PERKARA kenapa Mahisa selalu tertidur tatkala mendengarkan khutbah di hari Jumat, semua bermula dr sebuah cerita di masa kecil. Cerita dr Wak Jamal. Cerita tentang seekor unta, di hari Jumat. Mahisa ingat betul, bagaimana Wak Jamal bercerita wacana keutamaan unta & hari Jumat, di surau redup di sudut kampungnya.
Wak Jamal memang guru ngaji yg sangat pandai, utamanya dlm hal bercerita. Kata Wak Jamal sendiri, semua cerita yg ia ceritakan bukanlah busa verbal semata, seluruhnya ia kutip dr kitab kuning dgn abjad arab tanpa harakat yg ia pelajari di pesantren, semasa ia dewasa.
Terlampau lekatnya kisah itu, Mahisa sampai terkenang-kenang akan logat mendongeng Wak Jamal (yang memiring-miringkan leher ke kanan sambil berkedip-kedip). Kalaupun disuruh mempraktikkan cara Wak Jamal bercerita, Mahisa sangat yakin mampu melakukannya dgn sempurna. Apalagi menceritakan kembali cerita ihwal unta. Seekor unta di hari Jumat.
BEGINILAH Wak Jamal memulai ceritanya, perihal seekor unta di hari Jumat. Sebelum ke inti dongeng, Wak Jamal memancing anak ngajinya dgn pertanyaan-pertanyaan runtun serupa pantun.
“Nah, Nak, tahukah kau, bahwa di antara tujuh hari yg ada terdapat satu hari yg sangat istimewa, seistimewa idul fitri yg cuma setahun sekali itu. Dan hari itu yakni hari Jumat. Perihal mengapa, alasannya adalah Tuhan mengampuni banyak dosa dr hamba-Nya yg mau berzakat baik pada hari itu. Pada hari itu pula Tuhan meciptakan insan pertama, memasukkannya dlm nirwana & kemudian mengeluarkannya.
“Masih banyak lagi bahwasanya keutamaan hari Jumat yg tak cukup saya paparkan satu persatu.
“Nah, Nak, selepas membahas hari yg paling istimewa, sekarang kita akan main tebak-tebakan mengenai binatang yg paling istimewa.
“Nah, Nak, tahukah kamu binatang apa yg sanggup bertahan hidup berhari-hari tanpa makan & minum.
“Tahukah kau wacana seekor mamalia yg memiliki bulu mata sungguh tepat, yg memiliki bibir bangir tapi tak cerewet, yg memiliki dengkul sekeras batang cangkul.
“Oh, pastinya kalian belum tahu, mendengarnya mungkin, namun tahu, niscaya belum.”
Kemudian Wak Jamal akan tersenyum simpul (sambil memiring-miringkan kepalanya ke kanan) & mulai memaparkan keutamaan sang unta serupa pujian. Wak Jamal tampak antusiassekali menjelentrehkan kelebihan-keunggulan binatang itu, seolah ia tengah terlibat asmara dgn binatang itu.
“Nah, Nak, jikalau ada binatang yg sanggup bertahan hidup hingga delapan hari pada suhu lima puluh derajat tanpa makan atau minum, untalah beliaunya (sangking terpesonanya pada unta ia menggunakan kata ‘dia’).
“Jikalau ada binatang yg lentik bulu matanya melampaui Cleopatra, & mempunyai dua lapisan yg saling berkait mirip perangkap yg melindungi dr tornado pasir sehingga butir pasir tak mungkin mampir, binatang istimewa itu yaitu si unta.
“Jikalau ada binatang yg memiliki bibir yg sungguh kuat & mirip karet, yg memungkinkan mengunyah kaktus ataupun duri yg cukup tajam, unta pulalah binatang satu-satunya.
“Jikalau ada binatang yg lututnya tertutup kepalan yg terbentuk dr kulit sekeras tanduk, sehingga binatang ini betah berlutut di pasir yg panas tanpa khawatir melepuh, si untalah binatangnya.”
