a. Menguji undang-undang kepada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan
d. Memutus pertikaian wacana hasil penyeleksian biasa ;
e. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden diduga sudah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak kriminal berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memeenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wapres sebagaimana dimaksud dalam Undnag-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Tata cara pengajuan permohonan:
1. Permohonan diajukan terhadap Mahkamah lewat Kepaniteraan.
2. Proses pemeriksaan kelengkapan manajemen permohonan bersifat terbuka yang mampu diselenggarakan lewat lembaga konsultasi oleh calon Pemohon dengan Panitera.
3. Petugas Kepaniteraan wajib menyelidiki kelengkapan alat bukti yang mendukung permintaan sekurang-kurangnya berupa:
a. Bukti diri Pemohon sesuai dengan kualifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 perihal Mahkamah Konstitusi, adalah:
i. foto kopi identitas diri berupa KTP dalam hal Pemohon yaitu perorangan warga negara Indonesia,
ii. bukti keberadaan penduduk aturan akhlak berdasarkan UU dalam hal Pemohon yakni masyarakat aturan akhlak,
iii. akta pendirian dan pengakuan badan aturan baik publik maupun privat dalam hal Pemohon ialah tubuh aturan,
iv. peraturan perundang-usul pembentukan lembaga negara yang bersangkutan dalam hal Pemohon yakni forum negara.
b. Bukti surat atau goresan pena yang berkaitan dengan argumentasi permohonan;
c. Daftar talon hebat dan/atau saksi diikuti pernyataan singkat wacana hal-hal yang akan dijelaskan terkait dengan argumentasi permintaan, serta pernyataan bersedia menghadiri persidangan, dalam hal Pemohon bermaksud mengajukan mahir dan/atau saksi;
d. Daftar bukti-bukti lain yang dapat berupa isu yang disimpan dalam atau dikirim melalui media elektronika, kalau dipandang perlu.
4. Apabila berkas permintaan dinilai telah lengkap, berkas permintaan dinyatakan diterima oleh Petugas Kepaniteraan dengan menawarkan Akta Penerimaan Berkas Perkara terhadap Pemohon.
5. Apabila permintaan belum lengkap, Panitera Mahkamah memberitahukan kepada Pemohon perihal kelengkapan permintaan yang harus dipenuhi, dan Pemohon harus sudah melengkapinya dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya Akta Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas.
6. Apabila kelengkapan permintaan sebagaimana dimaksud ayat (7) tidak dipenuhi, maka Panitera menerbitkan akta yang menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak diregistrasi dalam BRPK dan diberitahukan terhadap Pemohon disertai dengan pengembalian berkas permintaan.
7. Permohonan pengujian undang-undang diajukan tanpa dibebani biaya kasus.
(lihat Pasal 6 Peraturan MK 6/2005
TAMBAHAN PENJELASAN :
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap (lihat Pasal 29 UUMK) yang menampung sedikitnya:
a. Identitas Pemohon, meliputi:
i. Nama
ii. Tempat tanggal lahir/ umur – Agama
iii. Pekerjaan
iv. Kewarganegaraan
v. Alamat Lengkap
vi. Nomor telepon/faksimili/telepon selular/e-mail (bila ada)
b. Uraian tentang hal yang menjadi dasar permintaan yang meliputi:
i. kewenangan Mahkamah;
ii. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon ihwal hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji;
iii. alasan permintaan pengujian diuraikan secara jelas dan rinci.
c. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permintaan pengujian formil, ialah:
i. mengabulkan permohonan Pemohon;
ii. menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak menyanggupi ketentuan pembentukan UU menurut UUD 1945;
iii. menyatakan UU tersebut tidak memiliki kekuatan aturan mengikat.
d. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permintaan pengujian materiil, ialah:
i. mengabulkan permintaan Pemohon;
ii. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945;
iii. menyatakan bahwa bahan muatan ayat, pasal, dan/atau bab dari UU dimaksud tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
(lihat Pasal 31 UU MK jo. Pasal 5 Peraturan MK No. 06/PMK/2005 Tahun 2005 wacana Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang – Peraturan MK 6/2005).
Pengajuan permohonan mesti diikuti dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut adalah alat bukti berupa (Pasal 31 ayat [2] jo. Pasal 36 UU MK):
a. surat atau goresan pena;
b. informasi saksi;
c. keterangan jago;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa gosip yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektro dengan alat optik atau yang sama dengan itu.
Di samping diajukan dalam bentuk tertulis permohonan juga diajukan dalam format digital yang disimpan secara elektronika dalam media penyimpanan berupa disket, cakram padat (compact disk) atau yang serupa dengan itu (lihat Pasal 5 ayat [2] Peraturan MK 6/2005).
