close

Siapa yang Telah Mengisi Shaf? | Cerpen Ede Tea


Kabar pelarangan salat tarawih bukan cuma menjadi pembeda pada bulan puasa tahun ini. Juga menciptakan Suhang menjadi kehilangan pekerjaannya selaku imam. Entah sudah berapa tahun ia menjadi pengurus musala itu. Ia tak pernah mengingatnya dgn pasti. Sama halnya ia tak pernah ingat sudah berapa usang tak mudik.

“Baru tahun ini saya tak menjadi imam salat tarawih, Pak Kiai!” ujar Suhang sedikit menggerutu.

“Demi kemaslahatan umat, Hang!” sahut laki-laki paruh baya di hadapannya.

“Tapi, jika saya tetap melaksanakan salat tarawih di musala itu, boleh tidak, Pak Kiai?”

“Boleh-boleh saja, Hang. Tidak ada yg bisa melarang aktivitas ibadah. Hanya saja, mungkin ananda akan melaksanakannya seorang diri, tanpa makmum.”

Suhang mengerutkan dahinya yg lebar. Ia pikir apa enaknya salat tanpa makmum. Jelas-terang menjadi seorang imam itu pekerjaan yg sungguh mulia. Tidak sembarang orang bisa melakukannya. Hanya mereka yg punya ilmu agama tinggi yg bisa menjadi seorang imam. Dan Suhang amat besar hati alasannya dirinya bisa menjadi penggalan dr orang-orang yg beriman itu.

Selepas menemui pak kiai, Suhang berjalan dgn perasaan galau. Ia tak mau tradisi menjadi imam salat tarawih terhenti pada bulan berkat kini. Ia pun berpikir bagaimana caranya supaya salat tarawih berjamaah dapat terus berlangsung, sebab momen itu hanya terjadi satu tahun sekali. Tatkala Suhang hingga di depan musala, ia mendapat pikiran yg tetiba menciptakan dadanya membuncah. Lelaki itu tahu apa yg mesti dilakukannya.

Suhang membuat surat permintaan yg ditulis tangannya sendiri. Kemudian surat-surat itu ia masukan ke dlm amplop berwarna putih. Suhang mengingat-ingat semua orang nama yg akan ia tulis selaku penerima seruan, sebab tak sembarangan orang boleh mendapatkannya. Setelah 30 seruan final dibentuk, Suhang bergegas membagikannya dengan-cara diam-diam.

  Sedekah Minus | Cerpen Sinta Yudisia

“Undangan apa ini, Hang?” tanya Pak RT yg pula menerima permintaan itu.

“Sssttt…” Suhang menutup mulutnya menggunakan jari telunjuk. “Jangan berisik! Ini ajakan rahasia. Lebih baik Bapak bacanya di dlm rumah saja. Ingat, ini undangan rahasia!” lanjutnya dgn nada berbisik.

Kedatangan Suhang yg menjinjing surat undangan itu, menciptakan banyak sekali pertanyaan yg bersarang dlm kepala Pak RT pula orang-orang yg sudah menerimanya. Namun, lelaki itu terus meyakinkan mereka bahwa yg mendapatkan permintaan adalah orang-orang opsi. Mereka akan mendapat potensi yg tak mungkin orang lain dapatkan pada bulan puasa tahun ini.

Bakda Isya satu per satu warga yg menerima undangan pun tiba di musala. Mereka hanya bisa saling lirik tanpa berani berasumsi. Beberapa dr mereka mengucap rasa syukur karena bisa kembali menginjakkan kaki di rumah Tuhan.

Suhang bangun di erat pintu sambil menyalami orang-orang yg masuk. Sekujur tubuhnya bergetar jago. Entah apa yg menjadikannya demikian. Mungkin sebab ia tak pernah merasa sebahagia itu. Suhang merapikan sedikit letak kopiah di kepala, sambil menebar senyum. Kemudian Suhang berlangsung menuju mimbar dgn gontai.

“Assalamualaikum…,” ujar Suhang ramah pada semua jemaah.

Suhang terus menebar senyum. Seakan-akan malam itu adalah miliknya. Ia memandang orang-orang yg duduk bersila di hadapannya, dgn tatapan yg tak mereka ketahui.

“Terima kasih alasannya adalah Bapak-bapak sudah mau tiba ke musala ini. Sesuai dgn isi dlm surat undangan itu, salat tarawih akan kita lakukan dengan-cara berjamaah. Saya tidak mau bulan pahala kali ini kita lewatkan begitu saja. Ingatlah, yg perlu kita takutkan itu hanya Gusti Allah.”

“Tapi, Hang. Bukannya sudah ada imbauan untuk melaksanakan salat tarawih di rumah saja?” sahut salah satu jemaah.

  Kota Mati dan Pembunuhnya

“Salat berjamaah lebih utama 27 derajat dibandingkan salat sendirian. Kalian mau masuk surga atau tidak?”

“Tapi, Hang….”

“Kalian mau masuk nirwana atau tidak?” ujar Suhang sekali lagi dgn nada tinggi.

Akhirnya mereka menuruti perintah Suhang untuk melaksanakan salat tarawih dengan-cara berjamaah. Suhang tersenyum lebar & tiada henti-hentinya mengucap rasa syukur. Akhirnya ia bisa menjadi imam salat tarawih pada Ramadan tahun ini.

Tetiba ketika Suhang hendak melaksanakan takbiratul ihram, terdengar bunyi ketukan pintu yg begitu keras. Suhang ingin menentukan, namun ia tak mau membatalkan salatnya. Ia kembali melanjutkan bacaan salat, & suara ketukan itu semakin terdengar kencang. Suhang berpaling, & tatkala itu pula beberapa orang masuk menarik tangannya. Suhang sibuk mencari orang-orang yg tadi menjadi makmum salat tarawih untuk meminta derma, tetapi tak ada sesiapa pun dlm musala itu kecuali orang-orang itu.

***

Suhang tak akan pernah melalaikan peristiwa malam itu. Ia kapok melanggar anjuran pemerintah. Ia tak mau lagi mencicipi dinginnya jeruji besi walau cuma semalam. Sungguh, kejadian malam itu sudah merusak nama baik Suhang selaku imam salat yg paling taat.

Kini beberapa warga memandang Suhang selaku seorang badung. Gelar imam salat yg paling saleh tak lagi menempel pada dirinya. Suhang cuma bisa menahan rasa kesal & jengkel pada dirinya sendiri. Ia ingin menjerit, namun sudah tak punya kuasa.

Dengan langkah sempoyongan Suhang berlangsung dr gubuknya menuju musala. Sesampainya di sana ia secepatnya mengambil wudu. Suhang segera melaksanakan salat Isya & di teruskan salat tarawih. Namun, di tengah-tengah salatnya ia mencicipi ketaknormalan. Ia merasa ada beberapa orang di belakang tubuhnya. Ia ingin memutuskan, namun tidak punya banyak keberanian. Suhang pun terus melanjutkan bacaan salat sambil bertanya-tanya dlm hati.

  L O P | Cerpen Putu Wijaya

“Siapakah yg sudah mengisi shaf?” [*]