Penampilan Dongga betul-betul seram. Wajar bila Rosana sedikit gentar. Rambutnya panjang riap-riapan. Wajahnya ditutupi cambang & kumis yg membelukar. Rosana duduk & berusaha bersikap setenang mungkin. Wawancara ekslusif ini akan segera dimulai. Sebagai reporter profesional, ia mesti menyingkirkan perasaan nervous itu agar semuanya berjalan tanpa gangguan.
“Saya di sini untuk menolong Anda.”
“Mengapa Anda berpikir saya butuh bantuan Anda?” tanya Dongga dingin. Raut parasnya tak bersahabat.
“Saya yakin Anda memiliki argumentasi besar lengan berkuasa membunuh mereka.”
“Seseorang yg terpojok ke satu sudut dapat melaksanakan sesuatu yg pada kondisi wajar tak akan mereka kerjakan, Nona.”
“Saya setuju,” kata Rosana mengangguk. “Begitu banyak kemungkinan yg membuat seseorang mesti kehilangan segi kemanusiaannya.”
“Seperti saya?”
Rosana mengedikkan pundak. “Mungkin saja,” jawabnya kalem.
Suasana di ruangan pengap itu masih membeku, masih membuat jarak tajam antara Rosana & Dongga. Gadis itu berupaya meleburkan batasan dgn bersikap seakrab mungkin. Tapi batas-batas tegas itu tak mau mencair.
“Apakah berdasarkan Anda, saya bukan insan?”
“Anda yg paling tahu jawabannya,” jawab Rosana diplomatis.
Rosana tahu bahwa apa yg sedang ia kerjakan kini yaitu permainan menantang ajal semata-mata. Berdua dgn seorang pembunuh brutal dlm satu ruangan adalah hal yg sungguh berbahaya. Namun semenjak hari yg berangin & mendung tatkala meliput ke desa Wattimpena satu bulan yg kemudian, Rosana tergugah untuk mencari kisah dramatik lain di balik perkara Dongga.
Sejauh ini, Rosana belum menemukan apa pun. Narasumbernya tutup ekspresi. Nomor ponsel yg ia berikan pada mereka, tak sekalipun berbunyi walaupun ia mengaktifkannya selama 24 jam sarat . Satu-satunya keterangan yg ia dapat hanya satu: Dongga ditahan di penjara ini.
Rosana nekad melanggar kode etik profesinya demi menyajikan info ekslusif. Tidak ada yg tahu ia datang ke penjara ini, kecuali seorang petinggi militer yang—namanya—dirahasiakan. Petinggi militer itulah yg menunjukkan izin khusus supaya Rosana sukses mewawancari Dongga.
“Mengapa Anda melakukannya?” Rosana menatap wajah Dongga, mempertahankan intonasi suaranya agar tak terkesan mengintimidasi.
“Anda pikir saya peduli?” Jemari laki-laki itu mengepal & bergetar. “Perlakukan seseorang mirip binatang cukup usang, & ia akan menjadi binatang sungguhan.”
Rosana tersenyum santai. Ia memberi ruang seluas-luasnya bagi Dongga meluapkan amarahnya. “Kalau tak keberatan, Anda boleh menceritakan seluruhnya. Orang-orang di luar sana perlu tahu argumentasi Anda.”
“Para prajurit yg melaksanakan tindakan ini pada sepupuku,” ujar laki-laki itu geram. Ia meludah ke samping dgn sarat kesinisan, kemudian melanjutkan, “mereka bukan manusia.”
“Mengapa begitu? Maksud saya, apa yg mereka kerjakan bahu-membahu?”
“Akan saya ceritakan jika Anda benar-benaringin tahu.”
Suara berat Dongga yg prospektif sesuatu itu bikin badan Rosana menegak bersemangat , seperti seekor gagak yg melihat seonggok daging yummy. Ia menantikan kebenaran lain yg akan diucapkan Dongga. Ini pasti akan mendongkrak reputasinya dlm menguak sebuah isu. Hal yg dinantinya sekian lama & butuh perjuangan panjang untuk mendapatkannya.
“Mereka mengobrak-abrik desa kami & menenteng adikku, Eliana, ke dlm sangkar babi. Dua dr mereka memerkosanya. Mereka memukulinya sampai sekarat.”
“Sungguh biadab,” ucap Rosana memperlihatkan kegeramannya supaya Dongga tahu bahwa ia turut bersimpati. “Saya tak pernah mendengar hal ini dr pihak militer.”
“Bodoh!” cibir Dongga dgn seringai mencela. “Anda pikir mereka akan membuka kejahatan itu?”
