Sejarah Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang dipakai selaku lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak era-abad awal penanggalan terbaru. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat elastis sebab sangat gampang dikenali dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap perumpamaan-ungkapan lain dari berbagai bahasa yang dipakai para penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi yang pada era lalu digunakan oleh kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih sukar karena penggunaannya sungguh halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda melihat kelenturan Melayu Pasar mampu mengancam eksistensi bahasa dan budaya. Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan Bahasa Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu Pasar telah dipakai oleh banyak pedagang dalam berkomunikasi.
1. Melayu Kuno
Penyebutan pertama perumpamaan “Bahasa Melayu” sudah dilaksanakan pada kurun sekitar 683-686 M, yakni angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan huruf Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan laut yang berjaya pada abad ke-7 hingga ke-12. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang didapatkan di dekat Manila juga memberikan keterkaitan daerah itu dengan Sriwijaya.
Berbagai watu bertulis (prasasti) yang ditemukan itu seperti:
1. Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683
2. Prasasti Talang Tuo di Palembang, tahun 684
3. Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, tahun 686
4. Prasasti Karang Brahi antara Jambi dan Sungai Musi, tahun 688
Yang kesemuanya beraksara Pallawa dan bahasanya bahasa Melayu Kuno memberi petunjuk bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu Kuno sudah digunakan selaku alat komunikasi pada zaman Sriwijaya.
Prasasti-prasasti lain yang bertulis dalam bahasa Melayu Kuno juga terdapat di : a). Jawa Tengah: Prasasti Gandasuli, tahun 832, dan Prasasti Manjucrigrha
b). Bogor, Prasasti Bogor, tahun 942
Kedua-dua prasasti di pulau Jawa itu memperkuat pula dugaan bahwa bahasa Melayu Kuno pada saat itu bukan saja dipakai di Sumatra, melainkan juga digunakan di Jawa.
Penelitian linguistik kepada sejumlah teks menunjukkan bahwa paling sedikit terdapat dua dialek bahasa Melayu Kuno yang digunakan pada kurun yang berdekatan.
2. Melayu Klasik
Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada kurun ke-9 hingga abad ke-13, jago bahasa tidak mampu menyimpulkan apakah bahasa Melayu Klasik ialah kelanjutan dari Melayu Kuno. Catatan berbahasa Melayu Klasik pertama berasal dari Prasasti Terengganu berangka tahun 1303.
Seiring dengan berkembangnya agama Islam dimulai dari Aceh pada periode ke-14, bahasa Melayu klasik lebih meningkat dan mendominasi sampai pada tahap di mana ekspresi “Masuk Melayu” memiliki arti masuk agama Islam.
3. Bahasa Indonesia
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian dipakai sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Bahasa ibu masih menggunakan bahasa kawasan yang jumlahnya mencapai 360 bahasa.
Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya Malay Archipelago bahwa “penghuni Malaka telah mempunyai sebuah bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu yaitu yang paling indah, sempurna, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka yaitu bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda.”
Jan Huyghen van Linschoten di dalam bukunya Itinerario menuliskan bahwa “Malaka yakni daerah berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka kemudian membuat sebuah kota dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari segala bahasa di sekeliling mereka. Kota Malaka, alasannya posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar yang utama di daerah tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh.”
Bahasa Indonesia terbaru dapat dilacak sejarahnya dari literatur Melayu Kuno. Pada permulaan abad ke-20, bahasa Melayu pecah menjadi dua. Di tahun 1901, Indonesia di bawah Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen sedangkan pada tahun 1904 Malaysia di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada ketika Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu selaku bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan andal sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin menyampaikan bahwa : “Jika mengacu pada era depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.”
Selanjutnya pertumbuhan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, mirip Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan memperbesar perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia yakni bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana disebutkan dalam UUD RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Meski demikian, hanya sebagian kecil dari masyarakatIndonesia yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu sebab dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia lebih suka memakai bahasa daerahnya masing-masing selaku bahasa ibu seperti bahasa Melayu pasar, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan lain sebagainya. Untuk sebagian besar penduduk Indonesia yang lain, bahasa Indonesia ialah bahasa kedua dan untuk taraf resmi bahasa Indonesia ialah bahasa pertama. Bahasa Indonesia merupakan suatu dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia.
Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menciptakan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun perembesan dari bahasa tempat dan aneh. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah.
Peristiwa-kejadian penting yang berhubungan dengan kemajuan bahasa Indonesia
1. Tahun 1896 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
2. Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan suatu tubuh penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, mirip Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan penduduk luas.
3. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.
4. Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan supaya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
5. Tahun 1933 bangkit sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
6. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
7. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia sudah dikerjakan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia ketika itu.
8. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah UUD 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia selaku bahasa negara.
9. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
10. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat selaku bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
11. Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) lewat pidato kenegaraan di hadapan sidang dewan perwakilan rakyat yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
12. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memutuskan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh daerah Indonesia (Wawasan Nusantara).
13. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain menawarkan perkembangan, perkembangan, dan kemajuan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berupaya memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
14. Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mengharuskan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
15. Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat mirip Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa terhadap pencinta bahasa di Nusantara, adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
16. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 akseptor tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan semoga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta menganjurkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
17. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu menganjurkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
Fungsi Bahasa Indonesia
Di dalam ilmu sosial-budaya apabila mengkaji fenomena sosial dengan perspektif fungsi maka mau tak mauakan menyandarkan pijakan paradigma pada pendekatan fungsionalisme. “Fungsionalisme sebagai perspektif teoritik dalam antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme/makhluk hidup. Artinya, tata cara sosial-budaya dianalogikan selaku tata cara organisme, yang bagian-bagiannya atau bagian-unsurnya tidak hanya saling berafiliasi melainkan juga menunjukkan peranan bagi pemeliharaan, stabilitas, integrasi, dan kelestarian hidup organisme itu. Dengan analogi mirip itu maka semua tata cara budaya memiliki syarat-syarat fungsional, atau metode budaya memiliki kebutuhan sosial yang mesti dipenuhi semoga sistem sosial-budaya dapat bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu tidak tercukupi maka sistem sosial-budaya itu akan mengalami disintegrasi dan mati, atau beliau akan bermetamorfosis tata cara lain namun beda jenis” (David Kaplan & Albert Manners, 2000: 77-78).
