Sejarah Pesantren Di Jawa

I. PENDAHULUAN
Kedatangan islam di Indonesia sudah banyak memberi imbas dalam berbagai faktor kehidupan masyarakatnya. Khususnya di Jawa yang mempunyai banyak sejarah dan kebudayaan yang mengakar. Hal itu bisa berupa budaya, kesenian, ritual, dan pendidikan.
Lembaga pendidikan menunjukkan warna tersendiri bagi sejarah islam di jawa, alasannya dengan media pendidikanlah pemikiran islam disebarluaskan kepada penduduk . Pengaruh Walisongo tak pernah lepas dari peranan ini, alasannya merekalah yang mempunyai andil besar kepada kemajuan agama islam. Pendekatan yang dijalankan walisongo sungguh efektif untuk mengajak orang-orang yang kurun itu masih beragama hindu-budha. Dengan kebudayaan, kesenian dan pastinya cara yang halus menciptakan orang-orang lebih simpati dan terpesona.
Jika kita mengkaji wacana sejarah budaya Jawa dan pendidikan, maka pesantren merupakan institusi yang tak dapat ditinggalkan. Menurut Dawam rahardjo bahwa pondok ialah hasil absorpsi akulturasi dari penduduk Indonesia terhadap kebudayaan Hindu-Budha dan Kebudayaan Islam yang kemudian menjelmakan sebuah lembaga yang lain dengan warna Indonesia.
Melalui desain dan model pembelajaran pesantren yang sederhana ini kemudian dilanjutkan oleh para Ulama hingga sekarang. Hal itu memperlihatkan kesuksesan Walisongo utamanya Maulana Malik Ibrahim yang pertama kali memperkenalkan peantren. 
Dalam makalah ini sedikit kami menerangkan perihal sejarah pendidikan islam di Indonesia dan lika-liku pesantren.
II. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan membicarakan beberapa problem tentang :
1. Sejarah Pondok Pesantren
2. Sejarah Pendidikan di Jawa
III. PEMBAHASAN
1. Sejarah pondok pesantren
Pondok secara etimologis bermakna bangunan untuk sementara, rumah, bangunan kawasan tinggal yang berpetak-petak yang berdinding bilik, madrasah dan asrama (tempat mengaji atau mencar ilmu agama islam).[1]“Pondok” yang umum dipakai dalam tradisi Pasundan dan Jawa untuk menyebutkan asrama daerah berguru agama islam bantu-membantu tidak sama sekali orisinil nusantara, namun ialah hasil perembesan dari bahasa arab al funduuq yang berarti hotel atau tempat penginapan, pesanggrahan atau kawasan penginapan bagi orang yang bepergian. Hal yang terakhir ini beralasan sebab daerah belajar para siswa dalam tradisi Hindu Budha diketahui dengan perumpamaan asyrama dan mandala, bukan pondok (al funduuq).
Adapun term “pesantren” secara etimologis berasal dari pe-santri-an yang bermakna tempat santri, asrama daerah santri belajar agama atau pondok. Sedangkan terminologi “santri” sendiri berdasarkan Zamakhsyari Dhofier berasal dari ikatan kata “sant” (insan baik) dan tri (suka membantu) sehingga santri berarti manusia baik yang suka membantu secara kolektif. Pendapat berbeda dari Prof. John menyampaikan bahwa santri dalam bahasa Tamil memiliki arti guru mengaji.
Pendapat berlawanan pula tiba dari Clifford Geertz beropini bahwa santri berasal dari bahasa India atau Sansekerta “shastri” yang bermakna ilmuwan Hindu yang berakal menulis dan kaum berilmu. Ada juga yang beropini bahwa saantri berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang bermakna seseorang yang mengikuti seorang guru, kemana guru menetap. 