Setelah tunai menyampaikan mukadimahnya, Wak Jamal memulai cerita yg sesungguhnya. Cerita perihal seekor unta di hari Jumat. Dari suatu kitab yg pernah ia kaji, Wak Jamal mengisahkan. Bahwa Tuhan punya alasan kenapa Ia memilih unta selaku binatang utama, untuk dianugerahkan pada hamba-Nya yg datang paling pertama di hari Jumat, pada shalat Jumat. Kaprikornus, setiap hari Jumat, beberapa insan akan berternak unta, & kemudian memanen karenanya di nirwana kelak.
“Mengapa unta? Mengapa bukan macan atau singa? Atau gajah yg besar?” Hatta, Wak Jamal mengajukan pertanyaan sendiri, & kemudian pula menjawabnya sendiri, “alasannya adalah unta adalah binatang paling mahal di antara yg mahal, binatang paling istimewa di antara yg istimewa. Seolah-olah, Tuhan menciptakan unta dgn istimewa alasannya adalah memang didedikasikan khusus untuk orang-orang yg istimewa.
“Tuhan memang Maha Pemurah. Terlampau pemurahnya Ia, sesudah menunjukkan unta, Ia akan menawarkan lembu untuk yg tiba sehabis unta, ia pula masih menyimpan kambing untuk yg datang berikutnya, setelah lembu. Setelah kambing pun, Ia masih bermurah hati menunjukkan ayam untuk yg datang setelah kambing. Di bawah ayam pun, ia masih menyisakan telur untuk yg datang berikutnya….
“Jadi, urutannya yg pertama unta, kemudian lembu, kemudian kambing, kemudian ayam, & yg paling buntut telur ayam. Dan sehabis telur, tak disebutkan lagi. Makara, kesimpulannya, kalian sendiri yg akan memutuskan, memilih mana, unta, lembu, kambing, ayam, telur ayam, atau mungkin yg keluar dr tempatnya telur ayam tetapi bukan telur ayam….”
Wak Jamal memang senantiasa seperti itu, memerintahkan anak ngajinya untuk berzakat shalih dgn sindiran-sindiran yg cukup sulit diketahui anak kecil.
SEMENJAK mendengar cerita itu, Mahisa sungguh-sungguh ketularan Wak Jamal, terobsesi dgn binatang bernama unta. Mahisa tak pernah menyaksikan unta dengan-cara pribadi, namun dr cara Wak Jamal bercerita, unta memang binatang yg hebat. Kini Mahisa tahu, kenapa Wak Jamal sudi bersusah-susah membersihkan surau pada Jumat pagi & kemudian menjadi bilal & muadzin pada Jumat siang. Ya, tak lain & tak bukan, niscaya sebab binatang istimewa itu. Dalam kepalanya, Mahisa membayangkan, Wak Jamal sudah menernakkan unta yg jumlahnya ratusan, bahkan mungkin sudah beranak pinak. Mengingat rambut Wak Jamal yg semakin rata ditunasi uban, Mahisa mulai berpikir, bahwa kini, tiba saatnya ia mewarisi peternakkan unta Wak Jamal, guru ngajinya.
“Wak, untuk memperoleh unta, apakah seseorang mesti membersihkan surau & menjadi muazin pada shalat Jumat?” Suatu tatkala Mahisa bertanya.
“Tidak, tak mesti, yg penting kamu tiba paling awal. Lalu duduklah dgn tenang di shaf paling depan, di belakang khatib, sambil berzikir, itu saja….”
Mudah sekali, pikir Mahisa. Berarti, Wak Jamal kecapekan-capek membersihkan surau & menjadi muazin bukan sebab unta, tetapi alasannya sesuatu yg lain, sesuatu yg tampaknya lebih besar & lebih spesial dr pada unta. Tapi, apakah itu? Mengapa Wak Jamal tak menceritakannya. Atau jangan-jangan, sesuatu yg mungkin lebih besar ketimbang unta itu yakni suatu belakang layar yg ia simpan sendiri. Supaya ia bisa memilikinya sendiri.