Pendekatan fungsional ini dikembangkan oleh dua orang antropolog Inggris yaitu Bronislaw Malinowski dan Radcliffe Brown (Adam Kuper, 1996; 40). Dengan mengacu pada pendekatan fungsional itu maka stabilitas dan integrasi metode sosial-budaya sungguh tergantung pada fungsi dari unsur-unsur yang menjadi bagian dari metode. Kalau suatu metode organisme/makhluk hidup itu bagian-unsurnya adalah kaki, mata, pendengaran, tangan, mulut, atau hidung maka sistem sosial-budaya yang bernama negara (selaku teladan) unsur-unsurnya akan berisikan pemerintah, birokrasi, pegawanegeri keamanan, wilayah, bahasa, mata duit, atau penduduk. Semua bagian tersebut tidak cuma saling berhubungan akan namun juga saling menyumbangkan fungsinya masing-masing biar integrasi tata cara tetap terjaga. Apabila salah satu unsur mengalami disfungsi atau tidak mampu menyumbangkan peran sesuai kapasitasnya, maka kesannya akan dicicipi oleh komponen-bagian yang lain. Pada alhasil integrasi sistem akan goncang.
Salah satu kekurangan dari pendekatan fungsionalisme ini yaitu pada asumsinya bahwa kondisi tata cara sosial-budaya itu senantiasa dalam keadaan stabil dan terintegrasi. Maka pendekatan fungsional tidak mampu menjelaskan adanya pergeseran sistem sosial budaya secara menyeluruh. Hal ini wajar karena semua pendekatan teoritik selalu memiliki kelebihan dan kekuarangan. Kita kembali pada tata cara sosial-budaya yang berjulukan negara, yaitu negara Indonesia, yang unsur-unsurnya akan berisikan pemerintah, bangsa, daerah, bahasa, atau penduduk. Dalam hal ini kita ambil salah satu bagian negara yakni bahasa.
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia. Apabila Bahasa Indonesia sebagai unsur dari tata cara negara pada sebuah ketika tidak bisa memberikan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, atau identitas bangsa maka akan terbayangkan adanya kegoncangan metode sosial-budaya. Dalam kejadian kenegaraan pasti akan terjadi kekacauan karena tidak ada bahasa kenegaraan. Semua orang akan membenarkan bahasa yang mereka gunakan sesuai etnisnya walau masing-masing berlainan bahasa. Tidak akan ada bahasa persatuan yang menjadi bahasa pengantar bagi penduduk Indonesia yang memiliki latar belakang etnis dan bahasa beraneka macam. Tidak akan ada bahasa yang dijadikan identitas kebersamaan bahwa semua unsur itu menjadi bab dari tata cara yang berjulukan negara Indonesia. Inilah yang disebut sebagai disintegrasi atau distabilitas tata cara negara.
Sebagai identitas bangsa atau negara maka bahasa Indonesia menjadi ciri atau tanda yang membedakan dengan bangsa lain atau negara lain. Identitas ini bisa saja menjadi salah satu aspek kebanggaan pada suatu bangsa, yang kadang-kadang diiringi dengan sikap merendahkan atau menganggap abnormal identitas bangsa lain. Identitas ini tidak stabil atau baku akan tetapi senantiasa berproses melalui wacana untuk berkomunikasi, sehingga identitas selalu terjaga, dinamis, berganti, atau malah musnah. Berawal dari merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas yang berbentukBahasa Indonesia maka bisa jadi ini adalah permulaan dari disintegrasi negara Indonesia. Tidak ada lagi alat komunikasi sesama warga Indonesia yang menjadi pujian bersama, masing-masing merasa besar hati dengan bahasa wilayahnya atau besar hati dengan bahasa manca negara sehingga bahasa Indonesia akan ditinggalkan.
Fungsi Bahasa Indonesia Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-28 Februari 1975 di Jakarta, antara lain merumuskan bahwa di dalam kedudukannya bahasa nasional, bahasa Indonesia (berikutnya disingkat BI) berfungsi selaku :
1) Lambang kebanggaan nasional.
2) Lambangidentitasnasional,
3) Pemersatu berbagai masyarakat yang berlawanan latar belakang sosial budayabahasa.
4) Alat perhubungan antar budaya dan antar daerah (Pusat Pembinaan dan pengembanganBahasa,1975:5).
Beriringan dengan pesatnya pertumbuhan BI selaku lambang identitas nasional, teraktualisasikan pula pertumbuhan bahasa tempat (selanjutnya disingkat BD) sebagai lambang identitas tempat yang keberadaannya diakui di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang secara bersamaan dengan BI menghadapi arus globalisasi. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak ada persaingan antara BI dan BD. Oleh karena itu, pemerintah tidak tidak yakin mengonsepkan kurikulum muatan lokal yang memberikan potensi bagi sekolah-sekolah untuk mengajarkan BD di daerah masing-masing.
Sastra Indonesia Sebagai Identitas Budaya
Ketika Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, menegaskan pernyataan sikap para cowok Indonesia: “bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” dikala itulah identitas etnis diwakili Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia dan agama diwakili Jong Islamieten melekat dalam semangat kebangsaan atas nama Indonesia. Sejak ketika itu pula, bahasa Melayu selaku bahasa etnis diangkat menjadi bahasa persatuan dalam semangat politik keindonesiaan, dan tidak dalam hubungan kultural kesukubangsaan.
Selepas peristiwa itu, berbagai puak dengan keanekaragaman kultur dan bahasa, mulai dipersatukan lewat klaim kesadaran adanya persamaan tanah air (daerah), nasib bangsa yang terjajah, dan persamaan menggunakan alat komunikasi antar-etnik (bahasa). Tentu saja klaim kesadaran keindonesiaan para cowok waktu itu dalam konteks kebangsaan yang bersifat politis, dan tidak dalam korelasi kultural. Meski begitu, dalam lampiran hasil keputusan kongres pemuda itu, dinyatakan bahwa dasar persatuan Indonesia itu dilandasi oleh kesamaan semangat “kemauan, sejarah, aturan adab, serta pendidikan dan kepanduan.” Di mana kultur etnik diposisikan, apakah yang dimaksud kemauan, sejarah, dan hukum adat, berada dalam konteks etnisitas, mengapa kebudayaan (etnik) tidak eksplisit dijadikan selaku landasan semangat persatuan keindonesiaan?
