Ibarat pohon, benakku saat ini yakni sebuah pohon pengetahuan yg besar & kokoh, dedaunannya rimbun hijau, sepanjang cecabangnya sarat bergelantungan dgn buah-buah pikiranku. Matang & siap petik. Sebuah panen raya dgn tari-tarian & lagu rakyat, sarat santapan di meja panjang, begitulah gue membayangkan, dikala duduk di depan meja kerja & menyalakan komputer. Kutegakkan punggungku. Kurasakan kebulatan tekad & keperkasaan, bahkan militansi yg segar. Aku telah lebih dr siap melahirkan sebuah karya utama kesusastraan yg tiada tara: novel tentang Rakai Garung alias Raja Samaratungga dr Wangsa Syailendra.
Delapan tahun lamanya kubaktikan diriku untuk menyiapkan mahakarya ini; kukunjungi banyak perpustakaan, kukumpulkan buku-buku & artikel, kuwawancarai para pakar yg paham sejarah & fasih berbahasa Sansekerta atau Jawa Kuno, bahkan di tahun kelima tatkala menikah, bulan maduku adalah rekreasi ke Candi Borobudur yg sang raja rampungkan. Dengan kesungguhan & gelora membara yg demikian, gue yakin tulisanku—yang pasti bakal epik—niscaya menjulang tinggi di antara segala karyaku yg lain, baik yg tak diterbitkan atau yg ditelantarkan. Satu-satunya bukuku pernah terbit sembilan tahun lalu, yakni suatu novel yg tak laris. Setelah itu belum ada lagi, & ini gara-gara istriku.
Sekian ratus upayaku menulis senantiasa digagalkannya. Setiap kali gue sedang asyik membayangkan plot, intrik, & nyaris sampai pada poin-poin penting kemungkinan kisah novelku, setiap kali itu pula istriku muncul & bicara hal-hal remeh. Selalu tepat waktu. Seakan ia bisa mengendus dr jauh kapan saja kumulai proses imajinatif benakku, kemudian tiba menghancurkan bakal buah pikiranku di dikala-dikala genting. Seakan ia tahu kapan waktunya memperalat pikiranku untuk hal-hal tak penting. Perangai buruknya sama saja dgn orang-orang di kantor yg gemar mengajakku bicara ini itu, melibatkanku dlm sejuta urusan. Terlalu. Kupikir semua mereka lahir ke dunia untuk bersekongkol memberantas karya artistik insan.
Baru tadi sore kubilang pada istriku, kenapa kau begini anti-Hawa? Semua orang tahu, Hawa yg menggoda Adam ke pohon pengetahuan, kenapa kau justru ingin gue jauh-jauh dr pohonku, malah ingin menghancurkannya? Kenapa kau senantiasa membasmi buah pikiranku & menyabot proses penciptaan bukuku?
Diam-membisu gue senang, setelah sekian kali mengancam akan pulang, sehabis menjerit-jerit padaku hampir sejam lamanya, sore tadi istriku sungguhan pulang ke tempat tinggal orang tuanya. Tak sadar dirinya sudah memberkahiku suatu malam Minggu bersejarah untuk hasilnya kumulai novel sejarahku, semenjak maghrib hingga subuh nanti. Aku menatap kertas putih di layar laptop & berpikir, seharusnya kumulai dgn merencanakan semacam situasi yg tepat bagi kerja intelektualku ini, apalah arti sejam dua jam di malam ini dibanding delapan tahun persiapanku.
Aku kemudian sibuk mencari paduan pencahayaan yg tepat antara lampu kuning di sudut ruangan (untuk melembutkan suasana), lampu duduk neon putih di atas meja (untuk menangkal kantuk & menerangi berkas), & lampu neon di tengah ruangan (agar tetap waspada). Kuputar-putar tombol lampu kuning untuk menyetel tingkat ketemaraman yg tepat, kulengkung-lengkungkan gagang lampu duduk untuk mencari derajat yg pas bagi jatuhnya sinar supaya mataku tak silau. Kemudian kurapikan sebukit referensiku; buku-buku, berkas & bundel catatan yg berantakan karena sudah ditendang istriku sebelum ia keluar—kukira kakinya pasti agak sakit oleh tendangan sekeji itu. Istriku kemudian pergi ke kamar mengepak baju dgn berisik & menyemprotkan minyak wangi pada dirinya dengan-cara berlebihan. ia tahu gue tak suka wangi parfumnya. Bau musykil itu sekarang merebak di dlm rumah, terutama di kamar kerjaku, alasannya adalah ia sempat masuk membawa koper untuk menjerit lagi sebelum banting pintu –mungkin jeritan jangan cari gue atau semacam itulah. Bahkan tatkala ia sudah tak ada, baunya sengaja ditinggalkan untuk berkuasa, seakan diberi mandat khusus untuk terus menggangguku.
