close

Strategi Komunikasi Organisasi Antara Atasan Dan Bawahan

Strategi Komunikasi Organisasi antara Atasan dan Bawahan 
PENDAHULUAN
Penelitian ini hendak mendeskripsikan seni manajemen komunikasi organisasi pasca terjadinya restrukturisasi administrasi pada DetEksi Jawa Pos. Penelitian ini dijalankan pada tahun 2013 yang bertepatan dengan satu tahun restrukturisasi administrasi yang dijalankan DetEksi Jawa Pos. Fenomena ini dirasa penting oleh peneliti alasannya adalah di aneka macam penelitian yang ada, menyebutkan bahwa komunikasi merupakan faktor paling penting bagi organisasi dalam menerima isu. Muhammad (2009, p.1) menyebutkan bahwa ‘Dengan adanya komunikasi yang baik sebuah organisasi dapat berjalan lancar dan begitu juga sebaliknya, kurangnya atau tidak adanya komunikasi organisasi mampu macet atau acak-acakan’.
Kegagalan dalam organisasi banyak yang disebabkan oleh kurang tertatanya komunikasi yang dilaksanakan para pelaku di organisasi tersebut. Seperti yang dibilang penelitian sebelumnya (Luthans 2006) bahwa komunikasi yang tidak efektif yaitu akar utama problem dalam organisasi. Masih berdasarkan Luthans, komunikasi yang efektif antara atasan dan bawahan menjadi faktor penting bagi pencapaian tujuan suatu organisasi. 
Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti komunikasi atasan ke bawahan (downward communication) dan komunikasi bawahan ke atasan (upward communication). Dua arah komunikasi atas-bawah dan bawah-atas sungguh penting untuk mencapai kesuksesan tujuan mensolusi duduk perkara yang menjadi perhatian organisasi. Melihat pentingnya komunikasi dalam organisasi tersebut pastinya tidak luput dari bagaimana komunikasi itu di-maintain dalam sebuah taktik. Pada kenyataannya taktik komunikasi dibutuhkan untuk kelancaran arus komunikasi dalam sebuah organisasi. Dalam bukunya, Pace & Faules (2005, p.170) mengatakan bahwa tantangan paling besar dalam komunikasi organisasi yakni bagaimana memberikan info ke seluruh bab organisasi dan bagaimana mendapatkan gosip dari seluruh bagian organisasi.
Menurut Effendy (2006, p.135) taktik komunikasi adalah metode atau langkah-langkah yang diambil untuk keberhasilan proses penyampaian pesan oleh seseorang terhadap orang lain untuk memberitahu atau mengubah sikap, pertimbangan dan sikap, baik secara pribadi (lisan) maupun tidak langsung lewat media. Sehingga dapat dibilang seni manajemen komunikasi ialah tata cara atau tindakan yang diambil untuk keberhasilan proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau mengubah sikap, pendapat dan perilaku, baik secara pribadi secara verbal maupun tidak langsung lewat media untuk mencapai suatu tujuan. 
Melihat hal tersebut, salah satu organisasi yang menyadari pentingnya seni manajemen komunikasi selaku penentu efektifitas pengembangan suatu organisasi yaitu DetEksi Jawa Pos. Sebagai organisasi yang bergerak di bidang media cetak anak muda (dilakukan oleh dan ditujukan untuk anak muda), DetEksi Jawa Pos dituntut untuk menciptakan halaman-halaman yang kreatif dan inovatif. Sebelum memenuhi tuntutan pasar tersebut, DetEksi Jawa Pos menyadari pentingnya komunikasi dalam badan internalnya. Oleh karena itu, untuk meraih tujuan tersebut DetEksi Jawa Pos melakukan pergeseran dalam tubuh internalnya, yaitu dengan jalan restrukturisasi pada manajemennya. Tepatnya pada Februari 2012 terjadi penyusunan ulang struktur organisasi dan pembagian kerja pada DetEksi Jawa Pos.
