Djiwo sedang sensitif mendengar nama kiai, ustad, atau Gus disebut-sebut.
Bukan karena penolakannya pada Tuhan, pula nasehat-nasehat kebaikan; tetapi justru karena kalimat-kalimat kebajikan nyaris setiap saat mampir ke indera pendengaran. Seolah yg dilakukannya masih salah, seolah ibadahnya masih terasa kurang hingga kesusahan hidup menghimpit tak sudah-sudah. Berjalin-sambung menyambung bagai antrian kendaraan bermotor yg macet tiap pagi di jalan protokol.
Djiwo bukan orang yg enggan ibadah.
Lima waktu, diusahakannya bersujud berjamaah. Berlomba dgn takmir masjid, Pujo yg bernasib sama: badan kering, kusut, legam, rambut keperakan. Djiwo & Pujo bergantian mengumandangkan azan. Meski desas desus tak yummy beredar: modin harusnya anak muda bersuara merdu. Kalau tuwek elek yg azan, siapa pula yg kesengsem tiba? Masjid-masjid di kota besar mulai memasang muazin, imam, takmir yg energik sarat vitalitas. Anak-anak muda punya segudang kreativitas untuk membangkitkan acara-agenda masjid.
Masjid kampung mereka masih sepi anak muda. Para sampaumur sibuk main futsal, nonton bersamapiala Eropa, main play station atau ngenet berjam-jam. Djiwo bersyukur kampung mereka mempunyai Pujo yg setia berdiam di masjid, membersihkan kamar mandi, mempersiapkan sarana shalat. Pujo pun senang berteman Djiwo yg ringan tangan memeriahkan masjid. Perbedaan Djiwo & Pujo cuma satu: Pujo menduda usang sejak istrinya meninggal lima belas tahun lalu karena kanker paru-paru, Djiwo masih mempunyai Kanthi, istri yg memberinya tiga anak.
Djiwo cukup berbahagia memiliki Kanthi. Kanthi bisa membantunya menopang ekonomi keluarga, berdagang pecel di pinggir jalan Medokan Ayu tiap hari. Penghasilan selaku tukang tambal ban tentu tak cukup menyuapi lima lisan, terlebih keperluan sekolah susul menyusul. Kanthi istri dgn citra perempuan kebanyakan: mengurus anak & rumah, membagi uang, menabung sedikit-sedikit. Kekurangan—atau keunggulan—Kanthi, terletak pada semangat ibadah serta penutur yg mahir, penyambung lidah luar biasa bagi para pendakwah yg menyampaikan nilai di mimbar-mimbar.
“Kiai Dikin, yg punya pesantren besaaaar itu lho Mas Djiwo… sekeluarga mau berangkat umroh pas malam laitul qadar. Usaha bisnis travel hajinya berhasil. Walaah, siapa sangka ia bisa jadi orang sukses, jadi kiai, santri & jamaahnya banyak. Lha wong dulu hanya orang biasa, punya sakit kanker… apa itu? Pokoknya kanker di tenggorokan. Trus kiai Dikin rajin shalat malam, ndak pernah tinggal. Eeee, habis itu penyakitnya sembuh, bisnisnya maju, malah sering diminta ngisi ke sana kemari. Mungkin, sampeyan harus kaya’ kiai Dikin, Mas Djiwo. Jangan tinggal shalat malam!”
Djiwo hanya diam.
Seingatnya, ia berusaha menggenapi tidur dgn witir. Bila terlalu lelah, shalat malam memang hanya sanggup dua rakaat.
Kanthi datang dgn ceramah berlawanan, lain hari.
“Ustazah Romlah tadi huueebaat, Mas! Masih muda! Ilmunya banyak! ia itu punya perjuangan rumah makan belibis kremes dekat kampus. Dulu, katanya hidupnya sukar. Terus, ustazah Romlah ndak pernah tinggal shalat Dhuha delapan rokaat. Habis itu, bisnisnya kaya’ air rezekinya. Ngaliiiiir terus.”
Kanthi & Djiwo berupaya shalat dhuha. Sebelum berangkat belanja materi pecel ke pasar Soponyono untuk bahan jualan esok hari, Kanthi sempatkan shalat dua rakaat. Djiwo sendiri membuka perjuangan tambal ban di dekat kantor pemerintah yg mempunyai masjid megah. Disempatkannya shalat dua rakaat dikala matahari sepenggalah naik.
“Sampeyan kalau shalat Dhuha harusnya delapan rakaat, Mas. Aku kalau sempat pula delapan rokaat kok….”
Djiwo mengangguk, mengiyakan dlm membisu.