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik di Indonesia. Lembaga ini sudah meningkat utamanya di Jawa selama berabad-era. Maulana Malik Ibrahim salah satu spiritual father Walisongo yang meninggal tahun 1419 di Gresik dalam masyarakat Jawa lazimnya dipandang sebagai gurunya guru tradisi pesantren di tanah Jawa. [2]
Seperti yang sudah diterangkan diatas, bahwa pesantren yaitu institusi pendidikan islam tertua di Indonesia. Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren diketahui di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu pula Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan membuatnya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menimba ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.
Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka peroleh di Pesantren Ampel.
Mengenai pendirian dan pelembagaan pesantren pertama kali, gres muncul pada pertengahan masa ke-18 M. Dari pesantren-pesantren antik yang terlacak, pesantren Tegalsari Panaraga yang diresmikan tahun 1742 adalah pesantren paling bau tanah. Pada selesai abad 18 M, forum pesantren di Jawa kian bertambah dan mengalami kemajuan pesat. Hal itu terjadi pada rentang periode ke-19 M. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pesantren muncul pada kala ke-18 M dan melembaga pada periode ke-19 M. 
Dulu, sentra pendidikan Islam ialah langgar masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari supaya tidak mengusik pekerjaan orang renta sehari-hari. Banyaknya murid dan datang dari berbagai daerahlah lalu dibangun bilik-bilik sederhana untuk ditempati sehari-hari bagi para santri. Pesantren di Jawa masa itu pada umunya jauh dari kota besar atau terletak di pedalaman.[3]
Ada beberapa pendapat mengenai proses lahirnya pesantren, perbedaan pendangan ini mampu dikategorikan menjadi dua pertimbangan , adalah :
Pertama, kalangan ini berpendapat bahwa pesantren merupakan hasil kreasi sejarah anak bangsa sehabis mengalami persentuhan budaya dengan budaya pra islam. Pesantren merupakan metode pendidikan islam yang mempunyai kesamaan dengan metode pendidikan Hindu-Budha. Pesantren disamakan dengan asyrama atau mandala dalam khazanah lembaga pendidikan pra islam.
Kedua, golongan yang berpendapat bahwa pesantren diadopsi dari forum pendidikan Islam Timur-Tengah. Kelompok ini beropini meragukan kebenaran usulan yang menyatakan bahwa forum pendidikan asyrama dan mandala yang sudah ada sejak zaman Hindu-Budha ialah kawasan berlangsungnya praktek pengajaran tekstual sebagaimana di pesantren. Termasuk dalam kelompok ini yaitu Martin Van Bruinessen, salah seorang sarjana Barat yang concern terhadap sejarah kemajuan pesantren di Indonesia.[4]
Martin menjelaskan bahwa pesantren cenderung lebih akrab dengan salah satu versi sistem pendidikan di Al Azhar dengan tata cara pendidikan riwaq yang diresmikan di pada final era ke 18 M.
Menurut Zuhairini (1997:212), kawasan-kawasan pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya tata cara pendidikan pondok pesantren.” Ini mempunyai arti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih nyaris sama mirip tata cara pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih usang.
Pada permulaan rintisannya pesantren tidak hanya menekankan misi pendidikan, melainkan juga dakwah. Bahkan, misi dakwah ini justru lebih menonjol. Lazimnya, baik pesantren yang bangun pada permulaan pertumbuhannya maupun pada era ke-19 dan ke-20, pada permulaan perjuangannya masih terus menghadapi kerawanan-kerawanan sosial dan polemik keagamaan.
2. Sejarah Pendidikan di Jawa
A. Pendidikan pra Islam
Sistem pendidikan pada kala kemudian baru mampu terekam dengan baik pada kurun Hindu-Buddha. Menurut Agus Aris Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990). Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan ungkapan karsyan. Karsyan yakni tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari hiruk pikuk dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan yang kuasa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk adalah patapan dan mandala.