Adapun pengertian restrukturisasi organisasi menurut Husnan dan Pudjiastuti (2004, p.401) yaitu sebuah acara untuk merubah struktur perusahaan selaku upaya yang dilaksanakan dalam rangka penyehatan suatu perusahaan supaya mampu beroperasi secara efisien, transparan, dan profesional. Berdasarkan hasil observasi peneliti, terdapat tiga alasan terjadinya restrukturisasi pada badan DetEksi Jawa Pos. Yaitu, adanya permintaan pasar, pergantian kondisi perusahaan, dan keleluasaan administrasi. Hasil pengamatan yang diperoleh peneliti mengungkapkan, pada penghujung tahun 2009 terjadi transisi besar-besaran pada DetEksi Jawa Pos, ialah berpindahnya sebagian besar kru DetEksi Jawa Pos ke PT DBL Lintas Indonesia. Masa transisi tersebut menenteng efek yang cukup signifikan pada DetEksi Jawa Pos, salah satunya adanya pergantian job desk pada DetEksi Jawa Pos
Akibat dari adanya pergeseran tersebut, proses komunikasi yang terjadi pada internal DetEksi Jawa Pos, yakni komunikasi antara atasan (supervisor) dan bawahan (para koordinator dan editor) menjadi terhambat. Proses komunikasi yang tidak berlangsung dengan tanpa hambatan secara tidak eksklusif juga berimbas pada produk yang dihasilkan DetEksi Jawa Pos, yaitu terjadinya penurunan mutu halaman. Menyadari hal tersebut balasannya founder DetEksi Jawa Pos, Azrul Ananda, menetapkan untuk mengangkat tiga supervisor sekaligus semenjak Februari 2012 kemudian.
Dari hasil observasi peneliti, sebelum terjadinya restrukturisasi posisi supervisor DetEksi Jawa Pos cuma diduduki oleh dua orang saja, tetapi melalui restrukturisasi jumlah supervisor dirubah menjadi tiga orang yang mempunyai job desk lebih spesifik. Dengan adanya pergeseran tersebut beberapa mekanisme kerja turut berganti sehingga proses komunikasi pun juga berubah. Yaitu, proses komunikasi antara supervisor dan koordinator serta editor mengalami perubahan dari yang sebelumnya tidak terlalu intens sebab job desk yang terbagi antara DetEksi dan DBL, berubah menjadi lebih intens. Dengan adanya komunikasi yang tanpa hambatan antara supervisor dan karyawan secara tidak pribadi menciptakan cara kerja menjadi lebih baik, pengambilan keputusan lebih cepat, perbaikan mampu dikerjakan lebih sempurna guna.
Dari adanya pergeseran yang terjadi pada tubuh DetEksi Jawa Pos tersebut, peneliti kepincut untuk meneliti strategi komunikasi antara atasan dan bawahan dalam pembuatan rubrik polling. Proses bikinan rubrik polling menyantap waktu paling lama bila daripada rubrik di halaman DetEksi lainnya. Mulai proses pemilihan pandangan baru polling, menyebar kuesioner, hingga pengeditan naskahnya, waktu yang dibutuhkan bisa sampai dua sampai lima bulan. Selain itu, proses produksi rubrik polling melibatkan seluruh pihak manajamen DetEksi Jawa Pos.
Pada penelitian ini, yang dimaksud selaku atasan yaitu supervisor dan pada lini bawahan berisikan koordinator lazim, koordinator surveyor, koordinator keuangan, koordinator editor, koordinator grafis, dan editor. Alasan peneliti menentukan atasan yaitu supervisor alasannya adalah restrukturisasi yang terjadi pada DetEksi Jawa Pos dikerjakan pada lini ini. Penambahan jumlah supervisor dari yang sebelumnya hanya teridiri dari dua posisi, sekarang menjelma tiga posisi yang lebih spesifik. Selain itu Supervisor ialah wakil dari administrasi yang mempunyai kewenangan sarat dalam berkomunikasi dengan bawahannya termasuk memberi arahan. Sedangkan penyeleksian bawahan yang terdiri dari koordinator umum, koordinator surveyor, koordinator keuangan, koordinator penulis dan kuesioner, koordinator grafis, dan editor dilatarbelakangi oleh pertanggungjawaban posisi-posisi tersebut terhadap supervisor secara eksklusif.
Penelitian ini menjadi unik untuk dikaji, terlebih dilihat dari sisi umur karyawan DetEksi Jawa Pos yang masih muda dan berstatus mahasiswa, mempunyai perbedaan dan keunikan dibanding organisasi lainnya yang karyawannya tidak memiliki kegiatan lain (tidak kuliah). Contoh dalam lingkup kecil, organisasi DetEksi Jawa Pos memiliki perbedaan dibandingkan dengan karyawan dari kompartemen Jawa Pos lainnya. DetEksi Jawa Pos berhak memilih kebijakannya sendiri tetapi tetap di bawah pengawasan tim manajemen Jawa Pos Koran.
