Selamanya Cinta | Cerpen Helvy Tiana Rosa

Aku melangkah gontai melalui gerbang sekolah. Sejak pelajaran pertama hingga bel pelajaran terakhir berbunyi, pikiranku sudah mengembara kemana-mana, hingga risikonya tiba di satu titik: Ibu.

“Ibu sudah renta, Din. Sebentar lagi umurnya 76 tahun. Ibu sudah mulai pikun, sa­kit-sakitan. Aku ingin yg terbaik buat Ibu, Din!” Suara Kak Dita terngiang terus di telinga ­ku.

“Yang terbaik? Untuk Ibu? Dengan membuangnya di panti jompo? Itukah yg terbaik?” jawabku waktu itu.

“Seharusnya ananda pula mengetahui posisi kakak, Din. Bang Tio cuma seorang satpam di swalayan…, berapa sih gajinya? Anak kami sudah tiga orang. Kamu tahu kan harga susu & keperluan pokok yang lain kini melangit? Dan rumah kontrakan ini? Cuma sepetak, Din! Sepetak yg disekat menjadi dua kamar. Ibu tak bisa di sini lagi, Din!”

Tangis keponakan ketigaku yg belum berusia setahun mengagetkan kami. Kak Dita segera meraihnya dr ayunan & menggendongnya.

“Dia lapar. Susunya habis. Bahkan untuk membeli kardus kecil pun kadang kami tak bisa.”

Kak Dita menjangkau segelas air putih, lalu memasukkan sesendok gula, mengaduknya rata & menyuapkannya pada keponakanku yg lapar.

Aku mengelus dada. Perih menohok & mataku yg mulai berkabut menelusuri seluruh sudut rumah kayu yg kecil & kusam ini, kemudian terhenti pada balai-balai ringkih tempat Ibu kini terbaring dgn mata menerawang. Aroma sayuran yg baru selesai ditumis, lantai lembab beralas tanah & amis asap dr kompor minyak tanah yg gres dimatikan menambah pengap ruangan tanpa jendela ini.

Dulu tatkala Kak Dita belum menikah, kami bertiga tinggal di rumah sederhana peninggalan Bapak. Tetapi sehabis Bapak meninggal alasannya komplikasi penyakitnya yg sudah menahun, rumah tersebut terpaksa dijual untuk membayar utang ke sana kemari. Dalam keadaan kritis mirip itu Bang Tio Pakpahan melamar Kak Dita yg baru saja tamat SMU. Bang Tio membo­yong kami semua ke tempat tinggal ini. Tetapi alasannya adalah kondisi mereka sungguh pas-pasan, satu-sa­tu­nya kerabat Bapak: Paman Hadi mengajakku tinggal bareng keluarganya & menyekolah­kan­ku. Beliau merasa berhutang kebijaksanaan pada bapak, namun hidup dia sendiri bergotong-royong pas-pasan.

“Hampir tiap malam gue & Bang Tio berantem soal Ibu. Ibu bukan cuma pikun & menyusahkan…tetapi pula terlalu mencampuri persoalan kami!” bunyi Kak Dita lagi. “Aku capek, Din! Pekerjaanku selaku tukang cuci-seterika masih harus ditambah dgn merawat tiga anak yg masih kecil & seorang jompo! Tahukah kau betapa lelahnya saya! Itu semua ditambah lagi dgn hubunganku yg tak pernah serasi dgn suamiku sendiri! Dan itu karena Ibu, Din!” bunyi Kak Dita meninggi & bayi dlm gendongannya kembali menangis.

Astaghfirullah! Cukup!” Kupandang kak Dita tajam. Kuhampiri Ibu yg sejak tadi mende­ngar­kan percakapan kami. Kulihat airmata menetes di pipinya.

“Bu…, jangan dengarkan Kak Dita, Bu. Kita akan selalu bersama. Dini kesepakatan, Dini akan senantiasa menemani Ibu!”

Perlahan Ibu bangkit & duduk di tepi balai-balai. Tangannya yg keriput namun hangat meng­­genggam jemariku. “Dita benar. Ibu cuma bisa menyibukkan…,” suara renta itu terdengar gemetar.

Aku menggelengkan kepala & memandang wajah penuh kasih yg bertahun-tahun membesar­kan kami tanpa pernah mengeluh. Wajah itu kini sarat kerutan. Dua helai rambut putih keabu-abuan jatuh di atasnya.

