Sekularisasi Dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Ketika membahas problem sekularisme, sebagaimana yang dikomentari oleh Arkon, bahwa orang terkadang menggabungkan sebuah istilah yang sangat terkenal dalam Bibel “Berikanlah Kaisar kepada Kaisar dan berikanlah milik Allah kepada Allah”, karena dari istilah inilah, berdasarkan sebagian pertimbangan , terjadi pemisahan total antara gereja dengan negara di dunia Barat. Padahal bantu-membantu istilah Al-Masih (Yesus Kristus) mampu diketahui cuma kalau dikenali dengan baik kondisi historis saat itu. Pada dikala ungkapan itu dikemukakan oleh Al-Masih, Palestina di bawah kekuasaan Romawi. Dalam situasi demikian, cara satu-satunya bagi seorang tokoh agama yaitu berkiprah pada tataran spritual keagamaan dan tidak pada politik. Ungkapan dalam Alkitab tersebut bekerjsama memang bermaksud untuk menertibkan kekuasaan spritual.
Realitas yang terjadi di dunia Barat khususnya dalam hal pemisahan ilmu wawasan dari kepercayaan gereja menjadikan ilmu pengetahuan bangkit sendiri tanpa kontrol agama dan nilai-nilai spritual. Hal tersebut terus berlanjut sampai era modern sekarang.
Mellenium III ialah kurun kemajuan ilmu wawasan dan teknologi di aneka macam bidang juga disebut kala modern. Asumsi ini diwarnai oleh pesatnya pertumbuhan ilmu pengetahuan yang secara teoritis sudah ada sebelum masa modern demikian pula inovasi-inovasi baru (discovery) dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir bermunculan dari waktu ke waktu. Penemuan-inovasi tersebut sungguh berfaedah bagi umat insan selaku kontribusi dalam upaya memakmurkan bumi ini. Namun satu hal yang menjadi sentral pembahasan utamanya bagi para pemikir Islam adalah Islamisasi ilmu pengetahuan. Sains dan filsafat telah diketahui sejak awal pertumbuhan Islam, bahwa terdapat arus intelektual di kelompok orang-orang Islam untuk menanggapi pemikir Yunani dan balasan dari rangsangan itu ternyata, mereka lebih menciptakan dan kreatif yang pada jadinya membantu kemajuan-kemajuan di Eropa. Akan namun dalam perkembangannya sains dan filsafat mengalami kemunduran di tangan umat Islam.
Masalah sekularisasi dan Islamisasi ilmu wawasan masih dalam suasana polemik para mahir. Hal ini disebabkan satu segi ingin melahirkan ilmu pengetahuan yang obyektif dengan pendekatan saintifik, sementara di segi lain kecenderungan sementara ilmuan muslin biar ilmu wawasan lahir dari Islam berdasarkan Alquran dan Hadis, dengan pendekatan teologi normatif (keagamaan). Berkenaan dengan kajian ihwal ilmu wawasan dalam kaitannya dengan sekularisasi sangat penting untuk dikaji, hal tersebut akan bisa dipahami bagaimana urgennya islamisasi ilmu pengetahuan. Berangkat dari fakta yang sudah diuraikan tersebut, maka yang mempesona untuk dilihat, apa yang dimaksud dengan sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan ? lalu bagaimana sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan ditinjau dari faktor ontologis, epistemologis dan aksiologisnya?
Defenisi Sekularisasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Sekularisasi berasal dari bahasa Inggris “Secular” yang merupakan kata sifat yang berarti sekuler, duniawi. Dalam ensiklopedia Indiana disebutkan:
“Secularism is an ethical system founded of the principles of natural morality and independent of revealed religion or supernaturalism”
“Sekularisme ialah suatu metode etis (peradaban) yang didasarkan pada prinsip-prinsip moralitas yang dialami dan terlepas dari agama yang diwahyukan atau hal-hal yang mistik”.
