Kau tahu? Waktu itu, anak itu masih sangat kecil. Belum bisa bilang mama papa, & semestinya gres bisa bilang “abaabaaba” meskipun sepanjang gue di sana ia tak pernah mengeluarkan bunyi atau lebih tepatnya suaranya tak mau keluar. Jika kau berada disana waktu itu, maka kamu akan menemukan ia yg kurus kering & mengap-mengap dipangkuan ibunya tanpa ada bunyi yg keluar sedikit pun dr mulutnya.
Ya, ibunya dgn persepsi mata sayu duduk diatas kerikil disamping pintu masuk gubuknya yg hampir tak berupa kawasan tinggal insan sambil memangku anak itu. Dinding gubuk yg terbuat dr bambu yg dibelah telah berlubang di sana-sini. Bahkan dr lubang dinding gubuknya itu, bisa masuk dgn bebas seekor anjing gemuk. Ia yg seharusnya waktu itu berbobot empat kilo lebih sebagaimana anak normal seumurannya, namun ia mungkin hanya memiliki bobot sekilo kurang. Dan mungkin lebih ringan dr berat anak anjing yg gres lahir kemarin. Dengan kulit kehitaman, tangannya layu, bola mata yg seakan keluar dr daerah semestinya, tubuh yg bagaikan tulang terbungkus kulit, & kebesaran kepala. Apalagi bisa berjalan atau berlari, untuk duduk atau merangkak saja ia tak akan bisa. Aku percaya ia tak akan mampu. Tak bertenaga.
Sesekali kulihat ibunya melihat mata anaknya yg keruh & kemerahan. Tangan ibunya yg pula sungguh kurus mengelus rambut anaknya yg tipis kemerahan sebelum akhirnya persepsi itu diarahkan ke sekelilingnya, & melihat pohon-pohon yg hanya tinggal batang menghitam, tanah gersang, & hawa panas yg luar biasa, serta di kejauhan terlihat kurang jelas asap yg mungkin ditimbulkan oleh batang pohon yg terbakar terik matahari.
Di samping ibunya, ada segelas kecil air yg warnanya tak bening lagi. Air itu sungguh keruh. Lebih keruh dr air selokan yg naik ke jalan setiap banjir tiba. Mulut anak itu terus saja mengap-mengap mirip ingin mengatakan sesuatu tetapi tak ada suara yg keluar yg diikuti dgn sedikit gerakan tangan ataupun kaki tanpa tenaga. Setiap mengap-mengap, dr mulutnya meleler air liur yg kemudian diusap oleh ibunya dgn tangan & selanjutnya diusapkan di bajunya.
Sesekali gue pula menyaksikan ibunya mengambil air di sampingnya. Meninggikan letak kepala anaknya lalu mendekatkan bibir gelas itu ke mulut anaknya & menyuapinya perlahan-lahan, mungkin takut jikalau anaknya sampai tersedak. Seteguk air, membuat ia tak mengap-mengap lagi untuk beberapa detik. Kadang-kadang tangan kurus kering ibunya pula mengambil air itu, kemudian diteguknya satu tegukan untuk ditaruh kembali di sampingnya. Terdengar suara “glek” tatkala seteguk air itu melewati kerongkongan ibunya.
Ketika matahari sedikit cenderung ke barat, dr kejauhan, tampak seorang lelaki berjalan dgn buru-buru mendekati gubuk itu, dgn tubuh gontai & langkah kaki tak teratur. Setelah mendekat terlihatlah tampang lelaki itu sungguh kotor dgn kumis & janggut yg berkembang lebat tak pernah dirawat, rambut panjang awut-awutan & penuh daki, tubuhnya kurus kering & ceking dgn kulit menghitam terbakar matahari. Lelaki itu hanya mengenakan celana kolor robek & kumuhserta kebesaran sehingga mesti diikat pada potongan pinggangnya dgn tali & beralan tanpa memakai ganjal kaki.
Di depan wanita yg memangku anaknya, lelaki itu berdiri & mengambil sesuatu yg diselipkan pada tali kolor di pinggangnya.
“Hanya ini yg gue dapatkan hari ini.”