Di sinilah pernyataan “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” mestinya punya makna penting selaku alat perekat. Pasalnya, jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca bagi masyarakatdi kawasan Nusantara ini. Makara, de facto, bahasa Melayu sudah menjadi alat komunikasi antar-etnis, sekaligus juga sebagai sarana untuk saling mengenal lebih erat keberagaman kultur etnisnya. Bukankah fungsi bahasa, di antaranya adalah untuk melakukan pembiasaan dan integrasi sosial? Kaprikornus, sejak Sumpah Pemuda dicetuskan, semenjak itulah bahwasanya terbuka lebar kesempatan untuk saling mengerti banyak sekali kultur etnik dalam kerangka keindonesiaan.
Meskipun demikian, dalam perjalanannya, kesempatan untuk memahami berbagai kultur etnik melalui kesamaan bahasa itu, seperti diabaikan begitu saja. Sutan Takdir Alisjahbana, contohnya, tiba-datang saja menyodorkan rancangan kebudayaan Indonesia dengan orientasi ke Barat. Alisjahbana juga sama sekali tidak menyinggung kebudayaan etnik, lantaran dia terperangkap oleh aliran dikotomis mengenai kebudayaan tradisional (kebudayaan Indonesia usang) dan terbaru (kebudayaan Indonesia gres). Dikatakannya, “Tiada sekali-kali termaksud untuk mencela segala yang usang, untuk menyuruh orang melemparkan segala yang berkembang dalam berabad-kala di lingkungan tanah Indonesia ini. Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang bagus-baik yang mampu dipakai untuk perumahan yang gres.” Selanjutnya, dibilang pula, “… dalam zaman jarak menjadi bersahabat dan watas menjadi kabur oleh radio, surat kabar, buku, dan mesin melayang ini, Indonesia menjadi sebahagian ketimbang dunia yang luas… dalam pembangunan kebudayaan Indonesia yang baru, yang mau menjadi sebahagian dibandingkan dengan kebudayaan dunia, Indonesia Muda tiada mungkin menjadi penonton…”
Dalam beberapa postingan Alisjahbana yang lain yang kemudian menjadi Polemik Kebudayaan itu, di satu pihak, dia memberi penyadaran pentingnya orientasi bangsa Indonesia dalam membangun kebudayaan sendiri, dan di lain pihak, memberi pementingan pada efek asing (Barat) yang bagi Alisjahbana, harus disikapi dengan menyerap efek itu dan menimbulkan kebudayaan Indonesia selaku bagian dari kebudayaan dunia. Oleh alasannya adalah itu, menurut Alisjahbana, kebudayaan tradisional mesti diposisikan selaku periode lalu. Secara eksplisit dikatakannya: kala kemudian sudah mati semati-matinya!
Jelas, meski pada awalnya Alisjahbana masih menyatakan, bahwa “Dalam pusaka bebuyutan itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang mampu dipakai untuk perumahan yang gres,” dia sama sekali tak melihat bahkan tidak menyinggung signifikansi kebudayaan daerah (etnik) sebagai bab dari usaha membangun kebudayaan Indonesia. Dengan begitu, kebudayaan etnik pun, bagi Alisjahbana, sekadar dongeng masa lalu. Bahwa pandangan Alisjahbana menafikan eksistensi kultur etnik, pastinya masalahnya berkaitan dengan permintaan semangat zamannya. Dalam hal ini, boleh jadi pertimbangannya semata-mata atas dasar pentingnya bangsa Indonesia memburu ketertinggalannya dari bangsa lain. Atau, sungguh mungkin pula Alisjahbana sengaja menutup mata atas kebudayaan etnik. Justru di situlah bahu-membahu sumber masalah yang menimpa kebudayaan Indonesia. Masalah itu kemudian terus mengalir mengikuti perjalanan waktu, dan seperti kebudayaan Indonesia terjelma begitu saja secara serempak, tanpa keterlibatan atau tanpa perlu melibatkan perihal kultur etnik.
Pertanyaan yang mampu kita olok-olokan yaitu: apa yang dimaksud dengan kebudayaan Indonesia? Apakah kebudayaan Indonesia yang baru itu, semua unsurnya diambil dari kebudayaan abnormal atau kebudayaan tempat yang menyerap imbas ajaib? Perdebatan dalam Polemik Kebudayaan itu juga ternyata sama sekali tidak merumuskan rancangan kebudayaan Indonesia. Yang ditekankan, bagaimana bangsa Indonesia menyikapi pengaruh abnormal dan menempatkan tradisi selaku bab dari abad kemudian yang harus dibenamkan semati-matinya atau justru dijadikan selaku sumber ide.
Ketidakjelasan rumusan itu pula yang boleh jadi dihadapi oleh para penyusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945, dinyatakan: “Pemerintah meningkatkan kebudayaan nasional Indonesia.” Lalu apa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional Indonesia, tak ada pula rumusannya. Hanya, di dalam penjelasan Pasal 32 itu, dinyatakan, bahwa “Kebudayaan bangsa yakni kebudayaan yang muncul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia semuanya. Kebudayaan usang dan asli terdapat selaku puncak-puncak kebudayaan daerah-tempat di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah pertumbuhan budpekerti, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak materi-materi gres dari kebudayaan abnormal yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”
Kembali, penjelasan yang sebaiknya mendudukkan rancangan kebudayaan nasional Indonesia, kebudayaan bangsa, dan (puncak-puncak) kebudayaan kawasan dalam pengertian yang lebih terperinci, justru menjadikan duduk perkara, sebab tidak ada informasi lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan konsep itu. Bahkan pernyataan puncak-puncak kebudayaan daerah selaku kebudayaan bangsa, menafikan sebagian keberadaan kebudayaan tempat sebagai bukan kebudayaan bangsa. Atau, mengidentifikasikan kebudayaan tempat selaku kebudayaan nasional, pastinya tidak dapat dilakukan begitu saja mengenang keduanya mempunyai peranan yang berbeda. Kebudayaan tempat dan kebudayaan nasional masing-masing menempati kotaknya sendiri yang tidak secara mudah dapat dipertukarkan tempatnya. Persoalannya makin rumit saat ada pekerja budaya yang justru tidak berada di daerah kebudayaan tempat. Tentu saja mereka tidak mungkin dapat mencapai “puncak-puncak” kebudayaan tempat. Rumusan yang berbau hegemonik ini sepantasnya tak muncul jikalau ada kesadaran bahwa sesungguhnya kebudayaan Indonesia tak dapat melepaskan diri dari keterkaitannya antara kebudayaan nasional (bangsa) dan kebudayaan tempat (etnik).
Penafikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan yang lahir dari rahim etnik kesukubangsaan, juga muncul dalam semangat yang melandasi para seniman dan budayawan yang tergabung dalam “Gelanggang Seniman Merdeka”. Dalam pernyataan perilaku berkebudayaannya yang dirumuskan dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang”, mereka condong menempatkan kebudayaan Indonesia selaku bagian dari kebudayaan dunia, dan sama sekali tak ada usaha untuk menimbang-nimbang kebudayaan etnik yang sesungguhnya ialah bab yang tak terpisahkan dari kebudayaan keindonesiaan. Perhatikan kutipan beberapa belahan Surat Kepercayaan Gelanggang berikut ini.
Kami yaitu mahir waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami tidak akan menunjukkan sebuah kata ikatanuntukkebudayaanIndonesia.Kalau kami berbicara ihwal kebudayaan Indonesia,kami tidak ingat terhadap melap-lap hasil kebudayaan lama. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan banyak sekali-bagai rangsang bunyi yang dilontarkan dari segala sudut dunia yang lalu dilontarkan kembali dalam bentuk bunyi sendiri.
Lihatlah elan yang dikumandangkan para seniman yang belakangan dicap sebagai Angkatan 45 itu. Klaim “jago waris yang sah dari kebudayaan dunia” dan “Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia” menegaskan orientasi mereka pada kebudayaan dunia yang di dalam konteks itu tidak lain merupakan kebudayaan Barat.
Sementara itu, pernyataan: “Kalau kami berbicara wacana kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan usang,” mengisyaratkan betapa mereka tak lagi melihat kebudayaan etnik yang bekerjsama sejak mereka lahir telah nemplok dengan sendirinya. Pertanyaannya kemudian: mungkinkah kebudayaan etnik diabaikan begitu saja –bahkan ditiadakan, kalau mereka sendiri lahir dan dibesarkan dalam bundar kebudayaan etnik. Dengan demikian, bagaimana mungkin mereka mampu merumuskan dan mengetahui identitas kebudayaannya, kalau mereka sendiri, belum apa-apa, sudah menolak kebudayaan era lalunya. Kaprikornus, tidak dapat lain, perjuangan merumuskan kebudayaan Indonesia dan penjelasannya ihwal itu, mesti berangkat atau bersumber dari kebudayaan abad lalunya itu; kebudayaan tempat, kebudayaan etnik. Tanpa itu, kita akan tetap terjebak pada perumusan yang mengawang-awang dan tidak membumi.
Pemaparan di atas bahwasanya sekadar hendak menegaskan kembali, betapa rumusan-rumusan tentang kebudayaan Indonesia yang selama ini kita terima, telah gagal mengakomodasi eksistensi kebudayaan tempat –kebudayaan etnik. Kaprikornus, titik tekan dalam mencermati problem kebudayaan Indonesia kini, mestinya tidak lagi terpaku dan berkutat pada desain-rancangan yang absurd dan mengawang-awang, melainkan pada cara pandang dan pengertian yang bersifat praksis.
Demikian juga, pemahaman kebudayaan etnik yang sekadar dihidangkan dalam bentuk pengetahuan hapalan perihal busana tertentu, jenis kesenian, dan nama suku bangsa sebagaimana yang banyak disajikan dalam buku-buku pelajaran, tanpa penjelasan lebih lanjut wacana filsafat yang mendiaminya, semangat yang menjiwainya, dan ruh kebudayaan yang melatarbelakanginya, sudah mereduksi kekayaan dan kekhasan kebudayaan etnik itu sendiri. Dengan begitu, sungguh mungkin kita sekadar hapal nama, istilah, atau konsep wacana kebudayaan etnik tertentu, tetapi sama sekali tidak dapat mengetahui insiden besar kebudayaan yang berada di sebaliknya. Dalam hal itu, barangkali, perlu dipikirkan langkah-langkah praksis yang memungkinkan kita mampu mengenal, memahami, dan memberi apresiasi sewajarnya atas aneka macam macam budaya etnik. Dengan kata lain, dibutuhkan sikap inklusif dan terbuka dalam mendapatkan kebudayaan etnik lain sebagai bab dari kekayaan kebudayaan kita dalam lingkup keindonesiaan. Sikap apresiatif kepada kultur etnik mana pun, sekurang-kurangnya mampu menenteng kita mengenal, mengetahui dan memberi penghargaan yang proporsional, bahwa kultur etnik yang tersebar di daerah Indonesia ini bahwasanya ialah bagian dari diri kita, dan bagian dari milik kita sebagai warga Indonesia.
Di dalam kerangka itulah, kesusastraan selaku “potret” budaya suatu komunitas yang lahir lewat proses pergumulan dan kegalauan kultural pengarangnya, boleh jadi mampu kita jadikan sebagai salah satu sarana meraih tujuan itu. Bukankah kesusastraan ialah hasil evaluasi kritis atas problem sosial budaya yang terjadi dalam kehidupan yang melingkari diri seorang pengarang. Sangat mungkin, karya sastra selaku tata cara pemikiran , tata cara nilai atau segala sesuatu yang keluar dari asumsi insan justru merepresentasikan semangat atau kegalauan yang berhubungan erat dengan kebudayaan yang telah melahirkan, membesarkan, dan sekaligus juga mempengaruhi diri pengarang.
Kesusastraan Indonesia, secara kultural pada mulanya adalah kesusastraan ‘etnik’ yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa nasional yang diangkat dari bahasa etnik Melayu. Sebagai sastra yang ruhnya berasal dari kultur etnik, beliau tak terlepas dari aneka macam hal yang melingkarinya. Paling tidak, sumbernya jatuh pada diri sastrawan yang juga tidak terlepas dari latar belakang etnik yang melahirkan dan membesarkannya.
