Sekolah Kautaamaan Istri di Jalan Ciguriang Yang Sekarang Menjadi Jalan Kautamaan Istri |
Bagian pertamanya disana ☛
Berdirinya Sekolah Kautamaan Istri Dewi Sartika
Pada waktu itu murid-muridnya makin bertambah banyak, bukan saja gadis-gadis yang berasal dari Bandung dan sekitarnya (Jawa Barat), tetapi ada pula yang datang dari Sumatra. Beberapa orang gadis dari Bukit Tinggi, sehabis menyelesaikan pendidikan di Sakola Kautamaan Istri Bandung, pulang dan kemudian mendirikan Sekolah Keutamaan Istri di kampung halamannya.
Pada tahun 1920, tiap-tiap kabupaten di seluruh Tatar Sunda sudah mempunyai Sakola Kautamaan Istri. Kemajuan sekolah ini mengundang perhatian masyarakat, tergolong pemerintah. Beberapa orang pejabat pemerintahan memerlukan tiba untuk menyaksikan sendiri dari dekat kondisi dan pertumbuhan sekolah itu, di antaranya Tuan Idenberg, Ny. Limburg van Stirum, Tjarda van Starkenborg Stachouwer, istri Gubernur Jenderal Hindia Belanda, serta putrinya. Hal ini membuka jalan bagi sekolah itu untuk mendapat bantuan dari pemerintah. Kunjungan ini mempertebal keyakinan diri dan mempertinggi semangat Raden Dewi Sartika dalam membina sekolahya.
Atas ajakan Ny. Hillen dan Ny. Tijdeman yang sempat menghadiri peringatan ulang tahun ke-25 sekolah tersebut (pada tanggal 16 Januari 1929), Pemerintah Hindia Belanda menunjukkan santunan sebuah sekolah gres yang mulai dipakai pada bulan September 1929, sedangkan Raden Dewi Sartika dianugerahi tanda jasa Bintang Perak. Pada waktu itu sekolah tersebut telah mempunyai enam kelas, tiga kelas bagian atas dan tiga kelas bagian bawah. Di bab bawah dipakai bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar sedang di bagian atas bahasa pengantamya bahasa Melayu dan bahasa Belanda.
Pelajarannya ditambah lagi dengan ilmu kesehatan, di antaranya cara mengorganisir bayi dan membuat makanan sehat yang diberikan terhadap murid-murid kelas 6. Masalah tersebut diajarkan oleh Kepala Perawat Rumah Sakit Immanuel bernama L. van Arkela, seorang bangsa Belanda yang diangkat menjadi guru PPPK. Selain itu, disertakan pula pelajaran senam, budpekerti/sopan-santun, walaupun pelajaran tersebut bahu-membahu tidak terdapat dalam planning pelajaran/ kurikulum sekolah dasar waktu itu.
Demikian Raden Dewi Sartika membina sekolahnya guna mendidik gadis-gadis agar kaum wanita Indonesia meraih pertumbuhan dalam banyak sekali bidang tanpa melalaikan kodratnya sehingga mereka senantiasa menjadi “istri binangkit.” ibu pola, pendidik utama generasi penerus. Atas dasar itu, maka selanjutnya nama sekolah diubah lagi menjadi Sakola Raden Dewi. Pada final era berguru, biasanya bulan Syaban menjelang Ramadhan, diadakan perayaan perpisahan dengan murid-murid yang lulus dan menerima ijazah.
Dalam peringatan itu diundang para pejabat pemerintah, orang tua murid dan anggota masyarakat yang lain. Salah satu program peringatan itu iaIah mendemontrasikan kepandaian murid-murid berbentukpertunjukan kesenian seperti sandiwara (tonel), tari-tarian, menyanyi, dan bazar hasil kerajinan (menggambar, membatik, merenda, menyulam, dan men-jahit. Jamuan yang disajikan kepada para tamu yakni hasil mengolah masakan murid-murid sekolah itu sendiri. Dengan cara demikian, maka minat para orang renta untuk memasukkan anaknya dan minat anak sendiri untuk masuk di sekolah itu makin meningkat.
Sambutan hebat dari penduduk dan pemerintah terjadi pada perayaan ulang tahun ke-35 (1939) sekolah ini. Beberapa orang pejabat pemerintah (Bupati Bandung, Ny. Residen Tacoma), tokoh masyarakat (Prof. Boostra, Atmadinata, Kosasih Surakusumah), dan utusan organisasi perempuan (Pasundan Istri, Kaum Wanita Palembang) memberi kata sambutan pada peringatan itu. Hal ini menandakan betapa perjuangan-perjuangan Raden Dewi Sartika untuk mengembangkan kaumnya dihargai dan diterima, baik oleh penduduk maupun oleh pemerintah pada waktu itu.
Itulah sebabnya Raden Dewi Sartika pada tahun 1940 menerima tanda jasa kerajaan berbentukRidder in de Orde van Oranje Nassau untuk pengabdiannya selaku pendidik pertama belum dewasa gadis. Sumber : Sejarah Tatar Sunda.Oleh.Nina H.Lubis.DKK.2003.