SUATU pagi, seorang lelaki bangun tidur & mendapati dadanya sesak. Hidungnya berair & ia batuk-batuk selama empat jam sebelum kemudian menelepon rumah sakit. Petugas tiba tiga puluh empat menit sesudah itu. Petugas itu berjumlah empat orang. Mereka mengenakan baju hazmat. Mereka membawanya ke tempat tinggal sakit. Dan ia ditempatkan di ruang isolasi untuk mencegah penularan penyakit.
Lelaki itu tak tahu bagaimana ia tertular wabah yg sedang melanda daerah. Ia sudah menjalankan segala yg dianjurkan oleh pemerintah setempat. Ia melakukan pekerjaan dr rumah, menyingkir dari kerumunan, cuma keluar untuk berbelanja materi pangan, tekun mencuci tangan & memakai penyanitasi tangan. Ia pula mengenakan masker, bahkan kalau hanya keluar untuk menerima angin segar di teras rumah.
Ia menjajal mengenang-ingat riwayat akitivitasnya. Kali terakhir ia keluar rumah untuk pergi ke supermarket, dua kilometer dr rumahnya, tiga hari kemudian. Di sana, ia berbelanja beras, minyak goreng, telur, & mi instan. Supermarket tak begitu ramai. Ada empat pembeli selain dirinya. Dua orang tak mengenakan masker. Ia sengaja mempertahankan jarak dgn dua orang itu. Tatkala antre membayar, salah satu di antara dua orang itu berdiri di belakangnya & batuk-batuk. Sesampai di rumah, ia buru-buru ganti pakaian, lantas mandi sebersih-bersihnya. Ia bahkan menyabun tubuhnya dua kali.
Dalam masa-masa pengurungan diri di dlm rumah itu, adakala tangannya terlihat kisut & pucat akhir terlampau sering dicuci. Suatu kali, dlm tidurnya, ia berkhayal tubuhnya menjadi hijau seperti kerikil kali yg dilapisi lumut. Ia terbangun dgn napas tersengal. Mengerikan sekali menjadi lumutan balasan terlalu sering terkena air. Namun, sekarang, tatkala dokter memastikan bahwa ia nyata terpapar wabah, ia berpikir bahwa menjadi lumutan seperti batu kali jauh lebih baik.
Mimpi buruk semakin sering datang setelah ia berada di ruang isolasi rumah sakit itu. Awalnya, mimpi itu hanya singgah tatkala ia tertidur, mirip mimpi pada umumnya. Dalam mimpinya, ia menyaksikan tubuhnya yg kaku dikemas plastik, mirip seonggok sayur atau tahu-tempe. Lantas, sejumlah orang dgn baju hazmat menggotongnya, meletakkannya dlm peti. Mereka membawanya ke pemakaman. Tak ada pelayat yg datang. Hanya sejumlah petugas ber-hazmat itu saja. Dan tak satu pun dr petugas itu yg menangis atau terlihat bersedih. Mereka menguruk kuburnya dgn cepat, lantas meninggalkannya begitu saja. Tanpa doa. Tanpa taburan kembang. Alangkah mengerikannya mati tanpa iringan kesedihan dr pelayat.
Sejak mimpi-mimpi semacam itu tiba, ia jadi takut tidur. Kadang-kadang ia tak tidur sehari semalam. Kurang tidur menyebabkan tubuhnya kian lemah. Dokter berkali-kali bilang bahwa ia mesti tidur. Namun, pikirnya, dokter itu tak tahu apa yg dilihatnya dlm tidur.
Sekalipun begitu, kadang-kadang ia jatuh tertidur pula tanpa kehendaknya. Dan beberapa menit setelah matanya terkatup, mimpi itu datang lagi. Semakin usang kian terperinci & mengerikan. Ia menyaksikan dirinya di dlm kubur, terbungkus plastik, perlahan meleleh. Ia merasa pengap sehingga napasnya bertambah sesak. Ia merasa bahwa ia benar-benar berada di dlm kubur dgn plastik membungkus tubuhnya.
Pada balasannya, ia benar-benar memutuskan untuk tak lagi tertidur. Ia berusaha keras. Hari itu sudah lima puluh delapan jam ia terjaga. Dan mimpi itu tiba lagi, meski ia percaya dirinya tak tertidur. Dalam mimpi jelek kali itu, ia melihat malaikat maut terbang di ubun-ubunnya. Malaikat itu besar, berwarna hitam, & bersayap seperti gagak, lengkap dgn paruh tajam. Malaikat itu menjinjing tali tambang besar di tangan kanannya. Tali tambang untuk menjerat jiwa yg meronta, pikirnya. Malaikat itu kemudian berkata bahwa lelaki itu akan mati selepas senja hari itu.
Lelaki itu berteriak, berusaha menghalau si malaikat ajal. Dua orang perawat tiba. Si lelaki agak hening.
“Jam berapa sekarang?” tanyanya.
“Jam setengah lima,” kata salah satu perawat.