Pasal 51 ayat 1 UU No. 24 thn 2003. Pihak yang memiliki legal standing yaitu :
a. Perorangan warga negara Indonesia;
(1) Setiap orang berhak atas pengesahan, jaminan, perlindungan dan kepastian aturan yang adil serta perlakuan yang serupa didepan aturan.
(2) Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan serta menerima imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
b. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Kesatuan penduduk hukum budpekerti selaku pihak yang diberikan legal standing untuk menjadi pemohon di MK adalah merupakan perngakuan atas hak asli penduduk selaku pelaksanaan pasal 28 B ayat 2 UUD 1945 dimana “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adra beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan pertumbuhan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikontrol dalam UU”.
c. Badan Hukum Publik atau Privat
sama dengan orang (naturlijke persoon) amka badan hukum (rechts persoon) juga ialah penyandang hak dan keharusan dalam satu metode aturan. Bdan hukum yang diakui selaku memiliki kepribadian sendirin biasanya meiliki kekayaan sendiri. Dikatakan UU maupun tindakan pemerintahan lainnnya yang tidak saja memiliki hak tetapi juga mempunyai kewenangan tertentu untuk melaksanakan sebagian peran dan kewenangan pemerintahan.
d. Lembaga Negara
Lembaga negara yang dimaksud disini bukan hanya lembaga negara yang menemukan kewenangan dari UUD 1945 namun juga lembaga negara sebagai auxiliary institution yang dalam praktik banyak dibentuk oleh UU .
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 perihal Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa sidang pengadilan yaitu terbuka untuk lazim kecuali undang-undang memilih lain. Hal ini berlaku secara universal dan berlaku di semua lingkungan peradilan. Dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 perihal Mahkamah Konstitusi (UUMK) memilih secara khusus bahwa sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk lazim, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Keterbukaan sidang ini ialah salah satu bentuk social control dan juga bentuk akuntabilitas Hakim. Transparansi dan akses publik secara luas yang dilaksanakan MK dengan membuka, bukan hanya sidang tetapi juga proses persidangan yang dapat dilihat atau dibaca lewat transkripsi, informasi program dan putusan yang dipublikasikan melalui dunia maya.
Tersedianya salinan putusan dalam bentuk hard copy yang mampu diperoleh pihak Pemohon dan Termohon setelah sidang pembacaan putusan yang dilaksanakan dalam sidang yang terbuka untuk biasa merupakan interpretasi MK terhadap keterbukaan dan asas sidang terbuka untuk umum tersebut serta selaku pelaksanaan Pasal 14 UU MK.
2) Independen dan Imparsial
Pasal 2 UUMK menyatakan bahwa MK merupakan salah satu forum negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan. Pada Pasal 33 UU Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Hakim wajib mempertahankan kemandirian peradilan. Independensi atau kemandirian tersebut sangat berkaitan dekat dengan perilaku imparsial atau tidak memihak hakim baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan.
Independensi hakim ialah jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya harapan negara hukum. Indenpendensi melekat sangat dalam dan mesti tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap kasus, dan terkait bersahabat dengan independensi pengadilan dalam hal ini yaitu MK sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari banyak sekali pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berbentukintervensi yang bersifat mensugesti dengan halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau akhir alasannya adalah kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkausa, kelompok atau kelompok, dengan bahaya penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan imbalan atau komitmen imbalan berupa keuntungan jabatan, laba ekonomi, atau bentuk lainnya (dikutip dari bukunya Prof Jimly Asshidiqie “Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara” (hal. 53).
Hakim yang tidak independen atau mandiri tidak dapat dibutuhkan bersikap netral atau imparsial dalam mengerjakan tugasnya. Demikian juga satu Mahkamah yang tergantung pada tubuh lain dalam bidang-bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mampu berdiri diatas kaki sendiri juga akan mengakibatkan perilaku yang tidak netral dalam melakukan tugasnya. Independensi dan imparsialitas merupakan rancangan yang mengalir dari kepercayaan separation of powers (pemisahan kekuasaan) yang harus dikerjakan secara tegas supaya cabang-cabang kekuasaan negara tidak saling mempengaruhi.
3) Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana dan Murah
Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa peradilan dijalankan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penjelasan atas ayat (2) tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sederhana ialah investigasi dan solusi perkara dialakukan dengan acara yang efisien dan efektif sedangkan ongkos murah ialah ongkos perkara yang dapat terpikul oleh raktyat.
