close

Sejarah Keharusan Puasa Umat Rasulullah Saw

Ibadah puasa tidak cuma diwajibkan terhadap umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun juga terhadap umat-umat sebelumnya. Informasi itu dengan terperinci kita dapatkan dalam petikan ayat, “Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kau,” (Surat Al-Baqarah ayat 183).
Di zaman Rasulullah, pensyariatan puasa mencapai puncak kematangannya. Meski demikian, sebagaimana pensyariatan ibadah lain, ibadah puasa disyariatkan secara sedikit demi sedikit, bukan diberikan sekaligus dengan waktu dan tata cara seperti yang kita kenal kini.
Ada beberapa tahapan pensyariatan di dalamnya. Tahapan itu tentu berjalan sesuai dengan nasihat, kasih sayang, dan kelembutan Allah, Zat pemberi syariat terhadap hamba-Nya. Dalam kaitan ini, Syekh Khalid bin ‘Abdurrahman menyebutkan tahapan tersebut (Lihat As-Shaumu Junnatun, halaman 17):
Pertama, adanya perintah berpuasa ayyamul bidh (puasa tiga hari pada) setiap bulan hijriyah dan puasa ‘Asyura setiap tanggal 10 Muharram. Bahkan, puasa ‘Asyura sangat dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana riwayat Muslim (nomor 1128) dari Jabir bin Samurah.
Jabir menyebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah kami berpuasa ‘Asyura. Beliau pun mendorong kami dan meminta kesanggupan kami menunaikannya. Namun, saat puasa Ramadhan difardhukan, beliau tak lagi memerintah kami, tidak lagi melarang kami, dan tidak lagi meminta kesanggupan kami.”
Kefardhuan puasa Ramadhan dimulai semenjak turun ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kau bertakwa,” (Surat Al-Baqarah ayat 183).
Kedua, dispensasi berbuka puasa Ramadhan bagi yang bisa asalkan mengeluarkan keharusan fidyah. Artinya, siapa yang akan berpuasa, maka ia dapat menunaikannya. Yang tidak mau, beliau boleh meninggalkannya asalkan menunaikan fidyah.
Ketentuan ini terjadi alasannya mungkin pada saat itu masih banyak sobat yang belum terbiasa berpuasa sehingga puasa akan memberatkan mereka. Hal ini berdasarkan ayat yang terjemahannya, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (kalau mereka tidak berpuasa) mengeluarkan uang fidyah, (yakni) memberi makan seorang miskin, (Surat Al-Baqarah ayat 84).
Ketiga, dispensasi berbuka puasa bagi yang mampu dihapus. Hal itu berdasarkan ayat, “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri daerah tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain,” (Surat Al-Baqarah ayat 185).
Dalam kaitan ini, Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Salamah bin Al-Akwa‘ menuturkan, “Ketika turun ayat, ‘Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (bila mereka tidak berpuasa) mengeluarkan uang fidyah, (ialah) memberi makan seorang miskin,’ (Surat Al-Baqarah ayat 184), maka siapa yang mau berbuka, maka berbukalah namun mesti berfidyah.” 
Ketentuan itu berjalan terus hingga dihapus dengan ayat setelahnya. Dengan demikian, sehabis turun ayat penghapus, muslim pun yang melihat hilal Ramadhan wajib berpuasa. Tidak ada lagi keringanan berbuka selama bisa.
Keempat, dispensasi berbuka di bulan Ramadhan hanya diberlakukan dalam dua keadaan. Keadaan pertama bagi orang yang sakit. Puasa dapat memberatkan atau memperlambat kesembuhannya. Keadaan kedua berlaku bagi orang yang bepergian jauh, khususnya berpergian yang dilaksanakan semenjak terbit fajar. Orang yang menghadapi salah satu dua kondisi ini boleh berbuka dan mengqadhanya di hari yang lain sebanyak hari yang ditinggalkan sebagaimana amanat ayat yang terjemahannya, “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari lainnya,” (Surat Al-Baqarah ayat 185).
Melalui beberapa tahapan di atas, maka tetaplah pensyariatan puasa Ramadhan; wajib dikerjakan setiap muslim selama satu bulan kecuali yang sedang sakit atau berpergian jauh. Semua tahapan dan ketentuan ini tidak terlepas dari pesan tersirat, kasih sayang, dan kelembutan Allah terhadap hamba-Nya. Maha benar Allah yang tak menginginkan kesusahan bagi mereka, “Allah mengharapkan fasilitas bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kau mencukupkan bilangannya dan hendaklah kau mengagungkan Allah atas isyarat -Nya yang diberikan kepadamu biar kau bersyukur,” (Surat Al-Baqarah ayat 185). (Lihat Syekh Khalid bin ‘Abdurrahman, As-Shaumu Junnatun, halaman 17).
Puasa Ramadhan mulai diwajibkan pada tahun kedua hijriyah. Semasa hidup, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menunaikan ibadah puasa selama sembilan tahun atau sembilan kali. Namun, di awal-permulaan pensyariatannya, waktu, praktik, dan sistem puasa tidak mirip yang kita kerjakan sekarang, yakni menahan segala yang membatalkan dari terbit fajar shadiq sampai terbenam matahari.
Makan, minum, dan hubungan suami-istri pada malam hari diperbolehkan dengan catatan orang yang hendak melakukannya belum tidur dengan niat berpuasa esok harinya dan juga belum shalat isya. Artinya, bila telah tidur atau sudah shalat isya di malam hari, ia dihentikan makan, minum, atau hubungan suami-istri di sisa malam tersebut sampai menjalani ibadah puasa pada hari selanjutnya dan berbuka pada waktu magrib.