Aku membuka lebar-lebar pintu & jendela, mengangin-anginkan ruang. Empat jam lamanya gue bersibuk dlm antisipasi menulis. Referensiku sudah rapi, malah gue sempat menikmati secangkir kopi selaku pelepas letih sambil memutar lagu-lagu, hingga suatu ketika kusadari betapa cepat waktu berlalu. Buru-buru gue kembali ke depan meja.
Aku mulai memikirkan kalimat pertamaku. Ini kalimat yg sungguh penting, penentu seluruh isi buku, begitu pikirku, mesti orisinal. Saat kupikirkan kasus pentingnya kalimat pertamaku, tiba-tiba kupikir ada baiknya minum segelas air putih terlebih dulu. Aku perlu menenangkan diri, lagi pula banyak minum air putih itu baik, mirip pesan para dokter. Aku pergi menenggak segelas air di atas rak, tiba-tiba membayangkan jus nanas dr kulkas. Kuomeli diriku sendiri, jangan tergoda, sekali keluar dr kamar, gue sangat mungkin akan berkeliaran di seantero rumah. Maka dgn bijaksana, kuputuskan duduk lagi. Lima menit memandang karser kelap-kelip dgn agak jemu, kuputuskan menganalisa email sebentar. Aku terbawa suasana, klik sana-sini ke banyak sekali situs internet. Sejam lebih gue wara-wiri sebelum tiba-tiba ingat novelku. Kuomeli lagi diriku, kekurangdisiplinan seperti ini tak boleh dipiara.
Aku duduk tegak & mulai mengerahkan segenap kemampuan imajinatif & intuitifku untuk kalimat pertama. Tatkala salah satu bakal pikiranku tengah genting menguntum, mendadak sikuku gatal. Saat kugaruk, melesatlah seekor nyamuk menuju kupingku, berdenging nyaring. Tahu-tahu sepasukan nyamuk datang menyerang sekujur badanku, menukik dlm pelbagai manuver semahir pilot pesawat tempur. Nyamuk patriot sialan, keluhku dlm hati sambil berdiri menutup pintu jendela.
Melanjutkan berpikir, dudukku tak lagi bisa tegak. Aku dibikin sibuk menepuk & menggaruk badanku yg gatal & merah di sana-sini oleh terjangan nyamuk. Aku pura-pura tak peduli. Namun dlm batinku, gue merasa sungguh dirugikan sebab sekarang mesti berpikir sambil mewaspadai mereka. Kewaspadaanku yg makin meningkat, di dikala yg sama, sudah menindas pikiranku. Bagaimana gue bisa memunculkan buah karya, kalau para nyamuk begitu beringas memberantas buah pikiranku? Jangankan sempat berbuah-buah, berbunga saja tidak, kuntum pun belum. Aku sebal mempertimbangkan nyamuk komplotan istriku, sebal badanku gatal-gatal. Kesebalan berganda itu membuatku merasa perlu istirahat sejenak. Aku keluar menuju teras, mempesona nafas dalam-dalam.
Di langit ada bulan purnama. Menatapnya membuatku ingat istriku, padahal gue tidak ingin. Aku tak ingin mengenang pertama kali ketemu istriku di acara akad nikah & kesengsem dgn bunyi seraknya tatkala ia menyanyikan lagu Bob Tutupoly diiringi organ tunggal. Kubilang pada diriku sendiri, berapa orang wanita yg menyanyikan lagu Bob Tutupoly di depan khalayak ramai? Hanya bisa dihitung jari. Baru kali ini kusaksikan perempuan menyanyikan lagu Bob Tutupoly, terlebih Widuri, apalagi dgn begitu merdu & syahdu. Wanita macam apa ini, yg begitu serius menyanyi Widuri, tanyaku dlm hati, apa ia tak cemas dikira lesbian oleh orang-orang? Jangan-jangan benar lesbian? Dan ia sedang memandang, di antara para hadirin, seorang Widuri (atau Bob Tutupoly?) yg elok bagai rembulan oh sayang seperti kata Bob Tutupoly pada Widuri? Menelusuri arah tatapannya, kutetapkan lima orang tersangka rembulan. Penasaran, kuhampiri biduanitaku seusai menyanyi, saat ia mengambil minuman. Kukenalkan diri & pribadi kutanya, Anda bahagia perempuan atau pria? Biduanitaku tertawa keras, mesti kubilang keras sekali, sampai gue terpesona yg kedua kali, karena baru kali ini kudengar ada wanita tertawa begitu keras –semacam tawa tak melengking mirip lazimnya wanita, pun bukan tawa membahana lelaki, tapi lebih serupa tawa suatu makhluk tak berjenis kelamin yg bukan dr dunia ini. ia terlihat surgawi, wujudnya bermandi sinar matahari, suaranya mengalun masih biduan padahal ia tak sedang menyanyi Widuri, bagai musik cinta yg turun dr langit bersemilir ke telingaku mengenyahkan organ tunggal.