Lelaki itu menyodorkan sepotong tulang yg mungkin itu tulang kaki domba yg sudah mati beberapa ahad yg lalu alasannya di tulang itu masih menempel sedikit sisa daging yg mengering.
“Aku meminta pada seseorang yg gue temui di jalan. Banyak pula orang lain yg meminta cuilan padanya. Ada yg meminta tulang rusuknya, ada yg mematahkan kaki depannya, hingga-sampai ia cuma pulang dgn kepalanya saja. Untungnya gue dapat potongan.”
Ibu anak itu mengambil tulang yg disodorkan padanya & menaruhnya di atas gelas yg airnya tinggal seperempat.
“Daging kering yg masih menempel itu untuk anak kita. Nanti gue haluskan dgn batu,” sambung laki-laki itu sambil mengusap keringat di mukanya dgn tangannya.
Dari percakapan mereka tahulah gue bahwa mereka suami istri.
“Dari kemarin, ia cuma gue beri air saja.”
“Kemarin gue berlangsung hingga daerah yg jauh & tak mendapatkan apa pun.”
“Aku berharap kemarin kau datang membawa sesuatu, setidaknya untuk anak kita. Ternyata kau datang hari ini dgn sepotong tulang.”
Lelaki itu berjongkok di depan wanita yg memangku anak atau lebih tepatnya istrinya, lalu mengelus rambut anaknya yg mulutnya masih mengap-mengap.
“Aku harap besok ada keajaiban untuk kita.”
“Aku pula berharap demikian.”
“Mungkin kita harus lebih banyak berdoa.”
“Doa kita tak pernah didengar.” Ucapan istrinya terdengar sinis.
Lelaki itu bangkit setelah mengelus rambut anaknya & melihat mulutnya yg terus mengap-mengap & mengambil tulang yg ditaruh di atas gelas oleh istrinya.
“Setelah halus, campurlah dgn air biar anak kita bisa menelannya dgn mudah,” pesan istrinya sebelum lelaki itu beranjak ke belakang gubuknya untuk menghaluskan daging kering yg melekat di tulang itu.
Tanpa menyikapi, laki-laki itu melangkah ke belakang gubuknya menenteng tulang itu. Sesaat kemudian terdengar bunyi dua kerikil beradu dr belakang gubuknya.
Istri laki-laki itu atau ibu dr anak itu beranjak dr kawasan duduknya mencoba untuk menidurkan anaknya sambil menunggu laki-laki itu selesai menghaluskan sisa daging kering yg menempel pada tulang. Ia menggoyang-goyangkan tubuh anaknya & berharap anak itu bisa terlelap. Namun ekspresi anak itu tetap saja mengap-mengap & matanya yg keruh & merah tak ingin terpejam.
Ibu anak itu sedikit berjongkok, kemudian mengambil air yg masih tersisa seperempat gelas kecil. Dengan hati-hati ia mengangkat kepala anaknya lebih tinggi kemudian mendekatkan gelas itu ke mulutnya. Dan kau tahu? Air yg diminumkan oleh ibunya ke anak itu tak ingin ditelan anak itu. Airnya kembali keluar berleleran bercampur dgn air liurnya. Ibunya dgn sedikit terampil membalikkan posisi badan anaknya sehingga mulutnya menghadap ke bawah. Kemudian ia mendekatkan gelas itu di depan ekspresi anak itu sehingga airnya kembali jatuh ke gelas.
Beberapa kali, ibu anak itu kembali menyuapi anaknya dgn air. Namun, tetap saja air itu tak ditelan oleh anak itu meskipun cuma setetes. Seperti sebelum nya, air itu berleleran keluar mulutnya bercampur air liurya. Gelas yg berisi air itu kemudian ditaruhnya kembali di atas kerikil tempatnya duduk tadi. Kembali ia menggoyang-goyangkan tubuh anaknya sambil menepuk halus pantat anaknya yg hanya tersisa tulang terbungkus kulit & berharap anaknya bisa terlelap. Sementara di belakang gubuk, suara dua batu yg beradu masih saja terdengar.
“Apakah sudah halus?” Dengan bunyi lemah ibu anak itu atau istri lelaki itu bertanya pada laki-laki itu.