Patapan memiliki arti kawasan bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk beberapa waktu hingga dia sukses dalam mendapatkan isyarat atau sesuatu yang beliau cita-citakan. Ciri khasnya ialah tidak diperlukannya suatu bangunan, mirip rumah atau gubukan. Bentuk patapan mampu sederhana, mirip gua atau ceruk, kerikil-kerikil besar, ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah Resi/Rsi yang bertapa lebih minim atau terbatas. Tapa mempunyai arti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa umumnya menerima panduan khusus dari sang guru, dengan demikian bentuk patapan lazimnya cuma cukup dipakai oleh seorang saja.
Istilah kedua yaitu mandala, atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan daerah suci yang menjadi sentra segala acara keagamaan, suatu tempat atau kompleks yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewaguru.
Berdasarkan informasi yang terdapat pada kropak 632 yang menyebutkan bahwa ” masih berharga nilai kulit musang di tempat sampah ketimbang rajaputra (penguasa nagara) yang tidak bisa menjaga kabuyutan atau mandala sampai jatuh ke tangan orang lain, mampu diketahui bahwa nagara atau ibu kota atau juga pusat pemerintahan, umumnya dikelilingi oleh mandala. Dalam hal ini, antara mandala dan nagara tentunya mempunyai sifat saling ketergantungan. Nagara memerlukan mandala untuk pemberian yang bersifat etika dan spiritual, mandala dianggap selaku sentra kesaktian, dan pusat kekuatan gaib.
Dengan demikian masyarakat yang tinggal di mandala mengemban peran untuk melakukan tapa. Kemakmuran sebuah negara, keselamatan masyarakat serta kejayaan raja sungguh tergantung dengan sikap raja kepada kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, nagara perlu memberi pinjaman dan keamanan, serta selaku pemasok keperluan yang bersifat materiil (akomodasi dan kuliner), semoga para pendeta/wiku dan murid mampu dengan tenang mendekatkan diri dengan dewata.
B. Masa Islam Masuk
Sistem pendidikan yang ada pada masa Hindu-Buddha lalu berlanjut pada era Islam. Bisa dikatakan metode pendidikan pada abad Islam ialah bentuk akulturasi antara sistem pendidikan patapan Hindu-Buddha dengan sistem pendidikan Islam yang sudah mengenal perumpamaan uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada tata cara pendidikan yang mengikuti kaum agamawan Hindu-Buddha, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962, IV: 484—5; Munandar 1990: 310—311). Pada era Islam metode pendidikan itu disebut dengan pesantren atau disebut juga pondok pesantren. Berasal dari kata funduq (funduq=Arab atau pandokheyon=Yunani yang berarti kawasan bermalam).
Bentuk lainnya adalah, ihwal pemilihan lokasi pesantren yang jauh dari hiruk pikuk dunia, keberadaannya jauh dari permukiman penduduk, jauh dari ibu kota kerajaan maupun kota-kota besar. Beberapa pesantren dibangun di atas bukit atau lereng gunung Muria, Jawa Tengah. Pesantern Giri yang terletak di atas suatu bukit yang bernama Giri, erat Gersik Jawa Timur (Tjandrasasmita, 1984—187). Pemilihan lokasi tersebut sudah mencontek ”gunung keramat” sebagai daerah didirikannya karsyan dan mandala yang sudah ada pada kala sebelumnya (De Graaf & Pigeaud, 1985: 187).
Seperti halnya mandala, pada abad Islam perumpamaan tersebut lebih diketahui dengan sebutan ”depok”, istilah tersebut menjadi nama suatu tempat yang khas di kota-kota Islam, mirip Yogyakarta, Cirebon dan Banten. Istilah depok itu sendiri berasal dari kata padepokan yang berasal dari kata patapan yang merujuk pada arti yang serupa, yaitu “daerah pendidikan. Dengan demikian padepokan atau pesantren yaitu sebuah tata cara pendidikan yang merupakan kelanjutan sistem pendidikan sebelumnya.
