Sembilan Semar | Cerpen Seno Gumira Adjidarma

SIAPAKAH yg percaya Semar itu betul-betul ada? Di dunia ini adakah satu orang saja yg percaya betapa insan yg buruk rupa, menjemukan, & mulutnya berbusa dgn petuah itu bahu-membahu memang ada – cuma saja ia bersembunyi entah di mana? Semar memang ada gambarnya. Ada wayang kulitnya. Ada pula pemain wayang orang yg memerankannya. Semar itu seperti memang ada, jadi nama toko emas, cap batik, merek kecap, trade mark kaos oblong murahan, & entah apa lagi – tapi apakah ada orang yg bisa percaya Semar itu bergotong-royong memang berada di akrab-erat kita saja? Tidak seorang pun di paras bumi ini bahkan pernah berimajinasi , bahwa Semar sungguh-sungguh ada. Sampai ia timbul di tengah orang banyak di jalanan itu, menghunus telunjuknya yg bergetar ke langit, & mengeluarkan bunyi.

“Oladalah, lae, lae…”

Suaranya menggelegar di angkasa, sepatutnya tuhan yg sedang murka. Orang-orang ternganga, tak mampu mempercayai penglihatannya. Ada yg menggosok mata, ada yg terdiam menyeringai saja, ada pula yg coba-coba memotretnya. Semua orang langsung percaya itu memang Semar, namun sekaligus pula siapa saja tak bisa percaya bahwa Semar itu benar-benar ada. Sama sekali tak seperti pemain wayang orang. Ia tak memakai make up. Ia tak mengenakan kostum. Ia tak memang topi rambut imitasi. Tidak memasang bantal di pantatnya. Ia memang Semar. Asli Semar. Semar tulen. Tapi, bagaimana mungkin Semar itu ada?

Ia berdiri di sana, di bundaran Hotel Indonesia dgn wajah penuh amarah. Ia bukan lagi Semar yg sabar. Orang-orang kaget. Semar yg marah yaitu Semar yg berbahaya. Gawat. Jangan sampai ia keluarkan kentutnya. Hancur nanti dunia dibuatnya.

Memang ia Semar. Wibawa yg meyakinkan menyembur dr tubuhnya. Jalanan langsung macet. Lampu merah mati tak berfungsi. Semua orang mendekat. Antara percaya & tak percaya siapa saja melangkah ke satu arah. Memang ia Semar. Bukan badut Ancol, bukan pemain wayang orang, atau orang ajaib yg menjajal menarik perhatian. Percaya atau tidak, ia memang Semar, tak ada yg meragukannya, meski hampir siapa pun masih tetap saja tak habis pikir. Ternyata Semar itu memang ada. Busyet. Mau apa beliau?

Tapi Semar belum mengucapkan apa-apa. Bibirnya bergetar menahan perasaan. Orang-orang menanti. Jika Semar sempat timbul di dunia nyata, pasti ada kejadian yg hebat. Sudah berabad-periode ia bersembunyi saja entah di sudut bumi yg mana. Entah di mana ia tidur, entah di mana ia makan, entah di mana ia menjalani hidupnya sebagai Semar. Apakah ia diam-membisu menonton wayang kulit dr balik kegelapan? Apakah ia berada di deret paling belakang tatkala Semar muncul cuma untuk diejek-ejek oleh anak-anaknya, Gareng, Petruk, Bagong, dlm babak goro-goro yg merupakan ajang para Punakawan menggugat keadaan?

Semar, Semar, oladalah Semar. Memang ia Semar. Badannya gemuk bulat, rambutnya berkuncung putih, mata rembes senantiasa lembap, hidung pesek, & bibirnya cablik. Memang ia Semar. Katanya laki-laki, tapi dadanya m*ntok & jalannya megal-megol mirip perempuan. Katanya ilahi, namun performa rakyat jelata. Cuma jadi punakawan, tapi kesaktiannya bukan cuma melebihi ksatria, melainkan pula Batara Siwa. Semua orang tahu riwayat hidup Semar – Batara Ismaya yg terkutuk untuk mengabdi kebenaran sepanjang hidupnya. Bila kebenaran berada dlm ancaman, itulah saat Semar untuk timbul mengembalikan kedamaian dunia. Namun apabila ia muncul sekarang, apakah yg akan diluruskannya? Jangan-jangan ia tak mengerti. Jangan-jangan ia tak mengikuti perkembangan. Jangan-jangan selama ini ia tidur saja berpuluh-puluh tahun seperti Kumbakarna. Siapa tahu ia tak tahu penggalan bumi yg satu ini baik-baik saja. Sungguh-sungguh kondusif, gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharjo. Yeah, Well, well, well – apakah yg akan dilakukan Semar? Jangan-jangan ia hanya akan mengacau saja. Banyak orang sudah senang dgn keadaan sekarang. Sudah banyak laba. Seorang Semar yg datang memberi perayaan cuma akan mengacaukan ketenangan.