Berdasarkan hal-hal tersebut, observasi perihal taktik komunikasi organisasi antara atasan dan bawahan pasca restrukturisasi manajemen pada DetEksi Jawa Pos ini memakai pendekatan kualitatif dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif (descripstion research). Penelitian ini dibutuhkan dapat memberikan berita yang komprehensif ihwal strategi komunikasi organisasi antara atasan dan bawahan pasca restrukturisasi manajamenen pada DetEksi Jawa Pos di mana peneliti dapat memperoleh data primer lewat hasil pengamatan langsung dan wawancara secara mendalam (indepth-interview) yang dilaksanakan terhadap pihak DetEksi Jawa Pos dan data sekunder dari pengumpulan arsip, dokumentasi, dan literatur-literatur pendukung.
PEMBAHASAN
Strategi Komunikasi Organisasi dari Atasan ke Bawahan (Downward Communication)
Menurut Gibson, menentukan seni manajemen komunikasi perlu adanya rasa saling saling percaya yang diciptakan antara komunikator dan komunikan. Kalau tidak ada unsur saling mempercayai, komunikasi tidak akan berhasil. Tidak adanya rasa saling yakin akan menghalangi komunikasi (Ulbert 2007, p.228).
Sebelum melancarkan proses komunikasi, hal yang mesti dijalankan adalah mempelajari siapa yang mau menjadi target komunikasi atasan. Adapun hal-hal yang perlu diketahui dari komunikan adalah kerangka referensi dan suasana serta kondisi mereka. Dalam hal ini, Indri dan penulis sebagai editor DetEksi Jawa pos sudah mengenali aksara penulisnya. Begitu juga yang dilaksanakan oleh Puspita.
“Lihat-lihat penulisnya dahulu. Perlakuan buat ngasih isyarat beda-beda. Kalau ke Mut, sekali ngomong risikonya pada umumnya setuju. Beda jika ke Bibik, mesti tahu mood-nya lagi oke nggak. Kalau lagi nggak oke ntar niscaya bakal perang ngeyel sama aku. Hahaha. Dan ujung-ujungnya nanti banyak ngeluhnya.”
(Puspita, Personal Interview, 22 April 2013)
Tiap individu memiliki karakter yang berlawanan-beda oleh alasannya itu perlakuan dikala memberikan gosip atau pesan juga berbeda-beda. Hal tersebut berlaku jika akan mengomunikasikan secara personal, tetapi jika secara berbarengan biasanya diumumkan dikala rapat mingguan setiap hari Sabtu atau ketika rapat kecil yang berlawanan-beda setiap timnya.
Unsur selanjutnya yang menjadi penting adalah bagaimana mengemas pesan atau arahan tersebut supaya ditanggapi oleh komunikan. DetEksi Jawa Pos menyadari bahwa pengemasan pesan akan mempengaruhi penerimaan pesan itu sendiri oleh komunikan, dalam hal ini adalah bawahan. Pada dasarnya tata cara komunikasi ke bawah mengandalkan aneka macam jenis media cetak dan oral untuk mengembangkan gosip. Beberapa pola media tertulis menurut Luthans (2006, p.385) berbentukbuku tutorial organisasi, buku isyarat , majalah, koran, dan surat yang dikirim ke rumah atau dibagikan dalam pekerjaan, item papan pengumuman, poster, dan display isu; dan laporan kriteria, deskripsi mekanisme, dan memo. 
Informasi dari atasan ke bawahan pada DetEksi Jawa Pos salah satunya mengandalkan komunikasi secara pribadi dan tatap paras , umumnya dikerjakan pada dikala rapat mingguan dan rapat kecil setiap tim. Komunikasi secara ekspresi secara eksklusif yang dilakukan atasan ke bawahan DetEksi Jawa Pos dirasa sungguh penting untuk dijalankan. Karena komunikasi mulut secara tatap tampang akan mensugesti perilaku dan sikap bawahan.
Bentuk oral communication yang dilakukan DetEksi Jawa Pos berupa rapat dan koordinasi secara personal. Setiap Sabtu rutin dilakukan rapat mingguan yang terdiri dari tiga sesi. Pada pukul 09.00 WIB rapat halaman (reporter/penulis, editor, editor in chief/supervisor halaman, koordinator penulis, dan tim kuesioner); di waktu yang sama tetapi di ruangan yang berbeda tim fotografer, koordinator grafis, dan tim grafis juga menyelenggarakan rapat sendiri untuk mengkoordinasikan layout halaman. Setelah tim halaman simpulan, barulah giliran tim surveyor, koordinator surveyor, supervisor even, tim entry data, dan tim kuesioner melaksanakan rapat.
