close

Sejarah, Pertumbuhan Dan Pendekatan Dalam Studi Islam

Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam : Islam telah menjadi kajian yang menarik perhatian banyak golongan. Studi keislaman pun kian meningkat . Islam tidak lagi dipahami cuma dalam pemahaman historis dan doktriner, namun sudah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya berisikan rangkaian petunjuk formal ihwal bagaimana seorang individu mesti memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi suatu sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari pertumbuhan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin cuma dari satu aspek, risikonya diperlukan metode dan pendekatan interdisipliner.

Kajian agama, termasuk Islam, mirip disebutkan di atas dikerjakan oleh sarjana Barat dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial dan humanities, sehingga muncul sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menimbulkan masyarakat Barat sebagai lapangan penelitiannya, tetapi juga masyarakat di negara-negara berkembang, yang kemudian menimbulkan orientalisme.

Sarjana Barat bekerjsama telah lebih dulu dan lebih lama melakukan kajian kepada fenomena Islam dari pelbagai faktor: sosiologis, kultural, perilaku politik, doktrin, ekonomi, kemajuan tingkat pendidikan, jaminan keselamatan, perawatan kesehatan, kemajuan minat dan kajian intelektual, dan seterusnya.

Sementara itu, agama atau keagamaan selaku tata cara akidah dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji lewat banyak sekali sudut pandang. Islam khususnya, selaku agama yang sudah berkembang selama empatbelas masa lebih menyimpan banyak banyak problem yang perlu diteliti, baik itu menyangkut aliran dan ajaran kegamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya. Salah satu sudut pandang yang dapat dikembangkankan bagi pengkajian Islam itu adalah pendekatan sejarah. Berdasarkan sudut pandang tersebut, Islam mampu diketahui dalam banyak sekali dimensinya. Betapa banyak dilema umat Islam hingga dalam perkembangannya sekarang, bisa dipelajari dengan berkaca kepada peristiwa-peristiwa era lampau, sehingga segala kearifan kurun kemudian itu memungkinkan untuk dijadikan alternatif acuan di dalam menjawab problem-masalah era kini. Di sinilah arti pentingnya sejarah bagi umat Islam pada utamanya, apakah sejarah sebagai wawasan ataukah dia dijadikan pendekatan didalam mempelajari agama.

Bila sejarah dijadikan sebagai sesuatu pendekatan untuk mempelajari agama, maka sudut pandangnya akan mampu membidik aneka-ragam kejadian periode lampau. Sebab sejarah selaku suatu metodologi menekankan perhatiannya terhadap pengertian berbagai gejala dalam dimensi waktu. Aspek kronologis sesuatu tanda-tanda, termasuk gejala agama atau keagamaan, merupakan ciri khas di dalam pendekatan sejarah. Karena itu observasi kepada tanda-tanda-tanda-tanda agama menurut pendekatan ini haruslah dilihat sisi-sisi prosesnya dan pergeseran-perubahannya. Bahkan secara kritis, pendekatan sejarah itu bukanlah sebatas melihat segi perkembangan, perkembangan serta keruntuhan mengenai sesuatu peristiwa, melainkan juga mampu mengerti tanda-tanda-gejala struktural yang menyertai kejadian. Inilah pendekatan sejarah yang bergotong-royong perlu dikembangkan di dalam observasi masalahmasalah agama.

Makalah ini berupaya membicarakan wacana karakteristik pendekatan sejarah selaku salah satu pendekatan di dalam Studi Islam dengan didahului pembahasan seputar aspek Studi Islam.

