close

Senja diatas Kereta | Cerpen Astuti Parengkuh

SUNGGUH! Aku tak tahu dgn pasti alasan kenapa Ibu tiba-tiba mengajakku pergi ke Yogya mendadak begini. Kaget saja tatkala Ibu tak lagi mengalami fobia terhadap ular besi raksasa itu. Tapi gue tak sepenuhnya percaya. Bukan sebab ibuku penyuka film-film bertemakan kejahatan di kereta api macam Taking of Pelham, Last Passenger, atau Murder on The Orient Express. Ibu pula tidak mempunyai kegundahan atas pelayanan kereta di zaman dulu, bagaimana insan & binatang seperti kambing & ayam berada dlm satu gerbong.

“Bawa saja satu potong baju, barangkali kita akan bermalam. Kita akan naik kereta!” kata Ibu mengagetkanku.

“Tidak! Ibu tak akan naik kereta, mirip janji Ibu waktu dulu!” seruku menaikkan intonasi suara. Teriakanku mirip kenek angkutan kota di jam-jam kepulangan bawah umur sekolah.

“Ibu mau pergi berkereta & kau temani ibu,” jawab Ibu lembut.

“Serius, nih, Bu, kita akan naik kereta?” kataku dgn nada tanya.

“Benar, Ven, ibu tak pernah bohong sama kamu, kan?”

“Ibu sudah antisipasi semenjak kapan?” gue masih memperlihatkan keheranan.

“Dua jam yg kemudian,” jawab Ibu.

Kulihat di pangkuannya terdapat tas jinjing berukuran sedang yg umumia bawa kalau kami meluangkan diri pergi berdua & menginap di daerah rekreasi. Ibu menggemari suasana pegunungan yg berhawa sejuk atau tamasya ke pantai yg penuh gemuruh bunyi ombak laut.

Ibu memanggil taksi, lalu beberapa menit kemudian kendaraan roda empat itu datang. Kereta akan berangkat dua puluh menit lagi. Untung lalu lintas tak begitu padat. Jalanan kota seakan menjadi teman dekat.

Dahulu, Ibu penyuka kereta api untuk sebuah perjalanan pendek 1 jam ke kota yg berjarak 60 km itu dr kota kami. Aku sering diajaknya untuk keperluan berbelanja barang-barang dagangan. Hampir saban hari Minggu, Ibu senantiasa memanfaatkan kuda besi itu sebagai salah satu alat transportasi.

Kami mempunyai toko kelontong kecil di depan rumah. Selain memasarkan barang-barang kebutuhan primer, Ibu pula memasarkan batik & beberapa produksi kerajinan tangan. Ibu-ibu penghuni kompleks perumahan banyak yg menjadi pelanggan. Terkadang Ibu menerima pesanan seragam ibu-ibu pengajian atau arisan. Namun toko tak lagi buka dlm beberapa tahun terakhir.

  Mbah Ning | Cerpen Priyo Handoko

Tepat pukul lima sore kereta reguler datang & berangkatlah kami bersama para penumpang yg berjubel. Untuk 60 menit ke depan, gue mesti bersabar dgn ketidaknyamanan didalam kereta ini. Pada dua lembar tiket tertera tulisan bahwa penumpang bangkit atau tanpa tempat duduk. Itu artinya gue tak boleh protes kalau kami tak menemukan kursi. Maka yg terbayang di kepalaku nanti yakni bagaimana caranya supaya gue bisa mencari celah sedikit saja di kursi penumpang lain, biar Ibu mendapat tempat duduk yg tenteram.

Ups! Kata Ibu, tak boleh banyak mengeluh. Aku cuma membatin, & kubiarkan kakiku terinjak oleh petugas kontrol karcis. Sesekali troli yg berisi penganan & didorong oleh dua orang pelayan meminggirkan posisi dudukku. Aku duduk di lantai beralaskan kertas koran. Ibu kubiarkan duduk di kursi, dekat pintu. Ada seorang penumpang yg berbaik hati & memberikan tempat duduknya pada Ibu.

Sya-la-la-la, gue bernyanyi didalam hati. Sesekali memang mesti kunikmati kepenatan ini. Ku pangku sebuah buku yg tertunda kubaca. Buku how to setebal 120 halaman, yg akan kuharapkan selesai sekali baca dlm perjalanan ini. Mungkin kecepatanku membaca sama dgn kecepatan penulis buku ini untuk mencari tumpuan di internet. Uupps! Aku salah, Ibu lebih banyak mengajakku berbincang-bincang didalam kereta & bacaanku terbengkalai.

“Sudah usang juga, ya, Ven, kita nggak pergi naik kereta berdua seperti ini. Terakhir kali saat ananda kelas 6 Sekolah Dasar,” obrolan Ibu membuyarkan lamunanku. Kulihat di jendela, kereta baru saja melumat jembatan diatas kali.

“Tiga tahun ada?” tanyaku.

“Iya, semenjak insiden itu,” jawab Ibu. Hmmm… mungkin ini alasan Ibu mengajakku pergi naik kereta. ia hanya ingin bernostalgia. Padahal, sudah puluhan kali gue berusaha mematikan rasa cemas Ibu, syok atas insiden yg pernah menimpanya. Dan sore ini, lalu senja nanti yg beberapa menit lagi ke depan, akan mampu kusaksikan wajah Ibu semringah. Kota Solo berada dibelakang punggungku.

“Bukankah panik itu mesti dihilangkan?” begitu kata Ibu saat kereta kami singgah di Stasiun Klaten. Masih setengah perjalanan.

