Pada mulanya, aliran mereka berasal dari orang yang berlawanan, tetapi di kemudian hari, para jago mesti mempunyai dasar pengetahuan dari ketiga disiplin tersebut. Fokus fiqih yaitu apa yang diturunkan syariah dan, dalam konteks ini para fuqaha mendiskusikan fenomena ekonomi.
Tujuan mereka tidak terbatas pada penggambaran dan klarifikasi fenomena ini. Namun demikian, dengan mengacu pada Alquran dan hadis nabi, mereka mengeksplorasi rancangan maslahah (utility) dan mafsadah (disutility) yang terkait dengan kegiatan ekonomi.
Pemaparan ekonomi para fuqaha tersebut mayoritas bersifat normatif dengan wawasan nyata ketika berbicara perihal perilaku yang adil, budi yang baik, dan batasan-batasan yang diperbolehkan dalam kaitannya dengan problem dunia. Sedangkan kontribusi utama tasawuf terhadap aliran ekonomi yaitu pada keajegannya dalam mendorong kemitraan yang saling menguntungkan, tidak rakus dalam memanfaatkan peluang yang diberikan Allah swt, dan secara tetap menolak penempatan tuntutan kekayaan dunia yang terlalu tinggi. Sementara itu, filusuf Muslim, dengan tetap berasaskan syariah dalam keseluruahan pemikirannya, mengikuti para pendahulunya dari Yunani khususnya Aristoteles (367-322 sm), yang pembahasannya terkonsentrasi pada sa’adah (kebahagiaan) dalam arti luas. Pendekatannya global dan rasional serta metodologinya syarat dengan analisis ekonomi faktual dan cenderung makroekonomi. Hal ini berlawanan dengan para fuqaha yang terfokus perhatiannya pada persoalan-dilema mikro ekonomi. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi islam di fase pertama ini antara lain diwakili oleh Zaid bin Ali (w.80 H/738 M), Abu Hanifah (w. 150 H/767 M), Abu Yusuf (w. 182 H/798 M), Al-Syaibani (w. 189 H/804 M), Abu Ubaid bin Sallam (w. 224 H/838 M), Harits bin Asad Al-Muhasibi (w. 243 H/858 M), Junaid Al-Baghdadi (297 H/910 M), Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M), dan Al-Mawardi (450 H/1058 M).
Tokoh cendekiawan muslim pada fase pertama sejarah ekonomi islam, diawali dengan pedoman Said bin Ali (699-738 M), cucu Husain bin Ali bin Abi Thalib. Pemikiran Said bin Ali banyak diriwayatkan oleh Abu Zahrah. Abu Zahrah menyampaikan bahwa Said-lah yang pertama memperkenalkan harga jual kredit. Menurutnya, harga jual kredit atau non- tunai atas suatu komoditi boleh lebih mahal dari dari harga tunainya. Misalnya, seorang memperoleh kemudahan pembiayaan barang/jasa, maka harga beli dari pemberi fasilitas lebih mahal dari harga jual penyedia . Jika barang itu dibayar tunai harganya akan lebih murah, tetapi bila ada tenggang waktu untuk membayar sampai beberapa waktu, maka harga menjadi lebih mahal. Pandangan Said ini terkesan kontroversial, karena terdapat pertimbangan lain yang menyampaikan bentuk transaksi mirip ini termasuk riba.
Argumentasi Said bin Ali bahwa perdagangan secara tidak tunai itu halal ialah karena aspeknya berbeda. Jika pada jual-beli itu ada transaksi, disebutkan ada underlying transaction. Sedangkan duduk perkara ini ialah masalah pertukaran antara duit dan barang, berbeda dengan pinjam-meminjam yang melibatkan pertukaran antara uang dengan duit. Jika yang terjadi antara duit dengan barang, maka itu tergolong perdagangan yang diperbolehkan.
Inilah yang kemudian dalam praktek perbankan sekarang dikenal selaku pembiayaan murabahah, pembiayaan bai’ bitsaman ‘ajil, dan pembiayaan ijarah. Jika pada pembiayaan murabahah pembelian dijalankan dengan pembayaran secara tunai, semuanya dalam satu era contohnya satu atau dua tahun, pada bai’ bitsaman ‘ajil pembayaran dikerjakan dengan mencicil hingga lunas.
