Subuh yang Berkesan | Cerpen Fathurrofiq

Pandangannya sedikit berputar-putar. Jalanan yg umumnya tampak lurus, sekarang terlihat berkelok-kelok. Membuat motor yg ia kendarai bergerak ke kiri & ke kanan tanpa ada alasannya. Tampaknya dua botol minuman keras tadi masih menghipnotis kesadaran Kardi.

“Sialan,” umpatnya. Saat mencicipi kandung kemihnya bergejolak meminta hajatnya. ia menggerutu menyumpahi diri sendiri yg terlalu banyak minum. Malam itu ia memang sukses menang dlm permainan kartu, sehingga bisa minum sepuasnya.

Kardi merapatkan kakinya menahan hajat. Malam-malam begini hendak di mana ia menumpang tandas. Apalagi di kiri & kanan cuma terlihat hutan & semak belukar. Nekat buang hajat asal pilih bisa-bisa diusik penunggu hutan, pikirnya takut.

Kandung kemihnya kembali berkontraksi, seolah memberontak tak hendak menanti. Memang rumahnya masih cukup jauh dr hutan ini. Sengaja ia menentukan warung remangremang di kampung seberang untuk malam ini, karena cemas dipergoki istrinya mirip bulan kemudian.

Sengaja benar ia keluar rumah dgn menggunakan kemeja lengan panjang & bercelana bahan hitam. Ia berpakaian rapi agar tak dicurigai istrinya. “Ada persoalan bisnis sebentar,” kelitnya pada istri sebelum berangkat.

Di tengah kebingungan, apakah akan mencampakkan hajat di tengah hutan atau menahan sampai tiba di rumah dgn risiko ‘bocor’ di jalan, ia melihat sebuah musholla di ujung hutan. Tanpa pikir panjang, langsung ia kebut motornya menuju musholla tersebut.

Musholla itu tak terlalu besar & tak berpagar, sehingga ia bisa bebas masuk & memakai toiletnya. Rasanya lega, & tak bisa digambarkan oleh kata-kata dikala ia bisa menyalurkan hajatnya. Di saat ia sudah selesai & keluar dr toilet, ia teringat untuk membasuh wajah terlebih dahulu semoga imbas mabuknya hilang. Grrr… rasa air cuek menyentuh kulit wajah pada dini hari sungguh-sungguh menciptakan matanya kembali melek.

“Assalamualaikum, Ustaz!”

Kardi melambung terkejut , seseorang menepuk pundaknya dr belakang. Bulu kuduknya merinding. Hampir-hampir saja jantungnya copot ketakutan lantaran membayangkan itu yaitu jin penunggu musholla. Sebelum kemudian ia membalikkan badan & sosok di balik pundaknya jelas terlihat. Tampak dua orang pemuda dgn memakai sarung, baju takwa, & berkopiah. “Afwan Ustadz, saya malah membuat kaget,” ucap cowok yg pertama sambil tersenyum.

  Pembicaraan Keluarga | Cerpen Rifat Khan

“Wa..wa..waalaikum salam,” ucapnya sambil terbata-bata.

“Ustadz orang gres disini? Sepertinya gres lihat,” tanya pemuda yg kedua. Kardi hanya bisa mengangguk lemah sembari mencoba tersenyum. Sayangnya ia lebih terlihat mirip orang meringis daripada ter senyum. “Ya sudah! Sampeyan tunggu di dlm saja Mas. Azan kira-kira lima belas menit lagi.”

Karena merasa tak lezat dgn kedua cowok itu, Kardi berdasarkan & masuk ke dlm musholla. Rasa-rasanya sudah bertahun-tahun lamanya sejak terakhir kali ia masuk ke dlm musholla. Dahulu, orang-orang di kampungnya senantiasa menggerutu setiap ia datang ke musholla. Terkadang ia bahkan mendengar bisikan-bisikan sinis yg menyampaikan,‘wong mabuk kok shalat’ atau kalimat ‘memang shalatnya di terima?’. Perkataan itu semakin lama menciptakan ia risih. Maka risikonya ia putuskan, daripada menciptakan orang lain terganggu, lebih baik tak pernah datang sekalian.

“Wah kebetulan ada ustaz gres, Min,” ucap cowok pertama pada temannya sembari mengibas-ngibaskan air wudhu yg membasahi tangannya. “Iya, Jo, kebetulan banget. Mas, sampeyan yg jadi imam shubuh nanti ya! Pak Haji yg umummen jadi imam shalat lagi sakit. Punggungnya kambuh lagi.”

Ditodong seperti itu, pastinya menjadikannya terkejut. ia sudah usang tak sha lat, bahkan ia sudah lupa bacaan shalat. “Bisa aib mampus gue bila menjadi imam”, batinnya dlm hati. Segera ia menggelengkan kepala sembari menyatakan penolakannya.

“Ayolah, Mas, kami semua ndak ada yg pede jadi imam. Bacaan kami terbata-bata. Bisa malu kami jikalau jadi imam.”

Ingin rasanya ia pula mengakui jika ia jauh lebih buruk dr mereka. Jika mereka terbata-bata, maka ia bahkan sudah lupa urutan rangkaian shalat. Tapi entah kenapa untuk mengakuinya ia merasa malu & takut diusir dr masjid ini.

“Tadinya kami pikir bakalan ndak ada yg gantiin Pak Haji. Saya kagum dgn sampeyan, jadi yg paling pertama datang ke masjid di pagi hari. Pertahankan terus Mas,” pemuda pertama yg diundang Jo itu menepuk-nepuk pundaknya. Kardi hanya bisa membalas dgn senyum.