“Tunggulah sebentar lagi. Sekalian gue haluskan pula tulangnya.”
Ibu anak itu duduk kembali di atas kerikil sehabis memindahkan gelas yg tadi diletakkannya di atas batu ke samping kerikil. Sementara lisan anak itu terus saja mengap-mengap. Kadang-kadang terlihat tangannya menggeliat lemah.
“Tunggulah sebentar. Tunggu ayahmu selesai menghaluskan tulang,” bisik perempuan itu di bersahabat indera pendengaran anaknya sambil mengelus rambut anaknya.
Anak itu tak mengangguk atau menggeleng, tetapi tetap saja mengap-mengap dgn air liur yg berleleran semakin banyak. Kali ini ibunya tak mengusap lagi air liur anaknya & membiarkannya berleleran hingga mengenai bajunya. Sambil masih tetap menggoyang-goyangkan & menepuk halus pantat anaknya, ia menyandarkan kepalanya di dinding gubuk. Dari mulutnya terdengar kurang jelas nyanyian yg mungkin dahulu sering dinyanyikan orangtuanya ketika menidurkannya.
“Tunggu lagi sebentar, tinggal mencampurnya dgn air,” laki-laki itu melalui di sampingnya dgn menenteng tempurung kelapa yg berisi abu putih yg berasal dr tulang yg sudah dihaluskan & menuju ke dlm gubuk. Terdengar suara dasar gentong, kawasan air, tatkala laki-laki itu menyendok air.
“Tak ada air yg tersisa di sini!”
“Pakailah sisa air ini.”
Lelaki itu keluar gubuk & mengambil sisa air dlm gelas yg disodorkan istrinya. Lelaki itu menuangkan semua sisa air itu ke dlm tempurung kelapa yg berisi tulang yg sudah menjadi abu.
“Air ini tak cukup.”
“Sudahlah, tak ada sisa air lagi.”
Dengan pasrah laki-laki itu meletakkan gelas ke dlm gubuk & keluar sambil mengaduk tulang yg sudah menjadi bubuk & dicampur sedikit air dgn telunjuknya. Sekilas terlihat seperti adonan tepung alasannya adalah tulang itu betul-betul dihancurkan hingga halus dgn watu, & lebih tepatnya seperti gabungan tepung kekurangan air. Setelah dirasa rata, laki-laki itu menghentikan gerakan telunjuknya & mengangkat telunjuknya dr dlm adonan. Terlihat banyak debu tulang yg menempel di telunjuknya.
“Cicipilah dahulu,” pinta laki-laki itu pada istrinya sambil mendekatkan telunjuknya yg berisi debu tulang itu ke verbal istrinya.
“Kau saja yg mencicipinya duluan.”
“Aku tahu kamu sungguh lapar, kau sajalah yg mencicipinya duluan. Setelah itu baru untuk anak kita. Aku belakangan saja.”
Aku melihat ada sedikit senyum yg mengembang di bibir istrinya. Ia menjilati telunjuk laki-laki itu atau lebih tepatnya suaminya yg berisi abu tulang.
“Bagaimana? Enak?”
Istrinya mengangguk. Lelaki itu tersenyum.
“Bangunkanlah anak kita. Aku rasa ia akan menyukainya, seperti pula kau yg menyukainya.”
Istrinya menoleh ke wajah anaknya & mendapati anaknya tertidur dgn lisan terbuka & bekas air liurnya telah mengering. Ditepuknya dgn halus pipi anaknya untuk membangunkannya. Anak itu bergeming. Kemudian digoyang-goyangkannya tubuh anak itu. Anak itu pula bergeming. Digoyangkannya dgn lebih keras, anak itu pula tetap bergeming.
Lelaki itu lantas berjongkok di samping istrinya. Didekatkannya telunjuknya ke lubang hidung anaknya. Lelaki itu bengong, sementara istrinya menunggu apa yg akan dibilang suaminya sesudah mendekatkan telunjuknya ke lubang hidung anaknya.
Itulah hal yg ingin gue ceritakan padamu & demi Tuhan penguasa bumi & langit, sedikit pun tak terpikirkan olehku untuk menolongnya.