Dalam aturan acara MK tidak diketahui adanya biaya perkara yang dibebankan pada pemohon atau termohon. Semua ongkos yang menyangkut persidangan di MK dibebankan pada ongkos negara. Menurut Prof. Jimly, ketentuan mengenai ongkos kasus dibebankan pada negara karena bahwa proses peradilan di lingkungan MK pada pokoknya bukanlah mengadili kepentingan lazim atau kepentingan lembaga-lembaga negara yang juga bersifat publik. Karena itu, orang memiliki masalah dengan MK tidak butuhdibebani dengan beban ongkos sama sekali. Selain itu, hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan kehormatan dan kewibawaan MK, lebih baik jikalau MK dibebaskan dari kewajiban berafiliasi keuangan dengan pihak lain. Biarlah seluruh keperluan MK dibebankan saja terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
4) Hak untuk Didengar Secara Seimbang (Audi et Alteram Partem)
Dalam kasus yang diperiksa dan diadili di persidangan biasa, baik penggugat maupun tergugat, atau penuntut lazim maupun terdakwa mempunyai hak yang serupa untuk didengar keterangannya secara berimbang dan masing-masing pihak memiliki potensi yang sama mengajukan pembuktian untuk mendukung dalil masing-masing.
Dalam nuansa yang sedikit berlainan, pada pengujian undang-undang maka pemohon dan pemerintah serta DPR maupun pihak yang berkaitan eksklusif dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji juga diberi hak yang serupa untuk didengar. Bahkan stakeholder lain yang merasa memiliki kepentingan dengan undang-undang yang diuji tersebut mesti didengar jikalau pihak yang terkait tersebut mengemukakan keinginannya untuk memberi informasi. Setidak-tidaknya memberi informasi secara tertulis yang wajib diperhitungkan MK bila informasi tersebut mengandung nilai yuridis yang dapat membuat terperinci persoalan yang berkaitan denagn prosedur pembuatan undang-undang tersebut maupun muatan materi atau bab pasal maupun ayat undang-undang yang diuji tersebut.
Asas ini berkaitan dengan asas Independen dan Imparsial. Dalam proses masalah, pihak terkait yang tidak secara pribadi ikut, keterangannya akan dinilai Mahkamah selaku ad informabdum. Kegagalan hakim untuk melaksanakan asas ini secara baik akan menyebabkan kesan bahkan tuduhan bahwa hakim atau Mahkamah tidak imparsial bahkan tidak adil. Dalam peradilan lazimhal demikian pun mampu dijadikan alasan untuk membatalkan putusan yang telah dijatuhkan.
5) Hakim Aktif dan Juga Pasif dalam Proses Persidangan
Asas ini mempesona, karena dalam aturan program MK hakim tidak hanya bersikap pasif saja, tetapi sekaligus harus bersikap aktif. Hal ini karena karakteristik khusus masalah konstitusi yang kental dengan kepentingan lazim daripada kepentingan perorangan sudah menimbulkan proses persidangan tidak mampu diserahkan hanya pada inisiatitif pihak-pihak. Mekanisme constitutional control harus digerakkan pemohon dengan satu permohonan dan dalam hal demikian hakim bersikap pasif dan dihentikan secara aktif melaksanakan inisiatif untuk menggerakkan prosedur MK mengusut kasus tanpa diajukan dengan satu permohonan. Maka sekali permohonan tersebut didaftar dan mulai diperiksa, disebabkan adanya kepentingan biasa yang termuat didalamnya secara eksklusif maupun tidak pribadi akan memaksa hakim untuk bersikap aktif dalam proses dan tidak menguntungkan proses hanya pada inisiatif pihak-pihak, baik dalam rangka menggali keterangan maupun bukti-bukti yang dianggap perlu untuk membuat terang dan terang hal yang diajukan dalam permohnan tersebut.
6) “Ius Curia Novit”
Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa “Pengadilan dihentikan menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu masalah yang diajukan dengan dalih bahwa aturan tidak ada atau kurang terperinci melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dengan kata lain bahwa Mahkamah dianggap mengetahui hukum yang diharapkan. Mahkamah tidak mampu menolak memeriksa, mengadili dan memutus setiap perkara yang diajukan dengan alasan bahwa aturan nya tidak ada atau hukumnya kurang terang.
Jika ada kesalahan atau tanggapan yang keliru mohon kritik dan sarannya. DAN bila merasa kurang puas dengan balasan yang ada, silahkan Search di banyak sekali blog yang lainnya… Semoga Bermanfaat dan Semoga Sukses Guys… (^___^)’
(Wallahu’alam)..
Blog :
http://www.hukumonline.com/klinik/rincian/cl4944/syarat-dan-tata-cara-pengajuan-judicial-review-ke-ma-dan-mk
Buku :
Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Oleh : Prof. Dr. H. Abdul Latif, SH., MH.
DKK