*****

LANGIT mengendap. Matahari sembunyi. Gamelan berbunyi. Seorang jasus memberi laporan suasana lewat handphone.

  Arwah Titisan | Cerpen Destya Tika Ananta

“Ya, betul Komandan, ia memang Semar. Ciri-cirinya cocok. Kulitnya putih mirip kulit sapi. Ia pakai sarung. Telunjuknya menuding ke atas seperti dlm wayang orang, namun kali ini ia kelihatan murka.”

“Tapi ia memang Semar bukan?”

“Memang Semar, Bos.”

Huss, bas-bos-bas-bos, Komandan!”

“Siap! Memang Semar, Komandan!”

“Betul-betul Semar?”

“Asli!”

“Bukan Semar gadungan? Awas, hati-hati, dlm cerita wayang banyak tokoh gadungan lho!”

“Ini asli, Komandan! Asli Semar!”

“Kalau begitu saya pula mau lihat ah!”

Komandan itu sudah mau berangkat tatkala handphone-nya bertulililit lagi. Seorang mata-mata lain meneleponnya.

“Laporan Komandan! Ada Semar di Patung Pizza.”

“Lho Semar lagi? Maksud ananda di bundaran Hotel Indonesia?”

“Bukan Komandan, saya bertugas di Patung Pizza.”

“Semar di Patung Pizza? Kamu mabok? Kamu tripping ya?”

“Saya tak tripping Komandan, saya tak menenggak in*x kalau sedang bertugas. Sungguh mati, saya menyaksikan Semar di Patung Pizza.”

“Di atas pizza-nya?”

“Bukan! Di bawah! Sekarang jalanan macet total!”

“Tangkap ia! Pasti yg itu gadungan!”

“Ini asli, Komandan, orisinil Semar!”

Busyet, busyet! Pagi-pagi sudah ada kejadian konyol mirip ini. Pasang matamu dgn benar, Semar itu orisinil atau bukan, soalnya di bundaran Ha-i pula ada Semar!”

“Sungguh mati! Ini Semar asli, Komandan! Kulitnya merah semua!”

Hampir saja handphone Komandan terlepas dr tangannya alasannya adalah terkejut.

“Merah! Di Ha-i Semarnya putih!”

“Di sana yg gadungan Komandan! Ini betul-betul Semar Merah yg orisinil!”

“Semar Merah! Semar Putih! Mana yg asli?”

Lho, Komandan, Semar itu bisa mengubah diri jadi apa saja, jadi ksatria piawai mampu, jadi perempuan bagus pun bisa.”

“Tapi mestinya yg asli cuma satu toh?”

“Aduh, Bos…”

“Komandan!”

“Siap! Komandan! Apalah yg tak mungkin bagi Semar? Saya kira dua-duanya asli, Komandan!”

“Dua-duanya orisinil! Busyet! Apa yg dikerjakan Semar Merah itu di bawah Patung Pizza?”

“Ia menari-nari, Komandan!”

“Menari-nari?”

“Iya Komandan! Semar menarikan tari perang suku Indian!”

“Semar menarikan tari perang suku Indian? Kamu niscaya tripping!”

“Sumpah mati Komandan, saya malah belum makan dr pagi.”

Semar yg seluruh tubuhnya berwarna merah memang sedang menari. Badannya yg gemuk berputar-putar dgn lincah membawakan tari perang suku Indian, seperti sedang mengitari api unggun. Langit memperdengarkan bunyi perkusi. Jalanan macet. Orang-orang menonton. Mereka pula belum habis pikir bahwa Semar ternyata memang ada. Meskipun umumnyaSemar itu berwarna putih, tetapi Semar yg merah ini sama meyakinkannya mirip Semar. Bukan pemain wayang orang, bukan pula badut Ancol. Memang asli Semar.

*****

KOMANDAN itu tak jadi pergi. Ia tetap berada di dlm kantornya & berpikir. Ia seorang perwira cerdas lulusan Magelang dgn tambahan kursus-kursus di West Point. Ia tak mau asal pilih bertindak. Ia bukan orang yg grasa-grusu & senantiasa ingin kelihatan gagah. Setiap kejadian ada maknanya. Setiap makna mesti diuraikan maksudnya. Ia harus berpikir dr konteks ke konteks, dr penafsiran satu ke penafsiran lain. Apakah insiden ini bermuatan politis? Apakah ada unsur-unsur subversif? Apakah ini cuma cara untuk mengalihkan perhatian dr tujuan bekerjsama? Atau apakah ini cuma semacam teater eksperimental? Belakangan ini intel-mata-mata sering melaporkan, bahwa para seniman sudah kian nekad melaksanakan segala cara supaya dirinya populer, termasuk mengambil risiko ditangkap petugas keamanan.

