close

Shaf Kosong | Cerpen Chandra Buana

Debur ombak bergemuruh. Mungkin alasannya angin begitu kencang. Tampaknya kapal akan telat berangkat. Ah, sial! Padahal gue sudah tak sabar berjumpa Ayah & Ibu.

Kulihat awan sudah tak jelas lagi bentuknya. Muncul kilatan-kilatan di langit. Kunaikkan resleting jaket hingga ke leher. Namun tak membantu banyak. Aku tetap kedinginan.

Aku turun ke bawah, kawasan kendaraan diparkir di dlm kapal. Katanya, jika hendak menghangatkan diri, pergilah ke sana. Namun belum hingga lima menit, gue sudah tak tahan. Aku kembali ke atas. Bukan karena di sana kian dingin. Sebaliknya, terlalu panas. Asap kendaraan bergulung-gulung. Mesin kendaraan beroda empat dinyalakan, padahal sudah terperinci tertera tulisan “Dilarang Menyalakan Mesin Kendaraan selama Kapal Berlayar”. Begitulah Indonesia, peraturan tinggal peraturan; peraturan dibentuk untuk dilangar.

Di geladak bawah gue menyaksikan puntung rokok. Masih setengah batang. Daripada mubazir, gue memungutnya. Di buritan kusulut puntung rokok itu.

Aku bersandar di pinggir buritan, membiarkan angin menerpa. Biarlah, dibandingkan dengan gue mesti masuk ke ruangan VIP. Ruangan itu hanya membuatku mual & ingin muntah karena amis khas; mi instan dlm gelas plastik. Lagipula jikalau masuk ke sana, setiap orang mesti membayar. Membayar? Untuk merokok pun gue memungut puntung.

Satu jam kemudian kapal berangkat. Debur ombak mereda. Awan pergi menjauh bareng kilatan-kilatan itu. Bulan sabit timbul aib-aib, tertutup segumpal awan yg tertinggal. Akhirnya!

Setelah berjam-jam, kapal bersandar di dermaga. Aku yg semula tertidur, terbangun oleh bising bunyi kapal tanda menepi. Orang-orang berkemas. Seorang ibu berbaju lusuh bersandar di dinding geladak di seberangku berbenah. ia membangunkan sang anak yg berumur dua tahunan. ia mempesona selendang, lalu mengikat & mengendong si anak. Tasnya besar-besar. Mungkin telah berantem dgn suami & hendak kabur ke tempat tinggal orang tuanya.

Di ujung geladak atas dua anak kecil berlarian mengitari dudukan besi. Seorang ibu tua kerepotan memerintahkan mereka berhenti. Beberapa anak kecil datang dr geladak bawah menuju dinding kapal. Aku tahu maksud mereka. Mereka bakal melompat dr atas kapal!

  Pengintai | Cerpen Mashdar Zainal

“Om, lompat goceng, Om?” rayu salah seorang di antara mereka.

Aku bergeming. Aku sedang berhemat. Dasar bocah!

Dulu, waktu gue masih kecil, anak-anak macam itu meminta uang koin. Bukan lembaran. Ah, mungkin zaman sudah berganti. Tiba-tiba seorang perempuan melempar uang sepuluh ribuan yg sudah dilipat-lipat sampai kecil. Seketika itu ada lima atau enam anak terjun ke air. Mereka memperebutkan uang itu. Itulah panorama yg senantiasa tampakdi pelabuhan. Ya, bawah umur itu mencari penghasilan dgn melompat dr atas kapal.

*****

Malam makin larut. Awan kembali cemberut. Apakah gerangan yg menciptakan ia menangis? Rintik air sedikit demi sedikit jatuh ke bumi, membasahi apa saja & siapa pun.

Jam memberikan pukul satu dini hari. Aku tahu tak ada lagi bus yg ngetem di pelabuhan. Kuputuskan naik mobil travel gelap. Sebenarnya sejak turun dr dermaga, sudah banyak calo menawariku naik travel. Namun gue tak menggubris. Biasanya para calo meminta ongkos pada sopir. Kaprikornus lebih baik gue berlangsung agak jauh & mencari kendaraan beroda empat travel yg hendak berangkat, sehingga bisa bertransaksi langsung dgn sang sopir. Tarif dr sopir lebih hemat biaya alasannya adalah tak ada biaya komplemen untuk para calo.

Dua jam berlalu begitu. Hujan mengawaltidurku selama di dlm kendaraan beroda empat travel. Sopir membangunkan gue yg duduk di depan.

“Antasarinya mana, Koh?”

Koh lagi? Aku termangu, memandangi sekitar. Ini sudah Jalan Antasari.

“Di Martabak Sinar Fajar, Pak. Tahu kan?”

“Oh, ya ya ya saya tahu.”

Beberapa menit kemudian, gue hingga di tujuan. Kubayar jasa travel, lalu masuk ke gang kecil. Jalan beberapa menit, sampailah gue di rumah. Lampu kecil berwarna kuning menggantung di depan rumah. Sudah beberapa tahun lampu itu takpe rnah ganti warna. Remang.