Dari kata sekularisme ini dibuat menjadi kata kerja “Secularize” yang diartikan dengan “menerapkan pendidikan terhadap hal duniawi (bukan agama)”, atau yang biasa juga diistilahkan dengan “sekularisasi”. Arti sekularisasi itu sendiri dari sisi bahasa yaitu: hal-hal yang menjinjing kearah kehidupan yang tidak didasarkan pada anutan agama. Adapun perumpamaan islamisasi ilmu pengetahuan dapat diartikan memasukkan bagian agama, dalam hal ini agama Islam, dengan pemahaman nilai-nilai, makna-makna dan tujuan hidup insan menurut aliran Islam ke dalam ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan lahir selaku koreksi dari ilmu-ilmu modern yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu.
Ungkapan islamisasi ilmu pada awalnya dicetuskan oleh Prof. Syed Muhammad al-Naquib Alatas pada tahun 1379/1977. Sebelumnya almarhum Ismail Ahl al-Riwayah al-Farugi mengintrodusir suatu goresan pena perihal islamisasi ilmu-ilmu sosial. Meskipun, ide ilmu keislaman, khususnya menyangkut metodogi keislaman telah timbul sebelum ini dalam karya-karya Syed Hosein Nasr. Belakangan, pemikiran islamisasi ilmu ini disebarluaskan al-Faruqi dan institut yang didirikannya, adalah “Institut Pemikiran Islam Antarbangsa”. Adapun islamisasi ilmu pengetahuan menurut Prof Alatas, dalam Jurnal Ulumul Qur’an bahwa islamisasi ilmu pengetahuan adalah ilmu yang merujuk kepada upaya mengeliminir unsur-komponen serta desain-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, terutama dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Termasuk dalam bagian-komponen dan desain-konsep ini yaitu cara pandang kepada realitas yang dualistik, iktikad humanisme dan tekanan kepadanya dan penguasaan drama dan taktik dalam kehidupan rohani. Konsep-rancangan seperti inilah yang menyebabkan ilmu yang tidak sepenuhnya benar itu tersebar keseluruh dunia. Setelah melewati proses di atas, ke dalam ilmu tersebut ditanamkan unsur-bagian dan desain-desain pokok keislaman.
Dengan demikian, akan terbentuk ilmu yang benar, adalah ilmu yang sesuai dengan fitrah. Unsur-komponen dan konsep-rancangan pokok keislaman yang dimaksud yaitu manusia, din, ‘ilm, dan ma’rifah, pesan tersirat, ‘adl, ‘amal, adab, dan sebagainya. Kaprikornus islamisasi ilmu itu yaitu pembebasan ilmu dari pengertian yang berasaskan terhadap idologi, makna serta ungkapan sekular. Adapun ilmu wawasan mampu dibilang selaku hasil usaha pengertian manusia yang disusun dalam suatu tata cara tentang kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bab dan aturan-hukum wacana hal perihal yang diselidikinya (alam, insan dan juga agama) sejauh yang mampu dijangkau daya aliran insan yang dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan ekperimental.
Kata ontologi, epistemologi dan aksiologi, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani dari akar kata ontos, berarti “berada”. Episte berarti “wawasan”. Dan kata aksiologi berarti “berguna”. Ketiga kata tersebut ditambah dengan kata logos memiliki arti “ilmu pengetahuan, fatwa teori”. Sedangkan dari segi terminologis, ontologi yakni ilmu hakekat yang menilik alam konkret ini, bagaimana keadaan yang bahu-membahu. Epistemologi adalah ilmu yang membicarakan secara mendalam segenap proses dalam usaha menemukan pengetahuan. Aksiologi yakni ilmu wawasan ihwal kegunaan ilmu atau hakekat nilai yang terkandung dalam sebuah disiplin ilmu. Demikian sekularisasi dan islamisasi ilmu wawasan telaah ontologis, epistemologis dan aksiologis mampu diartikan selaku suatu upaya melepaskan keterkaitan masalah ilmu wawasan dari unsur-unsur agama dan di sisi lain timbul koreksi khususnya dari kalangan ilmuan muslim untuk melakukan perjuangan agama, dalam hal ini agama Islam, dengan pemahaman nilai-nilai, makna-makna dan tujuan hidup insan menurut fatwa Islam ke dalam ilmu wawasan. Dan berusaha menciptakan ilmu pengetahuan itu penuhnilai baik dari sisi hakekat realitas, fakta empiris maupun faedah yang diperoleh dari sebuah ilmu.