Ketentuan ini ditunjukkan dalam riwayat Al-Bara’ bin ‘Azib. Ia menyampaikan, “Jika salah seorang sobat berpuasa dan tiba waktu berbuka, tetapi ia belum berbuka sebab tidur, maka beliau tidak lagi boleh makan dan minum pada malam itu hingga siang hari berikutnya dan berbuka di sore hari,” (HR Al-Bukhari).
Ketentuan puasa yang diungkap hadits Al-Bara’ ini tak pelak memberatkan para sobat sehingga banyak di antara mereka yang tak mampu menahan diri dan kesudahannya menjadi asbabun nuzul atau alasannya adalah turunnya ayat Al-Qur’an yang mengendorkan mereka makan, minum, berafiliasi suami-istri pada malam hari, baik sebelum maupun setelah mereka tidur, dan baik sebelum maupun sesudah mereka shalat isya. 
Beberapa insiden yang mengantarkan turunnya ayat tersebut antara lain diriwayatkan oleh Abu Dawud dari ‘Abdullah bin Ka‘b bin Malik dari ayahnya. Malik mengisahkan, “Orang-orang di bulan Ramadhan, bila seseorang dari mereka berpuasa, lalu di sore hari ia tidak sempat berbuka alasannya adalah tidur, maka haram baginya kuliner, minuman, dan bergaul dengan istri hingga berbuka esok harinya. Disebutkan, pada sebuah malam, Sayyidina ‘Umar bin Al-Khattab berada di tempat Rasulullah SAW serta pulang ke tempat tinggal cukup malam dan mendapati istrinya telah terlelap tidur. Rupanya dikala itu, Sayyidina Umar ingin bergaul bareng istrinya. Namun, ditolak oleh istrinya, ‘Aku sudah tidur!’ Ia berkata, ‘Kau sudah tidur?’ Meski demikian, malam itu beliau tetap bergaul dengan istrinya.”
“Keesokan paginya, Sayyidina Umar kembali menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan kejadiannnya semalam. Allah lalu menurunkan Surat Al-Baqarah ayat 187.
Konon, peristiwa serupa juga dialami oleh Ka‘ab bin Malik sendiri sebagaiperawi hadits ini. Menyambung hadits riwayat Al-Bara’ bin ‘Azib di atas, suatu riwayat menyebutkan bahwa Qais bin Shirmah Al-Anshari berpuasa. 
Pada saat berbuka, beliau mengajukan pertanyaan kepada istrinya, “Apakah kamu punya kuliner?” Istrinya menjawab, “Tidak! Tapi saya akan mencarikannya untukmu.” Rupanya, karena siang hari itu Qais bin Shirmah letih bekerja, matanya tak mampu menahan kantuk. Begitu pulang dan mendapati suaminya telah tidur, istri Qais berkata, “Celakalah engkau!” Esoknya, Qais tetap berpuasa. Namun pada tengah hari, dia pingsan tak sadarkan diri. Kejadian itu pun disampaikan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tak lama turun ayat:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Artinya, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan mulia bercampur dengan istri kau; mereka ialah busana bagimu, dan kamu pun yaitu pakaian bagi mereka. Allah mengenali bahwa kau tidak dapat menahan nafsumu, alasannya itu Allah mengampuni kau dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang sudah ditetapkan Allah untukmu, dan makan serta minumlah sampai terperinci bagimu benang putih dari benang hitam, ialah fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (tiba) malam, (namun) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kau beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kau mendekatinya. Demikianlah Allah menunjukan ayat-ayat-Nya kepada manusia semoga mereka bertakwa,” (Surat Al-Baqarah ayat 187).
Betapa senangnya begitu mereka mengetahui turunnya ayat ini. Selanjutnya, wacana makan, minum, dan berhubungan suami dan istri yang tidak diperbolehkan setelah shalat isya, sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas terkait Surat Al-Baqarah ayat 187 dikutip At-Thabari dalam tafsirnya.
Ibnu ‘Abbas memberikan, pada bulan Ramadhan setelah menunaikan shalat isya, kaum Muslimin tidak lagi boleh bergaul suami dan istri serta makan-minum hingga sore hari berikutnya. Namun, beberapa orang dari mereka tetap ada yang makan dan minum bahkan bercampur dengan istrinya sesudah shalat isya. Salah satunya ialah Sayyidina ‘Umar bin Al-Khattab. Mereka jadinya mengadu kepada Rasulullah SAW. Surat Al-Baqarah ayat 187 lalu turun.
Informasi serupa juga disampaikan Al-Qasim bin Muhammad. Menurutnya, pada kala-kurun permulaan puasa diwajibkan, orang berpuasa dari waktu isya sampai waktu isya. Setelah shalat isya, beliau tidak lagi boleh bercampur dengan istrinya. Ia pun dilarang mengonsumsi masakan dan minuman. Bahkan, sampai-sampai Sayidina ‘Umar bergaul dengan istrinya dan Qais bin Shirmah tak sempat berbuka sebab ketiduran. Singkatnya, sehabis tidur, mereka tak boleh makan dan minum. Sampai-hingga kurun itu ibadah puasa dapat menyusahkan seseorang. Allah kemudian menurunkan Surat Al-Baqarah ayat 187.
Sejak itu, ditetapkanlah pensyariatan puasa dengan metode seperti kini ini, adalah menjauhi segala yang membatalkan, baik makanan, minuman, maupun bergaul suami-istri, semenjak terbit fajar shadiq sampai terbenam matahari. Adapun pada malam hari, semua itu diperbolehkan tanpa syarat: sehabis atau sebelum tidur, setelah atau sebelum shalat isya. (Lihat Syekh Khalid bin ‘Abdurrahman, As-Shaumu Junnatun, halaman 27)
Sumber NU Online dengan Judul Tahapan Pensyariatan Puasa Ramadhan