Argumentasi Said yang lain dalam membolehkan perdagangan secara tidak tunai adalah karena masalah ini tidak terkait dengan batas waktu tenggang yang bisa diartikan sebagai riba, karena transaksi yang dikerjakan ialah antara barang dan duit, bukan antara duit dengan uang.
Selanjutnya pembahasan perihal fatwa Abu Hanifah, (699-767 M) ihwal transaksi salam. Tampaknya Abu Hanifah tidak terlampau mempersalahkan transaksi salam sepanjang dalam kontraknya betul-betul jelas, yaitu ada kejelasan tentang komoditi, jenis mutu, kuantitas, dan kawasan pengirimannya. Disamping itu menurutnya, barang juga disyaratkan mesti sesuai dengan transaksi yang ada didalam transaksi murabahah. Kemudian pembahasan perihal ajaran al-Awza’I (707-774 M). tampakbahwa al-Awza’I condong untuk membebaskan orang untuk melakukan perjanjian . Tampak bahwa pada kala itu telah dikenalkan sharecropping dan syirkah. Bahkan sudah terjadi salah satu bentuk syirkah yang selanjutnya dikenal dengan mudharabah.
Kemudian pemikiran dari Yahya bin Adam al-Qarashi (818 M) yang dianggap lebih akrab dengan kala sekarang. Pada masanya, sudah banyak dibahas perihal public finance, bahkan sudah ada yang dibukukan. Meski demikian, Yahya bin Adam al-Qarasyi masih dianggap belum berhasil menawarkan sebuah perhatian pada economic thinking atau analisis.
Selanjutnya yakni Imam Syafi’i (767-820 M). Pada kala Syafi’i memang banyak pembahasan wacana kesejahteraan penduduk . Syafi’i sendiri menyepakati prinsip-prinsip kemakmuran penduduk ini sepanjang itu diakui secara eksplisit di dalam al-Alquran, Sunnah dan Ijma’. Berlanjut kepada Abu Yusuf yang hidup pada tahun 371-798 M/113-182 H. Beliau yakni hebat hukum Islam (fikih) yang sudah memiliki aliran wacana peranan pemerintah. Sebuah ajaran yang sungguh futuristik, alasannya adalah ajaran ekonomi konvensional sendiri gres menganggap adanya peranan pemerintah pada abad Keynes tahun 1883-1946. Sedangkan pada kala Adam Smith (1723-1790 M), lebih dari 1000 tahun pasca Abu Yusuf, peranan pemerintah sama sekali belum terpikirkan oleh metode ekonomi konvensional.
Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (750-804 M), telah menulis wacana banyak sekali cara transaksi non-tunai, seperti ijarah, sina’ah, dan sebagainya. Dalam hal ini, Al-Syaibani mengatakan bahwa seorang muslim haruslah menjadi seorang pemurah, yang harus memberi kepada saudaranya yang tidak mempunyai. Di sisi lain, seorang muslim tidak boleh meminta-minta sebagaimana Rasulullah saw mengajarkan bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.
Selain itu, asy-Syaibani tidak menyepakati tukar menukar barang, alasannya menurutnya dalam tukar menukar barang itu ada sesuatu yang tidak terukur, sehingga mampu termasuk gharar. Dengan kata lain, Muhammad bin Hasan Al-Syaibani menyatakan secara eksplisit bahwa tukar menukar barang itu tidak diperbolehkan. la juga tidak memperbolehkan seseorang untuk menerima pemasukan lebih dari yang sebaiknya diterima.
Di dalam kitabnya Al-Ashl, Muhammad bin Hasan Al-Syaibani menulis berbagai macam transaksi non-tunai, seperti salam, syirkah, mudharabah, dan sebagainya. la juga menekankan perihal kewajiban pemerintah dalam memenuhi keperluan masyarakat, peradilan, aturan dan pembangunan ekonomi. Semua pembahasan ini baru dikaji dalam ekonomi konvensional pada tahun 1930 (Khan & Ghifari, 1992)
Ini mempunyai arti, sejak Adam Smith tahun 1790 sampai 1930 ekonomi konvensional menilai tidak ada bagian campur tangan pemerintah dalam ekonomi. Baru pada kala Keynes tahun 1930 diakui adanya peran pemerintah, mirip bagaimana harus mengendalikan kebutuhan penduduk , siapa yang mengontrol peradilan, siapa yang menertibkan hukum dan pembangunan ekonomi.
