Ibu saya bilang perempuan mesti mampu mengolah makanan. Setidaknya satu hidangan sepanjang hidupnya. Saya merasa tak sepakat, terlebih tatkala hidup sudah nyaris-nyaris mirip di nirwana urusan lapar & makan.
Betul. Semasa kecil, saya sering didongengi ibu. Katanya hidup di surga itu nyaman sekali, tinggal tunjuk langsung jadi. Mau anggur akan diantar ke hadapan. Mau minum & makan pula demikian. Bukankah kini zaman pula sudah begini? Haus & lapar tinggal buka ponsel. Hanya perlu satu jari untuk membuatnya ada didepan mata. Lalu, kenapa mesti susah payah mengolah masakan segala?
Bukan. Bukan saya tak pernah mengolah makanan sama sekali. Saya pernah merebus mi instan, menggoreng telur, atau beberapa hal lain untuk bertahan hidup. Lebih-lebih tatkala masih mahasiswa dulu. Tapi ini berlawanan. Memasak yg dimaksud ibu saya bukan sekadar bisa, melainkan memang lihai alasannya akan memengaruhi rasa.
Sekali lidah mesti langsung yummy terasa sehingga hingga sajian tandas di piring ingatan setuju yg terbawa. Maka, demi menyanggupi angan-angan punya anak wanita yg mampu menyuguhkan penganan lezat itu, ibu kemudian mendesak saya tiba ke rumahnya.
“Ambil libur dua hari apa tak mampu sama sekali?” desaknya di ujung telepon.
Saya menjepit ponsel di antara kepala & bahu sementara sepasang tangan masih berusaha melepaskan sarung karet berwarna pucat. Saya memang gres keluar dr ruang operasi tatkala ibu menghubungi lagi untuk kesekian kali.
“Susah, Ibu. Saya punya jadwal bedah sesar setidaknya hingga simpulan tahun ini. Apalagi menjelang hari raya, selain isu terkini hujan, pula animo orang melahirkan.”
Saya mampu mendengar embusan napas ibu di sana. Suaranya terlalu kentara untuk ruang operasi yg hening & sepi.
“Apa yg bisa menegaskan nyawa anak insan sampai dgn baik ke dunia hanya kamu?” sindir Ibu terkesan tajam.
“Ya tidak,” jawab saya sembari membuka epilog sampah & melempar sarung tangan karet itu ke dalamnya.
“Berapa dokter kandungan di rumah sakitmu?”
“Tiga.”
“Kalau begitu tukar jaga kan mampu, kecuali memang ananda tak menginginkannya!” sentak Ibu sebelum menuntaskan panggilan.
Saya mengusap muka dgn sebelah tangan. Tidak mengetahui dgn perilaku ibu barusan. Seolah-olah jikalau saya tak mampu mengolah makanan, maka akan berbuah akhir zaman. Padahal, suami saya saja mengetahui. Kami sudah sering memesan masakan yg diinginkan dr aneka macam penyuplailayanan katering rumahan.
Dari yg enak sampai yg sehat. Dari yg dikelola ibu rumah tangga sampai ahli gizi pula ada. Anak-anak pula tak jauh berlawanan. Pagi sudah biasa sarapan roti atau sereal dgn susu. Siang makan katering sekolah, malam mampu pesan dr aplikasi ponsel. Begitu gampang hidup kini, kenapa mesti kembali mengakrabi wajan & api?
Setelah berdiskusi dgn suami & membujuk rekan bertukar jaga, di sinilah saya kini, rumah ibu yg rindang. Halaman rumahnya dihiasi hamparan rumput dgn dinding dirambati bunga putih berdaun lebar. Ibu masih senang selera lama. Tanamannya yakni bugenvil aneka warna, pendengaran gajah, & pengecap mertua.
Begitu membuka pintu, ia secepatnya memeluk dgn erat.
“Saya cuma mampu sampai besok di sini.”
“Tidak mampu diperpanjang?”
Saya menggeleng. Ibu mendesah. Andai ibu tahu untuk dua hari ini saja saya mesti dinas dr pagi berjumpa pagi. Merapel acara hingga membuat lutut rasanya sulit berdiri.