  Lakon Lama | Cerpen Pipiet Senja

Kutoleh Ibu yg tak melihatku. Wajahnya masih menyisakan paras ayu secantik Dewi Shinta & setegar Srikandhi. Sedikit warna keperakan yg tumbuh dirambut tak digubris olehnya. Buat apa mikirin uban di rambut. Yang penting kan jiwa & raga yg sehat, katanya suatu ketika.

“Venny siap mengirim kapan pun Ibu kehendaki pergi ke Yogya & naik kereta ini,” kataku merayunya.

Ha-ha-ha… kau mirip mendiang bapakmu, Ven. Sok baik, sok percaya diri untuk bisa membantu orang lain, meringankan beban orang lain,” kata Ibu. Bapak sosok yg gue kagumi, seorang pekerja keras, pengabdi keluarga & penduduk . Bapak meninggal ketika bertugas melerai sebuah kerusuhan. Bapak seorang anggota polisi & profesi itu sangat dibanggakan oleh keluarga kecil kami.

Teringat gue akan sosok Bapak yg sangat baik pada kami berdua. Bapak yg tak pernah membiarkan gue bermain sendirian di halaman rumah saat hujan deras tatkala masa kecilku. Yang pada jadinya malah Bapak yg menemaniku bermain hujan-hujanan sambil menanam pohon buah-buahan dikebun belakang rumah.

Aih, Bapak. ia yg senantiasa menanyakan & mengingatkan cita-citaku sebagai seorang penerbang. Katanya suatu ketika, “Kamu sudah memiliki modal tekad & postur badan yg mendukung cita-citamu.”

Maka tatkala ketika ini gue menginjak tahun terakhir duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, terngiang kembali cita-citaku untuk menjadi pilot. Aku ingin masuk sekolah penerbangan.

Bapak tahu hobiku suka berolahraga. Bapak pula yg mengajakku masuk ke klub basket populer di Solo ini tatkala usiaku memasuki bangku Sekolah Menengah Pertama. Deretan piala & piagam penghargaan yg menghias di dlm almari khusus makin menciptakan Bapak besar hati akan prestasi yg gue torehkan. Tidak cuma sebagai juara di beberapa cabang olahraga, namun pula prestasi di lomba-kontes akademik.

Bapak jugalah yg memperlihatkan perilaku pembelaan tatkala suatu hari sebuah kejadian pertengkaran terjadi dikala gue duduk di dingklik SD. Aku dipukul oleh kawanku sekelas, kemudian mitra itu gue balas dgn pukulan yg lebih keras sehingga bibirnya mengeluarkan darah.

Diluar ruangan, Bapak berbisik lirih kepadaku, kalau suatu ketika nanti ada lagi mitra pria yg menyakiti aku, Bapak menganjurkan semoga gue tak berteman dengannya. “Atau sekalian ananda tantang, Ven. Bikin ia tunduk kepadamu,” seloroh Bapak sambil tertawa. Untungnya gue tak tergoda gurauannya.

*****

SUARA laju kereta diiringi derit bunyi rem membuat gue & Ibu hening. Beberapa penumpang tidur. Ada yg membaca buku sambil terkantuk-kantuk. Sepasang remaja cekikikan sambil masing-masing menutup mulutnya. Takut gurauan mereka mengganggu penumpang lain.

  Ikan | Cerpen Abraham Zakky Zulhazmi

“Ini sedang ekspresi dominan panenkah?” tanya Ibu. Tahu saja dia, bila kereta melewati persawahan.

“Iya, Bu. Hamparan padi sudah menguning. Siap untuk dipanen,” jawabku.

“Banyak burung pipit, ya, di senja seperti ini?” tanya Ibu lagi.

“Ada beberapa yg Venny lihat,” jawabanku sepertinya membuat puas Ibu.

“Sayang sekali, suaranya tak terdengar,” Ibu sangat naif. Ah, Ibu, mana mungkin kita mampu mendengar bunyi burung pipit di tengah deru mesin kereta api & bunyi tabrakan antara roda & ganjal rel, gue membatin. Seorang penumpang mengatakan dgn penumpang lainnya bahwa Stasiun Maguwo akan sampai dlm beberapa menit lagi.

Ibu mendekap erat tas di pangkuannya. Ada getaran yg menghebat & sungguh kentara. Tiba-tiba wajah piasnya memucat. Aku menepuk-nepuk punggung Ibu & itu membuatnya cukup hening dlm beberapa menit.

“Kita turun di mana, Bu?” tanyaku.

“Stasiun Lempuyangan,” jawab Ibu tegas.

“Yakin?” tanyaku lagi.

“Berani,” jawab Ibu. Lima menit setelah berhenti di Stasiun Maguwo, karenanya, hingga pula di Stasiun Lempuyangan.

Kereta berlangsung melambat. Ular besi berhenti melakukan perjalanan.

“Akhirnya sampai juga,” teriakan lirih & nyaris bersama-sama dgn Ibu. Kugandeng erat tangannya. Lega rasanya mampu menemaninya menginjakkan kaki kembali di stasiun ini semenjak kejadian tiga tahun lalu. Peristiwa masa lalu itu yakni peristiwa kecelakaan yg menimpa saat tasnya dijambret oleh pencopet yg membawa silet. Ibu sudah berupaya menjaga. Lalu benda tajam itu tepat perihal wajah cantiknya. Dan kedua matanya terluka yg menjadikan kebutaan total.

Senja di atas kereta kali ini telah mengembalikan cinta Ibu. Kiranya waktu telah berpihak kepadanya. (*)