Rapat halaman tiap Sabtu bertujuan untuk me-listing halaman rubrik, evaluasi halaman yang terbit sepekan sebelumnya, mengajukan pandangan baru polling, dan koordinasi. Suasana rapat pun tidak dibentuk serius. Puspita yang merupakan supervisor halaman setiap Sabtu senantiasa memeriksa kinerja karyawan. Salah satunya adalah absensi. Bila, penilaian yang diberikan tidak terlampau berat, maka cara penyampaiannya pun dilakukan secara santai dan dibentuk candaan
Menciptakan situasi rapat yang santai, berdasarkan Mahesa menciptakan pesan atau berita yang mau disampaikan menjadi lebih efektif.
“Biar nggak tegang ya. Kita kan bawah umur muda, jikalau emmm…rapatnya formal akhirnya kan bosan. Guyonan yang fresh walaupun kebanyakan pakek apa itu candaan yang ngeres, hehehe. Justru membuat pikiran jadi kembali ceria. Makara, biar bawah umur nggak frustasi dengan tugasnya terus. Penting itu.”
(Ivan, Personal Interview, 22 April 2013)
Agar tidak bosan dengan rapat yang begitu-begitu saja, sesekali suasana rapat dirubah. Terkadang rapat diadakan di KFC sambil makan atau bahkan dilaksanakan di salah satu rumah anggota rapat. Selain untuk menjadikan asumsi fresh kembali, kekompakan dan silaturahmi antar karyawan menjadi lebih bersahabat.
“Kalau rapat di rumahnya siapa gitu kan enak, jadi tahu rumahnya, keluarganya. Kaprikornus kekerabatan bawah umur itu nggak terbatas di lingkup kantor aja. Sama keluarga nantinya kan jadi deket.”
(Mahesa, personal interview, 22 April 2013)
Selain menggunakan komunikasi oral atau lisan, pihak atasan DetEksi Jawa Pos juga menggunakan tata cara komunikasi goresan pena yang juga di-mix dengan gambar. Sesuai dengan hasil observasi Level 1972 (Pace dan Faules 2006, p.147) yang menunjukkan metode ekspresi dibarengi goresan pena yang paling efektif. 
“Anak-anak itu nggak suka baca map, sukanya ngomong pribadi. Tapi, map itu justru jadi pengingat dan bukti, bahwa kita pernah ngomong. Kalau kita ngomong eksklusif, bilangnya nggak pernah ngomong. Makara itulah gunanya map sebetulnya.”
(Puspita, Personal Interview, 22 April 2013)
Bila dilihat dari pernyataan kedua informan, bisa disimpulkan bahwa komunikasi yang dilaksanakan dari atasan ke bawahan juga mengandalkan media, baik elektronik, cetak, maupun majalah dinding untuk mengkomunikasikan berita yang ada. Namun, media dipakai selaku pengulang (redundancy/repeatation) dari komunikasi verbal yang sudah dijalankan. Redundancy (repeatation) yakni cara mensugesti komunikan dengan jalan mengulang-ulang pesan terhadap komunikan. Dengan teknik ini komunikan akan lebih memperhatikan pesan itu ketimbang pesan yang tidak diulang.
Dari data yang peneliti peroleh, ada beberapa macam media yang dipakai untuk mengkomunikasikan pesan dari atasan ke bawahan. Yakni, job description, hand book, map, papan pengumuman, surat tertulis, dan memo. Untuk mencapai keseragaman, efesiensi dan efektivitas kerja sesuai yang dibutuhkan DetEksi Jawa Pos menggunakan media job description yang mengatur pembagian kerja masing-masing karyawan yang meliputi wewenang dan tugas yang harus dilakukan.
Selain itu, DetEksi Jawa Pos juga menawarkan handbook (buku anutan), khususnya untuk penulis/reporter DetEksi Jawa Pos. Handbook yang berjudul Satu Kata Jawa Pos tersebut dipakai selaku pedoman penulis/reporter untuk menulis dengan kalimat yang sesuai EYD dan komitmen yang telah disepakati DetEksi Jawa Pos bareng Jawa Pos. Tujuannya, semoga penulisan kata yang dipakai menjadi seragam dan sesuai dengan pakem yang ada.
Pada DetEksi Jawa Pos, map penulis dan surveyor ibaratnya ialah nyawa bagi penulis dan surveyor. Meskipun terkesan sederhana, map justru menjadi “kitab suci” yang sungguh diperlukan baik oleh atasan maupun bawahan. Baik map surveyor maupun map penulis terdiri dari isu-berita penting tentang tugas karyawan. Oleh alasannya adalah itu kehilangan map sama saja kehilangan isu penting. Selain berfungsi sebagai media penyalur info-info penting, map juga berfungsi untuk membuat situasi akrab, mengambil alih posisi majalah internal organisasi. Di dalam map juga berisikan candaan-candaan lucu, bahkan gosip-informasi terbaru ihwal karyawan.