Sebagai anggota golongan sosial atau sukubangsa, sastrawan mengusung sesuatu yang berafiliasi dengan ruh, semangat dan nilai budaya kelompok sukubangsa tertentu. Sayangnya, dikala karya itu diejawantahkan dalam bahasa Indonesia, problem etnik yang melingkarinya tadi, tiba-datang seperti dianggap akhir, atau diperlakukan seakan-akan tidak ada hubungannya dengan kultur etnik. Problem budaya sukubangsa, latar belakang etnik, mendadak lenyap begitu saja dikala ia menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia sekadar fasilitas yang di dalam kerangka Sumpah Pemuda sebagai pernyataan “menjunjung bahasa persatuan”. Di dalam kemajemukan masyarakat Indonesia, pluralitas etnis adalah realita. Tentu saja tidak serta-merta lebur dan berkembang menjadi dalam keseragaman, hanya karena dia menggunakan bahasa yang sama: bahasa Indonesia.
Maka, ketika Mohammad Yamin mengusung soneta dan berbicara tentang “Tanah Air” (1922) dan “Indonesia Tumpah Darahku” (1928), semangat pantun diperlakukan sekadar selaku bentuk, dan bukan jiwa atau ruh yang mengilhaminya. Demikian juga, saat novel-novel permulaan Balai Pustaka terbit, problem kawin paksa seakan-akan muncul sebagai tema sentral. Lalu, kemanakah semangat pengelanaan yang menjadi salah satu ciri (kultur) orang Minang? Periksalah, dalam hampir semua novel terbitan Balai Pustaka abad itu, sebagian besar tokoh terutama tidak pernah lepas dari semangat pengelanaan (merantau). “Konsep merantau menurut alam anggapan Minangkabau yaitu untuk menimba segala sesuatu yang tidak mereka dapati di alam tradisional. Perantauan yaitu sumber dari sesuatu yang baru .…” Bukankah itu merupakan representasi kultur Minangkabau?
Ketika Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan, bahwa kebudayaan tradisional (: kultur etnik) sebagai periode lalu yang mesti mati semati-matinya, dalam kenyataannya, pernyataan itu sekadar slogan belaka. Majalah Poedjangga Baroe yang dikelolanya, justru banyak pula menampung banyak sekali tulisan yang mengangkat kebudayaan tradisional (kultur etnik) atau kesusastraan yang berorientasi pada unsur kedaerahan. Jadi, meskipun Alisjahbana merekomendasikan biar bangsa Indonesia berorientasi ke Barat, ia sendiri tidak menolak dan membiarkan orang berbicara perihal berbagai aliran yang berkaitan dengan kebudayaan tradisional (: kebudayaan kawasan). Oleh sebab itu, bunyi Alisjahbana bergotong-royong tak cukup representatif mewakili bunyi angkatan Pujangga Baru mengenang tak sedikit di antaranya –tergolong Armijn Pane dan Amir Hamzah yang tak inginmeninggalkan kebudayaan etnik yang sudah melahirkan dan membesarkannya itu.
Masalah yang serupa, juga terjadi pada seniman dan budayawan Gelanggang yang memproklamasikan sikap berkeseniannya melalui Surat Kepercayaan Gelanggang. Dari sejumlah besar sastrawan Gelanggang, cuma Chairil Anwar yang melanjutkan kekaguman Alisjahbana kepada kebudayaan Barat. Tetapi Chairil Anwar tidak secara lingkaran-mentah memamahnya. Ia justru menerjemahkan semangat Barat untuk kepentingan kreativitasnya. Maka, seperti dibilang Sutardji Calzoum Bachri, “Ambillah Barat dan kebudayaan Indonesia baru akan menjadi kreatif sesuai dengan tuntutan zaman.”
Chairil Anwar memang wakil generasi itu. Tetapi di sana masih ada Asrul Sani, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat Karta Mihardja, Rivai Apin, dan sederetan nama lain yang juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Maka, kita mampu melihat, pernyataan “melap-lap kebudayaan usang” justru sudah diterjemahkan dalam sejumlah karya mereka selaku penggalian pada sumber tradisi (: etnik). Asrul Sani ternyata masih mencintai Sang Mamak (“Surat dari Ibu”) dan melaksanakan pengelanaannya dalam semangat Minangkabau. Pramoedya Ananta Toer (Bukan Pasar Malam) menguak secara kritis feodalisme Jawa, Sitor Situmorang mengusung eksistensialisme dalam kegamangan berhadapan dengan kultur leluhurnya, dan Achdiat Karta Mihardja membongkar tarekat dalam sebagian penduduk Sunda berhadapan dengan rasionalitas agama. Dengan demikian, pernyataan “jago waris yang sah dari kebudayaan dunia …” dapatlah kita tafsirkan dalam kaitannya atau dalam berhadapan dengan kultur etnik.
Sejak tahun 1950-an, semangat mengangkat kebudayaan etnik, tidak lagi terpusat pada Minangkabau (: Sumatra), namun menyebar ke dalam diri sastrawan yang berlatar etnis lain, mirip Jawa, Bali, Dayak, Melayu, dan Cirebon. Keadaan itu terus berkembang ketika ada usaha untuk melaksanakan semacam revitalisasi tradisi dalam kemasan terbaru. Itulah yang terjadi dalam perjalanan kesusastraan Indonesia tahun 1970-an, dan terus berlanjut sampai sekarang. Timbul pertanyaannya: mengapa masalah kultur etnik jarang disinggung para pengamat sastra yang membincangkan novel-novel awal Balai Pustaka?
Ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi hal tersebut. Pertama, terjebak oleh cara pandang kolonial, sebagaimana yang diterapkan pada Balai Pustaka. Cara pandang kolonial itu pula yang menempatkan sastra selaku produk elitis, dan membuat dikotomi roman Balai Pustaka dan roman picisan (: bacaan liar). Kedua, terkungkung oleh cara pandang strukturalis. Dalam dua dasawarsa lebih, pendekatan struktural ini mendominasi pengajaran sastra di aneka macam peringkat pendidikan. Akibatnya, karya sastra yang sebetulnya menyimpan kekayaan kultur etnik, tidak dapat lebih jauh dimaknai, ditafsirkan, dan dikaitkan dengan kebudayaan yang melingkari diri pengarangnya.