“Ya sudah, kau istirahat dulu. Esok subuh kita belanja bahan menciptakan gangan ke pasar.”
Lantai dapur mendadak penuh oleh jagung, ubi kayu, kacang panjang, waluh, aneka bumbu, & umbut kelapa. Bahan terakhir ini yg paling mahal diantara yang lain. Mungkin karena demi mendapatkannya mesti menumbangkan sebatang kepala. Merelakan mayang tak berubah menjadi puluhan buah.
Sementara ibu mempersiapkan sayuran, saya dimintanya mengolah bumbu. Namun, belum apa-apa sudah terdengar suaranya menyela.
“Bukan begitu cara memecah kemiri, nanti hancur!”
“Memang apa bedanya, Bu? Toh, sama-sama akan dihaluskan juga.” Saya menyanggah. Ibu menggeleng.
“Kau tahu setiap manusia ini akibatnya akan mati & hancur dlm tanah kan?”
Saya mengangguk lantas berucap, “Lalu, apa keterkaitannya dgn cara memecah kemiri?”
“Kalau sudah tahu akan mati & hancur, apa asal-asalan pula perlakuanmu ketika mengeluarkan bayi dr perut ibunya?”
Saya membisu. Tanpa menyanggah saya saksikan ibu memecah kemiri. Gerakannya hati-hati sekali. Persis seperti menolong bayi memecah gelap rahim menuju bumi. Mula-mula ibu menjepit kemiri dgn telunjuk & jempol, kemudian ulekan ia ketukkan sehingga terdengar suara kulit keras yg rekah. Ibu kemudian melebarkan rekahan dgn ujung pisau hingga terpisah.
Hasilnya sebiji kemiri yg utuh & bersih. Saya mendapatkannya dr tangan ibu dgn takjub. Bagai sekolah lagi, saya dituntun melalui satu per satu proses memasak sayur ini. Proses mengolah bumbu menjadi paling penting berdasarkan ibu, terlihat dr caranya pertanda satu demi satu.
“Kalau membuat gangan bersantan, bawang merahnya mesti lebih banyak,” beri tahu Ibu seusai merajang bawang di atas cobek langsung.
“Kenapa begitu?”
“Entahlah. Nenekmu yg mengajari Ibu. Mungkin supaya lebih gurih.”
Saya tersenyum kecil. Sebuah klarifikasi asal ada. Berbeda semasa kuliah dulu. Segalanya dituntut sumber, dikutip dr penelitian mana, pula tahunnya berapa. Tidak terkecuali urusan bawang-bawangan. Seperti yg pernah tak sengaja saya baca ketika mencari sumber rujukan wacana antibiotik alami. Konon bawang merah & bawang putih mampu digunakan selaku antibiotik, antiperadangan, bahkan melawan kanker.
Itu sebabnya dahulu saya sempat menduga problem domestik rumah tangga tak lebih sulit ketimbang mengeluarkan diri dgn kepala tegak dr fakultas kedokteran. Tidak lebih sulit dr berjuang lulus dr semua ujian dgn nilai membuat puas. Karena dulu sahabat-sahabat saya sering berkata ingin nikah saja jikalau diterpa cobaan macam-macam ditambah tugas beragam. Nyatanya tak sepenuhnya betul juga. Banyak hal yg saya tak tahu, termasuk permasalahan bumbu.
“Haluskanlah,” ujar Ibu sesudah selesai meletakkan & merajang bawang, kunyit, jahe, kencur. lengkuas, pula lainnya di cobek. “Setelah itu kau tumis bumbunya dgn sedikit minyak & api kecil.”
Ibu kemudian beranjak menuju panci. Ia tampak mengaduk sebentar, mengangkat bergantian belahan ubi kayu, waluh, jagung. Setelah ditentukan agak lunak, ibu kemudian memasukkan cuilan kacang panjang. Saya sendiri baru saja selesai mengulek bumbu & bersiap menumisnya di tungku sebelah kiri ibu.
“Kalau sayurnya sudah lunak. kau masukkan dulu santan encer.”