Adanya pesantren di Jawa tidak lepas dari peranana walisongo. Pengaruhnya bisa dipahami alasannya kesuksesan mereka yang luar biasa dalam mengislamkan secara tenang dan rekonsiliasinya dengan nilai dan kebiasaan setempat. Pendekatan walisongo kemudian secara berkesinambungan melalui institusionalisasi pesantren.[5]
C. Pasca Indonesia Merdeka
Setelah melewati era-periode sukar balasan penjajahan perang, berikutnya pesantren memasuki periode pascakemerdekaan dan berkiprah di zaman pembangunan. Secara garis besar pendidikan di permulaan kemerdekaan diupayakan untuk mampu menyamai dan mendekati metode pendidikan di negara-negara maju, utamanya dalam mengejar keserbaterbelakangan di banyak sekali sektor kehidupan.
Secara lazim pendidikan orde lama selaku wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup menawarkan ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi tumpuan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan perkembangan bangsa Indonesia di kala mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan menawarkan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua golongan masyarakat tanpa memandang kelas sosial. Pada periode ini Indonesia bisa mengekspor guru ke negara tetangga, dan banyak generasi muda yang disekolahkan di luar negeri dengan tujuan agar mereka kelak mampu kembali ke tanah air untuk mengaplikasikan ilmu yang sudah mereka mampu. Tidak ada halangan irit yang merintangi seseorang untuk berguru di sekolah, alasannya adalah diskriminasi dianggap selaku langkah-langkah kolonialisme. Pada saat inilah merupakan suatu periode di mana setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan lainnya, serta setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan.
Pada masa ini tek ketinggalan pula pesantren selaku sebuah institusi pendidikan islam juga turut andil dalam membangun dan meningkatkan pendidikan di indonesia.
Terdapat bukti-bukti sejarah bahwa tak sedikit putra terbaik bangsa yang ditempa di pesantren. Mereka tidak cuma terlibat dalam usaha fisik, namun ikut andil bagian dalam mendirikan bangsa dan mengisi masa kemerdekaan. Sejalan dengan itu, tidak berlebihan seandainya pada kala tahun 1959-1965 pesantren disebut “alat revolusi” dan penjaga keutuhan Indonesia.
IV. KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan islam di jawa sungguh dipengaruhi oleh keberadaan Walisongo. Diawali dengan dakwah ia yang menggunakan pendekatan kultural sehingga segera mendapat sambutan yang baik dari massyarakat kurun itu. 
Awalnya kegiatan dakwah dan pengajaran dilakukan di laga atau surau-surau kecil pada malam hari, sehingga tidak mengganggu waktu bekerja dan membantu orang bau tanah di pagi hari. Kegiatan meliputi mencar ilmu membaca Al Qur’an, penyampaian ajaran islam dan lainnya. Semakin banyak murid (santri) yang tiba dari luar daerahlah yang menciptakan dibangunnya bilik-bilik untuk ditinggali.
Terlepas dari dinamika tata cara sosio-kultural yang berkembang pada masa itu, kuatnya tugas wali songo dan ulama dalam mengembangkan ajaran dan spiritualitas keagamaan, sudah mendorong penduduk berbagi pesantren sebagai institusi pendidikan publik. Dengan spirit juang yang tinggi, wali songo, para ulama, dan tokoh masyarakat pada kurun lampau itu terus bergerak memajukan anutan dan pendidikan masyarakat. Dorongan itulah yang lantas melahirkan institusi pesantren dengan aneka macam variasi dan keunikannya.
DAFTAR PUSTAKA
· Steenbrink. A DR Kareel, 1984, Beberapa Aspek perihal Islam di Indonesia Abad ke- 19, Jakarta : PT Bulan Bintang
· Mughits, Abdul, 2008, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, Jakarta : Kencana Prenada Media Group
· Jamil, Abdul dkk, 2002, Islam dan Kebudayaan Jawa, Jakarta : Gama Media
· Haedari, HM Amin dkk, 2004, Masa Depan Pesantren Dalam Tantangaan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, Jakarta : IRD PRESS
· Mas’ud, Abdurrahman, 2004, Intelektual Pesantren-Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta : LKiS
  Sejarah Pendidikan Di Jawa