Aku jadi kangen pada istriku, agak sedih dgn prospek hari-hari bujangan; keluyuran cari makan, mengolah masakan untuk satu orang, siapa yg akan mengantar ke dokter kalau mag-ku kambuh. Menatap bulan, kuputuskan akan datang menjemput istriku besok pagi-pagi sekali. Mungkin tak pagi benar alasannya gue perlu tidur sebentar, mungkin besok malam, atau lusa—nantilah, saat itu juga kalimat pertamaku selesai. Aku harus memikirkan kalimatku terlebih dahulu, cuma dgn cara itu gue bisa tiba padanya. Akan kubuktikan gue alhasil sudah menulis novelku, supaya ia tak lagi menjerit-jerit seperti sore tadi. Kamu senantiasa menunda segala-gala, jerit istriku, menunda mencicil rumah, punya anak, mengirim pos paketku, berangkat ke kantor, menunda makan hingga mag lalu empat bulan menangguhkan ke dokter, mau belok kendaraan beroda empat saja ananda tunda hingga kendaraan beroda empat motor sepi. Tunda ini tunda itu, besok ya say ahad depan ya say—kamu penunda sejati di segala bidang, lihat nasib bukumu yg tak terperinci itu, kalimat pertama saja tak ada, raja siapa tu namanya, Siramatungga. Dan ananda Sirajatunda! Maharaja! Prabu! Begitulah, dlm salah satu rentetan jeritnya, dgn tak senonoh ia mengata-ngataiku.
Tanpa menangguhkan -nunda, gue masuk lagi. Jika ingin istriku kembali, gue mesti serius menimbang-nimbang kalimat pertama. Aku duduk & mulai berpikir keras. Begitu keras gue berpikir, entah berapa lama, hingga kurasakan semacam letih asumsi yg membekukan. Tatkala pikiranku hampir mendekati titik beku, tiba-tiba melintaslah suatu kalimat –buru-buru kuketik.
Panggil gue Samaratungga.
Aku girang, kalimat pertamaku telah tertera di layar. Dengarlah bunyinya: nggi-ngga, ai-au-aaaa, tiga kata senada seirama, musik sempurna. Daya desaknya begitu telak, menarik hati, bahkan memerintah. Kalau seseorang sudah memerintahkan panggil namanya dgn desak semantap itu, niscaya banyak insiden akan mengikuti. Kuucapkan kalimat itu berulang-ulang dgn berwibawa.Di ulangan ke sekian, kudengar suaraku tertunda.
Panggil gue Samaratungga.
Tunggu, berhenti! kuhardik diriku. Aku mewaspadai sesuatu, tetapi belum terang benar. Lima menit kemudian tiba-tiba jelaslah: oh tidak, itu Ishmael! Moby Dick! Herman Melville sudah duluan memikirkan & menuliskan kalimat pertamaku! Orang itu mencoleng buah pikiranku yg cemerlang, buah kalamku yg pertama di malam ini setelah berjam-jam. Tidakkah Herman Melville tahu delapan tahun lamanya kupersiapkan diriku untuk kalimat itu, tidakkah ia tahu kalau nasib rumah tanggaku ada di situ, tega betul Herman Melville datang dgn mesin waktu & merampas kesempurnaan kalimatku.
Dengan getir kuhapus kalimat yg cuma sesaat jadi milikku. Aku bersandar di kursi, menatap lesu layar yg kembali putih kosong. Aku merasa tak berdaya. Dan tak orisinal. Dan frustrasi. Semua hal yg bisa diperkatakan oleh manusia di dunia ini, sudah pernah dikatakan seseorang dlm sesuatu buku. Semua kalimat pertama yg mungkin, telah habis dipikirkan & dituliskan orang-orang. Sisanya adalah daur ulang. Batinku menjerit pilu, oh buah pena, mahakarya, oh susastra!
Di antara jerit batinku, sayup-sayup kudengar bunyi mengaji dr mesjid. Aku tersentak, dalam waktu dekat subuh. Jangan mengalah! kuperingatkan diriku sendiri, ingat, istrimu taruhannya. Aku kembali mulai berpikir keras.
Kuterus berpikir, hingga kurasakan taraf kekerasanku dlm berpikir nyaris baja. Aku menimbang-nimbang, jika tak kupikirkan kalimat pertamaku, gue takkan bisa menjemput istriku, & gue menderita dibuatnya. Tapi bila kupikirkan kalimat pertamaku, gue pula menderita, alasannya adalah sambil mempertimbangkan kalimat pertamaku, di saat yg sama, gue pula menimbang-nimbang bahwa jikalau tak kupikirkan kalimat pertamaku, gue takkan bisa menjemput istriku, & gue menderita berganda dibuatnya –lalu jikalau kuterus pikirkan, gue akan menderita berganda-ganda. Seakan ke arah mana pun gue berpikir, apa pun buah pikiranku, semata terantuk buah simalakama. Tak cuma sebuah, namun berlipat ganda, dlm panen raya buah- buah Simalakama Sirajatunda Samaratungga—kalimat pertama mahakaryaku menyelip entah di mana. Memikirkan semua ini membuatku mengantuk & ingin tidur saja. Tidur yg usang.