Studi Islam selaku Disiplin Ilmu

Munculnya ungkapan Studi Islam, yang di dunia Barat diketahui dengan istilah Islamic Studies, dalam dunia Islam diketahui dengan Dirasah Islamiyah, bahwasanya sudah didahului oleh adanya perhatian besar terhadap disiplin ilmu agama yang terjadi pada kurun ke sembilan belas di dunia Barat. Perhatian ini di tandai dengan munculnya aneka macam karya dalam bidang keagamaan, mirip: buku Intruduction to The Science of Relegion karya F. Max Muller dari Jerman (1873); Cernelis P. Tiele (1630-1902), P.D. Chantepie de la Saussay (1848-1920) yang berasal dari Belanda. Inggris melahirkan tokoh Ilmu Agama mirip E. B. Taylor (1838-1919). Perancis memiliki Lucian Levy Bruhl (1857-1939), Louis Massignon (w. 1958) dan sebagainya. Amirika menciptakan tokoh seperti William James (1842-1910) yang diketahui melalui karyanya The Varieties of Relegious Experience (1902). Eropa Timur menampilkan Bronislaw Malinowski (1884-1942) dari Polandia, Mircea Elaide dari Rumania. Itulah sebagian nama yang dikenal dalam dunia ilmu agama, meskipun tidak seluruhnya mampu penulis sebutkan di sini.

Tidak cuma di Barat, di Asia pun muncul beberapa tokoh Ilmu Agama. Di Jepang muncul J. Takakusu yang berjasa memperkenalkan Budhisme pada penghujung kurun kesembilan belas dan T. Suzuki dengan sederaetan karya ilmiahnya ihwal Zen Budhisme. India memiliki S Radhakrishnan selaku pundit Ilmu Agama maupun filsafat India, Moses D. Granaprakasam, Religious Truth an relation between Religions (1950), dan P. D. Devanadan, penulis The Gospel and Renascent Hinduism, yang diterbitkan di London pada 1959. dan filsafat analitis.

Berbeda dengan dunia Barat, Ilmu Agama (baca: Studi Islam) di dunia Islam telah usang muncul. Dalam dunia Islam dikenal beberapa tokoh dalam banyak sekali disiplin ilmu. Dalam bidang yurisprudensi (aturan) diketahui tokoh seperti Abu Hanifah, Al-Syafi’I, Malik, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam bidang ilmu Tafsir diketahui tokoh mirip Al-Thabary, Ibn Katsir, Al-Zamahsyari, dan sebagainya pada sekitar masa kedua dan keempat hijriyah. Dan risikonya muncul tokoh-tokoh kala kesembilan belas seperti: Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Abad kedua puluh mirip Musthafa al-Maraghy, penulis Tafsir al-Maraghy. Di bidang kalam pun timbul tokh-tokoh besar dari banyak sekali pedoman: Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Asy’ariyah, dan Mu’tazilah. Penulis bidang ini antara lain; al-Qadhi Abdul Jabbar, penulis al-Mughny dan Syarah al-Ushul al-Khamsah (w. 415 H). Di bidang Tasawuf melahirkan tokoh-tokoh mirip al-qusyairi yang populer dengan Kitabnya Al-Risalah al-Qusyairiyah (w. 456), Abu Nasr al-Sarraj al-Thusy (w. 378 H), penulis al-Luma’, Al-Kalabadzi, penulis al-ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, Abdul Qadir al-Jailany, penulis kitan Sirr al-Asrar, al-Fath al-Rabbaniy, dan sebagainya.

Walaupun secara realitas studi ilmu agama (baca: studi Islam [agama])keberadaannya tidak terbantahkan, tetapi dikalangan para andal masih terdapat perdebatan di sekeliling masalah apakah dia (Studi Islam) mampu dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengenang sifat dan karakteristik antara ilmu wawasan dan agama berbeda. Pembahasan di sekeliling problem ini banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam dewasa ini. Amin Abdullah contohnya menyampaikan jikalau penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies, Studi Islam, atau Dirasah Islamiyah cuma menyimak dakwah keagamaan di kelas, kemudian apa bedanya dengan acara pengajian dan dakwah yang telah ramai diselenggarakan di luar kursi sekolah? Merespon sinyalemen tersebut menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope daerah kajian studi Islam atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang bersifat normative dan histories. Pada tataran normativ kelihatan Islam kurang pas jika dibilang sebagai disiplin ilmu, sedangkan untiuk dataran histories kelihatannya berhubungan .

Tidak hanya kesukaran yang dihadapi oleh seorang agamawan saja, melainkan dosen dan guru juga mengalami hal yang sama. Banyak dijumpai seorang guru atau dosen yang tidak mengetahui fungsi dan substansi mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Sehingga banyak murid atau mahasiswa yang tidak mengetahui apa yang mereka pelajari, sungguh ironis.