Selanjutnya Ahmad bin Hanbal (780-855 M/164-241 H) banyak mendasarkan uraiannya pada acara ekonomi menurut maslahah dan syariah. Menurut Imam Ahmad, sebagaimana kaidah ushul fiqh, bahwa pada prinsipnya dalam duduk perkara muamalah semua diperbolehkan kecuali yang tidak boleh. Ini penting mengenang dikala itu Ahmad bin Hanbal telah melarang dumping. Ia melarang bentuk perdagangan yang secara gotong royong menurunkan harga dengan maksud merusak lawan. Untuk itulah, dibutuhkan suatu und,ang-undang. Juga mesti ada peraturan yang mampu melindungi pelaku ekonomi dari praktek monopoli. Menurut Imam Ahmad, suatu peraturan diperlukan untuk menertibkan dan melindungi para usahawan dari praktek-praktek monopoli. Salah satu misalnya yaitu praktek usaha-usaha pedagang di dalam sebuah pasar yang salah satu strateginya yakni menurunkan harga, untuk kemudian menjadi pembuat harga sesudah perjuangan orang lain bangkrut. Imam Ahmad berpandangan bahwa yang dapat mengatasi dan mengatursemua problem tersebut adalah undang-undang atau peraturan pemerintah, yang dibentuk dalam kerangka kemaslahatan ummat.
Harits bin Asad al-Muhasibi (895 M). Buku al-Muhasibi menekankan dalam kejujuran pada setiap aktivitas ekonomi. Penekanan perihal perlunya kejujuran ini merupakan prinsip kegiatan-acara ekonomi. Kemudian dalam hal pemenuhan keperluan hidupnya, seorang muslim dilarang melakukannya dengan cara yang dihentikan atau bathil. Al-Muhasibi juga menekankan pentingnya kerjasama antar sesama muslim. Berikutnya, pembahasan ihwal fatwa Junaid al-Baghdadi (910 M/297 H). Beliau yakni tokoh sufi yang member! penitikberatan lebih pada perlunya kualitas iktikad kepada Tuhan dan Rasul-Nya, dan kewajiban seorang muslim untuk menjauhi sifat mementingkan diri sendiri (Afzalurrahman, 1995)
Pemikiran al-Baghdadi sekilas tampaklebih banyak bersifat filosofi namun masih dalam klasifikasi ekonomi sebagaimana terlihat pada beberapa pemikirannya, mirip anjurannya untuk membudayakan mutu spiritual dalam penduduk , dan anjurannya untuk berbuat kebaikan dalam bermuamalah (berinteraksi) dengan penduduk . Pada kala ke-10, dalam terminologi sejarah klasik ekonomi konvensional klasik kondisinya sama mirip abad sebelumnya; belum terdapat pemikir dari kelompok konvensional. Sementara itu, pedoman ekonomi Islam telah timbul dengan tokoh di antaranya Qudamah bin Ja’far (948 M) dengan kitabnya al-Khawarij. Namun belum ada penjelasan memadai terkait pemikirannya.
Kemudian timbul pemikir kedua ialah Abu Ja’far ad-Daudi (1012 M) dengan kitabnya, al-Anwar, diikuti pemikir ketiga Ibnu Miskawaih 1030 M. Hal mempesona dari Ibnu Miskawaih ialah pemahamannya perihal uang sebagai alat tukar, padahal di dalam ekonomi konvensional dikala itu fatwa perihal hal ini sama sekali belum ada. Menyimak sejumlah fakta diatas, dapat dikatakan bahwa para pemikir Islam telah lama ada dan secara fatwa lebih maju dari para pemikir ekonomi konvensional.
Demikian uraian sejarah ekonomi Islam fase pertama yang mampu kami rangkumkan buat para pembaca. Selanjutnya ialah sejarah ekonomi islam fase kedua.