Suami Wajib Memuaskan Istri Ketika Berhubungan?

Apakah suami mesti membuat puas istrinya saat berhubungan? Karena kami pernah mendengar hadits yg menyebutkan saat suami keluar duluan dihentikan buru-buru, bagaimana maksudnya? Apakah suami berdosa jika demikian?

Daftar Isi

Jawaban:

Dalam Islam, di antara tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yg sakinah, mawaddah wa rahmah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara gejala kekuasaan-Nya adalah Dia membuat untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, biar kau cenderung & merasa nyaman kepa&ya, & dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta & kasih sayg. Sesungguhnya pada yg demikian itu betul-betul terdapat gejala (kebesaran Allah) bagi kaum yg berfikir.” (QS. Ar Rum:21)

  Q : Anata No Namae Wa Nan Desuka ?

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa makna sakinah ada tiga: lita’tafu (saling mengikat hati), tamilu ‘ilaiha (condong kepa&ya) & tadma’inu biha (merasa tenang dgnnya). Seringkali sakinah disederhanakan dgn makna ketenangan. Salah satunya, hening karena syahwat sudah tersalurkan secara halal. Dan ketenangan itu tak bisa dicapai kecuali melalui ijab kabul.

Dalam rangka mencapai ketenangan mirip ini, suami istri perlu sama-sama terpuaskan. Dan memang suami istri sama-sama memiliki hak yg serupa untuk menerimanya.

Sebagaimana kaidah umum hak & keharusan berumah tangga sebagaimana firmanNya:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Istri mempunyai hak (yg harus dipenuhi suami) sebagaimana keharusan yg mesti beliau penuhi untuk suaminya, dgn baik (dlm batas masuk akal).” (Q.S. Al Baqarah: 228)

Jadi dlm berhubunganpun, suami istri mesti menjadikan asas ini selaku anutan. Saling menyggupi hak pasangan, saling bekerja sama & saling membantu. Suami tak boleh egois, asalkan dia puas, kemudian tak menghiraukan dgn pasangannya.

Suami yg tak menyggupi hak istrinya dlm hal kepuasan ini, meskipun sebab ibadah, ia tak diperbolehkan. Sebab istrinya mempunyai hak atasnya. Sebagaimana yg pernah dialami oleh Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu.

آخَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَ سَلْمَانَ ، وَأَبِى الدَّرْدَاءِ ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً . فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِى الدُّنْيَا . فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا . فَقَالَ كُلْ . قَالَ فَإِنِّى صَائِمٌ . قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ . قَالَ فَأَكَلَ . فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ . قَالَ نَمْ . فَنَامَ ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ . فَقَالَ نَمْ . فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ . فَصَلَّيَا ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ . فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم –صَدَقَ سَلْمَانُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mempersaudarakan Salman & Abu Darda’. Suatu hari Salman mengunjungi Abu Darda’. Ketika itu Salman menyaksikan istri Abu Darda’ adalah Ummu Darda’ dlm kondisi kurang baik. Salman pun bertanya kepada Ummu Darda, “Kenapa keadaanmu mirip ini?” Ia menjawab, “Saudaramu, Abu Darda’, seakan-akan tak lagi mempedulikan dunia.” Abu Darda’ lalu datang. Salman pun mengembangkan masakan untuk Abu Darda’. Salman berkata, “Makanlah”. Abu Darda’ menjawab, “Maaf, aku se&g puasa.” Salman pun berkata, “Aku pun tak akan makan hingga kamu-sekalian makan.” Lantas Abu Darda’ memakan masakan tersebut.

  (Model Ringkasan)

Ketika malam hari datang, Abu Darda’ pergi melakukan shalat malam. Melihat itu, Salman menyampaikan, “Tidurlah”. Abu Darda’ pun tidur. Namun kemudian beliau pergi lagi untuk shalat. Kemudian Salman berkata lagi, “Tidurlah”. Ketika telah sampai simpulan malam, Salman berkata, “Mari kita berdua shalat.” Lantas Salman berkata lagi pada Abu Darda’, “Sesungguhnya kamu-sekalian memiliki keharusan terhadap Rabbmu. Engkau juga memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri & kamu-sekalian pun punya keharusan pada keluargamu (melayani istri). Maka tunaikanlah kewajiban-kewajiban itu secara proporsional.” Abu Darda’ lantas mengadukan Salman pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas dia bersabda, “Salman itu benar” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat yg lain disebutkan lebih teknis.

“Jika seseorang di antara kamu berhubungan dgn istrinya, hendaklah ia lakukan dgn sarat keseriusan. Jika beliau menyelesaikan kebutuhannya sebelum istrinya mendapatkan kepuasan, maka janganlah beliau buru-buru mencabut sampai istrinya mendapatkan kepuasannya juga.” (HR. Abdur Razaq & Abu Ya’la, dari Anas)

Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad & Ibnu Taimiyah beropini, suami wajib menggauli istrinya sesuai dgn kesanggupan suami & kecukupan istri.

Se&gkan Ibnul Qayyim Al Jauziyah mengutip pendapat para gurunya yg menguatkan pertimbangan bahwa suami mesti membuat puas istrinya saat bekerjasama, jikalau memungkinkan, sebagaimana dia wajib memuaskannya dlm memberi makan.

Adapun jikalau suami sakit atau secara medis terhalang dari kemampuan menyggupi hal itu, maka penyelesaiannya dikembalikan terhadap keridhaan masing-masing. Sebab pada dasarnya, ijab kabul yakni ikatan yg dibuat atas dasar keridhaan. Pun dikala ada masalah dlm rumah tangga, hendaknya saling ridha menjadi solusinya. Wallahu a’lam bish shawab. [Webmuslimah.com]