Pada tataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak , romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, utamanya dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.

Dengan demikian secara sederhana dapat didapatkan jawabannya bahwa dilihat dari sisi normatif sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, maka Islam lebih ialah agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu ilmu pengetahuan yakni paradigma analitis, kiritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, dan subyektif. Sedangkan jika dilihat dari segi historis, yaitu Islam dalam arti yang diterapkan oleh manusia serta berkembang dan meningkat dalam kehidupan insan, maka Islam mampu dikatakan selaku sebuah disiplin ilmu, adalah Ilmu Ke-Islaman, Islamic Studies, atau Dirasah Islamiyah.

Perbedaan dalam menyaksikan Islam yang demikian itu dapat menjadikan perbedaan dalam menerangkan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam ialah agama yang di dalamnya berisi fatwa Tuhan yang berhubungan dengan problem iktikad dan mu’amalah. Sedangkan dikala Islam dilihat dari sudut histories atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil selaku sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).

Selanjutnya studi Islam sebagaimana yang dikemukakan di atas, berlainan pula dengan apa yang disebut selaku Sains Islam. Sains Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyed Husen Nasr adalah sains yang dikembangkan oleh kaum muslimin semenjak era kedua hijriyah, mirip kedokteran, astronomi, dan lain sebagainya.

Dengan demikian sains Islam mencakup banyak sekali pengetahuan terbaru yang dibangun atas instruksi nilai-nilai Islami. Sementara studi Islam ialah wawasan yang dirumuskan dari pemikiran Islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia. Sedangkan pengetahuan agama adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari pedoman-anutan Allah dan Rasulnya secara murni tanpa dipengaruhi oleh sejarah, seperti fatwa perihal dogma, ibadah, membaca al-Qur’an dan adab.

Berdasarkan uraian di atas, berkenaan dengan Studi Islam selaku suatu disiplin ilmu tersendiri sangat terkait dekat dengan duduk perkara metode dan pendekatan yang mau digunakan dalam melaksanakan pengkajian terhadapnya. Inilah yang menjadi topik utama dalam kajian makalah ini.

Metode dan pendekatan dalam Studi Islam mulai diperkenalkan oleh para pemikir Muslim Indonesia sekita tahun 1998 dan menjadi mejadi matakuliah gres dengan nama Metodologi Studi Islam (MSI) yang diajarkan di lingkup Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia.

Pertumbuhan dan Obyek Studi Islam

Studi Islam, pada masa-periode awal, terutama kurun Nabi dan sobat, dikerjakan di Masjid. Pusat-pusat studi Islam sebagaimana yang dibilang oleh Ahmad Amin, Sejarawan Islam kontemporer, berada di Hijaz berpusat Makkah dan Madinah; Irak berpusat di Basrah dan Kufah serta Damaskus. Masing-masing tempat diwakili oleh sobat terkemuka.

Pada era keemasan Islam, pada periode pemerintahan Abbasiyah, studi Islam di pusatkan di Baghdad, Bait al-Hikmah. Sedangkan pada pemerintahan Islam di Spanyol di pusatkan di Universitas Cordova pada pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar Al-Dahil. Di Mesir berpusat di Universitas al-Azhar yang diresmikan oleh Dinasti Fathimiyah dari kalangan Syi’ah.

Studi Islam sekarang meningkat hampir di seluruh negara di dunia, baik Islam maupun yang bukan Islam. Di Indonesia studi Islam dikerjakan di UIN, IAIN, STAIN. Ada juga sejumlah Perguruan Tinggi Swasta yang menyelengggarakan Studi Islam seperti Unissula (Semarang) dan Unisba (Bandung).

Studi Islam di negara-negara non Islam diselenggarakan di beberapa negara, antara lain di India, Chicago, Los Angeles, London, dan Kanada. Di Aligarch University India, Studi Islam di bagi mnjadi dua: Islam sebagai akidah di kaji di Fakultas Ushuluddin yang memiliki dua jurusan, adalah Jurusan Madzhab Ahli Sunnah dan Jurusan Madzhab Syi’ah. Sedangkan Islam dari Aspek sejarah di kaji di Fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic Studies. Di Jami’ah Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies Program di kaji di Fakultas Humaniora yang membawahi juga Arabic Studies, Persian Studies, dan Political Science.