“Ah, sebentar lagi,” dengusnya. Napasnya terasa makin berat saja. Paru-parunya panas & hendak meletus. Ia merinding. Ia berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa apa yg barusan terjadi kepadanya hanyalah halusinasi dr orang yg tengah sakit. Bukankah orang yg demam memang suka melihat hal-hal yg sebetulnya tak ada? Namun, jauh di kedalaman hatinya, ia tahu, ia sulit bertahan. Ia terlampau payah.
“Bisakah saya meminta tolong supaya Anda menjinjing saya keluar sebentar saja?” ujar si lelaki dgn sukar payah, “Saya ingin menyaksikan senja. Siapa tahu, ini ialah senja terakhir yg bisa saya nikmati,” tambahnya.
Dua orang perawat itu ragu-ragu. Mereka menghubungi dokter. Dan dokter, yg tampaknya lebih memahami kondisinya, memberi izin pada para perawat itu untuk membawanya keluar. Mereka kemudian mendorong brankar yg ia tempati ke halaman belakang rumah sakit yg dilapisi rumput jepang tipis. Kepalanya menghadap ke barat. Matahari turun. Semburat merah di ufuk barat. Ia menghela napas besar. Lantas batuk-batuk. Udara tak pernah semenyakitkan ini sebelumnya, pikirnya. Namun, senja itu, oh, pula tak pernah seindah kali ini.
Lelaki itu tidak ingin berkedip. Ia tidak ingin melalaikan sedetik pun tanpa menyaksikan cahaya keemasan yg teduh itu. Alangkah cepatnya waktu berjalan. Matahari tampak turun tergesa. Lelaki itu mendengar semacam nyanyian, sebuah nyanyian yg tak bisa dideskripsikan. Apakah senja bisa bernyanyi?
Senja hampir padam. Ia bergidik. Ia belum siap. Ia masih ingin menikmati senja. Ia memejamkan mata, sedetik saja, berharap waktu berhenti. Matanya lembap. Dan tiba-tiba waktu berhenti, mirip yg ia mau. Sepasang perawat yg berdiri di samping kanan-kirinya berhenti bergerak. Tak ada angin berembus. Dua helai daun mahoni yg luruh diam di udara. Seekor pipit yg tengah terbang pula membeku dgn sepasang sayap mengembang & paruh setengah terbuka, sekitar empat meter di atas brankarnya.
Dengan sulit payah, ia menoleh ke kanan ke kiri. Ada perawat mendorong kursi roda yg membawa seorang wanita dgn alat bantu pernapasan yg pula berhenti tak jauh darinya. Ada seorang dokter yg berhenti dgn kaki kanan terbang beberapa sentimeter dr permukaan lantai. Ada keluarga pasien yg tengah menangis & air matanya menggantung di pipi. Di sudut sana, seorang perawat tengah menyuapkan roti ke mulutnya. Mulutnya tetap terbuka dgn sepotong roti terhenti tepat di depan ekspresi itu.
Waktu sungguh-sungguh berhenti. Dan hanya dirinya sendiri yg bisa bergerak. Ia kalis dr waktu. Lantas, kilasan-kilasan insiden berhamburan di benaknya. Seorang ibu yg tengah melahirkan & mengerang-ngerang kesakitan, terhenti. Sepasang suami istri yg hendak berciuman & bibir mereka sudah hampir bersentuhan pula terhenti. Seorang ibu yg hendak memeluk anaknya terhenti. Seorang laki-laki lapar yg hampir saja sukses mengail ikan terhenti. Seluruh kehidupan, selain kehidupan lelaki itu, terhenti. Lelaki itu merasa menjadi satu-satunya makhluk hidup di dunia. Bila senja bertahan, bila senja tak pernah padam, maka itu berarti ia akan tetap hidup. Lelaki itu merasa sedikit tenang. Namun, sesak di dadanya pula bertahan. Lelaki itu meringis. Bila waktu terus berhenti, maka itu memiliki arti ia akan terus hidup & kesakitan di dadanya pula akan terus ada. Siksa & derita yg mesti ia tanggung akan berjalan selamanya. Seperti berada di neraka.
Ia tiba-tiba merasa merana. Bagaimana rasanya terus hidup tetapi segala sesuatu di luarnya terhenti, beku, diam, tak mampu melakukan apa pun? Bagaimana rasanya terus hidup dgn menanggung bara panas di dada selamanya?
Lelaki itu kemudian hingga pada suatu kesimpulan bahwa kehidupan harus terus berjalan. Barangkali hidupnya yg bakal berhenti, tetapi hidup banyak orang lain, kehidupan di dunia ini, semestinya terus berjalan. Dan lebih dr itu, penderitaan yg ia tanggung memang seharusnya secepatnya selsai. Ia memejamkan mata sekali lagi, berharap waktu kembali seperti semula. Dan mirip yg ia pinta, tatkala kembali membuka mata, waktu berjalan sesuai kodratnya.
Senja lantas berakhir beberapa menit kemudian. Kedua perawat itu kembali bergerak. Mereka mendorong brankarnya kembali ke kamar isolasi. Napas lelaki itu kian sukar. Dadanya kian sesak. Bara menyala kian besar. Lelaki itu tahu, ia tak akan pernah menyaksikan senja lagi. Bahkan, ia tak akan sempat menyaksikan ruang isolasinya sekali lagi. Ia menjajal tersenyum. (*)