Sejarah Aturan Laut Internasional

  Uraian tentang sejarah aturan Internasional perlu diawali dengan pembahasan tentang berbagai fungsi laut bagi umat insan. Dalam sejarah, maritim terbukti telah mempunyai pelbagai fungsi antara lain selaku berikut : 1) Sumber makanan bagi insan, 2) Jalan raya perdagangan, 3) Sarana untuk penaklukan, 4) Tempat peperangan-pertempuran, 5) Tempat bersenang-bahagia, 6) Alat pemisah atau pemersatu bangsa. Dengan kemajuan ilmu wawasan dan teknologi ( iptek), maka fungsi maritim telah bertambah lagi dengan ditemukannya bahan-bahan tambang dan galian yang berharga di dasar laut dan perjuangan-perjuangan mengambil sumber daya alam.

Bertitik tolak dari uraian diatas dapat didapatkan bahwa maritim dapat dipakai oleh umat insan sebagai sumber daya alam bagi penghidupannya, jalur pelayaran, kepentingan pelayaran, kepentingan pertahanan dan keselamatan dan pelbagai kepentingan yang lain. Fungsi-fungsi bahari yang disebut di atas telah dirasakan oleh umat insan, dan telah member dorongan terhadap penguasaan dan pemanfaatan laut oleh masing-masing negara atau kerajaan yang didasarkan atas suatu konsepsi aturan.

Lahirnya konsepsi hukum maritim internasional tersebut tidak mampu dilepaskan dari sejarah pertumbuhan hukumlaut internasional yang mengenal pertarungan antara konsepsi, adalah :

a.       Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu yakni milik bareng penduduk dunia, dank arena itu tidak mampu diambil atau mempunyai oleh masing-masing negara;

b.      Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang mempunyai, dan alasannya itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.

Pertumbuhan dan perkembangan kedua dokrin tersebut diawali dengan sejarah panjang tentang penguasaan laut oleh Imperium Roma. Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan alhasil menguasai seluruh Lautan Tengah secara mutlak. Dengan demikian, menimbulkan suatu keadaan di mana Laut Tengah menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang mampu mempergunakan Laut Tengah dengan kondusif dan makmur yang dijamin oleh pihak Imperium Roma. Pemikiran aturan bangsa Romawi kepada laut didasarkan atas dokrin res communis omnium ( hak bareng seluruh umat insan ), yang menatap penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Asas res communis omnium di samping untuk kepentingan pelayaran, menjadi dasar pula untuk keleluasaan menangkap ikan.

Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak tanda-tanda yang memberikan bahwa dalam pendangan orang Romawi maritim itu mampu dimilki, dimana zaman itu hak masyarakatpantai untuk menangkap ikan di perairan dekat pantainya sudah diakui.  Pemilikan suatu kerajaan dan negara atas maritim yang berdekatan dengan pantainya disasarkab atas konsepsi res nulius.

  Bagaimana Metode Politik, Ekonomi Budaya Penduduk Kota Pontianak ?

Menurut konsepsi res nullius, maritim bisa dimiliki apabila berkeinginan memilikinya mampu menguasai dengan mendudukinya. Penduduk ini dlam hukum perdata Romawi dikenal sebagai okupasi ( occupation). Keadaan yang dilukiskan diatas rampung dengan runtuhnya Imperium Romawi dan munculnya pelbagai kerajan negara di sekeliling Laut Tengah yang masing-masing merdeka dan bangkit sendiri yang satu lepas dari lainnya. Walaupun penguasaan mutlak Laut Tengah oleh Imperium Romawi sendiri sudah selsai, akan tetapi pemilikan lautan oleh negara-negara dan kerajaan tetap memakai asas-asas hukum Romawi.

Berdasarkan uraian diatas, terperinci kiranya bahwa bagi siapa saja yang mengikuti perkembangan teori aturan internasional, asas-asas aturan Romawi yang disebutkan diatas memang mengilhami lahirnya aliran aturan laut internasional yang meningkat di lalu hari. Dapatlah dikatakan bahwa kedua konsepsi hukum bahari Romawi itu merupakan hukum laut internasional tradisional yang menjadi embrio bagi dua pembagian laut yang klasik, bahari territorial dan laut lepas.

Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, kemajuan dan kemajuan hukum bahari internasional sesudah runtuhnya Imperium Romawi diawali dengan munculnya permintaan sejumlah negara atau kerajaan atas sebagian laut yang memiliki batas dengan pantainya berdasarkan alas an yang beragam. Misalnya, Venetia mengklaim sebagian besar dari bahari Adriatik, sebuah tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander III pada tahun 1177. Berdasarkan kekuasaannya atas laut Adriatik ini, Venetia memungut bea kepada setiap kapal yang berlayar disana.

Dalam kemajuan aturan laut internasioanl berikutnya, sejarah pertumbuhan hukum bahari internasional sudah mencatat sebuah insiden penting, yaitu Paus Alexander VI pada tahun 1493 atas tuntutan Spanyol dan Portugal, yang membagi samudera di dunia untuk kedua negara itu dengan batasnya garis meridian 100 leagues ( kira-kira 400 mil maritim ) sebelah barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut  ( yang mencakup Samudera Atlantk Barat , Teluk Mexico, dan Samudera Pasifik ) menjadi milik Spanyol, sedangkan sebelah timurnya ( yang mencakup Samudera Atlantik sebelah selatan Maroko dan samudera India) menjadi milik Portugal. Pembagian Paus Alexander VI tersebut di atas diperkuat dengan perjanjia Todesillas antara SPanyol dan Portugal pada tahun 1494, namun dengan memindahkan garis perbatasannya menjadi 370 leagues  sebelah barat pulau-pulau Cape Verde dipantai barat Afrika. Sedangkan , negara-negara lain, mirip Denmark sudah pula menuntut laut Baltik dan Laut Utara antara Norwergia dan Iceland, dan Inggris sudah menuntut pula laut di sekitar kepulauan Inggris ( Mare Anglicanum) sebagai milik masing-masing.

Pembagian dua bahari dan samudera di dunia untuk Spanyol dan Portugal dengan menutup laut-maritim tertentu bagi pelayaran internasional ialah permulaan dari kurun penjajahan kedua kerajaan tersebut di Amerika Selatan. Perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa ternyata pembagian dua bahari dan samudera, serta klaim keempat kerajaan di Eropa Barat perihal konsepsi hukum bahari tertutup ( mare Clausum) menerima tantangan dari Belanda yang memperjuangkan asas keleluasaan berlayar (freedom of navigation) yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas untuk dilayari oleh siapapun. Belanda yang diwakili oleh Hugo Grotius ( berikutnya di sebut Grotius ), ialah Bapak Hukum Internasional yang memperjuangkan asas keleluasaan bahari dengan cara yang paling gigih meskipun bangsa Inggris dengan Ratu Elisabeth-nya lebih diketahui dengan sebagai perintis keleluasaan laut ini. Perjuangan armada-armada Belanda dan Inggris melawan armada-armada Spanyol dan Portugal dilautan kesudahannya menjadi asas keleluasaan pelayaran ini menjadi sebuah realita. Perkembangan penting dalam hukum laut internasional yang perlu dicatat adalah pertandingan antara penganut dokrin maritim bebas (mare liberium) dan maritim tertutup (mare clausum).

Dokrin bahari bebas ( lepas) yang diwakili oleh Gratius, didasarkan pada teorinya perihal lautan bahwa pemilikan, tergolong atas bahari hanya mampu terjadi melalui possession. Possession ini hanya mampu terjadi lewat okupasi, dan okupasi hanya bisa terjadi atas barang-barang yang mampu dipegang teguh. untuk mampu dipegang teguh maka barang-barang tersebut harus ada batasnya. Laut yaitu sesuatu yang tidak mempunyai batas, sehingga maritim itu tidak mampu diokupasi sebab dia cair dan tidak terbatas. Barang cair hanya bisa dimiliki dengan memasukkannya ke dalam sesuatu yang lebih padat. Dengan demikian, maka tuntutan atas maritim yang didasarkan pada inovasi, penguasan tidaklah dapat diterima alasannya adalah semua itu bukanlah alasan untuk memperolah pemilikan atas bahari. Meskipun demikian, Gratius mengakui bahwa belum dewasa laut dan sungai-sungai, sekalipun cair, dapat dimiliki karena ada batas-batasnya di mana tepinya dapat dianggap sebagai sesuatu yang lebih padat.