Di Chicago, Kajian Islam diselenggarakan di Chicago University. Secara organisatoris, studi Islam berada di bawah Pusat Studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa, dan Kebudayaan Timur Dekat. Dilembaga ini, kajian Islam lebih memprioritaskan kajian tentang pemikiran Islam, Bahasa Arab, naskah-naskah klasik, dan bahasa-bahasa non-Arab.

Di Amirika, studi Islam pada umumnya memprioritaskan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu social. Studi Islam di Amirika berada di bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur Dekat.

Di UCLA, studi Islam dibagi menjadi empat komponen. Pertama, iman dan sejarah Islam; kedua, bahasa Arab; ketiga, ilmu-ilmu social, sejarah, dan sosiologi. Di London, studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African Studies (Fakultas Studi Ketimuran dan Afrika) yang mempunyai aneka macam jurusan bahasa dan kebudayaan di Asia dan Afrika.

Dengan demikian obyek studi Islam mampu dikelompokkan menjadi beberapa bagian, adalah, sumber-sumber Islam, iktikad Islam, ritual dan institusi Islam, Sejarah Islam, ajaran dan pedoman tokoh, studi kawasan, dan bahasa.

Metode dan Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam

Jika disepakati bahwa Studi Islam (Islamic Studies) menjadi disiplin ilmu tersendiri. Maka telebih dulu harus di bedakan antara realita, pengetahuan, dan ilmu.

Setidaknya ada dua realita yang ditemui dalam hidup ini. Pertama, realita yang disepakati (agreed reality), ialah segala sesuatu yang dianggap nyata sebab kita bersepakat menetapkannya sebagai realita; kenyataan yang dialami orang lain dan kita akui selaku kenyataan. Kedua, kenyataan yang didasarkan atas pengalaman kita sendiri (experienced reality). Berdasarkan adanya dua jenis kenyataan itu, pegetahuan pun terbagi menjadi dua macam; pengetahuan yang diperoleh lewat kesepakatan dan wawasan yang diperoleh lewat pengalaman eksklusif atau observasi. Pengetahuan pertama diperoleh dengan cara mempercayai apa yang dikatakan orang lain alasannya kita tidak belajar segala sesuatu melalui pengalaman kita sendiri.

Bagaimanapun beragamnya wawasan, namun ada satu hal yang harus diingat, bahwa setiap tipe wawasan mengajukan permintaan (claim) biar orang membangun apa yang dimengerti menjadi sesuatu yang otentik (valid) atau benar (true).

Kesahihan pengetahuan benyak bergantung pada sumbernya. Ada dua sumber wawasan yang kita dapatkan melalui agreement: tradisi dan autoritas. Sumber tradisi yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui warisan atau transmisi dari generasi ke generasi (al-tawatur). Sumber wawasan kedua adalah autoritas (authority), ialah wawasan yang dihasilkan melalui penemuan-penemuan gres oleh mereka yang memiliki wewenang dan keterampilan di bidangnya. Penerimaan autoritas sebagai wawasan bergantung pada status orang yang menemukannya atau menyampaikannya.

Berbeda dengan wawasan, ilmu dalam arti science menunjukkan dua bentuk pendekatan terhadap kenyataan (reality), baik agreed reality maupun experienced reality, lewat daypikir personal, adalah pendekatan khusus untuk memperoleh realita itu. Ilmu memperlihatkan pendekatan khusus yang disebut metodologi, adalah ilmu untuk mengetahui.

Metode terbaik untuk mendapatkan pengetahuan yakni sistem ilmiah (scientific method). Untuk mengerti sistem ini terlebih dahulu mesti diketahui pemahaman ilmu. Ilmu dalam arti science mampu dibedakan dengan ilmu dalam arti wawasan (knowledge). Ilmu adalah wawasan yang sistematik. Ilmu mengawali penjelajahannya dari pengalaman manusia dan berhenti pada batas penglaman itu. Ilmu dalam pengertian ini tidak mempelajari ihwal nirwana maupun neraka karena keduanya berada diluar jangkauan pengalaman insan. Demikian juga mengenai kondisi sebelum dan sesudah mati, tidak menjadi obyek penjelajahan ilmu. Hal-hal mirip ini menjadi kajian agama. Namun demikian, pengetahuan agama yang sudah tersusun secara sistematik, terencana, dan berdisiplin, dapat juga dinyatakan sebagai ilmu agama.