Sekularisasi Ilmu Pengetahuan
Sekularisasi ilmu wawasan secara ontologis, memiliki arti membuang segala yang bersifat religius dan mistis, sebab dipandang tidak relevan dalam ilmu. Mitos dan religi disejajarkan dan dipandang sebagai pra ilmu yang cuma bergayut dengan intuisi (dunia rasa). Ini mempunyai arti bahwa peran Tuhan dan dan segala yang berbau mitos dan bernuansa gaib selaku sesuatu yang kuat ditiadakan. Sehingga sekularisasi bisa juga disebut dengan desakralisasi (melepaskan diri dari segala bentuk yang bersifat sakral). Sekularisme ilmiah menatap bahwa alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud. Karena alam yakni benda mati yang netral. Tujuannya sungguh diputuskan oleh insan. Pandangan ini menyebabkan insan dengan segala daya yang dimiliki mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.
Sebuah disiplin ilmu juga hendak dipertahankan keobyektifan tujuan maka segala yang terkait dengan agama, persepsi hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif dikesampingkan guna mempertahankan realitas ilmu sebagai sesuatu yang independen, otonom dan obyektif. Hal ini sesuai dengan epistemologi yang digunakan yaitu rasionalisme dan empirisme menatap bahwa sumber pengetahuan yang absah yaitu empiris (pengalaman). Sebagai konsekuensi dari epistemologi sekuler maka pada tataran aksiologinya ilmu itu bebas nilai (value free of sciences) atau ilmu netral nilai.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu –ilmu terbaru yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu. Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang bahwa realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada aturan-aturan yang mengendalikan dan hukum itu adalah ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Allah, maka realitas alam semesta tidak netral namun memiliki maksud dan tujuan. Hal ini disinyalir dalam firman Allah SWT dalam QS. Al Imran (3): 191
ربنا ما خلقت هذا با طلا
Artinya:
“Ya Tuhan kami Engkau tidak membuat ini (alam) dengan tidak berguna”
Islamisasi ilmu wawasan dalam tataran epistimologinya mengkaji ayat-ayat Quran alasannya sebagian ayat Quran memasuki kawasan kajian empiris dan historis sehingga kebenaran statemennya/pernyataannya terbuka untuk dibuktikan dan dihadapkan dengan metodologi keilmuan. Bahkan ayat yang pertama turun berkenaan dengan perintah membaca juga segala upaya penelitian ilmiah yang berniat mendemonstrasikan revolusi ilmiah (QS. Al-Alaq: 1-5). Islamisasi ilmu pengetahuan secara aksiologi menatap bahwa ilmu wawasan itu sarat dengan nilai-nilai etika (watak value) dengan kata lain ilmu itu tidak netral nilai melainkan dalam ilmu pengetahuan itu terkandung nilai-nilai luhur menurut aliran Islam yang mengkristal pada akar-akar Ilahi.
Seorang sarjana ternama yang mengamati persoalan islamisasi ilmu pengetahuan yaitu Ismail Raji al-Faruqi sebagaimana dikutip oleh Ziaduddin Sardan, dalam bukunya Jihad Intelektual. Mengatakan bahwa ilmu pengetahuan yang sifatnya dualisme (sistem Islam dan sistem sekuler) harus dihilangkan dan dihapuskan. Dan kedua metode ini harus digabungkan dan diintegrasikan, sementara sistem yang hendak timbul mesti diwarnai dengan spirit Islam dan berfungsi sebagai bab integral dari ideologi. Dengan demikian islamisasi ilmu pengetahuan menjadi penting bagi kita terutama umat Islam guna meng-counter dampak-imbas sekularisasi Barat yang bebas nilai.