Sebuah Rencana Hujan | Cerpen Sungging Raga


Oleh: Sungging Raga


Hujan turun begitu lebat. Nalea belum bisa pulang. Ia berteduh di suatu pos ronda tua, sepatunya sudah basah lebih dulu akhir berlarian di jalan tadi, ia membuka sepatunya lalu meletakkannya di bawah suatu meja yg ada di situ. Bajunya pula berair, rambutnya, pipinya, sampai bulu alisnya yg meneteskan air. Gadis kecil itu sesungguhnya tak menangis, ia menjajal hening di situ, berlindung dr guyuran air yg justru semakin tak terbendung.

Ibu cari Nalea tak ya?” Gadis kelas empat Sekolah Dasar itu kemudian bertanya pada dirinya sendiri. Hujan masih turun sangat deras, mirip puluhan kubik air yg lama tersimpan di perut awan, sepertinya semua hujan sengaja jatuh tak jauh dr pos ronda tempat gadis kecil itu berteduh. Suara air yg membentur atap terdengar begitu keras, begitu ribut, belum lagi angin yg sesekali menghempas cukup kencang, mengayunkan pepohonan di sekitarnya, merontokkan dedaunan, mengayunkan bulir air ke kanan & kiri hingga hujan pun terlihat miring jatuhnya.

Nalea mengenang-ingat kembali ucapan ibunya, ”Nanti kalau di sekolah hujan, Nalea jangan pulang dahulu, ya. Tunggu ibu datang untuk menjemput.” Kemudian ia merenungi dirinya sendiri, kenapa ia tak mendengarkan nasihat sang ibu.

”Lama sekali hujannya. Tidak reda-reda.” Gadis kecil itu bergumam sambil memandang langit, dibukanya tas sekolah itu, beberapa potongan bukunya sudah berair kuyup, ia menyaksikan suatu buku yg menjadikannya duka, ”Ini buku pinjam dr Mia pula ikut lembap,” ucapnya. Ia lihat sampul buku yg kecoklatan sudah robek di pinggirnya, ia kemudian memindahkan buku itu & menyelipkannya di tengah-tengah, di antara buku-buku lain yg sebenarnya pula sudah berair.

Langit masih dihiasi mendung pekat, ada percik air yg sukses menembus pos ronda kawasan gadis kecil itu berteduh, seharusnya ia ada di pelukan ibunya kini, mirip anak-anak lainnya yg ketakutan tatkala hujan turun begitu kejam, terlebih jika bunyi petir menggelegar, mirip hendak membolak-balikkan langit, seperti ingin menelan semua orang yg berada di bawahnya.

Namun Nalea berusaha untuk tenang, ia kini duduk di bawah meja, sesekali menutup telinganya sebab kebisingan suara air yg diselingi gemuruh kilat. Merasa hujan masih akan lama, ia kini justru mengeluarkan semua buku & menghamparkannya di bawah meja tua yg lembab, ia berharap buku itu bisa kering & tulisannya tak luntur, ia takut dimarahi ibunya, ia takut dimarahi temannya yg meminjamkan buku. Tetapi dlm ketakutannya ia tak menangis. Ia menjajal untuk menenangkan diri, meski tak bisa alasannya adalah suara air yg disertai angin itu menjadikannya sering terkejut.

  Hikayat si Kritikus | Cerpen Hendy Pratama

”Harusnya tadi menanti ibu di sekolah. Tidak pulang sendiri. Harusnya Nalea tadi ingat hikmah ibu.”

Rupanya ia mulai menyesal. Gadis sekecil itu sudah memahami arti suatu penyesalan. Hujan telah menjadikannya mencar ilmu dgn salah satu perasaan hidup. Ia merasa bersalah pada ibunya, tadi ia tak sabar menunggu lebih lama, apalagi tatkala rintik air mulai jatuh dr langit & ia tak menyaksikan tanda-tanda bahwa ibunya secepatnya datang, ia justru terus berlari meninggalkan sekolah, padahal ia tahu rumahnya masih jauh.

”Ibu pasti sibuk tadi. Tidak bisa cepat menjemput. Coba Nalea mau menunggu di sekolah, mungkin ibu sekarang sudah sampai sambil bawa payung.” Ia ungkapkan penyesalannya itu dgn kata-kata yg entah ditujukan pada siapa. Sementara itu air sudah meluap dr sungai, jembatan yg bergotong-royong tak jauh dr pos ronda itu kini tak terlihat lagi, air sudah menguasai permukaannya. Nalea mulai ketakutan.