Saat itu pintu terbuka & Bang Tio masuk dgn wajah masam. “Aku di PHK. Supermarket itu kini ditutup.”

*****

Assalaamu’alaikum, Din!” bunyi riang Rahmi menyentakku dr lamunan. “Kamu gimana sih, Non? Jalan sambil terdiam.”

Aku menjawab salam & tersenyum pada wajah elok, mungil & lapang dada di balik jilbab putih itu.

“Mikirin siapa sih?” katanya jenaka. “Aku ya? Soal ulanganku yg buruk & aib-maluin para jilbaber lainnya itu…maafin deh. Next time better. I swear!” katanya serius.

Kutatap sahabat sebangkuku yg gres genap sebulan ini berjilbab. “Aku terburu-buru, Mi! Maaf ya, angkotnya udah tiba tuh!” kuucapkan salam & berlalu.

Rahmi memandangku gundah. “Din! Hati-hati!” teriaknya.

Tetapi yg terdengar di telingaku ialah bunyi Paman Hadi. “Maaf, Paman tak bisa menolongmu, Din. Rumah ini terlalu sempit. Bahkan kau saja tidur di kamar pembantu. Lagi pula, siapa yg akan merawat Ibumu tatkala kau pergi sekolah?”

Aku termangu. Menerawang.

“Ibu sudah tenang di panti jompo,” bunyi Bang Tio, Minggu lalu, ketika ia baru saja diterima bekerja sebagai supir di sebuah perusahaan taksi.

“Apa? Mengapa tak memberitahuku?” tanyaku terkejut.

“Buat apa?” tanya Bang Tio enteng.

Kepalaku berdenyut. “Panti jompo yg mana? Di jalan apa?”

“Buat apa kau tahu?”

“Tentu saja gue mesti tahu. Aku anaknya!” seruku gusar.

“Aku, anak kandungnya, sudah tahu apa yg terbaik baginya. Dan sebagai anak angkat, kau tak perlu mengusik ketenangan Ibu!” timpal Kak Dita tiba-tiba.

  Opor Ayam dan Ketupat | Cerpen Gandi Sugandi

Airmataku menetes. Suaraku tersekat di kerongkongan. Tanpa sepatah kata pun, saat itu gue berlari meninggalkan mereka.

Kubenahi jilbabku yg kurasa miring. Saputangan bola-bola dlm genggamanku sudah berair ketika gue turun dr mikrolet & menyerahkan selembar ribuan pada supir angkot.

Anak angkat. Aku nyaris tak pernah kenal dua kata itu sejak suami istri Harun yg hanya memiliki seorang anak akil balig cukup akal mengajakku tinggal bareng mereka dgn penuh kesederhanaan. Waktu itu usiaku baru dua tahun. Bu Harun menemukanku di Pasar. Menurut Paman Hadi, keluarga Harun berupaya mencari keluargaku, namun nihil. Seolah gue memang anak yg tak diinginkan & dibuang keluargaku sendiri.

“Betul Dini anak angkat, Bu?” tanyaku suatu hari, saat gue kelas tiga SD & Kak Dita gres saja menikah.

Ibu terkejut. “Siapa yg berkata mirip itu?”

“Anak-anak Paman Hadi.”

Ibu mempesona napas panjang.

“Dini tak ibarat siapa saja. Tidak bapak, tak Ibu…juga Kak Dita.”

Ibu memijat keningnya & meraihku dlm pelukannya. Mengusap-usap rambutku dgn penuh cinta. “Dini, tahukah engkau, nak…perbedaan antara anak kandung & anak angkat?”

Aku terdiam, hanya mendung bergelayutan di mata & batinku.

Ibu menatapku dalam. “Anak kandung tumbuh & dilahirkan dr rahim Ibunya. Tetapi anak angkat tumbuh & lahir dr hati Ibunya….”

Saat itu gue membalas tatapan Ibu & kurasakan pancaran kasihnya mengalahkan seluruh cahaya yg ada di dunia.

Kenanganku terhenti. Di depanku suatu bangunan mirip asrama dgn plang besar bertuliskan PANTI WERDHA. Ini yaitu panti ke empat dlm minggu ini yg kudatangi.

