Suara Muazin dari Menara | Cerpen A Makmur Makka

Kenapa mesti bercerita ihwal Pak Zazuli? Begitu namanya tertulis, namun sehari-hari ia disapa Jajuli, sesuai aksen Sunda di Ciamis, kampung halamannya. Pak Zazuli itulah muazin yg bersuara merdu di masjid kami, di sebuah kompleks perumahan pegawai negeri sipil.

Empat puluh tahun lalu, tatkala kami mulai menghuni kompleks perumahan ini, Pak Zazuli sudah terlihat sehari-hari dlm kompleks. Ia tinggal di perkampungan di sekitar kompleks, membuka lapak yg memasarkan kebutuhan rumah tangga sehari-hari.

Pada Ramadhan pertama menempati kompleks perumahan itu, kami kesulitan melaksanakan shalat Tarawih alasannya adalah jarak ke masjid satu-satunya di kelurahan itu cukup jauh. Apalagi, fasilitas jalan keluar kompleks belum tersedia. Pohon-pohon maninjau, mangga, kecapi, & alang-alang yg lebat mengepung kompleks perumahan kami.

Saya & para tetangga berinisiatif menyelenggarakan shalat Tarawih dr rumah ke rumah. Terkadang, jamaah shalat Tarawih meluber ke jalanan. Suatu hal yg menarik perhatian & simpati kami, tatkala masuk waktu shalat Isya, tanpa diminta, Pak Zazuli berdiri & mengumandangkan azan. Suara Pak Zazuli ternyata anggun, tandingan azan muazin Masjidil Haram mirip yg senantiasa dilantunkan di televisi. Kalimat panjang dlm bait-bait azan dilantunkan cuma dlm satu tarikan napas. Sejak malam pertama Tarawih itu, kami selalu menginginkan Pak Zazuli tiba menjadi muazin.

Bulan Ramadhan berlalu. Saya dgn beberapa tetangga bermunajat mendirikan sebuah masjid di kompleks kami. Masjid yg kecil, sederhana pun, cukuplah. Tetapi, di mana tempatnya? Dari semula, pengembang tak menyediakan lahan untuk masjid. Tidak ada jalan lain, kami mesti mencari lahan untuk dibeli dengan-cara patungan.

Pak Zazuli kemudian memberikan usul, ada sebuah lahan nyempal di ujung kompleks yg hingga kini belum dibangun pemiliknya. Luas lahan cukup lumayan, sekitar 100 meter persegi. Belakangan kami tahu bila lahan itu milik Pak Marhaban, asal dr Aceh.

Rumah Pak Marhaban tak jauh dr kompleks perumahan kami. Pada suatu malam bersama tiga orang kawan & Pak Zazuli, kami bersilaturah im ke tempat tinggal Pak Marhaban.

“Maaf, Pak, apakah Bapak yg punya lahan di ujung kompleks?” Ini hanya pertanyaan basa-bau saya.

Pak Marhaban membenarkan dgn persepsi bertanya-tanya. Tatkala saya mengajukan pertanyaan lagi, apakah lahan itu bermaksud dijual, Pak Marhaban mendongakkan kepala, memandang kami satu per satu, kemudian langsung berkata dgn tegas.

“Tidak! Lahan itu dahulu saya beli untuk anak saya yg sekarang masih mahasiswa.”

Giliran kami saling berpandangan, hening sejenak. Balik Pak Marhaban bertanya siapa di antara kami yg terpikatpada tanah itu. Tidak ada di antara kami yg berminat membelinya. Sampai di situ, saya maklum kalau Pak Marhaban mencurigai kami sebagai rombongan pialang atau broker. Untuk meniadakan kemungkinan prasangka yg keliru itu, saya langsung menyertakan.

  Kemarau | Cerpen Andrea Hirata

“Bukan, Pak Marhaban, kami bertujuan berbelanja lahan Bapak untuk mendirikan masjid bagi warga kompleks & penduduk sekitarnya.”

Pak Marhaban termenung, ia kembali memandang kami satu per satu. Hening sejenak, tak ada di antara kami bersuara menyela keheningan itu. Pak Marhaban mengawali lagi bersuara, sehabis mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di lengan kursi, seperti berpikir keras. Pandangannya di arahkan ke atas, kemudian pada kami satu per satu.

“Oh, untuk rumah Tuhan, tunggu sebentar.”

Ia bangkit dr kursinya & berlangsung ke ruangan dalam, terdengar ia mengundang seseorang. Kami menunggu tanpa satu pun di antara kami yg berbicara. Saya menahan napas. Hampir sepuluh menit kemudian Pak Marhaban keluar diiringi seorang perempuan yg rupanya istrinya. Perempuan itu menawan kursi dr meja lain & duduk di belakang Pak Marhaban.

