Dalam kitab tersebut Mpu Tantular menulis “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” (Bahwa agama Buddha dan Siwa (Hindu) merupakan zat yang berlainan, tetapi nilai – nilai kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa ialah tunggal. Terpecah belah, tetapi satu jua, artinya tak ada dharma yang mendua). Nama Mpu Tantular sendiri berisikan tan (tidak) dan tular (terpangaruh), dengan demikian, Mpu Tantular memiliki arti seorang Mpu (cendekiawan, pemikir) yang berpendirian teguh, tidak mudah terpengaruh oleh semua orang (Suhandi Sigit, 2011).
Ungkapan bahasa Jawa Kuno tersebut, secara harfiah memiliki arti bhinneka (beragam), tunggal (satu), ika (itu) adalah beragam satu itu. Doktrin yang bercorak teologis ini semula dimaksudkan biar antara agama Buddha (Jina) dan agama Hindu (Siwa) mampu hidup berdampingan dengan tenang dan harmonis, karena hakikat kebenaran yang terkandung dalam aliran keduanya adalah tunggal (satu). Mpu Tantular sendiri yakni penganut Buddha Tantrayana, namun merasa kondusif hidup di kerajaan Majapahit yang lebih bercorak Hindu (Ma’akil A. Syafii, 2011).
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mulai menjadi pembicaraan terbatas antara Muh. Yamin, Bung Karno, I Gusti Bagus Sugriwa dalam setiap sidang BPUPKI sekitar dua setengah bulan sebelum Proklamasi (Kusuma R.M. A.B, 2004). Bahkan Bung Hatta sendiri dikala itu menyampaikan Bhinneka Tunggal Ika yaitu ciptaan Bung Karno sesudah Indonesia merdeka. Setelah bertahun-tahun kemudian saat mendesain Lambang Negara Republik Indonesia dalam bentuk Garuda Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika dimasukkan ke dalamnya.
Dalam banyak literatur menyangkut sejarah bhinneka tunggal ika, disebutkan bahwa lambang tersebut secara resmi digunakan dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat yang dipimpin Bung Hatta pada tanggal 11 Februari tahun 1950 menurut rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II (1913 – 1978). Dalam sidang tersebut muncul beberapa tawaran rancangan lambang negara, lalu yang dipilih adalah proposal yang dibentuk Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin, dan desain dari Sultan Hamid yang hasilnya ditetapkan (Yasni, Z, 1979).
Selanjutnya , tulisan Mpu Tantular tersebut oleh para pendiri bangsa diberikan penafsiran baru alasannya dinilai berkaitan dengan keperluan strategis bangunan Indonesia merdeka yang terdiri dari beragam agama, dogma, ideologi politik, etnis, bahasa, dan budaya. Dasar pemikira n tersebut yang menjadikan semboyan “keramat” ini terpampang melengkungdalam cengkeraman kedua kaki Burung Garuda. Burung Garuda dalam mitologi Hindu ialah kendaraan (wahana) Dewa Wishnu (Ma’pandai A. Syafii, 2011).
Terkait dengan semboyan yang ditulis Mpu Tantular, dapat dikenali bahwa pengetahuan pedoman pujangga besar yang hidup di zaman kejayaan Majapahit ini, terbukti sudah melompat jauh ke depan. Nyatanya, semboyan tersebut sampai kini masih relevan terhadap kemajuan bangsa, negara dan bahkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di periode global. Dan Kekawin Sutasoma yang semula dipersembahkan terhadap Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk) yaitu hasil perenungan dan kristalisasi fatwa yang panjang, setidaknya memerlukan waktu satu dasawarsa (sepuluh tahun) sedangkan Kekawin tujuannya adalah pembacaan ayat – ayat suci dalam agama Hindu- Budha. Kitab yang ditulis Mpu Tantular sekitar 1350-an, tujuh masa kemudian, ternyata di antara isi pesannya bergulir dalam proses membingkai negara baru Indonesia (Ma’berakal A. Syafii, 2011).
Dalam proses perumusan konstitusi Indonesia, jasa Muh.Yamin mesti dicatat sebagai tokoh yang pertama kali mengusulkan terhadap Bung Karno agar Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan negara. Muh. Yamin selaku tokoh kebudayaan dan bahasa memang dikenal sudah lama bersinggungan dengan segala hal yang berkenaan dengan kebesaran Majapahit (Prabaswara, I Made, 2003). Konon, di sela-sela Sidang BPUPKI antara Mei- Juni 1945, Muh. Yamin menyebut – nyebut perumpamaan Bhinneka Tunggal Ika itu sendirian. Namun I Gusti Bagus Sugriwa (temannya dari Buleleng) yang duduk di sampingnya sontak menyambut sambungan perumpamaan itu dengan “ tan hana dharmamangrwa .” Sambungan spontan ini disamping mengasyikkan Muh. Yamin, sekaligus menunjukkan bahwa di Bali istilah Bhinneka Tunggal Ika itu masih hidup dan dipelajari orang (Prabaswara, I Made, 2003). Pengaruh Kitab Sutasoma cukup besar bagi penduduk intelektual Hindu Bali walaupun ditulis oleh sastrawan Buddha.
Para pendiri bangsa Indonesia yang secara umum dikuasai beragama Islam sepertinya cukup toleran menerima warisan Mpu Tantular tersebut. Sikap toleran ini merupakan susila dasar suku – suku bangsa di Indonesia yang telah mengenal bermacam-macam agama, berlapis- lapis keyakinan dan tradisi, jauh sebelum Islam tiba ke Nusantara. Sekalipun dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit kala XV, pengaruh Hindu-Budha secara politik telah sungguh melemah, secara kultural dampak tersebut tetap lestari sampai dikala ini (Ma’akil A. Syafii, 2011).
Demikian sejarah bhinneka tunggal ika, artikel selajutnya yang berhubungan dengan bahasan ini yaitu pengertian dan makna bhinneka tunggal ika. Semoga berfaedah bagi para pembaca setia blog tipsserbaserbi.