Sebenarnya bila dikatakan ia tak pernah shalat, tak juga. Dahulu semasa kecil, ia termasuk anak yg pintar ketika berguru mengaji. Bahkan ia pernah mondok selama tiga tahun di suatu pesantren. Namun sayang, ajal ibunya menciptakan ia berhenti mondok & pulang ke kampung. Setelah kembali ke kampunglah pergaulan mengenalkannya dgn alkohol, hingga dikala ini.

  Jalan Ini dan Jalan-Jalan Itu, Sepanjang Pantura | Cerpen Ahmad Abu Rifai

Memang pernah dahulu saat baru menikah, ia berencana untuk berubah lantaran rasa cinta pada istrinya. Namun gosip yg didengarnya setiap kali ia ke musholla membuat ia risih. Ia merasa tak diharapkan di masyarakat. Ia sudah kadung dicap selaku tukang mabuk & tukang judi. Sementara di warung remang-remang, ia mendapatkan orang-orang yg menghargai & mau menyimak keluh kesahnya. Disitu ia merasa menemukan keluarga.

“Kalian santri?” akibatnya ia mengeluarkan suatu kalimat.

“Iya, Mas, namun baru masuk jadi ilmunya masih sedikit. Sekarang lagi pulang kampung. Mumpung pondok lagi libur,” Jelas perjaka yg diundang Min.

Mendengar itu, ia teringat masa-masa ia masih semangat belajar ilmu agama. Saat dulu masih di pondok ia pula sering seperti ini. Datang ke masjid sebelum azan berkumandang. Bercengkrama dgn santri lain selepas zikir malam. Hingga terpekur takzim dikala muazzin mulai mengumandangkan panggilannya.

Perlahan, air matanya mengalir. Ia teringat, sesudah remaja ia justru lebih banyak menghabiskan waktu di warung remang-remang sambil menunggu pagi tiba. Ketakziman menanti azan ia tukar dgn kenikmatan adrenalin dikala membuka kartu bersama sobat-temannya. Ia aib, entah pada siapa.

Beberapa orang ja maah tiba menjelang azan shubuh. Kardi menyalami mereka sembari memperkenalkan namanya. “Wah, tadinya kami pikir shalat Shubuhnya ndak jadi karena Pak Haji sakit. Untung ada Mas Kardi,” tukas salah seorang jamaah. Kardi tersenyum,namun di dlm hatinya, ucapan bapak tadi semakin menjadikannya tak yummy hati untuk menolak menjadi imam. Bagaimana nanti respon orang-orang ini kalau ia mengaku selaku orang yg gres saja pulang berjudi & mabuk di warung remang-remang ujung hutan.

Paijo berdiri, bersiap-siap untuk mengumandangkan azan. Semua orang terdiam saat Paijo mulai melantunkan panggilan suci itu. Kata demi kata yg diucapkan Paijo, dijawab dgn takzim dlm setiap hati para jama’ah mirip tuntunan baginda Rasul.

  Lelaki Berselempang Sarung | Cerpen Uniawati

Namun tak ada yg menyadari bahwa Kardi terlihat semakin galau. Keringat masbodoh membasahi keningnya. Pikirannya tak lagi konsentrasi pada lantunan azan. Matanya terpejam sementara bibirnya bergerak mencoba mengenang urutan shalat & bacaan-bacaan yg pernah dihafalnya dulu. Ia baru terjaga ketika Paimin menepuk pundaknya. “Monggo Mas!” ucapnya sembari mengarahkan jempolnya ke arah tempat imam.

Kardi melangkah dgn lemas. Jikalau ada yg memperhatikan, lututnya bergetar dibalik celana hitamnya. Sementara jama’ah segera membenahi barisan mereka. Kardi mempesona nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya, berharap ia tak lupa di tengah jalan. Saat ia hendak mengangkat tangan, ketika itu pulalah terdengar bunyi langkah kaki & bunyi orang tua terbatuk-batuk. Kardi menoleh ke belakang, disertai oleh para jama’ah.

“Alhamdulillah, tadinya saya khawatir ndak ada yg jadi imam shalat,” laki-laki bau tanah itu terkekeh-kekeh. Dari penampilannya, Kardi mengira bahwa itu pasti Pak Haji yg umummenjadi imam shalat.

“Pak Haji? Monggo, Pak, bapak saja yg imam,” Kardi senang bukan kepalang dapat terhindar dr peran menjadi imam ini. Para jama’ah pula tak ada yg menolak tatkala Kardi mundur & Pak Haji menggantikan tempatnya.

Pagi itu menjadi shubuhnya yg pertama sesudah beberapa tahun lamanya. Andai mereka menyadari, para malaikat rahmat tengah mengelilingi musholla kecil itu untuk berdoa semoga Allah mengampuni orang-orang di dalamnya. Ketenangan perlahan menyusup ke dlm hati Kardi.

Seusai shalat, para jama’ah saling bersalaman. Paijo & Paimin mencium tangannya dikala bersalaman, Kardi teringat bahwa tangan itu sarat dosa yg ia gunakan untuk mengangkat kartu & menuang tuak. Kemudian Kardi menyalam Pak Haji. “Semoga Allah memberkahimu, Nak! Tinggalkanlah minuman keras & judi itu. Kau akan diterima disini.” Kardi terkejut mendengar bisikan Pak Haji itu. Namun ia tidak mau mengajukan pertanyaan dr mana Pak Haji mengetahui kebiasaan buruknya. Ia oke dgn orang tua itu. Besok ia akan kembali kesini, untuk kembali duduk takzim menunggu pagi.


Penulis merupakan anggota FLP Yogyakarta & merangkap menjadi mahasiswa Tekhnik Mesin UGM.