Di rumah. Seorang perempuan mulai panik, anak semata wayangnya belum pulang juga. Sudah tiga kali ia bolak-balik sekolah, tetapi balasannya nihil, tak ada siapa-siapa di sekolah ataupun sepanjang jalan antara rumah & sekolah. Wanita itu terduduk lesu di teras rumah. Hujan deras mengaburkan pandangannya, ia membayangkan anaknya akan timbul dr kejauhan, berlari-lari kecil, dlm kondisi yg berair kuyup. Namun, tak ada siapa-siapa di balik rerimbunan hujan di depan rumah itu. Hanya derasnya air yg tak mampu lagi dibendung oleh akses-kanal air.

”Hujan sekarang betul-betul deras. Bagaimana ini, Pak?” Tanya perempuan itu pada suaminya. Namun pria di sebelahnya itu cuma diam. Keduanya tampak lesu, mirip kehilangan harapan, tiba-tiba mereka tak bisa melakukan apa-apa untuk mengenali kondisi anak mereka.

”Mungkin Nalea mampir ke tempat tinggal temannya. Mungkin ia berteduh di sana.” Ucap suaminya untuk menenangkan perempuan itu. Tetapi, begitulah perasaan seorang ibu yg lembut, yg sungguh peka mirip helai rambut. Ia merasa Nalea sedang membutuhkannya, meski ia tak tahu di mana anak gadisnya kini berada.

”Semoga saja, Pak. Semoga Nalea tak apa-apa. Belum pernah rasanya hujan deras mirip ini.” Suara wanita itu mendadak terhenti sebab suara gemuruh dr langit.

Gadis kecil itu masih duduk di bawah meja, bunyi petir kini semakin sering terdengar, langit yg kelabu sesekali menampakkan warna jelas yg kemudian diiringi gemuruh. Dada Nalea berdegup kencang, sesekali ia memejamkan mata, sesekali ia menutup telinganya. Namun, ia pula sekilas menyaksikan-lihat sekeliling, siapa tahu ada yg orang yg dikenalnya, siapa tahu ibunya muncul, atau setidaknya seseorang yg bisa menolong untuk mengantarkannya sampai ke tempat tinggal, namun ia kecewa, tak satu pun orang lewat, semuanya sepi, mirip desa yg mati. Semua orang pasti berada di rumah masing-masing karena hujan turun begitu deras. Nalea benar-benar sendirian kini. Ia sempat memangil-manggil seseorang atau sesuatu, tetapi suaranya kalah dgn bunyi hujan yg seolah tak henti-hentinya menggerutu.

  Kota-kota Rantauan | Cerpen Raudal Tanjung Banua

”Nalea pulangnya gimana?” Ia bergumam lagi, dilihatnya sepatu yg sudah lembap, buku-buku yg sudah berair, seragamnya juga, ia mengambil jepit rambut dr kepalanya, bibirnya kini sedikit gemetar, wajah gadis kecil itu secara tiba-tiba pucat, mungkin ia tak kuat menahan hambar yg diembuskan angin bareng bulir-bulir air. Ia melihat air mengalir di bibir jalan yg tak terlihat lagi watu-batuannya.

”Kenapa hujannya belum berhenti ya, Pak?” Wanita itu kembali mengajukan pertanyaan pada suaminya. Keduanya masih berada di teras rumah, melihat air yg tak henti-hentinya jatuh dr langit, berharap ada sedikit waktu untuk menembus pekatnya panah-panah air yg tajam itu.

”Lebih baik kita cari saja.”

”Tetapi, payungnya cuma satu, Pak. Itu pun angin begitu kencang, & kita pula tak tahu harus mencari ke mana.”

”Apa ibu tak hafal jalan yg lazimdilalui Nalea kalau pulang sendirian?”

Wanita itu tiba-tiba menunduk, mirip memikirkan sesuatu, mungkin Nalea pergi ke swalayan sebentar, bareng kawan-kawannya, Nalea biasa menghabiskan duit sakunya di situ, ramai-ramai menyerbu swalayan untuk sekadar membeli jajan bungkusan. Mungkin pula Nalea memang mampir ke tempat tinggal sahabat-temannya—sebagaimana yg diucapkan suaminya tadi—tetapi siapa yg didatangi Nalea? Berpuluh-puluh detik berpikir, yg hadir justru beribu-ribu pertanyaan & kemungkinan yg memberatkan hatinya.

”Biar gue yg cari.” Suaminya berkata. Rupanya pria itu sudah menggenggam satu-satunya payung di tangannya. Ia tak sabar menanti istrinya berpikir.