Saya mengamati kode ibu dgn saksama. Memberi catatan kecil di buku yg saya bawa. Sekarang goresan pena saya lebih parah dr cakar ayam. Ibu banyak memberi aba-aba & cepat sekali. Tidak akan ada salinan materi dr file presentasi. Semua mesti disimak & dicatat serempak.
Setelah letupan pertama, ibu kemudian memasukkan pecahan garih, ikan gabus asin yg lazimdijadikan lauk makan. Disusul bumbu yg telah saya tumis tadi.
“Kau mesti tahu, Hen, perempuan itu mirip sekotak bumbu dapur. ia yg memilih mirip apa rasa sajian, rasa kehidupan. Manis, asin, asam, pedas. Kalau ia pandai menakar, setiap rasa akan seimbang, hasilnya gurih & terkenang,” ujar Ibu sembari menyertakan gula & garam.
Aku kemudian dimintanya mengaduk & menyertakan santan kental. Perlahan- lahan gangan berganti warna dr yg kuning pekat menjadi sedikit lebih terang. Menjelang api dimatikan, ibu menabur rajangan cabe merah besar.
“Ambil mangkuk di rak. Hen.”
“Ibu menanak beras lama ya?” Saya mengernyitkan dahi begitu menyendok nasi. Beras lama itu beras lama. Nasinya lebih pera.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Kok yg lama, Bu? Kita kan tak sedang hajatan.”
“Kau tahu kenapa orang hajatan pantang menggunakan beras baru?”
“Karena condong lebih lembek. Kalau diolah jadinya sedikit, bisa-bisa tak mencukupi jamuan tamu yg datang.”
“Begitulah hakikat orang yg lebih tua. ia mesti seperti beras usang, memadai banyak orang. Ibu berharap kau pula mampu begitu. Kalau Ibu sudah tak ada, kaulah yg tertua di keluarga kita, cukupilah siapa-siapa yg perlu dibantu.”
“Bu,” rajuk saya lirih. Sejak Bapak wafat, percakapan ihwal ajal memang menciptakan saya tak tenteram. “Bicara apa Ibu ini. Ibu masih sehat, pasti panjang umur.”
Ibu mengulas senyum tipis. “Nak, manusia itu mirip sayur dlm semangkuk gangan umbut. Usia yg paling bau tanah serupa ubi kayu, keras, dingin. Usia sepertimu ibarat dgn bagian waluh. Tidak terlalu keras dgn sedikit rasa bagus. Paling muda ya tak ubahnya umbut. Lembut & anggun. Semua sama akan lunak pula setelah dimasak. tak peduli ia yg paling keras atau lembut. Kita pun sama, akan wafat juga. Tidak peduli sudah baya atau masih muda.”
Melihat raut tampang putrinya yg berubah muram, lekas-lekas ibu menyendokkan gangan ke piring saya seraya berujar, “Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Mari kita makan.”
Selepas Subuh saya berniat pamit pulang pada Ibu. Libur telah usai & saya mesti kembali ke tempat tinggal sakit secepatnya. Satu kali ketuk, ibu tak menyahut. Juga ketukan-ketukan berikutnya. Mungkin ibu tertidur selepas berzikir pikir saya.
Namun, perkiraan saya meleset dikala mendapati ibu lunglai menyandar di pintu lemari. Tubuhnya masih terbalut mukena dgn tasbih di tangan. Lekas-lekas saya raba pergelangan tangan & lehernya. Nihil, ibu telah tiada sebelum saya sempat berpamitan padanya.
Suami & belum dewasa saya menyusul pagi harinya. Pengeras bunyi di masjid lantang mengabarkan kepergian ibu pada orang-orang. Sanak kerabat & handai taulan kami berdatangan. Proses pemakaman disediakan. Tidak terkecuali sajian pada prosesi turun tanah; hari pertama akhir hayat dimulai sejak mayat turun dr rumah & dibawa menuju liang lahat.
“Kau yakin tidak ingin pesan jamuan dr katering saja?” Suami saya memandang ragu.
Saya melepas napas. “Saya cuma mau Ibu senang lantaran putrinya bisa memasak. Walaupun cuma satu, itu pula sajian untuk kematiannya.” (*)