Baik map penulis maupun surveyor dibuat sekreatif mungkin biar bisa menarik minatkaryawan. Dari sisi bahasa sampai layout juga dibentuk semenarik mungkin. Wilbur Schramm mengemukakan apa yang disebut dengan Availability (mudahnya diperoleh) dan Contrast (kontras) kedua hal ini yaitu menyangkut dengan penggunaan tanda-tanda komunikasi (sign of communication) dan penggunaan medium (Arifin 1994, p.72).
Sama halnya dengan map penulis, papan gosip selaku media penyampai pesan secara tertulis juga dibentuk fun. Biasanya informasi yang ditempel pada papan isu menyangkut kepentingan seluruh karyawan, bukan per devisi. Bila map dan handbook cuma diperuntukkan untuk devisi-devisi tertentu, papan berita ditujukan untuk biasa . Biasanya papan informasi banyak berisikan foto-foto lucu hasil editan anak grafis atas perintah atasan dan kejadian-insiden konyol para kru. Pun tidak jarang ditemukan isu-gosip beredar di papan informasi.
Metode goresan pena yang digunakan atasan DetEksi Jawa Pos dalam menginformasikan pesan adalah dalam bentuk surat. Biasanya penyampaian pesan dengan cara ini menyangkut dilema kinerja individu, yaitu berupa rapor bulanan, atau bisa juga berupa pemberitahuan sesuatu yang bersifat diam-diam mirip password komputer dan isyarat telepon.
Pesan tertulis yang lain yang bersifat personal adalah memo. Biasanya atasan akan membuat memo yang ditempelkan di meja bawahan yang diberikan aba-aba. Isi memo biasanya bersifat individual yang hanya berisikan instruksi pekerjaan satu orang saja, bukan bersifat lazim. Informasi yang bersifat biasa biasanya ditempelkan di papan informasi dan map.
Selain budaya yang ada di dalam organisasi, pimpinan juga dilarang melupakan budaya eksternal yang sedang meningkat (Solomon 1999), tergolong kemajuan teknologi gosip. Dewasa ini, budaya berkomunikasi sungguh mengapresiasi komunikasi verbal yang terintegrasi dengan teknologi isu. Jejaring sosial ialah teknologi komunikasi terkini yang telah menempel pada generasi muda.
Mahesa memberikan bahwa saat ini DetEksi tidak mampu lepas memakai media sebagai fasilitas untuk menyebarkan berita ke bawahan. Terlebih penggunaan jejaring sosial (twitter) dan akomodasi chat room seperti Line, BBM, dan Whatsapp.
“Disadari sih jejaring sosial gitu kan bikin anak susah ngobrol di dunia nyatanya. Mereka justru banyak apa ya…rame gitu kan di media sosial. Tiap malam sukanya nge-tweet, main FB. Nah, kita yang semuanya anak muda ya tentu saja nggak bisa ya apatis dengan media seperti itu. Kadang ya komunikasi berlanjut melalui media-media seperti itu, walaupun kita tetep menomorsatukan ngobrol langsung”
(Mahesa, Personal Interview, 22 April 2013)
Media elektronika berbentukSMS, telepon sampai email, jejaring sosial seperti twitter serta chat room di BBM dan line memang tidak mampu ditinggalkan. Dengan menggunakan media-media tersebut proses komunikasi dapat menjadi lebih gampang dan cepat. 
Strategi Komunikasi dari Bawahan ke Atasan (Upward Communication)
Komunikasi ke atas ialah sumber isu yang penting dalam membuat keputusan, alasannya dengan adanya komunikasi ini pimpinan dapat mengetahui bagaimana pertimbangan bawahan mengenai atasan, tentang pekerjaan mereka, tentang sobat-temannya yang serupa bekerja dan perihal organisasi. Karena pentingnya komunikasi tersebut maka organisasi perlu memprogramnya.
