close

Senyum Karyamin | Cerpen Ahmad Tohari

KARYAMIN melangkah pelan & sungguh hati-hati. Beban yg menekan pundaknya yakni pikulan yg digantungi dua keranjang watu kali. Jalan tanah yg sedang didakinya sudah licin dibasahi air yg menetes dr tubuh Karyamin & kawan-kawan, yg pulang balik mengangkat kerikil dr sungai ke pangkalan material di atas sana. Karyamin sudah terlatih semoga setiap perjalanannya selamat. Yakni berlangsung menanjak sambil menjaga biar titik berat beban & badannya tetap berada pada telapak kaki kiri atau kanannya. Pemindahan titik berat dr kaki kiri ke kaki kanannya pun harus dikerjakan dgn baik. Karyamin mesti memperhitungkan tarikan napas serta ayunan tangan demi keseimbangan yg tepat.

Meskipun demikian, pagi ini Karyamin sudah dua kali tergelincir. Tubuhnya rubuh lalu menggelinding ke bawah, berkejaran dgn watu-batu yg tumpah dr keranjangnya. Dan setiap kali jatuh, Karyamin menjadi materi tertawaan kawan-kawannya. Mereka, para pengumpul batu itu, bahagia mencari hiburan dgn cara menertawakan diri mereka sendiri.

Kali ini Karyamin merayap lebih hati-hati. Meski dgn lutut yg sudah bergetar, jemari kaki dicengkeramkannya ke tanah. Segala perhatian dipusatkan pada pengendalian keseimbangan sehingga wajahnya kelihatan tegang. Sementara itu, air terus mengucur dr celana & tubuhnya yg basah. Dan sebab pundaknya ditekan oleh beban yg sungguh berat, maka nadi di lehernya timbul menyembul kulit.

Boleh jadi Karyamin akan selamat hingga ke atas jikalau tak ada burung yg pembangkang. Seekor burung paruh udang terjun dr ranting yg menggantung di atas air, menyambar seekor ikan kecil, lalu melesat tanpa rasa salah cuma sejengkal di depan mata Karyamin.

“Bangsat!” teriak Karyamin yg sedetik kemudian sudah kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulir sejenak, kemudian jatuh terduduk disertai suara dua keranjang watu yg ruah. Tubuh itu ikut meluncur, namun terhenti alasannya adalah tangan Karyamin berhasil mencengkeram rerumputan. Empat atau lima orang mitra Karyamin terbahak bersama. Mereka, para pengumpul watu itu, bahagia mencari hiburan dgn cara menertawakan diri mereka sendiri.

“Sudah, Min. Pulanglah. Kukira hatimu tertinggal di rumah sehingga ananda loyo terus,” kata Sarji yg membisu-membisu iri pada istri Karyamin yg muda & gemuk.

“Memang bahaya meninggalkan istrimu seorang diri di rumah. Min, ananda ingat bawah umur muda petugas bank harian itu? Jangan kira mereka cuma datang saban hari buat menagih setoran pada istrimu. Jangan percaya pada bawah umur muda penjual duit itu. Pulanglah. Istrimu kini niscaya sedang digodanya.”

“Istrimu tak hanya mempesona mata petugas bank harian. Jangan dilupa tukang edar kupon buntut itu. Kudengar ia pula sering tiba ke rumahmu jikalau ananda sedang keluar. Apa ananda pula percaya ia tiba hanya untuk menjual kupon buntut? Jangan-jangan ia menjual buntutnya sendiri!”

  Cerpen Jaring-jaring Merah | Cerpen HTR

Suara gelak tawa terdengar riuh di antara bunyi benturan watu-kerikil yg mereka lempar ke tepi sungai. Air sungai mendesau-desau oleh tindakan mereka. Ada daun jati melayang, kemudian jatuh di permukaan sungai & bergerak menentang arus alasannya tertiup angin. Agak di hilir sana tampaktiga wanita pulang dr pasar & siap menyeberang. Para pencari watu itu membisu. Mereka bahagia mencari hiburan dgn cara menyaksikan wanita yg mengangkat kain tinggi-tinggi.

Dan Karyamin masih terduduk sambil menatap kedua keranjangnya yg berserakan & hampa. Angin yg bertiup lemah menciptakan kulitnya merinding, meski matahari sudah cukup tinggi. Burung paruh udang kembali melintas di atasnya. Karyamin ingin menyumpahinya, tetapi tiba-tiba rongga matanya sarat bintang. Terasa ada sarang lebah di dlm telinganya. Terdengar bunyi keruyuk dr lambungnya yg cuma berisi hawa. Dan mata Karyamin menangkap seluruhnya menjadi kuning berbinar-binar.

