Pohon beringin itu meranggas serupa tulang-tulangku. Ranting-rantingnya berjatuhan sebab mengering. Tak seorang pun sudi berteduh di bawah kanopinya. Aku sendirian melawan sepi sembari mengkalkulasikan ratusan keriput meraja di tubuh. Setiap final bulan September, gue merayakan kesedihan. Tanpa orang-orang terdekat. Tanpa lilin & kue tart. Tak ada tepuk tangan & nyanyian.
Aku merayakan kesedihan dgn pergi ke sebuah bukit di pinggir desa. Di tengahnya tumbuh sebatang pohon beringin yg selalu dihinggapi burung serindit. Di bawah bukit terbentang jalan berkelok menuju kota. Tiga puluh tahun silam, di tempat itu gue melepas pergi suamiku, Jeandar. Ia bersikeras ikut temannya menjadi buruh di kota. Ada ratusan gedung pencakar langit sedang dibangun di sana. Butuh pekerja tidak sedikit.
“Arimbi, gue tak bisa lagi menghidupimu dr hasil menyadap karet. Hasilnya tak menentu. Izinkan gue ikut Jaluddin ke kota menjadi buruh.”
Jeandar sudah ratusan kali membujukku malam itu. Aku terdiam dgn dada penuh sesak. Malam kian dalam. Rasa kantuk dikalahkan pedih menyeruak.
“Tapi gue sedang hamil.”
Sesak dlm dada pecah menjadi isak tangis. Aku memindah tubuh lebih dekat, kemudian memeluk tubuh telanjang Jeandar. Tangisku tumpah di dadanya.
“Bila sudah bulannya untuk melahirkan, gue akan minta cuti. Bekerja di kota buat calon anak kita juga,” bisik Jeandar di telingaku. Bibir tebalnya menciumi seluruh wajahku tanpa henti. Napasnya mendesis bagai ular. Aku mencium aroma kemangi dlm napasnya. Aroma kemangi dr gulai ikan gabus yg kami santap lima jam lalu.
Akhirnya gue mengijinkan suamiku pergi ke kota. Jaluddin menjemput ke tempat tinggal pagi-pagi sekali. Mereka menumpang mobil truk pembawa sayur. Aku berusaha menahan air mata yg menumpuk di sudut kelopak. Pantang melepas orang yg kucintai dgn air mata kesedihan. Mobil truk melaju meninggalkan bekas roda di jalan berdebu. Belum sepenuhnya lapang dada melepas Jeandar, gue berlari ke belakang rumah, memangkas jalan melewati persawahan & ladang jagung. Sekuat tenaga kujejaki jalan setapak menuju bukit.
“Jangan pergiiii!” Aku berteriak sekuat tenaga pada jalan berkelok di bawah bukit. Mobil tampak kecil bergerak seperti semut. Mustahil teriakanku terdengar. Tiba-datang perutku sakit sekali seperti ada ratusan ular piton melilit. Darah mengalir di kedua pahaku. Seorang bapak renta melihatku tergeletak di bawah pohon beringin meregang nyawa. Ia memanggil warga. Namun bayiku meninggal dlm perjalanan menuju rumah sakit. Jeander niscaya sungguh duka bila tahu bayi kami meninggal. Hari kepergian Jeandar menjadi permulaan kesedihanku tak berujung.
Seminggu berlalu & bulan pun berganti. Jeandar tak kunjung kembali. Kabar tak ada. Apa ia sedang sakit? Apa pekerjaannya terlampau banyak? Bila nanti ia pulang, gue akan mengolah makanan gulai ikan gabus beraroma kemangi kesukaannya. Mencabuti jambang yg tumbuh liar di sekeliling rahangnya. Ia akan merasa yummy & tertidur di pangkuanku.
Aku dengar Jaluddin sudah balik dr kota. Ia menjinjing banyak uang. Istrinya eksklusif membayar utang di warung Emak Jahida. Mengapa Jeandar belum kembali? Aku pergi menjumpai Jaluddin ke rumahnya, menerobos gerimis turun sore itu.
“Bagaimana kondisi suamiku? Mengapa ia belum kembali?”
Jaluddin yg tengah bermain dgn anaknya di teras rumah pribadi memalingkan wajah, tak kuasa memandangku.
“Apa ananda menyimpan suatu diam-diam ihwal suamiku?”
Jaluddin menatapku cukup lama. Aku tak tabah mendengar kabar Jeandar.
“Maafkan aku. Mungkin ini akan membuatmu terluka, Arimbi!”
“Apa ia sakit?” tanyaku. Jeandar tak boleh sakit.
Ia pria kekar tak pernah terkalahkan. Aku mencoba tenangkan hati.
“Jangan menanti Jeandar lagi. Ia sudah menikah dgn putri pemborong proyek kawasan kami bekerja.”
Jantungku berdetak kencang, berharap Jaluddin segera tertawa & menyampaikan gres saja berbohong. Namun telingaku bukan pengkhianat & belum tuli. Jaluddin berkata benar. Aku menyaksikan riak kesungguhan di wajahnya. Air mataku jatuh. Semua sudah tiada. Suami & anakku pergi meninggalkanku.