Namun, kadang-kadang komunikasi ke atas lebih sukar dibandingkan komunikasi ke bawah. Hal tersebut dikemukakan Sharma pada 1979 (dikutip oleh Pace & Faules, 2005). Ada empat alasan yang mendasari mengapa komunikasi ke atas tampakamat susah. Pertama, adanya kecenderungan pegawai menyembunyikan pikiran mereka. Kedua, pegawai condong melihat atasan tidak akan terpesona dengan masalah yang sedang mereka hadapi. Selanjutnya, kerap kali atasan tidak sukses memberi penghargaan kepada pegawai yang sudah melaksanakan komunikasi ke atas. Terakhir, adanya perasaan bahwa atasan tidak dapat dihubungi dan tidak tanggap pada apa yang disampaikan pegawai.
Hal seperti itu dirasakan benar oleh Riza, editor DetEksi Jawa Pos saat akan proving atau memberikan sesuatu kepada atasan.
“Ya gimana ya. pekerjaan itu kayak numpuk. Tapi kadang saya simpen sendiri, nggak berani deh ngeluh. Ntar jika ngeluh dibilangnya kerjaanku ngeluh terus tiap hari. Kaprikornus ya mending disimpan aja. Paling juga seringnya ngomongin soal provingan halaman, mau dibawa ke mana tema halamannya. Gitu aja sih.”
(Riza, Personal Interview, 22 April 2013)
Bawahan merasa dirinya tidak mempunyai kuasa untuk memberikan sesuatu terhadap atasan. Kalaupun ada, itupun yaitu sesuatu yang mereka terima dari sesama karyawan. Riza juga menyebutkan bahwa dirinya kesulitan untuk berkomunikasi ke atas sebab argumentasi adanya perasaan bahwa atasan tidak dapat dihubungi dan tidak tanggap pada apa yang disampaikan pegawai. 
“emmmm…tanya soal tugas kita gitu ya. jikalau ada yang aku ngerti ya aku tanya. Tapi, kadang kalau punya pandangan baru ya ngomong aja sih. Seringnya sih nggak diterima, katanya idenya udah sering dan jadul. Hahahaha. Kalau nggak gitu ya ngasih ide, kan melalui ide polling.”
(Riza, Personal Interview, 22 April 2013)
Dari beberapa hambatan komunikasi yang dialami bawahan untuk mengkomunikasikan pesan terhadap atasan tersebut, maka tidak disangkal bawahan DetEksi Jawa Pos memiliki seni manajemen khusus untuk mengkomunikasikan pesan terhadap atasannya terutama dalam hal penyampaian pandangan baru.
“Walah, bila ngomongin strategi sih iya lah ya. Misalnya nih, pas mau proving halaman gitu. Biar diterima lazimnya aku bikin taktik khusus. Ya kayak lihat sitkon, mau proving ke siapa dan apa yang di-proving. Biasanya sih ngulang-ngulang bahan juga mampu bikin provingan kita diiyain, hehehe.”
(Riza, Personal Interview, 22 April 2013)
Menurut penelitian sebelumnya (Muhammad 2009), ada lima hal yang mensugesti efektivitas komunikasi ke atas. Dua di antaranya yaitu, pesan haruslah mendukung budi yang baru dan pesan memiliki daya tarik untuk kemajuan organisasi ke depannya. Permasalahan yang menjadi poin penting dalam hal ini ialah bagaimana bawahan mengemas pesan jika nyatanya komunikasi ke atas dirasa sungguh susah. Riza menyatakan bahwa dia senantiasa mengkomunikasikan pesan eksklusif kepada komunikasi yang mengatasi pesan itu secara eksklusif. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Muhammad (2009, p.119) bahawa komunikasi ke atas akan lebih efektif kalau komunikasi itu eksklusif terhadap peserta yang mampu berbuat tentang hal itu.
“apa ya? untungnya sih kini kayaknya lebih mudah gitu. Tahu harus ke mana ngomongnya. Kalau saya ada duduk perkara sama even, saya ngomong sama mas Arthur, halaman ke Mbak Pus yang lebih ngerti.”
(Riza, Personal Interview, 22 April 2013)
Kemudahan untuk mengenali target komunikan juga dinikmati Ivan.
“Lebih mudah sekarang. Kaprikornus ngerti mau ke mana ngomongnya.Dulu lak seringnya dilempar-lempar.”
(Ivan, Personal Interview, 22 April 2013)
Cara penyampaian pesan dari bawahan ke atasan pun berbeda dengan cara penyampaian pesan yang dijalankan atasan ke bawahan. Bila, atasan memakai media selaku teknik redundancy atau pengulang dari informasi sebelumnya, bawahan justru jarang memakai media untuk berinteraksi dengan atasan. Kalaupun ada itu juga untuk mengajukan pertanyaan, bukan untuk mengulang informasi yang diberikan bawahan ke atasan. 
