Di depan rumah sederhana, terdapatlah bunga sepatu yg mekar di atas pot. Bunga-bunga itu terlihat mempesona berwarna-warni. Ada putih, ungu, & merah. Suatu hari datanglah si kuning, seekor kupu-kupu anggun menghampiri.
“Waahh… Bunga yg elok & segar. Pasti banyak serbuk sari yg bisa gue makan,” ucap si kuning sembari menciumi harum mahkota bunga.
Dengan bangga, ia kemudian menuju kepala sari bunga. Di situlah si kuning mendapatkan kuliner tersebut.
“Lezat sekali serbuk sari bunga ini,” gumam si kuning.
Setelah perutnya kenyang, ia secepatnya pulang. Si kuning berpendapat bunga itu bisa menjadi cadangan masakan selama sebulan. Karena itu, esoknya ia kembali lagi untuk sarapan pagi.
“Selamat pagi bunga-bungaku yg manis,” si kuning menyapa bunga sepatu.
Lalu ia melakukan hal yg sama seperti kemarin, yaitu menuju ke kepala sari yg berada di tengah-tengah mahkota bunga & memakan serbuk sarinya.
Belum usang makan, ia mendengar bunyi siulan dr bawah.
“Suiiit… suiitt.”
“Eh.. siapa yg bersiul di bawah?” tanya si kuning.
“Ini gue si coklat, ananda siapa?” terdengar jawaban dr bawah.
Karena penasaran, si kuning lalu terbang & hinggap di kelopak bunga.
“Aku si kuning. Kamu di mana?” kata si kuning sambil turun menghinggapi setiap daun-daun hijau yg rimbun.
Akhirnya si kuning menemukan dr mana asal bunyi tersebut. Namun alangkah terkejutnya, karena melihat binatang yg ia anggap sangat menjijikan.
“Iiihhh.. Binatang apa kau? Kotor & anyir,” kata si kuning sambil menutup hidungnya.
Mendengar ucapan si kuning, si coklat menjadi minder.
“Maafkan aku. Aku hanya seekor cacing,” ucap si coklat menunduk.
“Hey… Cacing coklat buruk, kenapa ananda bisa ada di sini? Ini bunga makananku. Setiap hari gue ke sini,” bentak si kuning.
Si coklat mencoba menerangkan, tetapi si kuning tetap tak bisa mendapatkan alasan tersebut. Bahkan si kuning dgn tega menghalau si coklat.
“Cacing buruk & wangi. Kamu harus pergi dr sini kini juga!”
Mendengar bentakan itu, si coklat menjadi duka & menangis. Kemudian badannya yg panjang pelan-pelan melata meninggalkan pot & tanah kesayangannya.
Sejak dikala itu, si kuning menjadi senang karena tak lagi bertemu dgn si jelek rupa adalah cacing coklat. Ia pun bisa menikmati hidangan serbuk sari dr waktu ke waktu.
Suatu hari bunga sepatu terlihat layu. Serbuk sarinya pun menjadi cuek di mulutnya. Karena tak kuat menahan lapar, kupu kuning secepatnya mencari bunga yg lain. Setelah terbang ke sana ke mari akibatnya terlihat pula bunga yg sedang mekar. Namun ada kupu-kupu lain yg hinggap apalagi dahulu. Kupu-kupu itu bernama si oranye.
“Perutku lapar, bolehkah gue ikut menikmati sari bunga itu?” tanya si kuning memelas.
“Maaf, bunga ini menjadi persediaan makananku saban hari,” jawab si oranye.
“Tolonglah aku, dr pagi gue belum makan,” rengek si kuning.
Merasa kasihan, si oranye risikonya mempersilakan tamunya untuk makan.
“Memangnya persediaan makananmu yg dulu di mana?” tanya si oranye.
“Di depan rumah ujung sana.” Tangan Si kuning menunjuk ke barat.
Si kuning melanjutkan, “Tapi beberapa hari ini terlihat layu & tak segar lagi. Padahal tanah dlm pot masih terlihat basah.”
Si oranye kemudian menjelaskan bahwa tanah yg cuma disiram air belum pasti subur. Tanah yg subur itu mesti ada cacingnya selaku penggembur tanah.
“Di dlm pot ini pula ada cacingnya,” lanjut si oranye.
Setelah menyimak penjelasan itu, si kuning menjadi sadar. Ia meratapi perbuatannya karena telah mengusir si coklat. Walaupun wajah si coklat jelek rupa, ternyata sungguh berkhasiat untuk kemajuan bunga sepatu miliknya.
Si kuning kemudian berpamitan untuk mencari si coklat. Setelah beberapa jam mencari, ia jadinya mendapatkan si coklat sedang menangis di bawah pohon tetean.
“Si coklat, maafkan gue ya,” ucap si kuning sembari memeluknya. Ia kemudian mengusap air mata si coklat & berjanji akan menjadi sobat untuk selamanya.
Kini si kuning menyadari bahwa dgn wajahnya yg elok, bukan bermakna harus arogan & menjelekkan binatang lain yg jelek rupa.