Tetapi mitra-mitra Karyamin mulai berceloteh tentang wanita yg sedang menyeberang. Mereka melihat sesuatu yg lezat dipandang. Atau sesuatu itu bisa melalaikan buat sementara perihnya jemari yg senantiasa mengais bebatuan; perihal tengkulak yg sudah setengah bulan menghilang dgn membawa satu truk kerikil yg belum dibayarnya; wacana tukang nasi pecel yg siang nanti pasti tiba menagih mereka. Dan tentang nomor buntut yg selalu gagal mereka tangkap.

“Min!” teriak Sarji. “Kamu membisu saja, apakah ananda tak menyaksikan ikan putih-putih sebesar paha?”

Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, memang pintar bergembira dgn cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan Karyamin tak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah selaku bantuan terakhir. Tawa & senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga kerikil, atau terhadap licinnya tanjakan. Pagi itu senyum Karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yg sudah mulai melilit & matanya yg berkunang-kunang.

Memang, Karyamin telah sukses membangun fatamorgana kemenangan dgn senyum & tawanya. Anehnya, Karyamin merasa demikian terhina oleh burung paruh udang yg bolak-balik melintas di atas kepalanya. Suatu kali, Karyamin ingin membabat burung itu dgn pikulannya. Tetapi niat itu diurungkan karena Karyamin sadar, dgn mata yg berkunang-kunang ia tak akan sukses melaksanakan maksudnya.

Makara, Karyamin cuma tersenyum. Lalu berdiri meski kepalanya pening & langit seakan berputar. Diambilnya keranjang & pikulan, kemudian Karyamin berjalan menaiki tanjakan. ia tersenyum tatkala menapaki tanah licin yg berparut bekas perosotan tubuhnya tadi. Di punggung tanjakan, Karyamin terpaku sejenak menyaksikan tumpukan batu yg belum lagi meraih seperempat kubik, namun mesti ditinggalkannya. Di bawah pohon waru, Saidah sedang menggelar dagangannya, nasi pecel. Jakun Karyamin turun naik. Ususnya terasa terpilin.

“Masih pagi kok mau pulang, Min?” tanya Saidah. “Sakit?”

  Merindukan Nabi di Mushola Kami | Cerpen Supadilah

Karyamin menggeleng, & tersenyum. Saidah mengamati bibirnya yg membiru & kedua telapak tangannya yg pucat. Setelah akrab, Saidah mendengar suara keruyuk dr perut Karyamin.

“Makan, Min?”

“Tidak. Beri gue minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tidak mau menambah utang.”

“Iya, Min, iya. Tetapi ananda lapar, kan?”

Karyamin hanya tersenyum sambil mendapatkan segelas air yg disodorkan oleh Saidah. Ada kehangatan menyapu kerongkongan Karyamin terus ke lambungnya.

“Makan, ya Min? Aku tak tahan menyaksikan orang lapar. Tak usah bayar dahulu. Aku sabar menunggu tengkulak tiba. Batumu pula belum dibayarnya, kan?”

Si paruh udang kembali melintas cepat dgn suara mencecet. Karyamin tak lagi membencinya sebab sadar, burung yg demikian niscaya sedang mencari makan buat anak-anaknya dlm sarang entah di mana. Karyamin membayangkan bawah umur si paruh udang sedang meringkuk lemah dlm sarang yg dibangun dlm tanah di sebuah tebing yg terlindung. Angin kembali bertiup. Daun-daun jati beterbangan & beberapa di antaranya jatuh ke permukaan sungai. Daun-daun itu senantiasa saja bergerak menentang arus alasannya dorongan angin.

“Makara, ananda sungguh tak mau makan, Min?” tanya Saidah tatkala melihat Karyamin bangun.

“Tidak. Kalau ananda tak tahan melihat gue lapar, gue pun tak tega melihat daganganmu habis alasannya adalah utang-utangku & kawan-mitra.”

“Iya Min, iya. Tetapi….”

Saidah memutus kata-katanya sendiri alasannya Karyamin sudah berlangsung menjauh. Tetapi Saidah masih sempat melihat Karyamin menoleh kepadanya sambil tersenyum. Saidah pun tersenyum sambil menelan ludah berulang-ulang. Ada yg mengganjal di tenggorokan yg tak sukses didorongnya ke dalam. Diperhatikannya Karyamin yg berjalan melalui lorong liar sepanjang tepi sungai. Kawan-mitra Karyamin menyeru dgn segala macam seloroh cabul. Tetapi Karyamin hanya sekali berhenti & menoleh sambil melempar senyum.