  Tikus dan Manusia | Cerpen Jakob Sumardjo

Diantara banyak kemungkinan ia memusatkan pikirannya pada satu hal: apakah ada bedanya jika ini Semar asli atau Semar pura-pura? Memang kedua intelnya melaporkan bahwa kedua Semar ini orisinil. Tapi, begitulah, apa ya mungkin Semar itu ada? Meskipun begitu, kalau orang-orang ini sudah percaya Semar yg dilihatnya memang orisinil, apakah masih penting Semar ini asli atau artifisial? Ia tetap saja Semar. “Tidak penting benar Semar ini asli atau tiruan,” pikirnya, “yang penting apakah yg dilakukannya mengusik keselamatan.” Kalau Semar orisinil, ia tak akan mengacau. Entahlah kalau Semar jadi-jadian. Namun kalau ada yg imitasi, bukankah ada yg orisinil?

Handphone-nya bertulililit lagi.

“Laporan! Ada Semar Hijau di bawah Patung Diponegoro!”

Busyet,” Komandan itu menggerutu, “memangnya ada berapa Semar di dunia ini?”

“Laporan! Semar Hijau di Patung Diponegoro dikerumuni orang banyak! Apakah yg harus saya lakukan?”

“Apa yg dilaksanakan Semar Hijau itu?”

“Ia bertapa!”

“Bertapa? Bertapa bagaimana?”

“Bertapa ya bertapa, mirip bersemadi begitu, kakinya bersila, tangannya sedakep, & matanya terpejam.”

“Apakah ia memang Semar?”

“Asli Semar, Komandan! Jambulnya melambai-lambai tertiup angin!”

“Bagaimana orang-orang?”

“Orang-orang mengerumuninya, mereka menunggu Semar itu menuntaskan tapanya & mengucapkan sesuatu.”

“Banyak?”

“Banyak sekali! Situasi hiruk pikuk di sini! Mohon petunjuk!”

“Dasar mental petunjuk! Sudah, ananda di sana saja & memantau terus!”

Sudah tiga Semar muncul hari ini. Semar Putih, Semar Merah, & Semar Hijau. Apakah maknanya? Semar-Semar ini ketiga-tiganya lebih dr meyakinkan sebagai Semar. Bisa saja ketiga-tiganya Semar orisinil. Apalah yg tak mungkin bagi Semar bukan?

Tulililililililit.

“Semar lagi?”

“Semar Hitam, Komandan! Semar Hitam muncul di patung Pemuda Menuding.”

“Sekarang Semar Hitam! Busyet! Apa pula menari-nari?”

“Tidak Komandan! Semar Hitam tak menari, Semar ber-bungee jumping!”

Bungee jumping bagaimana?”

“Ia meloncat dr atas Patung Pemuda Menuding, kakinya diikat tali, kepalanya cuma setengah meter dr bumi tatkala hingga di bawah, sehabis itu ia melayang ke atas patung lagi, & menggeluti lagi.”

“Busyet. Bagaimana keadaan?”

“Macet total, Komandan! Jalan tol pula macet! Semar Hitam jadi tontonan! Mohon isyarat !”

“Petunjuk dengkulmu! Tetap di sana & awasi terus kemajuan.”

“Siap! Laksanakan!”

*****

KOMANDAN minta diantarhelikopter. Dalam waktu singkat ia sudah mengudara. apakah Semar-Semar ini harus ditangkap dgn tuduhan membuatonar? Masalahnya, kalau Semar-Semar ini ditangkap, apakah orang-orang yg sudah percaya bahwa Semar-Semar ini memang Semar tak akan protes? Komandan itu mengetahui benar. Diam-membisu orang banyak merindukan Semar. Orang banyak menginginkan Semar tiba menjinjing pergeseran. Orang-orang yg terlalu banyak berharap ini mungkin lebih berbahaya dr Semar. Sedangkan Semar itu sendiri, kalau ia memang Semar, kenapa harus takut? Semar itu orang baik. Penyelamat kehancuran dunia. Masalahnya, apakah Semar-Semar ini memang Semar? Memang Semar, Ki Lurah Badranaya dr Karang Tumaritis?