Indonesia berisikan berbagai sukubangsa dan budaya, agama, keyakinan, dan ideologi. Bahwa suku bangsa yang satu tak mengetahui suku bangsa lain; budaya yang satu diperlakukan seakan-akan tak bersentuhan dengan budaya lain; juga ialah kenyataan yang sangat mungkin di saat-waktu mampu menjadi masalah serius, mirip terjadi di Sambas, dan beberapa daerah lain. Bahkan, kalau tentang etnisitas ini diangkat secara berlebihan dan disuarakan selaku sebuah gerakan, beliau malah menjadi bahaya bagi keutuhan integrasi bangsa, mirip diperlihatkan Aceh dan Papua. pemahaman dan perjuangan mempelajari kebudayaan sukubangsa lain, di luar etnisnya sendiri, pasti menjadi sungguh signifikan jikalau mengenang kemungkinan terjadinya desintegrasi bangsa tadi.
Mengingat kesusastraan Indonesia secara kultural merupakan kesusastraan ‘etnik’ maka usaha mempelajarinya, langsung atau tidak eksklusif, diperlukan sampai ke suatu muara yang bernama Indonesia yang pluralis, yang multietnik, yang multikultural. Oleh alasannya adalah itu, mempelajari sastra Indonesia yang berdarah-daging etnis, mampu pula kiranya dianggap sebagai usaha mengerti identitas budaya etnis lain, kebudayaan lain, dan dapat pula dimaknai selaku salah satu bentuk apresiasi terhadapnya.
Persoalan lain yang terjadi dalam korelasi kesukubangsaan dan kebangsaan atau antara etnisitas dan nasionalisme yaitu adanya tuntutan akreditasi dan harapan yang berlebihan untuk menjaga identitas etnis dan agama. Sejatinya keberadaan masing-masing etnis itu berlainan dan perbedaan yang beranekaragam itu sebagai pluralitas konkret, maka perlu ada kesadaran kesetaraan hubungan antar-etnis itu. Lewat kesadaran kesetaraan itu, usaha untuk mengapresiasi etnis dan budaya lain relatif menjadi lebih gampang dan fleksibel. Usaha memelihara toleransi menjadi lebih terbuka.
Menempatkan kesusastraan Indonesia sebagai pintu masuk menuju pemahaman pluralitas budaya dan keberagaman etnik masyarakat di wilayah Nusantara ini, tentu saja bukan tanpa argumentasi. Selain duduk perkara konflik etnik dan agama yang perlu secepatnya mendapat penanganan serius, juga kehendak beberapa kawasan yang berlebihan hendak merealisasikan identitas etnik dalam kerangka negara merdeka (ethnonationalism) dapat menjadi ancaman. Kinilah saatnya memanfaatkan khazanah kesusastraan Indonesia yang penuhbernafaskan kultur etnik untuk dijadikan salah satu alat atau kendaraan yang mau menjinjing pada pengertian keberagaman etnik dengan pluralitas budayanya. Dengan mempertimbangkan beberapa aspek berikut, tak berlebihan kalau gagasan ini dicobakan.
Pertama, semenjak zaman Balai Pustaka sampai sekarang, sastrawan Indonesia sebetulnya tidak dapat meninggalkan kebudayaan etniknya. Suara Alisjahbana yang menekankan orientasi ke Barat, tak sepenuhnya dibarengi sastrawan lain kurun itu. Demikian juga pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang yang mengaku selaku andal waris kebudayaan dunia, tidak tercermin dalam karya-karya yang dihasilkan para perumus pernyataan itu.
Kedua, pluralitas kultural yang dimiliki suku-suku bangsa di wilayah Nusantara ialah lahan yang tak bakal habis digali dan dimanfaatkan bagi pemerkayaan khazanah sastra Indonesia. Periksa saja karya-karya yang dihasilkan sastrawan kita yang mengalami kegundahan kultural atas budaya etniknya. Dari Minangkabau, mampu disebut nama-nama Chairul Harun, Warisan (1979), Darman Munir, Bako (1983) dan Dendang (1990), Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti (2000), dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah Pertemuan (Grasindo, 2000). Dari kultur Jawa, mampu disebutkan di antaranya, karya Arswendo Atmowiloto, Canting (1986), Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Umar Kayam, Para Priyayi (1992), Kuntowijoyo, Pasar (1994), dan Danarto dalam antologi cerpennya, Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Dari kultur Melayu dapat disebutkan karya Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000), Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001). Dari kultur Madura dapat kita cermati dari sejumlah antologi puisi D. Zawawi Imron, Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996; II, 2000), dari kultur Dayak, pilihan jatuh pada novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan, dan dari kultur Papua (Asmat), Namaku Teweraut (2001), Aning Sekarningsih. Dari kultur Bali, Bila Malam Bertambah Malam (1971: II, 2003) karya Putu Wijaya dan Tarian Bumi (2000) karya Oka Rusmini. Tentu masih banyak nama dan karya lain yang belum disebutkan yang memberikan kuatnya kegalauan kultural yang dihadapi pengarangnya. Karya-karya itu sangat patut menjadi materi permulaan untuk memperkenalkan banyak sekali kultur etnik yang tersebar di Nusantara ini.
Ketiga, datangnya terlalu banyak penerbit di luar Jakarta, mirip Riau, Padang, Yogyakarta, Surabaya, Magelang, Bandung, Lampung, sudah memungkinkan hadirnya kesemarakan bagi khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam hal ini, karya-karya yang diterbitkan penerbit dari aneka macam kota itu memperlihatkan kuatnya kultur etnik.
Keempat, hadirnya sastrawan-sastrawan perempuan dengan latar belakang budaya yang berbeda, ikut pula meramaikan peta kesusastraan Indonesia. Yang mempesona ialah beragamnya bentuk representasi yang bila dilihat dari perspektif kultural, justru menunjukkan pengagungan pada keanekaragaman dan pluralitas.
Kelima, diberlakukannya otonomi kawasan semakin melebarkan kesempatan bagi sastrawan tempat untuk melakukan eksplorasi kekayaan budaya suku bangsanya sendiri. Dengan demikian, bakal meramaikan konstelasi kesusastraan Indonesia melalui eksplorasi dan penggalian banyak sekali budaya etnik. Kondisi ini makin mempertegas adanya keanekaragaman budaya dan pluralitas yang menempel dalam diri sastrawan Indonesia.