Mahisa menepiskan anggapan itu jauh-jauh. Wak Jamal pernah mewanti-wanti, berburuk sangka bukanlah alamat bagus. Sudahlah, yg penting, mulai pekan depan, Mahisa bertekad hendak berangkat pagi-pagi ke surau pada hari Jumat. Selepas pulang dr sekolah, ia akan bersegera mandi & berangkat. Kalau perlu ia akan menilik terlebih dahulu, jam berapa lazimnya Wak Jamal datang, semoga ia bisa memperoleh unta & Wak Jamal memperoleh lembu.
Pada Jumat pertama, Mahisa kalah cepat dr Wak Jamal. Tatkala sampai di surau, Mahisa telah mendapati Wak Jamal tengah membaca mushaf di saf paling depan. Wak Jamal tersenyum penuh kemenangan, gue mampu unta & kamu mampu lembu, begitu arti senyumnya. Dalam hati, Mahisa berjanji, Jumat pekan depan, ia akan tiba lebih permulaan lagi. Jumat itu, Mahisa rela mendapatkan nasib bila ia mesti mendapatkan lembu. Lembu tak terlalu buruk, buktinya, untuk berangkat haji dua tahun silam, bapak & emak cukup menjual tiga lembu piaraannya. Artinya, lembu yakni binatang istimewa kedua sehabis unta.
PADA Jumat berikutnya, Mahisa tersenyum gembira tatkala sampai di surau, ia tak mendapati semua orang. Serta merta ia duduk di saf paling depan, tepat posisi belakang imam. Beberapa menit berikutnya, Wak Jamal tiba dgn senyum sumeringah. Wak Jamal menepuk pundaknya, “Wah, luar biasa,” serunya. Mahisa terduduk tegap. Bersenyum penuh kemenangan. Saksama ia memerhatikan Wak jamal yg mulai menyalakan speaker, mengecek micropon, & menggelar sajadah untuk imam.
Satu persatu Mahisa melirik setiap orang yg tiba. Aku mampu unta, batinnya. Wak Jamal mampu lembu. Bang Ajrul dapat kambing. Ki Hanan mampu ayam. Wak Sayid mampu telur ayam. Mas Toha dapat entah…. Sambil terus menghitung setiap jamaah yg datang sesuai dgn urutannya, tiba-tiba kepala Mahisa terasa sungguh berat. Matanya pula sungguh berat. Bahkan, tatkala Wak Jamal mengumandangkan azan & khatib mulai naik ke mimbar, Mahisa masih berjibaku dgn matanya yg berat. Mahisa terantuk & hampir ambruk tatkala Wak Jamal menepuk pundaknya selepas iqomah, menyadarkannya dr kantuk.
Celaka, ada yg tertidur tatkala khatib memberikan khotbah.
PADA Jumat-Jumat berikutnya, Mahisa berkala datang paling permulaan. Ia duduk di saf paling depan, belakang khatib. Namun, senantiasa saja, Mahisa tak kuasa menahan kantuk tatkala khatib mulai naik ke mimbar. Kejadian itu berjalan terus menerus, selama bertahun-tahun, hingga kini. Tatkala ia mengikuti shalat Jumat & khatib mulai naik ke mimbar, seolah ada hal gaib yg menyirepnya, menjadikannya terkantuk-kantuk hingga tertidur.
Cerita itu sudah berlalu puluhan tahun silam. Wak Jamal pun sudah lama sekali almarhum. Surau kecil kawasan ia mengaji dulu, kini sudah diperlebar & dibangun masjid. Sudah beberapa tahun Mahisa merantau ke luar kota, meninggalkan kampung halaman. Tapi tetap saja, di mana pun ia mengikuti shalat Jumat, tatkala khatib mulai menyampaikan khotbahnya, kepalanya pun mulai tertunduk, terkantuk-kantuk.
Satu hal pula yg masih lekat dlm ingatannya dr kisah Wak Jamal. Bahwasannya, memperoleh unta di hari Jumat bukanlah masalah gampang. Karena, selepas shalat Jumat, akan selalu ada orang-orang (yang tiba paling awal) yg kemudian mengutuki dirinya sendiri, menyesalkan unta mereka yg senantiasa lepas tatkala mereka tertidur menyimak khotbah. (*)