Sebelum naik meninggalkan pelataran sungai, mata Karyamin menangkap sesuatu yg bergerak pada suatu ranting yg menggantung di atas air. Oh, si paruh udang. Punggungnya biru mengkilap, dadanya putih higienis, & paruhnya merah saga. Tiba-tiba burung itu menukik menyambar ikan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan mangsa di paruhnya, burung itu melesat melintasi para pencari batu, naik menyingkir dari rumpun gelagah & lenyap di balik gerumbul pandan. Ada rasa iri di hati Karyamin terhadap si paruh udang. Tetapi ia hanya bisa tersenyum sambil menyaksikan dua keranjangnya yg kosong.

Sesungguhnya Karyamin tak tahu betul kenapa ia harus pulang. Di rumahnya tak ada sesuatu buat menghalau bunyi keruyuk dr lambungnya. Istrinya pula tak perlu dikhawatirkan. Oh ya, Karyamin ingat bahwa istrinya memang pantas dijadikan alasan buat pulang. Semalaman tadi istrinya sulit tidur karena bisul di puncak p*ntatnya. “Maka apa salahnya bila gue pulang buat mengawalistriku yg meriang.”

  Orang-orang Jatuh Cerpen Nilla A Asrudian

Karyamin mencoba berjalan lebih cepat walaupun kadang dengan-cara tiba-tiba banyak kunang-kunang menyerbu ke dlm rongga matanyta. Setelah melintasi titian Karyamin melihat sebutir buah jambu yg masak. ia ingin memungutnya, tetapi urung sebab pada buah itu terlihat jelas bekas gigitan kampret. Dilihatnya pula buah salak berceceran di tanah di sekeliling pohonnya. Karyamin memungut suatu, digigit, lalu dilemparkannya jauh-jauh. Lidahnya seakan terkena air tuba oleh rasa buah salak yg masih mentah. Dan Karyamin terus berjalan. Telinganya mendenging tatkala Karyamin harus menempuh sebuah tanjakan. Tetapi tak mengapa, karena di balik tanjakan itulah rumahnya.

Sebelum habis mendaki tanjakan, Karyamin secara tiba-tiba berhenti. ia melihat dua buah sepeda jengki diparkir di halaman rumahnya. Denging dlm telinganya terdengar makin nyaring. Kunang-kunang dimatanya pun kian banyak. Maka Karyamin benar-benar berhenti, & melongo. Dibayangkan istrinya yg sedang sakit harus menghadapi dua penagih bank harian. Padahal Karyamin tahu, istrinya tak bisa mengeluarkan uang kewajibannya hari ini, hari esok, hari lusa, & entah hingga kapan, seperti entah kapan datangnya tengkulak yg sudah setengah bulan menjinjing batunya.

Masih dgn seribu kunang-kunang di matanya, Karyamin mulai berpikir apa perlunya ia pulang. ia merasa niscaya tak bisa menolong keadaan, atau setidaknya menolong istrinya yg sedang menghadapi dua penagih bank harian. Maka secara perlahan-lahan Karyamin membalikkan badan, siap kembali turun. Namun di bawah sana Karyamin menyaksikan seorang lelaki dgn baju batik bermotif tertentu & berlengan panjang. Kopiahnya yg mulai botak kemerahan meyakinkan Karyamin bahwa laki-laki itu ialah Pak Pamong.

“Nah, akibatnya ananda ketemu juga, Min. Kucari kamu di rumah, tak ada. Dipangkalan batu, tak ada. Kamu mau mengelak , ya?”

“Menghindar?”

“Ya, ananda memang mbeling, Min. Di gerumbul ini cuma ananda yg belum berpartisipasi. Hanya ananda yg belum setor duit dana Afrika, dana untuk membantu orang-orang yg kelaparan di sana. Nah, sekarang hari terakhir. Aku tak mau lebih lama kaupersulit.”

Karyamin mendengar bunyi napas sendiri. Samar-samar Karyamin pula mendengar detak jantung sendiri. Tetapi Karyamin tak menyaksikan bibir sendiri yg mulai menyungging senyum. Senyum yg sangat bagus untuk mewakili kesadaran yg mendalam akan diri serta situasi yg mesti dihadapinya. Sayangnya, Pak Pamong malah menjadi murka oleh senyum Karyamin.

“Kamu menghina aku, Min?”

“Tidak, Pak. Sungguh tidak.”

“Kalau tidak, kenapa ananda tersenyum-senyum? Hayo cepat; mana uang iuranmu?”

Kali ini Karyamin tak hanya tersenyum, melainkan tertawa keras-keras. Demikian keras sehingga memanggil seribu lebah masuk ke telinganya, seribu kunang masuk ke matanya. Lambungnya yg kempong berguncang-guncang & merapuhkan keseimbangan seluruh tubuhnya. Tatkala menyaksikan tubuh Karyamin jatuh terguling ke lembah, Pak Pamong berusaha menahannya. Sayang, gagal.(*)