiba-tiba. Titik-titik air jatuh dr langit silih berganti. Tak peduli jemuran padi milik orang-orang kampung masih terhampar di halaman rumah. Air hujan itu berganti jadi angin puting-beliung.
Pohon-pohon sisa kebakaran hutan pun tak kuasa menahan kuatnya tenaga sang badai. Menggelimpung, terkapar tak berdaya, terhanyut terbawa air bengawan. Siapa pun itu, pasti tak sanggup membayangkan nasib Sukri kecil. Entah bagaimana Sukri kecil mesti berjuang.
Atau mungkin justru ia sudah mengalah. Orang-orang kampung pun tak kuasa untuk memupuk keberanian mereka beradu dgn derasnya arus. Antara putus asa, atau pasrah semua orang kampung memutuskan berjuang dgn doa.
Sadar betul, tenaga insan tak bisa menembus bengawan yg sedang mengamuk itu. Terlalu berbahaya, kata seorang di tepi bengawan.
Kurang lebih selama lima belas hari seusai peristiwa itu, orang-orang kampung senantiasa berkumpul di rumah Sukri untuk ikut menenangkan ibunya. Ibunya yg terpukul tak kuasa menahan tangisnya saban hari. Sampai dua matanya jerawat. Sungguh menyedihkan, membuat ibu-ibu kampung ikut iba & menangis dikala melihatnya. Seolah menjadi hari murung di kampung.
Ratapan tangis ibu-ibu kampung ikut mengiringi rapalan doa yg dipimpin oleh kakek Sukri. Satu-satunya orang yg sudah memimpikan peristiwa hanyutnya Sukri di bengawan.
Kakek Sukri masih belum percaya kalau Sukri hilang. Dan mereka semua seisi rumah Sukri, utamanya kakek Sukri, sangat percaya cucu laki-lakinya itu dapat selamat. Tinggal menanti waktu, kapan ia akan pulang dr tugasnya membersihkan bengawan.
Malam hari sesudah Sukri terbawa arus di waktu sore, Salim, bapaknya diminta untuk pergi ke hulu bengawan oleh kakek Sukri.
Gowonen sarung iki.
Nggeh.
Melesat di kegelapan, menyeberang jembatan yg sore tadi menjatuhkan anak laki-lakinya, Salim tak mencicipi keraguan sedikit pun. Menyusuri bengawan, membelah hutan dlm keheningan.
Di tengah guyuran hujan, ia pun tak lupa merapal banyak mantra. Sepanjang perjalanannya, aroma kayu sisa kebakaran semerbak memberi kesan tersendiri padanya. Belum lagi tanah yg lama kering itu akhirnya terguyur hujan topan, turut melengkapi kesan mistisnya.
Tak sedetik pun tebersit di pikiran Salim untuk istirahat. Hulu bengawan menjadi satu-satunya yg ada di pikirannya. Suara Sukri pula seolah tiba, memanggilnya berkali-kali. Di dlm pendengarannya yg beradu dgn gemuruh arus bengawan yg kian deras di malam hari. Suara Sukri tak sedikit pun menunjukkan bahwa Sukri kecil sedang panik. Bahkan sesekali di telinganya, ia seperti mendengar Sukri sedang teriak memberi komando pada suatu pasukan untuk melakukan sebuah gerakan yg bersamaan.
Tepat di hari kelima belas, orang-orang kampung masih merapal doa bareng kakek Sukri. Di hari Sabtu Kliwon itu pula Salim menemukan titik hulu bengawan yg ia cari. Ia melihat Sukri terkapar dgn pakaian compang-camping di samping batu yg sangat besar.
Tampak kelelahan, ibarat seorang seusai melakukan pertempuran. Diajaknya pulang Sukri kecil tanpa baju & mengenakan sarung yg dibawanya saat berangkat lima belas hari kemudian.
Sedangkan baju yg dikenakan Sukri sebelum hanyut itu dikuburkan di hulu bengawan. Belakangan, baru diakui Sukri kalau saat itu ia sedang memandu para jin memindahkan batu yg membendung bengawan. Sebelum air semakin membesar, batu itu harus dipindahkan Sukri & pasukannya. Jika tidak, kerikil itu akan menahan air & dampaknya justru lebih besar. Batu itu akan ikut menggilas perkampungan di sepanjang aliran bengawan sampai hilir.
Cerita Sukri kecil pun karenanya menjadi pengalaman batin tersendiri bagi Sukri, keluarganya, pula orang-orang di kampungnya. Sejak saat itu orang-orang kampung meyakini pentingnya menjaga hutan. Bukan lagi menebang pohon ataupun memperabukan hutan, melainkan mereka justru tak henti-hentinya menyulam hamparan hutan yg hijau itu. Membuatnya semakin hari semakin rimbun.
Orang kampung pun semakin senang. Sebab hutan itu menyediakan banyak kuliner & keperluan. Bahkan bengawan pun memiliki fatwa air yg makin jernih.
Sepuluh hari ditutupnya kedai kopi Sukri itulah, yg kemudian dimanfaatkan Sukri untuk melaksanakan penyusuran bengawan hingga ke hulunya. Sukri sengaja melaksanakan perjalanan itu untuk sekadar melihat & mengenang insiden yg menimpanya di masa kecil. Sekaligus menegaskan hutan-hutan itu masih kondusif setiap tahunnya. (**)