Kali lain, Kanthi menjinjing kisah mengharukan.
“Aku hingga nangis dengernya, Mas. Dulu, ada tukang roti yg ndak pernah berhenti beristighfar. Katanya, semua permintaannya terwujud kecuali satu hal: bertemu imam Ahmad bin Hambal. Eee, lha kok, sebuah hari ada peristiwa misterius yg menimbulkan imam Ahmad terpaksa mesti menginap di rumahnya. Istighfar yo Mas? Aku ya gitu kok, sambil motongin kacang panjang, motong timun, methik kemangi, ngulek bumbu, baca istighfar. Sampeyan nek pas nambal ban ya harus sering-sering baca istighfar supaya rezekinya ndak mampet!”
Ahya. Djiwo berupaya melafazkan istighfar bukan hanya ketika tersandung, atau ketika jemarinya tak sengaja tertusuk perlengkapan tambal ban. Sembari melangkah ke masjid, mengayuh sepedanya berangkat & pulang; bukan hanya istighfar. Tasbih, tahmid, takbir, lisannya berupaya terus mengingat Kanjeng Pangeran. Ucapan Kanthi, sudah lebih dahulu dilaksanakan.
Beberapa hari terakhir, Kanthi mengulang hal yg sama. Masih seputar ibadah yg membuka pintu-pintu rezeki. Wajar Kanthi uring-uringan, putri pertama mereka dilamar orang. Sesederhana apa pun perhelatan, niscaya butuh ongkos. Uang tambal ban yg diberikan Djiwo, hasil jualan pecel, simpanan sedikit—sedikit yg disisihkan tak mencukupi. Meminjam saudara, itu terpaksa. Kalau sudah menagih, tentu harus dibayar dgn uang. Kanthi sudah mengupayakan arisan PKK mampu diminta lebih dahulu, pinjam ke koperasi; namun belum mencukupi. Meminta Djiwo berbuat lebih, itu yg diminta.
“Coba tho Mas Djiwo, perjuangan lebih!”
Apalagi yg bisa diupayakan Djiwo? Kemampuan tamatan sekolah dasar, memberinya peluang melakukan pekerjaan mampu berdiri diatas kaki sendiri tanpa bekal keterampilan maksimal. Usaha tempe, berdagang krupuk, membuat sambel pecel telah dilaui. Pekerjaan menambal ban ini yg ternyata bertahan cukup lama. Kanthi melihatnya belum berupaya mirip yg dibutuhkan. Djiwo masih berlapang dada tatkala Kanthi menganggapnya kurang cekatan mencari duit. Tapi, tatkala pembahasan menyinggung perkara kekurangannya beribadah, entah kenapa hatinya rasa tersengat sakit.
Kurang ibadah?
“Sedekah lho Mas. Itu temen-temenku pula bilang gitu. Sekarang sedang rame orang-orang pada sedekah, ada yg sendiri-sendiri ada yg rombongan. Balasannya bisa berlipat kali! Ibarat tanaman padi, kelipatannya ratusan. Bu Ratih habis sedekah, dapat kado gratis umroh. Bu Endang sedekah gajinya, tau-tau dikasih kado sama majikannya yg habis jual tanah. Malah suami Bu Wiryo sedekah semua bonus gaji satpamnya, dikasih sepeda motor sama perusahaan. Itulah mas, kalau sedekah jangan setengah-setengah. Biar rezeki kita tanpa kendala. Aku sudah sering sedekah, tinggal Mas Djiwo. Gimana?”
Djiwo tahu, sebagai insan, mana berani menyampaikan telah cukup beribadah? Nabi saja bahkan abses kakinya shalat malam, merasa sungguh bersyukur. Setahunya, para shahabat & ulama pun berlomba beribadah. Umar bin Khatab ra pernah menginfakkan separuh hartanya di ketika Abubakar ra menyerahkan seluruh hartanya. Imam Ahmad bin Hambal semasa hidup shalat tiga ratus rakaat ketika sehat, & seratus lima puluh rakat dikala sakit. Ibnu Mubarrak setahun berhaji, setahun berjihad, begitu bergantian sepanjang masa. Djiwo, tentu tak ada apa-apanya.
