Genderang kampanye dimulai. Di sana sini bendera warni warni tertancap rapih. Baliho mengatakan penuh sensasi. Sosok ibuku salah satu menjadi perhatian. Perempuan yg gemulai & keibuan. Maju sebagai kandidat pemimpin mendatang. Sepuluh tahun sudah ayahku menjadi “Raja” di kampung ini. Tahun terakhir semua warga meminta ibuku pun maju menjadi “Raja”. Aku melamun, gimana nanti nasibku. Diusiaku jelang 20 tahun. Aku butuh sosok ibu yg mendampingi setiap langkahku & hari-hariku.
Maju menjadi bupati bukan opsi ibu. Setelah ayah didesak warga, ibu pun terpaksa maju. Sejak ayah jadi bupati, gue tak pernah merasakan menjadi anak bupati. Aku tak ingin diberi akomodasi, siapa pun menjadi kaget dgn tingkahku. Satu hal yg gue harapkan perhatian ibu & ayah.
Di kampung ini sosok kakekku pula yg dermawan, kakek tak pernah lupa tetangga & kerabatnya tatkala daku. Puluhan hektar sawah & tambak masih menjadi kekayaan turun temurun di keluarga ibuku.
Pernikahan ibu dgn ayah alasannya mereka dijodohkan. Dari kakek, ayah ibu & kakek dr ayah, mereka sudah kerabat erat. Dari dulu mereka senantiasa bareng duduk menjadi pemimpin. Keinginan keluarga besar menciptakan ibu maju menjadi kandidat bupati.
Sore itu ibu baru saja kembali dr lapangan berkampanye. Ibu lemas kecapean, badannya lunglai dan tak berdaya. Saat gue liat ibu, gue duka sekali, air mataku mengalir deras terisak-isak. Kebayang ibu akan pergi lewati kami. Aku menangis menyaksikan ibu yg memaksakan diri maju, padahal gue tahu ibu bukan sosok yg diharapkan banyak orang. Meski bisik-bisik, ayahlah nanti berada dibelakang ibu.
Pintu kamar dikunci, ibu tak mau ditemani banyak orang. Ibu ingin istirahat total. Ibu sungguh letih. Suara ibu parau. Aku duduk disudut kamar membaca ayat ayat suci untuk menenangkan hati ibu. Suaraku kurang jelas mendoakan ibu.
Tak usang ayah masuk kamar & mencium ibu. Sepertinya ibu terlelap tidur, tak merasakan ayah datang. Di kamar cuma ada gue & tante Mina adik ibu. Ayah seperti terkejut mendengar ibu sakit. Ayah tipe laki setia, gue tahu itu alasannya adalah kedekatan ayah dgn ibu senantiasa menjadi kisah banyak orang.
Sore bergeser, senja tiba, suara adzan magrib terdengar bersahutan. Suasana kampung senyap. Warga menutup pintu, semua muslim menunaikan sholat magrib. Malam ini malam jumat terdengar ceramah di salah satu masjid.
Terlintas ada pengumuman kalau esok kerja bersih-bersih lingkungan sekitar. Kampung kami memang higienis. Semua warga sudah peduli & mengerti kebersihan. Setiap Jumat warga silaturrahim dgn kumpul & menenteng alat sendiri.
Aku liat ibu sudah mulai bergerak & membuka matanya. Ibu meminta gue membawanya ke kamar mandi untuk wudhu. Usai sholat magrib & isya ibu minta gue mengaji untuk menenangkan pikirannya.
Lantunan surat Al Kahfi gue baca untuk ibu sampai selesai. Malam itu gue tak meninggalkan kamar ibu. Aku sayang ibu. Aku tau ibu lelah namun tak mau kisah. Ibu sosok wanita bertanggungjawab. Tapi ayah mungkin lupa kalau ibu bukan wanita yg bisa dinobatkan selaku pemimpin kampung kita.
Di luar terdengar bunyi lelaki seperti berkumpul, berbicara menanyakan kabar ibu. Mereka khawatir ibu sakit parah. Suara perempuan terdengar samar-samar. “Iya, ibu cuma kecapean, mudah-mudahan cepat sembuh, biar bisa aktif lagi.”