“Kalau saya sendiri sih mending ngomong pribadi ya. Tapi bawah umur juga umumnya gitu sih ya. Kalau melalui media mereka jarang ngeh. Jadi ya enakan ngomong pribadi. Habis ngomong yaudah selesei. Kalau SMS palingan tanya yang kurang ngerti atau kalau ada kendala gitu. Tapi paling sering sih ngomong pribadi.”
(Riza, Personal Interview, 22 April 2013)
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Planty dan Machaver (Pace & Faules 2005) bahwa metode yang paling efektif dari komunikasi ke atas yaitu kontak tatap wajah sehari-hari dan percakapan di antara supervisor dan bawahan. Komunikasi tatap tampang yang dijalankan bawahan paling kerap terjadi pada dikala rapat mingguan maupun rapat tim. Rapat memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah, baik dari atasan ke bawahan maupun bawahan ke atasan.
“Paling intens ngobrol ya pas rapat kerjasama. Tapi di luar itu ya kadang sering juga sih, namun yang diomongin cuma ya yang mudah-praktis aja.”
(Ivan, Personal Interview, 22 April 2013)
Berdasarkan media yang dipakai oleh bawahan untuk mengkomunikasikan pesan ke atasan juga tidak sebanyak mirip info yang diberikan atasan ke bawahan. Sebab, bawahan lebih banyak memakai komunikasi oral secara tatap langsung. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan kesempatan bawahan untuk berkomunikasi melalui media, seperti line, wassap, twitter, sms, telepon, dan email.
“Kalau ngomong pakek media sih paling ya telepon, sms, email. Kebanyakan media elektronika”
(Riza, Personal Interview, 22 April 2013)
Sebagai editor, Riza mengaku lebih sering menggunakan media email dibanding media lainnya untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada atasan. Dia mengaku jarang menggunakan media yang ditawarkan oleh DetEksi.
“Email itu cepet. Sebenernya kan memang kita disuruh corat-coret map ya, tapi nggak tau ya saya kok males. Rata-rata emang map hanya dibuat baca tugas hari itu apa. Gitu doang sih.”
(Riza, Personal Interview, 22 April 2013)
Dari observasi peneliti, pihak bawahan DetEksi Jawa Pos memang jarang memakai media untuk mengkomunikasikan sesuatu pada atasan. Sebagai pola, papan informasi yang ada sebenarnya bukan cuma diperuntukkan untuk atasan saja, tetapi pihak bawahan pun dapat ikut serta untuk menempelkan informasi di sana. Namun sejauh ini hanya pihak atasan saja yang menuliskan pesan atau info di papan gosip.
Selain itu, untuk teknik penyampaian pesannya, bawahan lebih sering menggunakan sistem canalizing, yaitu sebuah cara yang dilaksanakan oleh komunikator dengan mengenali apalagi dahulu wacana rujukan/pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki komunikannya, lalu komunikator menyusun pesan dan tata cara yang tepat dengan itu. Agar komunikan dapat menerima pesan yang disampaikan komunikator dan kemudian perlahan-lahan komunikator merubah pola pikir dan sikap komunikan pada arah yang diinginkan komunikator.
Metode mirip itu sering dilakukan oleh bawahan terhadap atasan DetEksi Jawa Pos, apalagi dikala proses proving. Mereka menggunakan tata cara canalizing, mengenali apalagi dulu atasan mana yang akan dimintai provingan.
“Lihat-lihat lah gitu. Kalau Mbak Puspita ya aku kudu nyari yang suangar, yang bener-bener menakjubkan. Dia kan di musik, ia sukanya musik yang apa ya famoust gitu lah, yang anak muda banget. Beda jika saya mesti proving Science ke Indri. Aku harus nyari materi yang unik yang lucu.”
(Riza, Personal Interview, 22 April 2013)
Ditanya soal imbas yang dicicipi, Riza dan Ivan setuju bahwa dengan menyiapkan pesan sebelum diutarakan ke atasan akan membawa efek yang bagus. Misalnya, dalam mengkomunikasikan pandangan baru-inspirasi.
“Mas-mas Mbak-mbak kan ngasih kita kerjaan. Ya, kita supaya nggak kena marah dan mampu dapet reward ya mesti mampu bagus-elok tuh nyusus seni manajemen ke mereka. Kalu pengin jadi surveyor of the month, ya mesti mampu nunjukin jika kerjaannya beres. Duh, yak apa ya jelasinnya. Pokoknya pada dasarnya saling apa itu to be continue gitu lah, orang-orang atas dan bawah.”