Batang beringin di puncak bukit makin tua. Akar yg menjuntai banyak putus & membusuk. Akar itu serupa gigiku kini, banyak goyang. Tidak ada yg awet di dunia ini. Pun beringin sudah berumur ratusan tahun itu. Lihat, daunnya banyak yg gugur.
Beberapa hari kemudian, Pak Kades bilang ada orang kota membeli tanah puncak bukit. Di sana akan dibangun suatu vila. Batang beringin akan ditebang. Di mana lagi gue akan merayakan kesedihan? Setiap selesai bulan September, gue mengolah masakan gulai ikan gabus beraroma kemangi membawanya ke puncak bukit. Menggelar tikar pandan di bawah batang beringin yg berkembang di sana. Sarapan di puncak bukit dgn lauk ikan gabus jadi penghubung pada masa kemudian. Gulai ikan gabus beraroma kemangi mampu mendatangkan kembali Jeandar di sisiku.
“Batang Beringin, lihat, suamiku sudah kembali. Tolong suruh burung serindit berhenti berkicau. Suamiku sedang makan.”
Aku memarahi batang beringin yg tak bisa menyuruh burung serindit berhenti berkicau. Begitu gulai ikan gabus habis, gue sadar Jeandar tak pernah ada. Seketika air mataku tumpah-ruah. Kicauan burung serindit berubah pilu seakan mengerti perasaanku. Aku berlangsung ke pinggir bukit, menatap jalan berkelok di bawah sana. Sekuat tenaga gue meneriakkan nama Jeandar pada setiap kendaraan beroda empat yg melaju di jalan berkelok itu. Setelah lelah berteriak memanggil nama Jeandar, gue duduk di antara akar beringin yg menjuntai hingga tertidur dibuai mimpi. Akar itu berkembang menjadi bak jari-jari menelisik rambut putihku.
Besok bulan September rampung. Aku berkemas-kemas merayakan kesedihan di puncak bukit. Namun sudah tiga hari hujan turun. Lubuk tempatku biasa menangkap ikan gabus meluap. Tidak tahu mencari ikan gabus ke mana lagi. Meski semua lubuk meluap, tetap bergegas menuju lubuk akrab ladang jagungku. Berharap ada seekor ikan gabus berbaik hati menyerahkan diri ke jaringku.
“Sudah tahu puncak bukit akan diratakan pagi ini?” Ucapan Kinanti, tetanggaku, janda muda tanpa anak, membuatku terkejut sampai baskom berisi jaring terlepas dr tangan.
Menumbangkan beringin sama saja membunuhku. Aku memutar langkah. Para pekerja dr kota tak boleh meratakan puncak bukit. Di dunia ini tak ada lebih mencintaiku selain batang beringin & burung serindit. Aku betul-betul akan sebatang kara jikalau puncak bukit diratakan.
“Hentikan! Jangan lakukan ini….”
Aku berteriak sembari melompat ke tengah jalan menghalau buldoser yg sedang membalik tanah. Para pekerja tak mendengar teriakanku. Suaraku kalah oleh deru mesin. Mereka memandang heran. Mungkin menganggapku perempuan tua sudah bosan hidup.
“Tolong minggir! Jangan menghalangi pekerjaan kami.” Akhirnya mesin buldoser dimatikan.
“Aku hanya mempunyai kesedihan yg gue jaga selama tiga puluh tahun. Mengapa kalian mau mengambilnya dariku.”
Perkataanku menciptakan mereka makin yakin gue wanita bau tanah telah jenuh hidup & tak waras. Seorang pria berambut uban menghampiri. Raut wajahnya bengis. Bola matanya menyimpan kemarahan. Laki-laki itu seumuran denganku. Hidup bahagia membuat wajahnya sedikit lebih awet. Kami saling tatap. Aku menemukan jalan berkelok di bola matanya. Pun jari-jarinya bermetamorfosis bagai ranting pohon beringin.
“Aku pemilik gres tanah ini. Mengapa membatasi para pekerjaku?”
“Di puncak bukit ini, gue menyimpan semua sedihku, menitipkannya pada sebatang beringin renta itu. Aku hanya memiliki kesedihan. Kamu tega merampasnya dariku?”
“Masa kemudian yg menyedihkan tak layak diingat. Ayo, hidupkan kembali mesinnya. Tanah ini mesti segera diratakan,” ujar laki-laki itu sambil berlalu.
Aku menepi, memberi jalan pada buldoser untuk membalik tanah. Apa gue punya kuasa melarang? Besok pagi, gue tak bisa lagi merayakan kesedihan. Namun bukan berarti lupa atas peristiwa tiga puluh tahun silam, tatkala mesti kehilangan suami & anakku.
Aku memandang punggung pria pemilik gres tanah puncak bukit. Ia berjalan memisahkan diri dr keramaian. Semudah itukah ia lupa akan ingatan? Ratusan keriput menjelajah di seluruh wajah membuatku jadi orang aneh di matanya. Ia tak mengenaliku. Namun gue tak pernah lupa beliau. Ia laki-laki penyuka gulai ikan gabus beraroma kemangi. Ia pria yg membuatku begitu setia merayakan kesedihan di puncak bukit setiap selesai bulan September. Laki-laki itu Jeandar, suamiku.