“Begini, alasannya adalah bapak-bapak bermaksud membangun rumah Tuhan, maka lahan itu tak patut kami perjualbelikan, saya dgn istri ikhlas menyerahkan lahan tersebut, tak untuk dibeli. Tetapi, jika bapak-bapak kelak mempunyai sedikit rezeki, kapan saja, seberapa saja atas keikhlasan bapak-bapak, berikanlah pada anak saya sebagai tebusan kesepakatan saya kepadanya.”

Alhamdulillah, kami semua mirip tak berpijak ke bumi. Kami bergembira bukan alang kepalang & menyampaikan terima kasih pada Pak Marhaban. Tetapi, segera Pak Marhaban menyela.

“Jangan berterima kasih pada saya, Tuhan sudah mengutus bapak-bapak menjinjing berkah pada keluarga kami.”

Ketika kami pamit, Pak Marhaban memeluk kami satu per satu. Kami pulang dgn langkah yg ringan. Keesokan harinya, antisipasi pendirian masjid kompleks mulai melakukan pekerjaan . Setelah kami membenahi semua prosedur kepemilikan melalui notaris, mulailah kami mengedarkan pinjaman dr warga kompleks & pejabat di kantor kami melakukan pekerjaan .

Sebuah mukjizat, santunan yg masuk seperti digelontorkan. Segeralah masjid itu dibangun & dlm tempo yg sungguh singkat sudah mampu kami gunakan beribadah. Dalam batin saya berkata, “Jika ingin membangun masjid, mulailah, jangan takut sebab rezeki selalu akan tiba.”

***

Empat puluh tahun kemudian, saya & sobat teman sekerja yg berdomisili dlm kompleks itu sudah purnatugas atau menjalani masa pensiun. Penghuni usang kompleks yg Muslim tinggal dijumlah dgn jari. Para jamaah yg selalu beribadah ke masjid, satu per satu telah diundang menghadap Sang Khalik. Sejumlah di antaranya, sesudah menerima penetapan pensiun, memasarkan rumah mereka & kembali ke kampung halaman di Jawa. Masjid itu pun sudah kami pasrahkan pada suatu yayasan yg dikontrol oleh penduduk sekitar.

Namun, masya Allah, Pak Zazuli yg setiap waktu shalat, tetap melakukan kewajibannya selaku muazin. Kadang-kadang, ia cuma bolos pada waktu Zhuhur digantikan marbut masjid. Untuk tetap menjalin silaturahim saya dgn Pak Zazuli, saban hari sekitar satu jam menjelang Maghrib, saya umumnya ke lapak kopi, di ujung taman kompleks. Saya menunggu Pak Zazuli melintas menuju ke masjid & singgah menemani saya menikmati kopi sore.

  Berburu Genderuwo | Cerpen Deden Hardi

Pada ketika-dikala demikian saya senantiasa memandangi keriput wajah Pak Zazuli yg sudah menua, raganya pula sudah tampak menyusut. Langkah yg diayunkan pun secara perlahan-lahan, disangga suatu teken dgn berbulu gesekan. Perubahan fisik karena usia, tak bisa disembunyikan. Mungkin demikian pula dlm hati Pak Zazuli, bila ia melihat ke muka & raga saya.

Ia senantiasa memesan kopi hitam pahit, saya memesan kopi susu. Posisi duduk kami menghadap ke suatu rumah & di belakang rumah itu tersembul puncak menara masjid dgn dua pengeras suara yg menghadap berbeda arah. Dari puncak menara tersebut, setiap waktu kami mendengar suara Pak Zazuli yg mengumandangkan azan.

Ketika kami bertemu pandang, saya berkata kepadanya. “Kita sudah sama-sama tua Pak Zazuli.”

Ia mengangguk-angguk mengiyakan sambil tersenyum masam. “Sunnatullah,” jawab Pak Zazuli berserah, tanpa ekspresi, sambil menyeruput kopi hitam pahitnya.

***

Malapetaka korona datang, masyarakat diminta tinggal di rumah, pemerintah mengajurkan tunda shalat berjamaah di masjid. Sejak itu, saya tak lagi melakukan kebiasaan saya, pada sore hari menjelang Maghrib, berada di lapak kopi bareng Pak Zazuli. Kompleks perumahan kami sehari-hari secara tiba-tiba menjadi sunyi sepi. Silaturahim saya dgn Pak Zazuli terhenti. Saya memilih shalat di rumah, namun setiap masuk shalat lima waktu, saya masih senantiasa mendengar suara muazin mengumandangkan azan. Suara yg bertahun-tahun saya kenal. Suara Pak Zazuli.