Dari udara, satu per satu, Semar-Semar itu dilihatnya. Semar Putih menghunus telunjuknya ke angkasa, dgn bibir bergetar menahan amarah di bundaran Hotel Indonesia. Semar Merah berputar-putar menarikan tari perang orang Indian di Patung Pizza. Semar Hijau bertapa dikerumuni orang banyak di Patung Diponegoro. Semar Hitam menggemparkan dgn atraksi bungee jumping di Patung Pemuda Menuding. Well, well, well, apakah yg akan ditulis koran-koran ihwal ini semua? Ini sungguh suatu kejadian langka, dlm sejarah pewayangan maupun sejarah dunia.

  Istri Cerpenis | Cerpen Rizza Nasir

Helikopter yg ditumpangi Komandan mengelilingi Jakarta. Deretan kemacetan yg panjang tampak di mana-mana. Handphone terus menerus bertulilililit melaporkan kehadiran Semar-Semar yg lain. Semar Kuning main skateboard diatas kap mobil-mobil yg macet sepanjang jalan tol. Semar Ungu melaksanakan agresi duduk di tangga Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Semar Oranye tiba-tiba timbul di layar TV, ia berada di atara para pemain basket NBA, merebut bola dr Michael Jordan maupun Shaquille O’Neal, melakukan slam dunk hingga seratus kali di ring kedua tim.

“Semar sampai ke Amerika?”

Lho, selain kelihatan dr siaran pribadi TV, ini memang laporan agen rahasia kita dr Chicago!”

Komandan itu tiba-tiba merasa dirinya tripping, meskipun seumur hidup ia belum pernah menenggak in*x. Tatkala itu dr udara dilihatnya Semar Biru Metalik menari bedaya di atas simbol Planet Hollywood. Ia belum pernah menyaksikan tari Bedaya dibawakan sehalus itu. Yeah. Apalah yg tak bisa dijalankan Semar?

*****

“PULANG ke markas,” kata Komandan pada pilot.

Ia sudah berpikir untuk menangkap delapan Semar itu dgn jala, alasannya kemacetan Jakarta sudah tak bisa dibiarkan lagi. Semar atau bukan Semar, ia mesti patuh pada aturan. Ia akan mengirimkan delapan helikopter bersama-sama ke delapan penjuru untuk menangkap Semar-Semar itu dgn jala dr udara. “Biarlah ia keluarkan kentutnya yg lebih dahsyat dr senjata nuklir itu,” pikir Komandan, “kami toh selalu siap untuk mati.”

Namun tatkala ia masuk kembali ke kantornya, Semar Putih yg tadi dilihatnya di bundaran Hotel Indonesia sudah duduk di kursinya sambil mengusap-usap kuncung.

“Duduk,” kata Semar itu, seolah-olah ia yg punya kantor. Komandan pun duduk, seperti tamu. Entah kenapa, ia tiba-tiba merasa hormat.

“Ananda Komandan tak perlu menangkap kami dgn jala,” ujar Semar, yg ternyata betul-betul weruh sadurung winarah, “kami tak akan selamanya show di Jakarta. Tugas kami banyak, bukan cuma di Indonesia saja. Kami datang hanya untuk memberi peringatan.”

“Peringatan apa?”

“Itulah yg mesti kalian pertimbangkan sendiri, karena Semar tak memberi ceramah. Semar tak perlu berseminar untuk menjelaskan maksudnya. Semar hanya tiba untuk memberi tanda-tanda.”

“Saya mengetahui Bapak Semar.”

“Ah, jangan panggil saya Bapak, saya bukan bapak kamu.”

“Kaprikornus bagaimana saya mesti mengundang Andika?”

“Panggil Bung saja, Bung Semar.”

“Baik Bapak… eh Bung Semar.”

“Sekarang gue pergi. Jangan cemas, ketenangan akan kembali. Goodbye. Adios. Ciao!”

Ciao!”

Semar Putih itu menghilang. Handphone bertulilililit berkali-kali mengabarkan kepergian Semar-Semar yg lain. Hari ini delapan Semar tiba ke Jakarta, tulis Komandan itu dlm catatan hariannya, gue sudah berlatih untuk menghadapi setiap kejutan, namun tak kejutan mirip ini. Sayang sekali, foto-foto yg dibentuk para wartawan tak ada yg jadi. Sampai kini gue tak tahu, Semar itu sesungguhnya betul-betul ada atau tidak.

Senja sudah tiba. Hari yg sangat bikin capek untuk Komandan. Ia ingin segera pulang, ketemu anak-istri, & berkaraoke. Sebelum ke luar ruangan, ia menyaksikan dirinya di cermin. Di atas cermin itu ada tulisan: Sudah Rapikah Anda Hari ini?

Komandan itu tak bisa mempercayai matanya.

“Aku? Aku sudah berkembang menjadi Semar Fiberglass? (*)