“Iyaa, kami pula berharap demikian, buat ibu.”
“Kalau bisa kita mengaji untuk ibu.” Salah seorang memangkas.
Malam larut kondisi ibu semakin menurun. Dokter yg mengatasi hanya mengatakan ibu kecapean. Ibu memang bukan politisi, gue sudah bilang sama ayah. Tapi semua tak ada yg mau mendengarku. Mereka semua menciptakan ibu sakit. Kalau seperti ini ayah pun tak bisa bicara.
Aku melihat ayah cuma terpaku bagai patung. Seperti ada penyesalan akan kejadian ini. Detik-detik terakhir kampanye akan berakhir. Semua sudah memberi sinyal kemenangan ibuku. Tapi gue malah marah & menangis, terbayang jikalau ibu duduk sebagai bupati. Ibu hanya akan menjadi boneka yg dimainkan. Karena ibu bukan sosok seperti yg mereka harapkan. Ibuku, perempuan yg sarat perhatian pada keluarga. Aku cemas pekerjaannya selaku bupati akan awut-awutan.
Tiga hari kondisi ibu sudah membaik. Ibu kembali ke panggung dgn teriakan-teriakan yg tak masuk diakalku. Secarik kertas gue tulis untuk ibu. Semoga ibu paham akan perasaanku sebagai putrinya yg butuh perhatian. Sejak awal kuliah gue meminta ibu untuk tak menggantikan posisi ayah. Cukuplah usaha ayah selama 10 tahun untuk kawasan ini.
Jelang pemilihan kepala tempat suasana rumah kian rame. Pagi, siang & malam tak terasa waktu berlangsung dgn mimpi-mimpi. Aku kian resah. Ingin rasanya meninggalkan rumah untuk menenangkan fikiran. Tapi gue kasian ibu yg pasti akan berpikir kondisiku. Sementara gue telah berpikir keras akan keadaan ibu.
Ibu terjangkit penyakit jantung. Seminggu di rumah sakit. Semua menjadi bingung. Dua hari lagi pesta demokrasi dimulai. Aku berbisik pada ayah. Kenapa cerita ibu seperti ini. Kalau saja ayah mau bijak, jangan ibu yg menjadi tumbal politik orang-orang diluar sana. Aku marah dgn ayah, sebab semua sebab ijinnya. Ibu hanya ikut impian semua orang tergolong ayah laki-laki yg sungguh dicintainya.
Bendera politik yg mengantar ibu berkibar. Sementara ibu berbaring lemah di rumah sakit. Pendukung ibu rame-rame datang menjenguk. Mereka memberi semangat & berdoa untuk ibu. Aku sempat murka. Karena merekalah ibu menjadi sakit. Kalau saja ibu tak mengikuti, ibu pasti masih di rumah dgn segala masakan untuk kami. Meski berada disamping ayah sang bupati. Ibu tetap mengamati kami anak-anaknya.
Perhitungan bunyi menjadi tegang. Beberapa kecamatan menjagokan ibu. Hasil sementara ibu unggul dgn jumlah suara teratas. Dokter bekerja maksimal, keadaan ibu makin kritis. Operasi jantung yg barusan dikerjakan menciptakan ibu semakin lemah. Aku menangis disamping ibu. Saat-saat tegang tatkala tak ada lagi sinyal yg kasatmata. Ibu lemah & tak bisa tertolong. Sementara total suara ibu unggul & menciptakan siapa pun berteriak menang. Kita menang!!
Aku jatuh dr pembaringan. Kulihat ibu didepanku membawa pisang goreng dgn teh hangat. Aku baru saja berkhayal. Sudah seminggu gue lemah, sebab sakit. Kupeluk ibu, ada senyum yg selalu kunanti. Ibupun memelukku.
“Kamu sudah sehat, Nak?”
“Iya buu…aku gres saja mimpi, ibu jangan lewati kami.”
“Iyaa, ibu senantiasa di sampingmu, Nak.” (*)