Lelaki itu berusaha beribadah sebaik-baiknya yg ia bisa. Apalagi bila usai mendengar khutbah Jumat atau pengajian rutin di kampungnya tiap kamis malam. Tatkala kiai berkata Nabi Saw tak pernah meninggalkan shalat witir, dhuha & puasa tengah bulan; Djiwo berupaya melakukan. Sesekali witirnya kedodoran, dhuhanya terburu, atau puasa tengah bulan yg sebaiknya tiga hari cuma dapat dilakukannya sehari. Tatkala kiai berkata bahwa surat Waqiaah dapat menjamin dr kemiskinan, Djiwo berusaha menghafalkan & membacanya tiap hari; meski sulit payah ia menghafalkan dgn otak yg beranjak tua. Tatkala kiai menyampaikan, surat al Mulk dapat membebaskan dr siksa kubur, Djiwo pun berupaya memebaca tiap malam sebelum tidur.
Sekali lagi, bantu-membantu, ia sama sekali tak berani merasa cukup beribadah.
Karenanya, tatkala Kanthi mendesaknya untuk banyak sedekah, ada yg terasa mengganjal. Menghadapi Kanthi yg tangkas bicara, Djiwo sering gagap. Itulah sebabnya puluhan tahun mereka menikah, selaku laki-laki lebih memilih diam tatkala istri mengomel. Beruntung, Pujo bersedia menyediakan pendengaran dikala dirinya pepat masalah. Djiwo tahu, ujung kisahnya hanya berujung pada nasehat: tabah. Tapi sungguh lumayan sudah mengembangkan beban pada orang lain, setidaknya, ada yg membantunya berpikir sekalipun penyelesaiannya pun tetap mesti ditanggung sendiri.
“Memang zaman Kalatidha, kata Ranggawarsito,” Pujo berkata, usai Djiwo selesai menawan nafas di kalimatnya yg terakhir. “ Orang resah cari rezeki, mana halal mana haram. Orang yg beruntung yg eling lan waspodho, tetap ingat & waspada. Ndak tergiur harta.”
Djiwo tahu itu. Memangnya, selama ini ia telah tergiur? Banyak sahabat-temannya mengajak bisnis barang tadahan, uang cepat, namun ia bertahan menambal ban demi rezeki halal meski sedikit. Mereka terus berdiskusi usai shalat Isya berjamaah, & mirip biasa, Djiwo tak bisa mengatakan menukik eksklusif ke problem.
“Sampeyan… sering sedekah, Jo?” Djiwo mengajukan pertanyaan hati-hati.
Pujo terkekeh. Memang, ibadah apa pun sebaiknya tersembunyi, namun dlm beberapa hal, baik untuk dibicarakan demi menambah semangat.
“Ya iya laaa…. Dulu ada shahabat yg minta izin ndak jihad sama sedekah, trus sama Kanjeng Nabi dibilangin intinya, lha sampeyan mau masuk surga pake apa? Sedekah itu harus sudah jadi kebiasaan tho.”
“Besarnya berapa? Maksudku, jumlahnya…,” Djiwo merasa mukanya merah menahan malu.
Pujo mengernyitkan kening.
“Aku memang ndak ada tanggungan, Wo,” papar Pujo. “Anak ndak punya, cucu terlebih. Paling sesekali keponakan minta dibantu. Makara ya… gue bebas mau sedekah berapa pun. Yang niscaya, kalau Jumat, gue usahakan sedekah yg terbaik. Ya terbaik jumlahnya, terbaik bentuk uangnya.”
“Terus, ada… hasilnya?”
Djiwo betul-betul terbentur malu berpangkat-pangkat! Untung, Pujo memaknai perbincangan itu memang selaku penelusuran jawaban atas ibadah-ibadah mereka, orang-orang dgn ilmu agama yg masih jauh dr mencukupi. Djiwo & Pujo saling melengkapi, sesekali Djiwo menerima penguatan dr Pujo. Pujo pun acapkali mendapatkan pencerahan dr Djiwo yg membisu-membisu diakui Pujo sebagai lelaki dgn kesabaran & keteguhan diatas rata-rata.
Perlahan Djiwo mengisahkan keperluan keluarganya yg terlilit hutang. Memang, tak sebesar hutang koruptor tetapi sudah cukup memusingkan. Anak bungsunya yg mesti masuk sekolah Sekolah Menengah kejuruan, kebutuhan hidup yg tambal sulam. Djiwo menggaris bawahi perkataannya, bahwa ia sama sekali tak mempertanyakan kenapa Tuhan memperlihatkan kehidupan sungguh sederhana—bahasa halus untuk miskin—terhadap keluarganya. Yang ia tanyakan, mungkinkah semua disebabkan ibadahnya kurang sehingga rezeki tak mengalir?