Perkembangan Bahasa Indonesia Di Era Globalisasi
Kita tengah memasuki kala XXI. Abad ini juga ialah milenium III perkiraan Masehi. Perubahan periode dan pergantian milenium ini diramalkan akan membawa pergeseran pula kepada struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan dunia.
Arus globalisasi menyebabkan pengubah sosial yang berdasarkan Emil Salim (1990) menimpa empat bidang kekuatan yang mencolokdaya dobraknya. Keempat bidang kekuatan itu, ialah pertama gelombang pertumbuhan yang amat tinggi dalam bidang IPTEK. Gelombang kedua, adalah bidang ekonomi, contohnya yang mampu kita perhatikan penyatuan pasar Eropa Barat, AS, dan Kanada. Kecenderungan ini merupakan perilaku ekonomi global yang simpel sudah meliputi sebagian daerah di dunia ini tanpa mengenal batas. Gelombang ketiga, ialah persoalan lingkungan hidup, contohnya bila terjadi pencemaran maritim di Selat Malaka, dampaknya tidak cuma dinikmati Malaysia, Singapura, dan Indonesia, tetapi juga di negara tetangga lainnya. Gelombang keempat, ialah bidang politik sehingga remaja ini tak ada lagi sebuah negara yang hanya memeprtaruhkan potensi yang terdapat di dalam negaranya.
Arus globalisasi itu sudah mengakibatkan pengubah sosial yang dalam waktu-waktu yang hendak tiba akan terjelma dalam perilaku sosial, baik sikap sosial berurusan maupun sikap sosial yang nyata . Kenyataan menawarkan di mana-mana selalu digebyarkan kata atau urutan kata persaingan, harga bersaing, kompetisi global, kalah berkompetisi, dan memasuki persaingan global.
Arus globalisasi pastinya akan mensugesti seluruh faktor kehidupan dan penghidupan manusia sejagat. Pengaruh itu, anara lain akan tampakdalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Salah satu pokok yang dihadapi dunia pendidikan yaitu duduk perkara identitas bangsa.
Kalau kita berbicara identitas bangsa, mau tidak inginkita akan berbicara wacana kebudayaan, dan jika kita mengatakan ihwal kebudayaan, mau tidak inginkita akan mempersoalkan bahasa. Itu sebabnya Makagiansar (1990) menekankan perlunya kesadaran ihwal identitas budaya, bahkan Emil Salim (1990) menyatakan upaya mempertahankan identias merupakan prioritas yang mesti diperjuagkan mati-matian dengan cirri utama keseimbangan antara faktor material dan spiritual. Pengaruh arus globalisasi dalam identitas bangsa itu tecermin, antara lain, dari perilaku lebih memprioritaskan penggunaan bahasa ajaib (disingkat BA) ketimbang penggunaan BI, misalnya dalam penamaan kompleks perumahan, dan sikap mementingkan acara tertentu, contohnya demi kegiatan pengembangan pariwisata dan bisnis. Syukurlah perilaku mirip itu mulai disadari, dan diambil tindakan faktual mengganti kata-kata asing dengan kata-kata Indonesia.
Fenomena paling mencolokyang tengah terjadi pada kala waktu ini ialah terjadinya proses globalisasi. Proses pergantian inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, sehabis berjalan gelombang pertama (agrikultiur) dan gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian menimbulkan terjadinya pula perubahan kekuasaan dari sentra kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian terhadap kapital atau modal, selanjutnya (dalam gelombang ketiga) terhadap penguasaan kepada isu (ilmu wawasan dan tekhnologi).
Proses globalisasi ini lebih banyak ditakuti daripada dimengerti untuk kemudian diantisipasi dengan cendekia dan cermat. Oleh rasa takut dan khawatir yang berlebihan itu, antisipasi yang dilaksanakan condong bersifat defensif membangun benteng-benteng pertahanan dan merasa diri sebagai objek ketimbang subjek di dalam proses pergantian.
Bagaimana dengan bahasa dan sastra? Apakah yang terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia di dalam proses globalisasi? Apakah yang mesti dilaksanakan dan kebijakan yang bagaiman yang harus diambil dalam korelasi sastra Indonesia dalam menghadapi proses globalisasi atau di dalam periode pasar bebas?
Mitos yang hidup selama ini perihal globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan menciptakan dunia seragam. Proses globalisasi akan meniadakan identitas dan jati diri . Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.
Anggapan atau jalan fikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang sudah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan ilmu wawasan dan teknolgi telah membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Akan tetapi, Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox menawarkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan “Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, kian perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi”. Ia di dalam bukunya itu juga mengemukakan pokok-pokok fikiran lain yang paradoks sehubungan dengan persoalan ini. “Semakin kita menjadi universal, langkah-langkah kita semakin bersifat kesukuan”, “berfikir lokal, bersifat global.” Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi siapa saja, bahasa pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih ulet.
Dari pernyataan Naisbitt itu, bila kita mempercayai, proses globalisasi tetap menempatkan persoalan lokal ataupun duduk perkara etnis (tribe) selaku masalah yang penting yang mesti diperhitungkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends 2000, Naisbitt juga menyampaikan bahwa periode yang akan tiba yakni masa kesenian dan era pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati karya-karya seni. Peristiwa-kejadian kesenian yang mau menjadi perhatian utama dibandingkan kejadian-peristiwa olahraga yang sebelumnya lebih mendapat tempat.
“Berpikir setempat, bertindak global”, mirip yang dikemukakan Naisbitt itu, pastilah akan menempatkan problem bahasa dan sastra, utamanya bahasa dan sastra Indonesia, selaku sesuatu yang penting di dalam kala globalisasi. Proses berpikir tidak akan mungkin dilaksanakan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk penduduk (lokal) Indonesia yaitu bahasa Indonesia. Proses berpikir dan kemudian dilanjutkan proses inovatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra, ialah karya sastra Indonesia.
Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup mempesona. Bahasa Indonesia yang tadinya cuma merupakan bahasa Melayu dengan penunjang yang kecil telah berubah menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini sudah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia selaku bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya meningkat dari bahasa Melayu itu telah “menggusur” sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, mirip bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa dari masyarakat gres yang bernama penduduk Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa tempat yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga sudah tumbuh dan bermetamorfosis bahasa yang terbaru pula.
Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak diputuskan oleh tingkat pertumbuhan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan tempat ini di periode depan. Diramalkan bahwa penduduk daerah ini, adalah Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (gres) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk tempat Asia Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan daerah ini (tergolong masyarakatnya, tentu saja) selaku kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang gres di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) terbaru. Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak usang memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra terbaru Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara.
Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut persoalan struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan problem manusia gres (atau lebih sempurna insan marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam suatu proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, hingga kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berupaya masuk ke dunia yang gres, dunia yang global, dengan tertatih-tatih.
Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan kemajuan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi alasannya ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal yaitu bagaimana mengakibatkan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menyebabkan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah penduduk dunia (yang lain).
Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.
Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi menyebabkan berubahnya paradigma wacana “pembinaan” dan “pengembangan” bahasa. Bahasa Indonesia pada abad depan bukan cuma menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus bisa mengakomodasikan pergeseran-pergeseran dan adaptasi-adaptasi yang mungkin dihadapi. Mekanisme training dan pengembangan tidaklah diputuskan oleh sebuah forum, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh prosedur “pasar”. Pusat Bahasa tidak butuhterlalu rewel dengan “bahasa yang baik dan benar”. Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.
Di dalam kehidupan sastra juga diharapkan suatu politik sastra. Sastra Indonesia mesti lebih dimasyarakatkan, tidak saja untuk bangsa Indonesia, namun juga untuk masyarakat yang lebih luas. Penerbitan karya-karya sastra mesti dikerjakan dalam jumlah yang besar. Sekolah-sekolah dan sekolah tinggi tinggi semestinya menjadi tempat untuk membaca karya-karya sastra. Pengajaran sastra haruslah menimbulkan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran.
Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek pergeseran, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat memiliki potensi menjadi bahasa dan sastra yang dipertimbangkan di dalam dunia global.
Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia dan daerah Asia Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu (dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang demikian. Sastra Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah dunia yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) mesti bisa menimbulkan kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan sebuah politik bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan bersifat defensif.
Bahasa Indonesia dan Siaran Televisi Nasional
Apabila Bahasa Indonesia masih tetap diharapkan selaku salah satu identitas kebersamaan bagi warga negara Indonesia maupun bahasa persatuan yang mampu menjaga integrasi negara Indonesia, maka tentu saja mesti ada sosialisasi dan pewarisan (transmission). Beberapa cara bisa dikerjakan untuk hal itu, dan salah satu cara yang diungkapkan di sini yakni peranan stasiun televisi bersiaran nasional baik milik pemerintah (TVRI) maupun milik swasta (RCTI, SCTV, TPI, ANTV, Indosiar, dll). Tidak semua bahan siaran televisi itu selalu menggunakan bahasa Indonesia baku, yang oleh Ferdinand de Saussure (1996:360-361) disebut selaku aspek langue dari bahasa. Bahasa dalam siaran televisi ini menawan untuk dikaji sebab dia menjadi bagian dari dinamika masyarakat di Indonesia.
Teknologi canggih bernama televisi yang berbasis pada media satelit palapa ini mulai muncul di Indonesia pada tahun 1960-an. Fenomena sosial-budaya yang begitu banyak dan begitu luas lalu “mampu dilipat-lipat” untuk dihadirkan di dalam ruang-ruang yang sempit sekalipun seperti ruang keluarga di dalam rumah. Teknologi televisi-lah beserta hard ware-nya yang mampu menjadi salah satu media transformasi dari dunia yang luas kemudian bisa hadir di tengah-tengah ruang keluarga. “Dunia yang begitu luas dan besar kini bisa ‘dilipat-lipat’ dalam bentuk televisi, surat kabar, majalah, internet, dan radio sehingga mampu hadir di tengah-tengah keluarga dan di ruang yang sempit sekalipun” (Yasraf Amir Piliang, 1999).
TVRI selama puluhan tahun menjadi pemain tunggal stasiun penyiaran televisi di Indonesia yang telah menjangkau berbagai pelosok Indonesia. Baru pada paruh ke-dua tahun 1980-an mulai timbul stasiun televisi swasta di Jakarta dengan siaran setempat yakni RCTI. Setelah itu kemudian muncul stasiun TPI, SCTV, Indoesiar dan lain-lain yang jangkauan siarannya berskala nasional seperti halnya TVRI. Walaupun begitu dalam hal misi, tentu saja TVRI lebih tampakselaku stasiun televisi yang lebih mengedepankan aspek non-komersial dengan meniadakan siaran iklan, yang lalu disusul dengan membatasi siaran iklan. Sumber operasional TVRI berasal dari dana pemerintah dan hak siar iklan dari televisi-televisi swasta. Slogan “TVRI menjalin persatuan dan kesatuan” bukanlah sekedar jargon yang tanpa arti. Di balik slogan ini terkandung semangat untuk menjadi biro atau media perekat bagi berbagai etnis di Indonesia biar tetap dalam keadaan terintegrasi, tidak terpecah-belah. Slogan TVRI itu nyaris mirip dengan slogan “sekali di udara tetap di udara” milik Radio Republik Indonesia (RRI) yang menyimpan semangat untuk terus mengudara melakukan siaran walau segenting apa pun kondisi negara. Kalau penduduk Indonesia dalam keadaan selalu terpisahkan oleh ruang dan waktu dengan kerabat-saudaranya sesama warga Indonesia yang lain, maka siaran gosip televisi berupaya menjadi media pemersatu ke dalam “waktu yang sama”, dan seperti para pemirsa televisi berada di dalam “satu ruang yang serupa”.
Ada kelebihan pada siaran TV jika dibanding dengan siaran radio. Siaran radio hanya menyajikan faktor audio sehingga masyarakat cuma mampu mendengar tanpa mampu menyaksikan tampang dan lisan penyiar radio. Siaran televisi selain bersifat audio juga ada faktor visual, sehingga penduduk mampu mendengar sekaligus bisa melihat paras dan mulut sang penyiar televisi. Dari hal ini muncul kesan seolah-olah antara penyiar televisi dengan penduduk pemirsa berada di dalam suatu “ruang dan waktu” yang serupa. Pada hal-hal tertentu TVRI bisa dianggap selaku selaku salah satu simbol pemersatu bagi penduduk Indonesia melalui siaran-siarannya yang ditujukan terhadap seluruh masyarakat Indonesia, atau penduduk Indonesia di negara tetangga yang masih mampu menangkap siaran TVRI.