”Jangan, Pak. Aku saja. Aku coba cari ke jalan yg kuingat pernah dilewati Nalea. Bapak di rumah saja, ya. Berdoa. Hujannya kian deras, Pak.”

Laki-laki itu diam sejenak, hening sesaat, lantas menyerahkan payung pada istrinya. ”Hati-hati, Bu. Hujan deras begini air meluber di mana-mana.”

Meski terlihat berat, perempuan itu kini mulai beranjak, membuka payung, lalu melangkah ke pekarangan yg sedikit direndam air beberapa sentimeter. Dengan sandal jepit wanita itu mulai menyibak derasnya hujan, bunyi gemeretak air jatuh & memantul-mantul di atas payung, tetapi tetap saja sebagian pakaian perempuan itu basah alasannya adalah payung yg tak begitu lebar. Kecipak air terdengar alasannya pijakannya di tanah berlumpur, namun wanita itu tak peduli, ia tetap berjalan, mencoba untuk menembus pelukan hujan.

Tak ada tanda-tanda hujan akan segera berhenti, kini jalanan kampung yg berbatu itu pun tepat dikelilingi genangan air. Jika satu jam hujan tetap tak reda, mungkin jalanan tak akan terlihat, mungkin akan mirip laut atau danau.

  Dari Balik Jendela | Cerpen Ahmad Sastra

Nalea duduk di atas meja, entah kenapa ia tak lagi bersembunyi di kolong meja sambil menutup telinganya, ia mulai berani menyaksikan semuanya. Suara petir kini tak mengganggunya, ia mulai sudah biasa, meski wajahnya yg semakin pucat, ia menggigil, bibirnya gemetar, giginya gemeletuk, ia duduk sambil memeluk tasnya yg lembap. Ia mencoba untuk berdoa, ia coba mengingat-ingat doa yg umumdiajarkan ibunya.

”Nanti Nalea mau minta maaf sama ibu. Lain kali Nalea mau menunggu kalau ibu tiba telat.”

Gadis kecil itu mengusap wajahnya. Ia menjajal untuk tersenyum, menjajal menghibur dirinya sendiri.

Apa yg bekerjsama dipikirkan hujan? Sudah dua jam lebih ia turun mengguyur bumi, apakah hujan pula menyaksikan seorang gadis kecil yg berteduh kedinginan di pos ronda itu? Apakah hujan turun sebab sengaja untuk menakut-nakutinya? Padahal gadis itu hanya tak sabar menunggu ibunya sepulang sekolah, lalu hujan mendahuluinya sebelum ia hingga ke rumah, hujan tak cuma menciptakan tubuh gadis kecil itu berair kuyup, tetapi pula sepatunya yg memijak genangan air & kotor oleh lumpur, buku-buku dlm tasnya pula lembap, apakah hujan memahami gadis kecil itu kini takut dimarahi ibunya?

Hujan turun dibarengi angin, airnya jatuh ke selokan yg telah penuh, alirannya begitu deras, hujan turun membentur tubuh jalan yg berbatu, hujan turun menggelincirkan sampah-sampah dr kawasan penampungannya, hujan menggugurkan rantig-ranting kering, hujan sungguh seram bagi gadis kecil yg sedang berteduh di pos ronda. Gadis kecil itu betul-betul menyaksikan semuanya, ia menjadi saksi tatkala hujan perlahan mulai membuat jembatan di kejauhan itu tak terlihat, air yg meluap & meluber ke jalan, semua orang yg menyaksikan pasti merasa cemas, air makin meninggi meski perlahan-lahan, langit pekat seperti sudah sore, padahal ini masih siang hari, awan bergulat di atas sana, menurunkan air sambil membenturkan dirinya satu sama lain hingga menimbulkan bunyi kilat yg menciptakan kagetpenduduk bumi.

Sudah tiga jam berlalu, jalan raya desa kini lebih terlihat seperti laut, beberapa ranting pohon gugur & mengalir. Angin berputar-putar di langit, mengempaskan air ke sana-kemari. Ibu Nalea sudah berniat untuk menyisir jalanan antara rumah & sekolah sekali lagi, Nalea pula berniat cepat pulang selepas hujan reda meski masih takut dimarahi. Tetapi, hujan telah lebih dulu menjalankan rencananya, jika ibu & anak itu dapat bertemu lagi sehabis ini, keduanya pasti akan lebih saling menyayangi.

(Selokan Mataram, 2009)