  Pedagang Senja | Cerpen Sungging Raga

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam. Ah, karenanya kau datang juga, Nak,” ujar Ibu yg membukakan pintu, lalu memeluk & menciumku.

Aku membalas. Adikku yg gres terbangun masih linglung. Mungkin ia resah, siapa laki-laki yg masuk rumah pagi-pagi. Ayah tak ada di rumah. ia sedang di masjid, membangunkan orang-orang sahur. Setelah sahur, gue mandi, salat subuh, & tidur.

*****

Malam datang begitu cepat. Udara begitu panas, tetapi angin bertiup ke sana-kemari. Tampaknya bakal hujan. Padahal, siang tadi panas begitu terik, seperti mencekik leher. Cuaca ketika ini memang acap berubah-ubah.

Aku mengambil air wudu & pergi ke masjid untuk salat isya sekaligus tarawih berjamaah. Aku datang terlambat & kebagian shaf terakhir, shaf keempat.

Sebenarnya masjid ini tak terlalu ramai. Mungkin sebab permulaan puasa. Namun umumnya tiga atau dua hari menjelang idul fitri, malah bukan hanya empat shaf. Namun cuma empat orang!

Salat isya usai, gue melihat kejanggalan di shaf kedua. Ada satu tempat kosong di shaf itu. Aku berpikir, ada anak kecil di sana. Ternyata kosong. Entah kenapa.

Ketika muazin mengisyaratkan salat tarawih, gue mengamati kawasan itu. Tak kunjung ada yg menempati. Aku galau. Bukankah tatkala salat harus merapatkan shaf? Namun jikalau gue maju, gue bakal melangkah shaf ketiga. Aku tak ingin itu.

Usai salat, gue pulang dgn rasa heran. Aku bingung, kenapa tak ada seorang pun yg salat di tempat itu? Ah, mungkin Cuma perasaanku. Mungkin orang sebelah-menyebelah di shaf itu tak ingin merapatkan barisan.

Keesokan hari, gue sengaja datang terlambat untuk membuktikan simpulanku. Benar, tempat di shaf kedua itu tetap kosong. Ada apa ini? Aku ingin mengajukan pertanyaan, namun takut. Kuingat-ingat, ibuku pernah memberi pesan singkat ihwal meninggalnya sesepuh kampung kami. Itu sekitar sebulan kemudian. Apakah daerah itu sengaja dikosongkan untung mendiang sesepuh itu? Ah, kenapa pikiranku mulai ke mana-mana. Lebih baik gue tidur.

  Macet | Cerpen Alif Febriyantoro

Hari ketiga gue salat, daerah itu tetap kosong. Aku takut, ada apakah gerangan? Apakah tempat itu didedikasikan bagi mendiang Mbah Jarwo? Ah, warga kampungku tak sekolot itu. Akhirnya gue memberanikan diri bertanya pada Ayah sepulang tarawih.

“Yah, kok di shaf kedua ada daerah kosong? Kenapa?”

“Oh, itu. Kalau berani, coba saja kau salat di daerah kosong itu.”

“Ah, Ayah, jangan nakut-nakutin dong!”

“Siapa nakutin? Kan Ayah bilang, coba saja kalau ananda berani.”

“Iya, itu sama saja nakutin, Yah!”

Aku masuk ke kamar. Aku merinding. Sepertinya dugaanku benar. Aduh, kok mampu sih warga berpikir sekolot itu? Aku berkeringat, padahal hawa sedang acuh taacuh. Apalagi gue sudah membangkitkan kipas angin. Ah, lebih baik gue segera tidur.

Malam hari, udai salat isya, Ayah menghampiri. ia berbisik, “Kalau ananda penasaran, cobalah.”

Aku menoleh. Tak percaya.

“Coba saja.”

“Benar gak kenapa-kenapa, Yah?”

“Iya. Sudah cepat sana. Tuh imam sudah berdiri.”

Aku mengamati kawasan itu & kuberanikan maju ke kawasan kosong itu. Tatkala imam mengucap takbir, saat itu juga gue merasa kedinginan. Tubuhku menggigil. Ada apa ini? Aku menahan diri sampai rakaat pertama. Namun saat rakaat kedua, gue tak kuat. Seluruh tubuhku terasa membeku, rasanya sampai ke jantung.

Aku makin takut. Bulir-bulir keringat cuek menetes. Apakah di sini, di tempatku berdiri, ada arwah Mbah Jarwo? Aku bertahan sekuat tenaga sampai salam. Setelah itu, gue eksklusif mundur.

Ayah menghampiriku. “Gimana, Nak?”

“Gak besar lengan berkuasa, Yah. Dingin banget. Pantas tak ada yg mau menempati tempat itu.”

“Sok mistis kau. Coba lihat ke atas. Itu ada kipas angin rusak. Bisa nyala, namun tak mampu berputar. Makara tak ada yg mau salat di sana.”

“Bangs*t!” batinku.

Chandra Buana, kelahiran Bandar Lampung, Sumatera. Kini, menempuh pendidikan pada Jurusan Manajemen Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.