Aku masuk setelah mengucap salam, mengisi buku tamu & menerangkan maksud kedatanganku. Para pengelola panti tampak bersimpati.

“Tetapi kami rasa tak ada wanita renta berjulukan Bu Asni Harun. Memang dua minggu yg kemudian ada seorang perempuan tua yg datang dikirim menantunya. Tetapi nama & ciri-cirinya berlainan.” Bapak paruh baya pengelola panti membolak balik sebuah buku besar, & kemudian memperlihatkan data-data dibukunya padaku.

Aku meneliti dgn serius. Di sana tertulis nama kandidat penghuni panti & orang yg mengirimkannya. Tak ada Ibu atau nama Bang Tio.

“Mungkin dititipkan di panti jompo lain.”

“Iya, mungkin di swasta, yg harus bayar mahal,” timpal pengurus lain.

“Sepertinya tidak, Pak. Kami orang tidak punya. Saya yakin Ibu saya dititipkan di Panti Werdha milik pemerintah,” suaraku bergetar saat menyadari Ibu berada di tempat yg sama dgn para pengemis & gelandangan renta yg terjaring oleh Dinas Sosial DKI.

“Mungkin di panti terdekat dr rumah adik?”

Aku menggeleng. “Mungkin beliau malah berada di panti yg paling jauh dr rumah saya, Pak.” Ya, gue tahu Bang Tio. Aku tahu arah pikirannya.

“Adik sudah ke panti mana saja?”

Kusebutkan beberapa panti milik pemerintah yg telah kukunjungi.

“Berarti cuma ada satu panti yg belum adik datangi…, tapi tempatnya jauh dr kawasan ini.”

Bapak itu secepatnya menulis alamat panti tersebut. Panti Werdha I, Cipayung, Jakarta Timur. “Ini ialah panti jompo pertama yg dibangun pemerintah DKI Jakarta. Memang jauh dr sini.”

Adakah artinya jarak Ciledug-Cipayung dibandingkan Ibuku? Aku tersenyum, menerima seca­rik kertas itu, pamit & berlalu.

Di halaman panti sempat kulihat beberapa kakek-nenek sibuk dgn diri mereka masing-masing.

“Cu…, cu…cu…,” seorang nenek tua berkebaya lusuh tergopoh-gopoh menghampiri & menjabat tanganku. Lama sekali.

Aku terpana. “A…apa kabar, Nek?”

Tawa sang nenek lebar memamerkan giginya yg nyaris tak ada.

“Itu…bukan cucu kamu!” sela nenek yg lain.

“Cu…cuku….”

“Bukan. Itu…cucu orang!” ledek yg lain lagi.

Sang nenek menatapku dgn mata berkaca-beling, lalu ia menepi. Membiarkanku berlalu.

Assalaamu’alaikum,” kataku.

Mereka menjawab dgn suara nyaris tak terdengar. Beberapa hanya komat-kamit. Hatiku miris. Ya Allah, di manakah Ibuku? Sedang apa ia sekarang?

Tiba-tiba kurasakan perutku merintih. Aduh, perihnya! Kulirik selembar seribuan dlm saku seragam sekolahku. Hanya itu ongkosku. Dan sepotong tahu untuk mengganjal perut pun tak bisa kubeli.

Aku tersenyum getir. Lain kali gue harus lebih sering shaum.

*****

“Kalau makan itu mbok ya jangan banyak-banyak. Yang lain nanti nggak kebagian.”

Aku menunduk. Kurasakan lirikan tajam istri Paman Hadi yg duduk tak jauh dariku.

“Ayo, Nia, Iin…ambil lauknya! Nanti keburu ludes lagi!” Suara ketus itu menusuk-nusuk batinku. Ya, sejak dulu. Namun bacokan kali ini kurasa lebih menghujam.

“Sudah toh, Bu. Lauknya kan masih ada,” bunyi Paman Hadi tabah.

Lagi-lagi gue cuma menunduk dikala tatapan sinis Nia & Iin singgah di hadapanku. Aku segera menuntaskan makan & bergegas meninggalkan ruang makan.

  Jaket Ayah | Cerpen Eep Saefulloh Fatah

“Bagaimana sekolahmu?” tanya Paman tiba-tiba.

“Baik, Paman.”