Prinsip kebebasan bahari yang dikemukakan oleh Grotius mengakui bahwa dalam bukunya Make Liberium, dibidang pelayarna telah digunakan oleh Belanda untuk menerobos masuk ke Samudera India dalam bisnisnya memperluas jual beli ke Nusantara. Peristiwa ini membuka jalan bagi Belanda untuk menguasai dan menjajah Indonesia selama tiga ratus lima puluh tahun, Oleh sebab itu,sama halnya dengan penguasaan negara atas bahari yang dikerjakan oleh Spanyol dan Portugal, Belanda juga memiliki acara dan tujuan politik untuk menguasai negara-negara lainnyam utamanya Indonesia.

  Kesadaran Kepatuhan Aturan

Dokrin Grotius, Mare Liberium, sudah menjadikan reaksi jago dari penulis Inggris John Selden, yang memandang bahwa bab-bagian laut tertentu dapat dimiliki oleh negara-negara pantai. Menurut Selden, occupation memang unsur yang sangat penting dalam possession, sekalipun sejarah telah menandakan bahwa negara-negara telah melakukan kekuasaan mereka atas kelautan. Atas dasar itu, melalui prescription, bahari itu bukanlah mare liberium, tetapi yakni mare clausum. Sifat laut yang cair , menurut Selden  tidaklah menyebabkannya tidak mampu dimiliki alasannya sungai dan perairan disepanjang pantai yang dapat diakui dan dapat dimiliki. Sejarah lalu memmbuktikan bahwa baik mare clausum maupun mare liberium tidak mampu menjaga fatwa masing-masing dengan kaku dan konsekuen. Akhirnya tercapai kompromi di mana Grotius sendiri mengakui bahwa maritim sepanjang pantai suatu negara mampu dimiliki sejauh yang mampu dikuasai dari darat. Benih-benih kompromi tersebut juga ada pada ajaran Selden yang mengakui adanya hak lintas hening di maritim-bahari yang dituntut. Kebebasan laut juga diterima oleh Inggris, karena armada bahari Inggris telah mulai berkembang dan meminimalkan seluruh semudra di dunia.

Dilihat dari sejarah perkembangan hukum international sejak zaman Romawi, rezim bahari teritorial sudah merupakan bab penting dari  hukum kebiasaan internasional.Sementara dalam konteks  kebebasan di bahari, anutan Grotius yang di dasarkan atas dokrin rec communis ominium sudah menaruh dasar bagi pertumbuhan aliran hukum bahari internasional terbaru ihwal keleluasaan dilaut lepas yang dikenal zaman sekarang. Tercapainya kompromi antara penganut dokrin laut tertutup dan bahari bebas, dengan diakuinya pembagian bahari ke dalam bahari territorial yang jatuh dibawah kedaulatan penuh sebuah negara pantai dan laut lepas yang bersifat bebas untuk seluruh umat manusia, sudah menuntaskan kontradiksi antar negara mengenai bahari.

Patut disimak bahwa masalah laut teritorial ini dibicarakan dan dibahs dalam pertemuan Den Haag tahun 1930 ihwal Laut Teritorial. Konferensi ini di dahului dengan pembentukan Panitia Persiapan pada tahun 1929 yang menyusun dasar perbincangan ( bases of discussion ) dari pertemuan. Sebelum pertemuan Den Haag diadakan, panitia persiapan ini menyusun desain pasal-pasal perihal laut territorial dan jalur embel-embel. Dasar perbincangan pertemuan itu anata lain menyebutkan bahwa sebuah negara mempunyai kedaulatan atas sebuah jalur bahari yang dinamakan laut teritorial.