Pendidikan materialistik menawarkan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non-materi. Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang sudah ditanam oleh orang tua siswa. Pengembalian itu mampu berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai bahan.
Makna hadits tersebut sejalan dengan firman Allah SWT: “Allah niscaya mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan mereka yang berakal pengetahuan bertingkat derajat. Dan Allah Maha mengetahui kepada apa yang kamu lakukan.” (Qs. al-Mujadalah: 11).
Asas Pendidikan Islam
Asas pendidikan yakni aqidah Islam. Aqidah menjadi dasar kurikulum (mata aliran dan sistem pengajaran) yang diberlakukan oleh negara. Aqidah Islam berkonsekuensi ketaatan pada syari’at Islam. Ini berarti tujuan, pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum mesti terkait dengan ketaatan pada syari’at Islam. Pendidikan dianggap tidak berhasil jika tidak menciptakan keterikatan pada syari’at Islam pada akseptor didik, walaupun mungkin menciptakan peserta latih menguasai ilmu wawasan.
Aqidah Islam menjadi asas dari ilmu wawasan. Ini bukan bermakna semua ilmu wawasan yang dikembangkan mesti bersumber pada kepercayaan Islam, alasannya adalah memang tidak semua ilmu pengetahuan lahir dari dogma Islam. Yang dimaksud adalah, aqidah Islam harus dijadikan standar penilaian. Ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan aqidah Islam tidak boleh dikembangkan dan diajarkan, kecuali untuk diterangkan kesalahannya.
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, teratur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk insan yang berkarakter, ialah: Pertama, berkepribadian Islam. Ini bekerjsama merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus mempunyai dua aspek yang mendasar, adalah pola pikir (‘aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada aqidah Islam.
Untuk membuatkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang mesti ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw, ialah:
- Menanamkan aqidah Islam kepada seseorang dengan cara yang tepat dengan kategori aqidah tersebut, adalah selaku ‘aqîdah ‘aqliyyah; aqidah yang muncul dari proses anutan yang mendalam.
- Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki aqidah Islam supaya cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi aqidah yang diyakininya.
- Mengembangkan kepribadian Islam yang telah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan terhadap Allah SWT.
- Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (keharusan individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yakni tsaqâfah Islam yang berisikan konsepsi, wangsit, dan hukum-aturan Islam; bahasa Arab; sirah Nabi Saw, ulumul Qur’an, tahfizh al-Qur’an, ulumul hadis, ushul fiqh, dll.
- Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (keharusan kolektif); lazimnya ilmu-ilmu yang meliputi sains dan teknologi serta ilmu terapan-kemampuan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.
Keempat, mempunyai keterampilan yang mencukupi. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan kemampuan dan keterampilan merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya selaku khalifah Allah SWT.
Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menyebabkan penguasaan keterampilan sebagai fardhu kifayah, adalah bila keahlian tersebut sangat diharapkan umat, mirip rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya.
Agar keluaran pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu faktor saja. Sistem pendidikan yang ada mesti menggabungkan seluruh komponen pembentuk tata cara pendidikan yang unggul.
Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang mesti menjadi perhatian. Pertama, sinergi antara sekolah, penduduk , dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi kasatmata obyektif pendidikan. Saat ini ketiga bagian tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar.
Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat terhadap sekolah/kampus dan menambah keruwetan problem di tengah-tengah penduduk seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada dikala yang sama, suasana penduduk yang jelek terang membuat nilai-nilai yang mungkin sudah sukses ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi kalau pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang cantik, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang terencana dan terprogram mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak asuh pada setiap jenjangnya.
Selain muatan pendukung proses pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keterampilan, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kesanggupan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Pada tingkat dasar atau menjelang usia balig (TK dan Sekolah Dasar), penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, biasa , terpadu, dan merata bagi semua anak bimbing yang mengikutinya.
Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang diantarkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan terhadap mereka budbahasa sopan-santun dan syair-syair yang bagus.”
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya, “Sesungguhnya anakku ini yakni cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa terhadap Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya mewasiatkan kepadamu biar engkau mengajarkan kepadanya al-Qur’an, lalu hapalkan kepadanya al-Quran…”
Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), kebudayaan gila dapat disampaikan secara utuh. Ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme, contohnya, dapat diperkenalkan terhadap kaum Muslim sesudah mereka mengerti Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dijalankan, melainkan untuk diterangkan dan dipahami cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah insan.
Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan kepada ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target yang harus diraih. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan bimbingan bagi pelaksanaan pendidikan.
Warga negara non-Muslim mendapatkan pendidikan yang serupa sebagaimana warga negara yang Muslim. Mereka mempelajari aliran agama mereka di keluarga-keluarga mereka dan komunitas mereka, contohnya di sekolah-sekolah Minggu di gereja-gereja, kelas-kelas pelajaran ihwal Yahudi, pengajaran di kuil-kuil, dan lain-lain. Mereka menyelenggarakan sendiri pengajaran agama bagi anak-anak mereka, negara tidak campur tangan dalam hal itu. Mereka juga mampu saja diizinkan membuka sekolah khusus untuk anak-anak mereka, selama mereka tetap mengerjakan kurikulum yang diputuskan negara, dan tetap dalam kendali negara. Anak-anak mereka akan mengenal bagaimana ajaran aqidah Islam dan bagaimana ibadah mahdhah-nya seorang Muslim walau mereka tidak meyakini dan melaksanakannya. Mereka mengenal hukum-hukum muamalat Islam sebab mereka harus melaksanakannya dalam kehidupan biasa di masyarakat