‘Rajin-rajinlah berguru. Paman cuma bisa….”

“Pamanmu cuma bisa menyekolahkan & memberi tumpangan hingga ananda tamat Sekolah Menengan Atas. Setelah itu ananda mesti pergi,” sambar Bibi pedas. “Tahu sendiri kan kini ini lagi krisis!”

Aku menahan tangis & berlari ke kamarku. Sayup-sayup kutangkap suara Paman Hadi menasehati Bibi. Aku ke kamar mandi, mengambil air wudhu & bersiap untuk sholat Isya.

Allah, gue butuh belaianMu. Sungguh! Selalu!

*****


“Ceritakan padaku, Din. Aku kan saudaramu,” desak Rahmi membuyarkan lamunanku dikala bel istirahat gres saja berdentang.

“Apa yg harus kuceritakan, Mi?”

“Kemurunganmu, harapanmu…apa saja yg mengganggumu final-final ini.”

Aku tersenyum. “Makasih, Mi. Aku nggak apa-apa kok,” elakku.

“Ibumu sudah ketemu?”

Aku terbelalak.

Bola mata Rahmi yg kecoklatan ikut-ikutan membengkak.

“Darimana ananda tahu, Mi?”

“Aku telpon ke rumahmu. Anak Paman Hadi bilang….”

Anak-anak Paman Hadi lagi!

“Aku ikut sedih,” ujar Rahmi pelan.

“Aku mesti ke Cipayung. Entah di mana itu. Katanya akrab Taman Mini. Mungkin….”

“Aku ikut!”

“Tapi….”

“Aku ikut! Demi ukhuwah Islamiyyah!” ajuknya lucu.

“Tapi…perjalanan ke sana bisa dua jam, Mi. Ongkosnya pula nggak sedikit!” seruku.

Rahmi tersenyum & mengeluarkan dompet barunya. “Dompetku sekarang sudah lebih besar. Seperti pula isinya.”

Aku tahu ia bercanda. Rahmi bukan anak orbek (orang kondang) atau orang kaya, tetapi ia suka menulis kisah di majalah anak-anak & punya uang saku sendiri.

“Boleh kan?” desaknya sekali lagi.

Aku mengangguk. Haru. “Insya Allah besok kita berangkat,” ujarku pelan sambil me­ra­pikan buku untuk pelajaran berikutnya.

*****


Setelah menempuh perjalanan lebih dr dua jam, dr Garuda kami masih harus naik angkutan KWK 02 menuju Jalan Bina Marga, Cipayung. Sepanjang perjalanan hatiku resah.

Bagaimana bila Ibu tak di sana?

“Stop, Bang! Itu pantinya! Din, ayo turun, sudah sampai!” seru Rahmi.

Aku terkejut. Dadaku berdetak keras. Ya Allah, mudah-mudahan Ibu ada di sana.

Setelah turun & mengeluarkan uang biaya angkot, kami bergegas masuk.

“Ibu Asni Harun?” pengelola panti di hadapanku terlihat berpikir keras. Seperti pula para pengurus panti yg kudatangi sebelumnya ia mengambil sebuah buku besar & membolak baliknya beberapa ketika.

“Ada seorang Ibu dgn ciri-ciri mirip yg adik bilang. Kurus, putih, dgn tahi lalat di pipi. Ia baru masuk sekitar dua ahad ini…, namun kami memanggilnya Ibu Dini. Ya, begitu. Ia bilang Dini itu nama anak yg sungguh ia sayangi jadi ia lebih senang….”

Dadaku membuncah. Tiba-tiba keyakinanku makin besar lengan berkuasa. Itu Ibu!

“Antarkan saja kami pada Ibu Dini, Pak,” sela Rahmi.

“Tunggu. Ini dia. Kami memperoleh nenek ini, Bu Dini, tanpa identitas diri, dua ahad lalu. Ia terisak-isak di depan panti. Seorang Kakek yg kebetulan berada di luar menyampaikan ada se­o­rang lelaki yg mendorongnya keluar dr taksi, & meninggalkannya begitu saja di depan panti.”

Aku tersentak.

“Bu Dini tak pernah kisah apa pun pada kami, pula ihwal siapa yg dgn tega mendorongnya keluar dr mobil. Ia cuma menyebut namanya: Bu Dini. Itu saja.”