Menurut Ibnu Taimiyyah ilmu apapun memiliki dua macam sifat: tabi’ dan matbu’. Ilmu yang mempunyai sifat yang pertama yakni ilmu yang keberadaan obyeknya tidak memerlukan wawasan si subyeknya wacana eksistensi obyek tersebut. Sifat ilmu yang kedua, yakni ilmu yang keberadaan obyeknya bergantung pada pengetahuan dan harapan si subyek.

Berdasarkan teori ilmu di atas, ilmu di bagi kepada dua cabang besar. Pertama ilmu wacana Tuhan, dan kedua ilmu tentang makhluk-makhluk ciptaan Tuhan. Ilmu pertama melahirkan ilmu kalam atau teology, dan ilmu kedua melahirkan ilmu-ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan metodologi dalam arti biasa . Ilmu-ilmu kealaman dengan memakai metode ilmiah tergolong kedalam cabang ilmu kedua ilmu ini.

Ilmu pada klasifikasi kedua, menurut Ibnu Taimiyyah mampu dipersamakan dengan ilmu berdasarkan pemahaman para pakar ilmu terbaru, ialah ilmu yang didasarkan atas prosedur metode ilmiah dan kaidah-kaidahnya. Yang dimaksud metode di sini yakni cara mengenali sesuatu dengan tindakan yang sistematik. Sedangkan kajian mengenai kaidah-kaidah dalam tata cara tersebut disebut metodologi. Dengan demikian tata cara ilmiah sering dikenal sebagai proses logico-hipotetico-verifikasiyang merupakan adonan dari metode deduktif dan induktif. Dalam kontek inilah ilmu agama dalam Studi Islam (Islamic Studies) yang menjadi disiplin ilmu tersendiri, harus dipelajari dengan memakai mekanisme ilmiah. Yakni mesti memakai metode dan pendekatan yang sistematis, terukur berdasarkan syarat-syarat ilmiah.

Dalam studi Islam dikenal adanya beberapa sistem yang dipergunakan dalam mengerti Islam. Penguasaan dan ketepatan pemilihan metode tidak dapat dianggap sepele. Karena penguasaan tata cara yang sempurna dapat menjadikan seseorang dapat membuatkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai tata cara hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen. Oleh jadinya disadari bahwa kesanggupan dalam menguasai bahan keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kesanggupan di bidang metodologi sehingga wawasan yang dimilikinya mampu dikembangkan.

Diantara sistem studi Islam yang pernah ada dalam sejarah, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua. Pertama, tata cara komparasi, yakni sebuah cara mengetahui agama dengan membandingkan seluruh faktor yang ada dalam agama Islam tersebut dengan agama yang lain. Dengan cara yang demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang obyektif dan utuh. Kedua metode sintesis, adalah sebuah cara mengerti Islam yang menggabungkan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, obyektif, kritis, dan seterusnya dengan tata cara teologis normative. Metode ilmiah digunakan untuk mengerti Islam yang nampak dalam kenyataan histories, empiris, dan sosiologis. Sedangkan tata cara teologis normative dipakai untuk mengetahui Islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui tata cara teologis normative ini seseorang memulainya dari meyakini Islam sebagai agama agama yang mutlak benar. Hal ini di dasarkan kerena agama berasal dari Tuhan, dan apa yang berasal dari Tuhan mutlak benar, maka agamapun mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan menyaksikan agama sebagaimana norma pedoman yang berkaitan dengan aneka macam aspek kehidupan manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal.