Matahari bersinar sepuluh kali lebih terperinci. Langit lebih meninggi, kendaraan beroda empat berjalan lambat. Setiap orang tersenyum, daun lebih hijau, udara higienis jernih. Seperti ini rasa kebahagiaan itu. Segala yg tampak terlihat lebih dr biasanya. Djiwo mengayuh sepeda riang. Mulutnya ringan mengucap istighfar. Hari ini, ia merasa lebih baik dr hari-hari sebelumnya. Perbincangan dgn Pujo setidaknya memperlihatkan kekokohan kaki untuk melangkah.
“Kalau rezeki dimaknai duit, ya sedikit, Wo. Kamu masih punya harga diri buat cari uang sendiri, itu rezeki lho. Kita habis nengok pak Setyo kan, yg tergolek stroke? Apa ya lezat, lelaki ndak bisa apa-apa seperti itu….”
Ya. Rezeki itu bukan matematika, bukan seperti bunga bank yg perhitungannya senantiasa duit & duit. Masing-masing orang boleh jadi tak punya pengertian sama wacana rezeki, tetapi bagaimanapun rezeki seperti yg digambarkan Pujo.
“….barang ghaib. Pintunya ada di arah tak disangka.”
Manusia beranggapan rezekiya dr gaji, teryata dibuka dr pintu yg lain. Banyak pintu tersedia, tinggal mengupayakan kunci.
Ya. Ya.
Djiwo tetap berusaha menyanggupi undangan Kanthi untuk beramal. Bagaimanapun, anjuran Kanthi mungkin ada benarnya. Ia masih ragu untuk bederma, tetapi Djiwo tak ingin berhitung-hitung perkara pengembalian. Tuhan bukan pedagang, meski berniaga dgn Tuhan yakni perniagaan paling menguntungkan. Hari ini Djiwo mencoba berzakat lebih banyak. Dan memang, Tuhan membayar kontan. Bukan bayaran kontan itu yg menciptakan Djiwo bersuka cita. Tapi makna lain yg ia dapatkan. Usai berinfak, shalat asar, seseorang mendekatinya. Lelaki tinggi besar itu memperkenalkan diri selaku kepala seksi di salah satu kepingan. Ia menitipkan beberapa sepeda untuk diperbaiki mulai ban hingga pengecatan. Mereka sekeluarga akan lebih sering menggunakan sepeda untuk jarak-jarak pendek demi kesehatan. Djiwo tentu senang. Ditambah lagi, pak kepala seksi menyertakan arahan berlainan untuk takmir masjid, sesuatu yg menciptakan Djiwo ternganga.
Takmir masjid bermaksud menggelontorkan dana tunjangan sebesar lima ratus ribu, bisa dicicil hingga dua puluh kali, setelah sebelumya hanya mengizinkan dukungan maksimal dua ratus ribu. Malu-malu, Djiwo mengajukan pertanyaan pada takmir masjid, apa pasal yg menimbulkan pak kepala seksi bermaksud memperbaiki sepeda-sepedanya & menyuruh penambahan dana bantuan untuk dirinya.
“Aku pernah dongeng ke ia, kalau sampeyan itu termasuk yg sempurna waktu mengembalikan perlindungan, jujur lagi,” terperinci takmir.
Bukan kebanggaan itu yg menggembirakan hati Djiwo, tapi justru kelebatan perkataan Pujo. Rezeki. Barang ghaib. Pintunya tersebar. Mungkin saja, buah komitmenya selama ini yg takut mati membawa hutang sehingga bekerja keras menyisakan duit demi mengeluarkan uang bantuan, membuat pintu rezeki terbuka. Mungkin juga, sedekah itu menciptakan lebih tanpa kendala seluruhnya. Setidaknya Djiwo lebih percaya, bahwa semua amal ibadah, memang layak dilaksanakan tanpa selektif, demi balasan yg pula lebih terbuka lebar jenisnya.
Djiwo memberitakan detil peristiwa pada Kanthi.
Kanthi terbelalak. Mulut terbuka. Anehnya, parasnya tak sumringah.
“Yaaa… coba yg mas Djiwo sedekahnya bukan separuh imbalan. Pasti dapatnya lebih besar dr lima ratus ribu!”
Mulut Djiwo terkatup.
Jengkel tentu saja. Tapi mengenang wajah Pujo, hatinya ayem. Semua layak disyukuri. Punya rezeki seperti Kanthi, istri yg nyinyir tapi selalu mengingatkan ibadah, pula rezeki. Djiwo ingin berkata, kalau ia ingin memperlakukan Tuhan bukan seperti pedagang. Kalau betul-betul berdagang & bermaksud menginfakkan Kanthi pada Pujo, apa iya mampu ganti istri yg lebih baik lagi? (*)