Airmataku mulai menderas. Kuhapus besar lengan berkuasa-kuat.

“Bisa mengantarkan kami kini, Pak?” desak Rahmi lagi.

Petugas panti itu mengangguk cepat.

Aku & Rahmi masuk melalui kamar-kamar dgn banyak tempat tidur. Persis asrama. Di mana-mana kulihat banyak perempuan jompo kemudian lalang. Ada pula yg hanya terbaring di tempat tidur.

“Tempat para nenek & kakek terpisah,” kata Bapak pengelola itu. “Nah, itu kamar Bu Dini, yg paling ujung.”

Aku masuk melalui pintu kamar yg terbuka lebar. Ada sekitar …sepuluh orang dlm ruangan. Mataku mencari-cari dgn teliti. Beberapa nenek balas menatapku & Rahmi deng­an penuh tanda tanya.

Nggak ada Ibu di sini, Mi,” ujarku pelan.

“Lihat baik-baik, Din….”

Nggak ada.”

Tiba-tiba, seseorang keluar dr kamar mandi dlm ruangan itu. Napasku seakan berhenti karena kegirangan & perih yg membaur.

“Ibuuuuuuuu!” gue menghambur memeluk perempuan ringkih yg tampak agak bungkuk itu.

Ibu menatapku lekat-lekat, kemudian mengucek kedua matanya, memutuskan ia tak salah lihat. “Din…Di…ni? Ya…Allah, Ya Rasul, kau…Di…ni?”

“Iya, bu. Ini Dini. Dini sayang Ibu. Cinta Ibu selamanya…,” seruku terisak.

Di depan pintu sempat kulihat Rahmi meniadakan setitik airmatanya yg jatuh. Sementara beberapa nenek memandang kami dgn tatapan haru. Lalu entah siapa yg mengawali kulihat para nenek itu bertepuk tangan! Aku jadi tersenyum. Terenyuh dlm genangan airmata.

“Mengapa Bang Tio mendorong Ibu dr taksinya?” tanyaku sehabis kami melepas rindu.

Pandangan Ibu kosong ke depan. “Karena…Ibu tak…mau di…sini…”

  Hikayat si Kritikus | Cerpen Hendy Pratama

Aku merasa sebuah kerikil besar ditaruh di punggungku, tetapi sedikit pun gue tak bisa bergerak, terlebih mengangkatnya.

Sore itu gue & Rahmi berusaha menghibur Ibu. Ibu sering menjajal tersenyum, tetapi kurasakan luka yg menganga dlm dirinya.

“Dini akan sering-sering tiba, Bu.”

“Ndak usah. Ongkosmu darimana? Ibu…baik kok.”

Hatiku kembali tersayat-sayat.

Sepanjang perjalanan pulang, Aku & Rahmi lebih banyak membisu. Sungguh, pikiranku buntu. Di satu segi gue tak rela Ibu berada di panti itu, di sisi lain tak ada langkah-langkah yg bisa kulakukan untuk mengeluarkannya dr sana.

“Sabar ya, Din. Yakinlah, derma Allah akan segera tiba,” bunyi Rahmi lirih dikala kami berpisah di jalan.

Aku hanya bisa mengucapkan terimakasih. Juga tatkala keesokan harinya Rahmi menye­rah­kan duit honor menulisnya untukku. Kemudian keesokan harinya, & esok-esok yg yang lain, hingga gue senantiasa bisa mendatangi Ibu & bercengkrama dgn sobat-sahabat jompo Ibu yg pula rindu akan kasih sayang.

Jazakillah ya, Mi,” kataku hampir setiap ketika pada Rahmi.

“Aku yg jazakillah dong!” elaknya.

“Lho, kok?”

“Iya. Karena ananda & Ibumu gue jadi penulis produktif yg kini mulai diperhitungkan,” katanya pura-pura gembira. “Dan kenalan nenek-nenekku jadi bejibun,” tambahnya cekikikan.

“Andai gue bisa inovatif seperti ananda ya, Mi….”

“Hus, ndak boleh berandai-andai. Kamu pula inovatif kok. Setiap manusia kan khas, unik. Coba ananda pikir, insya Allah ada sesuatu yg bisa kau lakukan untuk menambah penghasilan.”

Lama kupikirkan tantangan Rahmi.