Metode-metode yang digunakan untuk memahami Islam itu sebuah dikala mungkin dpandang tidak cukup lagi, sehingga dibutuhkan adanya pendekatan baru yang harus terus digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan (approaches)ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, sistem, dan teknik penelitian. Terdapat banyak pendekatan yang dipakai dalam memahami agama. Diantaranya ialah pendekatan teologis normative, antropologis, sosiologis, psikologis, histories, kebudayaan, dan pendekatan filodofis. Adapun pendekatan yang dimaksud di sini (bukan dalam konteks penelitian), ialah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang berikutnya dipakai dalam mengerti agama. Dalam relasi ini, Jalaluddin Rahmat, menandasakan bahwa agama mampu diteliti dengan memakai aneka macam paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan memiliki nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu tidak ada duduk perkara apakah observasi agama itu observasi ilmu social, penelitian filosofis, atau observasi legalistic.

Mengenai banyaknya pendekatan ini, penulis tidak akan menguraikan secara keseluruhan pendekatan yang ada, melaikan cuma pendekatan histories sesuai dengan judul di atas, adalah pendekatan histories.

Sejarah atau histories ialah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsure kawasan, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari insiden tersebut. Menurut ilmu ini segala kejadian mampu dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam kejadian tersebut.

Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat emiris dan terkenal diseluruh dunia. Dari keadaan ini seseorang akan menyaksikan adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan histories.

Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam mengerti agama, karena gama itu sendiri turun dalam suasana yang nyata bahkan berhubungan dengan keadaan social kemasyarakatan. Dalam kekerabatan ini Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an ia sampai pada satu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi desain-konsep, dan bab kedua berisi kisah-kisah sejarah dan istilah.

Dalam bab pertama yang berisi desain ini kita mendapati banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk terhadap pemahaman-pemahaman normative yang khusus, akidah-dogma etik, aturan-hukum legal, dan pemikiran-anutan keagamaan kebanyakan. Istilah-perumpamaan atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari desain-rancangan yang sudah diketahui oleh masyarakat Arab pada waktu al-Qur’an, atau bias jadi merupakan ungkapan-perumpamaan gres yang dibuat untuk mendukung adanya desain-konsep relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas ungkapan itu lalu dintegrasikan ke dalam persepsi dunia al-Qur’an, dan dengan demikian, kemudian menjadi onsep-konsep yang asli.

Dalam bab pertama ini, kita mengenal banyak sekali rancangan baik yang bersifat absurd maupun faktual. Konsep perihal Allah, Malaikat, Akherat, ma’ruf, munkar, dan sebagainya yakni termasuk yang absurd. Sedangkan rancangan ihwal fuqara’, masakin, tergolong yang nyata.

Selanjutnya, kalau pada bagian yang berisi konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif tentang nilai-nilai Islam, maka pada bagian yang kedua yang berisi dongeng dan ungkapan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk menemukan pesan yang tersirat. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang bahwasanya berkenaan dengan penerapan suatu insiden. Dari sini maka seseorag tidak akan mengerti agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang yang ingin mengetahui al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mengetahui sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang berikutnya disebut dengan ilmu asbab al-nuzul yang pada pada dasarnya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang akan mampu mengetahui hikmah yang terkadung dalam sebuah ayat yang berkenaan dengan hokum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.

Islamic Studies atau Pengkajian Islam adalah suatu disiplin yang sungguh renta seumur dengan kehadiran Islam sendiri. Pengkajian Islam dalam sejarah panjangnya mewujud dalam banyak sekali tipe dan menawarkan lahan yang sungguh kaya bagi kekhawatiran akademik dari golongan insider maupun outsider. Jika Studi outsider terwadahi dalam bentuk Orientalisme atau Islamologi, maka kajian insider memunculkan versi ngaji yang berorientasi pengamalan, apologis yang memberi counter kepada orientalisme, Islamisasi ilmu yang berusaha menunjukkan landasan paradigma Islam bagi ilmu-ilmu sekuler atau studi Islam klasik yang bersifat kritis namun masih berorientasi pada pengamalan.

Sebagai objek studi, Islam mesti didekati dari aneka macam aspeknya dengan menggunakan multidisiplin ilmu pengetahuan untuk mengurai fenomena agama ini. Salah satunya yakni melalui pendekatan sejarah yang tidak mampu diabaikan begitu saja bagi seseorang yang ingin memahami perihal Islam dengan benar.