(Ivan, Personal Interview, 22 April 2013)
Maksud dari Ivan ialah secara tidak langsung komunikasi ke atas adalah feedback dari adanya komunikasi ke bawah. Dengan adanya komunikasi ke atas pimpinan dapat memperkuat perlengkapan untuk merekam pandangan baru-pandangan baru dan dukungan dari bawahannya. Hal ini menolong pimpinan mendapatkan balasan yang lebih baik perihal persoalan-duduk perkara mereka dan tanggung jawab mereka. Dengan terbukanya komunikasi ke atas, pimpinan mampu membantu arus dan penerimaan komunikasi ke bawah.

KESIMPULAN
Berdasarkan data yang diperoleh dan dianalisis oleh peneliti, taktik komunikasi organisasi antara atasan dan bawahan DetEksi Jawa Pos mampu ditarik kesimpulan selaku berikut:
Strategi komunikasi yang dilaksanakan atasan (Supervisor) DetEksi Jawa Pos kepada pihak bawahan (Para Koordinator dan Editor) dalam mengkomunikasikan pesan pada pengerjaan rubrik polling, ada beberapa kesimpulan. Pertama, saat memberikan informasi atau pesan yang meliputi isyarat peran supervisor DetEksi Jawa Pos memakai teknik redundancy, adalah mengulang pesan yang sudah disampaikan. Supervisor DetEksi Jawa Pos mengutamakan komunikasi oral secara tatap paras . Namun, alasannya sifat karyawan yang kurang tanggap dan, akhirnya atasan DetEksi Jawa Pos memakai media komunikasi untuk mengulang (repeatatiom/redundancy). Selain itu, dalam menyalurkan pesannya pihak supervisor DetEksi Jawa Pos memadukan komunikasi formal dan informal sekaligus.
Kedua, supervisor DetEksi Jawa Pos memakai sejumlah media untuk melancarkan komunikasi dengan bawahan, ialah melipuri media secara ekspresi, gambar dan goresan pena. Media lisan secara langsung yang dipakai berupa rapat mingguan dan rapat per tim. Sedangkan media ekspresi secara tak pribadi menggunakan telepon genggam. Supervisor DetEksi Jawa Pos menggabungkan media verbal dengan media tulisan dan gambar. Yaitu, berbentukjob description, hand book, map, papan pengumuman, surat tertulis, dan memo. 
Sedangkan taktik komunikasi yang dilaksanakan pihak bawahan DetEksi Jawa Pos (Para Koordinator dan Editor) kepada pihak atasan (Supervisor) dalam mengkomunikasikan pesan pada pembuatan rubrik polling, ada beberapa kesimpulan.dalam mengkomunikasikan pesan pada pembuatan rubrik polling.
Pertama, bawahan mengandalkan komunikasi ekspresi secara langsung dan memakai teknik canalizing. Yakni sebuah cara yang dilakukan oleh komunikator dengan mengetahui terlebih dulu rujukan/wawasan dan pengalaman yang dimiliki komunikannya, kemudian komunikator menyusun pesan dan metode yang tepat dengan itu. Agar komunikan mampu menerima pesan yang disampaikan komunikator dan lalu perlahan-lahan komunikator merubah acuan pikir dan sikap komunikan pada arah yang diinginkan komunikator. Berbeda dengan pihak supervisor, pihak bawahan DetEksi Jawa Pos jarang memakai media sebagai perantara penyalur pesan. Kalaupun ada media tersebut cuma digunakan sesekali. Yakni, paling banyak memakai media elektronik berupa telepon genggam dan email.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar. 1994, Strategi Komunikasi, CV Amrico, Bandung.
Bowman, Edward H, Harbir Singh. 1999, Corporate Restructuring: Trends and Consequences, Wharton School, Pennsylvania.
Cahayani, A. 2003, Dasar-dasar Organisasi dan Manajemen, Grasindo, Jakarta.
Luthans, Fred. 2006, Organizational Behavior, Mc Graw-Hill, New York.
Muhammad, Arni. 2009, Komunikasi Organisasi, 11th edn, Bumi Aksara, Jakarta.
Pace, R. Wayne & Faules, Don, F. 2005, Komunikasi Organisasi: Strategi Mengingkatkan Kinerja Perusahaan, 4th edn, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Effendy, Onong Uchjana. 2006, Teori dan Praktik Ilmu Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Husnan, Suad, Enny Pudjiastut. 2004, Dasar-dasar Manajemen Keuangan, 4th edn, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Miller, Katherine. 2006, Organizational Communication: Approaches and Processes, 4th edn, Thomson Wadsworth, California.