Akhirnya gue memberanikan diri mulai menciptakan ke­ripik singkong pedas yg kujual sendiri di sekolah & dititipkan di warung-warung. Ternya­ta hasilnya lumayan & bisa ditabung. Bahkan pernah kusisihkan uang untuk membeli susu bagi keponakanku. Namun sambutan Kak Dita cuek. Ia pula enggan bicara soal Ibu, atau soal apa pun padaku. Buntut-buntutnya ia tak mau gue sering tiba ke rumahnya. Katanya ia takut suaminya murka! Sungguh gue tak mengerti, terlebih dikala gue berkunjung ke panti sering kulihat tatapan mata renta Ibu merindukan kedatangan Kak Dita & cucu-cucunya.

*****


Hari ini sehabis pengumuman kelulusan, gue & Rahmi kembali menjenguk Ibu & menga­barkan berita gembira itu padanya. Saat itu pula Ibu menyampaikan kabar tersebut pada teman-temannya yg lain. Aku melongo tatkala satu persatu nenek di kamar besar itu tertatih tatih menyalamiku sambil tersenyum lebar & manggut-manggut.

“Din, ananda dipanggil pengurus panti tuh,” kata Rahmi tiba-tiba.

Alisku terangkat. Segera gue bangkit & menghampiri bapak pengurus panti yg kemudian membawaku ke ruangan pimpinan panti.

“Ada apa, Pak?”

“Tidak apa. Tempo hari Dik Rahmi bilang Dik Dini ingin tahu wacana orang-orang yg be­­ker­ja di sini?”

Aku tersenyum. “Iya, Pak. Waktu itu saya pikir, bila saya lulus mungkin saya bisa bantu-bantu di sini. Memasak, menyapu, merawat, apa saja.”

“Kebetulan di sini memang ada beberapa pekerja. Ada yg lulusan keperawatan namun ada pula tenaga honorer yg lulusan Sekolah Dasar seperti Ibu Sri yg tukang masak itu. Kalau Dik Dini mau, mungkin kami bisa menerima adik untuk bekerja di sini. Mungkin menolong merawat atau administrasi? Tapi…terus terang, gajinya tak seberapa.”

Hatiku melonjak-lonjak. “Tak peduli honor kecil asalkan saya…bisa tinggal di sini, Pak?’

“Tentu saja. Itu bisa dikontrol. Dik Rahmi sudah menganjurkan hal itu pada kami.”

Aku tak menyangka sama sekali!

“Lagi pula nenek-nenek di sini pula sudah terlanjur sayang sama Dik Dini,” timpal peng­urus yg lain.

Aku tersenyum senang. Satu persatu buliran bening itu jatuh di pipiku. Apalagi saat kuingat perkataan Ibu beberapa waktu kemudian.

“Ibu…punya belakang layar….”

“Apa, Bu?”

“Ibu juga…dulu anak…angkat.”

“Apa? Yang benar?”

“Ibu dibuang di rumah sakit. Kakekmu yg memungut Ibu….”

Aku ternganga.

“Dan…Ibu tak percaya…mesti dibuang…lagi tatkala renta….”

Kuusap airmataku kembali & keluar dr ruangan pengurus panti dgn langkah mantap. Dari kejauhan kulambaikan tangan pada Ibu & Rahmi. Kucium Ibu. Kubisikkan sesuatu hing­ga kulihat senyum lebarnya berubah menjadi kembali seperti dahulu, ketika kami semua masih bareng .

“Aku cinta Ibu, selamanya…, Ibu tak akan sendiri.”

Ibu memelukku erat.

“Selamat ya, Din…alasannya adalah ananda jadi penghuni panti yg paling muda & anggun…, & memiliki arti gue nggak mesti nyariin ananda kandidat suami buru-buru kan?”

“Rahmi!” Kupelototi dia, kukelitik pinggangnya. Ia berlari, kukejar. Dengan lincah ia menyelinap di antara tempat tidur para nenek, & berlindung di balik tubuh gemuk salah seorang dr orangtua itu. Nenek-nenek yg lain terpingkal-pingkal menyaksikan kami.

Kutatap wajah mentari Rahmi, saudara seimanku itu. Seperti gue berkembang di hati Ibu, ia pun telah berada di kalbuku. Dengan cinta, selamanya. (*)