Asal – Usul Gelar Sunan
Para Wali di Tanah Jawa umumnya mendapat gelar sunan yang mengacu ke bahasa Cina Hokkian dan bahasa Jawa. Gelar itu mula-mula diberikan oleh Laksamana Ceng Ho kepada Maulana Ibrahim. Aslinya berbunyi Suhu Nan, orang yang luas ilmunya kelak, lebih dikuatkan oleh Sultan Demak dengan makna Susuhunan, artinya yang dijunjung tinggi. Sebab dalam pemerintahan Demak, para wali berfungsi selaku penasehat raja untuk aneka macam permasalahan, utamanya dilema-dilema yang berhubungan dengan agama dan umat Islam.
Sebetulnya, jumlah wali di Nusantara tidak hanya sembilan. Namun, wewenang pengaturan peran dakwah para wali yang banyak itu tetap berada di bawah kebijakan Wali Sanga, yang terdiri atas Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.
Di samping ke sembilan nama yang harum itu, terdapat pula para wali lain yang juga tersohor di kelompok penduduk , contohnya Maulana Ishak, Syekh Siti Jenar, Sunan Tembayat, Sunan Pandanaran, Sunan Prawoto, Sunan GEseng, Sunan Mojoagung, dan Syekh Subakir.
Para wali sebagaiorang-orang akil, sepenuhnya menyadari bahwa dalam menghadapi peran dakwah, harus mengenali seluk-beluk dan asal-undangan penduduk bersangkutan. Hal itu telah dicontohkan oleh nabi panutan mereka, Muhammad SAW, yang dalam perjuangannya untuk mengajak kaum musyrikin memasuki pedoman tahuhid, tidak pernah menyakiti perasaan dan jati diri mereka. Bahkan memastikan kepada sahabatnya, “Kami, para nabi, ditugaskan Allah untuk mengatakan kepada insan sesuai dengan kadar kemampuan akalnya.” Terutama dalam acara dakwah di Nusantara yang wilayahnya sangat luas dengan bervariasi suku, bahasa, dan budpekerti-istiadat orangnya. Para wali harus waspada, biar dakwah mereka tidak mengakibatkan kegelisahan di kalangan masyarakat yang majemuk itu.
Mereka selalu berpedoman terhadap firman Allah, agar dalam memberikan pedoman Islam mesti dikerjakan dengan bijaksana, memakai bahasa yang bagus, dan berupaya menyikapi sanggahan orang dengan cara yang cerdik serta berwawasan luas.
Leluhur bangsa kita, sebelum kedatangan berbagai agama dari negeri-negeri aneh, bahwasanya sudah mempunyai dogma kepada kekuatan mistik yang terdapat dalam arwah nenek-moyang. Itulah sebabnya dalam upacara-upacara kerohanian, mereka kerap memanggil para arwah agar mengamati dan melindungi anak-cucu yang masih hidup. Caranya antara lain menghantam bedug, tempayan, atau kentongan.
Supaya tercapai tujuannya, dibuatlah patung-patung kayu maupun watu selaku alat sembahan dan tempat menyediakan sesajian. Kemudian, diucapkan mantera-mantera supaya arwah nenek-moyang datang untuk menolong mereka dalam menolak bala serta penyakit.
Pada kurun pertama sesudah masehi datanglah orang-orang Cina dan India. Mereka menenteng masuk agama Budha dan Hindu sehingga bermunculan kerajaan-kerajaan Budha dan Hindu diseluruh pelosok Nusantara. Kepercayaan mereka menyusup ke dalam budpekerti-istiadat sampai berurat dan berakar. Itulah yang mesti diatasi oleh para Wali, adalah membawa penduduk kembali ke fatwa tauhid tanpa menimbulkan gejolak dan kerusuhan.
Karena latar-belakang, dan asal-ajakan para wali berlainan-beda, demikian watak dan sipat mereka, telah tentu muncul perbedaan perihal sistem dakwah dalam menghadapi penduduk yang kental kemusyrikannya itu. Maka, lahirlah pula tata-cara serta siasat yang beraneka warna sesuai dengan kebijakan masing-masing. Sumber : Sunan Muria Mengisikan Agama ke Dalam Adat Penerbit PT. Remaja Rosdakarya Bandung 1994.