Setiap waktu menjelang shalat Subuh, saya merenung, bagaimana Pak Zazuli tetap melaksanakan tugasnya dgn tulus. Saya bayangkan ia tertatih-tatih berjalan ke masjid, menepis udara acuh taacuh menjelang pagi. Lebih menjamah hati saya, bila saya mendengar bunyi Pak Zazuli mengumandangkan azan. Saya duduk tepekur di rumah & meneteskan air mata. Ia mungkin sendirian di masjid, dgn sarat ketulusan mengumandangkan azan dlm kesunyian pagi buta. Ah, Pak Zazuli, Anda senantiasa setia memperingatkan kami setiap waktu shalat.

Suatu malam sehabis shalat Tahajud menunggu waktu shalat Subuh, saya menanti bunyi azan dr masjid, menanti kumandang azan Pak Zazuli. Tetapi, kali ini, tak seperti biasa, tatkala azan dikumandangkan, saya tak mendengar bunyi Pak Zazuli yg sudah saya kenal. Bagaimana intonasi suaranya, jeda tatkala ia mempesona napas, lengkingan tinggi & rendah suaranya. Ya benar, itu bukan suara Pak Zazuli.

Setelah saya akhir berzikir, dr pengeras suara masjid itu pula, saya mendengar pengumuman bahwa Pak Zazuli wafat tadi malam pukul 00.00 WIB. Innalillah wa innailahi rajiun. Saya tercenung & secepatnya berubah busana & bergegas ke rumah Pak Zazuli. Udara pagi masih sejuk. Saya lihat di depan rumah Pak Zazuli masih sepi, cuma ada dua orang tetangga yg berdiri di sana & sebuah ambulans dgn lampu sirene yg sudah menyala.

  Bibir yang Tercecer | Cerpen Reni Nuryanti

Putra Pak Zazuli yg tertua menghampiri saya & mohon dimaafkan bila ada kesalahan ayahnya pada saya & pula pada warga kompleks lainnya. Pak Zazuli tak mengidap penyakit apa pun, tak pernah mengeluh sedikit pun mengenai suatu penyakit.

“Bapak meninggal dgn tenang,” kata putra Pak Zazuli.

Kini, ia akan membawa mayit ayahnya ke Ciamis untuk dikebumikan. Mereka sudah siap berangkat semoga sampai di Ciamis sebelum Zhuhur. Dengan suara lirih, saya menyampaikan kepadanya bahwa kami semua warga kompleks berduka cita & kehilangan seorang yg amanah & baik. Kamilah yg meminta maaf jika ada kesalahan. Semoga Pak Zazuli husnul khatimah. Saya rogoh saku celana saya, saya tahu saya punya beberapa ratus ribu rupiah di situ. Saya gulung & memasukkan ke saku baju putra Pak Zazuli.

Suara sirene ambulans berbunyi & kendaraan beroda empat itu bergerak membawa jenazah Pak Zazuli dikirim oleh istri & anaknya pada kendaraan beroda empat yg sama. Saya menepi & berdiri di ujung jalan, mengucapkan doa & selamat jalan pada Pak Zazuli.

Ajaib, mungkin hanya halusinasi, dr jendela belakang ambulans yg melaju, saya melihat bayangan Pak Zazuli melambaikan tangan pada saya, kemudian bunyi bisikan di telinga saya.

“Selamat tinggal, Pak, saya berangkat duluan.”

Saya tak sadar menjawab, “Silakan, Pak Zazuli, saya tetap menyimpan lantunan azanmu yg merdu & syahdu dlm kenangan saya.”

***

Pada sore hari menjelang Maghrib, saya datang di gardu lapak kopi itu. Saya duduk di daerah duduk saya yg biasa jikalau bersama Pak Zazuli. Saya memesan kopi susu & satu kopi hitam pahit yg biasa dipesan Pak Zazuli. Si pemilik lapak memandang saya keheranan.

“Pak, Pak Zazuli…” Ia tak meneruskan kata-katanya, sehabis menyaksikan telunjuk tangan saya lintangkan ke ekspresi saya. “Ya saya tahu. Saya tetap pesan satu kopi susu & satu kopi hitam pahit.”

Pemilik lapak itu melaksanakan usul saya. Kopi hitam pahit diletakkannya di sudut meja yg lain, tempat Pak Zazuli biasa duduk. Pada kursi plastik reyot saya duduk menghadap ke arah puncak menara masjid. Saya membayangkan ada bunyi azan sang muazin dr menara itu. Suara Pak Zazuli yg bertahun-tahun saya dengar hampir saban hari. Dari menara masjid itulah pada suatu hari, nama saya pula akan disebut. (*)