“Ya, saya paham,” jawab Rosana mengalah.
“Setelah mendengar kebenaran ini, apakah Anda masih menilai saya binatang buas, Nona?”
Dongga menatap tajam. Wajah legamnya menyemburatkan gelegak amarah bahkan meski ia cuma berhadapan dgn seorang gadis berbadan mungil seperti Rosana.
Rosana menunjukkan rasa simpatinya sekali lagi. “Maafkan kata-kata saya tadi. Saya tak berniat menghakimi Anda.”
Dongga melongo sejenak, seperti menyadari bila ia bicara terlalu banyak. “Anda pernah mengalami peristiwa mirip itu?”
“Tidak, pastinya tidak.” Rosana menggelengkan kepala besar lengan berkuasa-berpengaruh. “Membayangkan situasinya saja sudah cukup bikin saya frustrasi.”
“Mereka aben rumah-rumah kami & memaksa kami meninggalkan desa. Kami diusir seperti sekawanan babi.”
“Itu mengerikan,” desis Rosana.
Dongga menyeringai. “Itu belum seberapa, Nona,” katanya terkekeh. “Tetanggaku sedang hamil tujuh bulan, mati & meninggalkan tiga anak. Suaminya pula mati ditembak. Tepat di sini,” lanjut Dongga sambil menunjuk keningnya dgn tenang, seolah apa yg baru ia ceritakan adalah hal yg biasa saja.
Rosana tak ingin mempercayai pendengarannya. Ia nyaris bisa mengendus hal lain yg belum lelaki itu ceritakan kepadanya. “Selain adikmu, apakah keluargamu yg lain baik-baik saja?”
“Ya. Semua masih utuh. Kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Aku tak tahu. Hanya ini penting bagiku. Di luar sana, mereka menuduhmu cuilan dr pemberontak.”
Mata Dongga berkilat. Gurat kemarahan tampak jelas di garis rahangnya yg mengeras. Rosana membisu-membisu merasa bahagia, alasannya memiliki potensi untuk memaksa Dongga membuka diri lebih jauh. Semakin banyak yg ia peroleh, makin besar pula kesempatan ia bikin isu paling sensasional.
Pejabat militer yang—namanya—dirahasiakan itu menitip pesan khusus pada Rosana untuk mendesak Dongga mengaku selaku cuilan dr kalangan separatis. Rosana oke, cuma demi memuaskan ambisinya mewawancarai Dongga. Tapi gunung kemarahan di mata laki-laki itu menjadikannya takut.
Ia membayangkan kekuatan Dongga. Lengan kekar yg terbelengu borgol itu mampu meremukkan tubuhnya dgn mudah, layaknya meremas sebongkah keripik yg getas, andai Dongga tahu argumentasi di sebalik keberadaannya di ruangan ini. Pikiran itu menjadikannya ngeri.
“Mungkin lebih baik bila kita tak meneruskan obrolan ini.”
Suara berat Dongga membuyar lamunan Rosana. Ia menyobek-nyobek tisu yg gres ia ambil dr tas lalu mengepalnya menjadi bola-bola kecil. “Maaf, apakah saya bikin Anda kesal?” tanyanya.
“Tidak. Anda tak perlu mengorek dongeng ini lebih dalam. Sama sekali tak ada gunanya.”
“Tunggu dulu,” ucap Rosana. “Saya masih belum mengerti beberapa hal.”
“Bagian mana yg belum Anda memahami?”
Dongga memutar-mutar pergelangan tangannya. Borgol baja itu melingkar kuat, memberi rasa tentram di hati Rosana. Setidaknya, borgol itu akan menyelamatkannya andaikata laki-laki itu muntab & berpikir untuk menyerangnya.
“Mustahil bagi Anda menghabisi ketiga prajurit itu seorang diri.”
“Anda menuduh saya?”
Dongga meletakkan tangannya yg terikat borgol ke atas meja. Matanya menyorot tajam.
“Anda lebih dungu dr orang-orang itu, yg menduga saya cuilan dr gerombolan pemberontak. Saya tegaskan. Saya bukan cuilan dr mereka. Dan ya, saya menyesal tak bergabung dgn mereka.”
“Kenapa?”
“Karena andai saya bergabung dgn mereka, tentu saya bisa membunuh lebih dr tiga.”
Rosana merasakan denyut ketegangan di bawah telapak tangannya & kerlip pujian di wajah Dongga. Gadis itu ingin mempercayainya, ingin berpikir bahwa laki-laki itu ialah seorang yg lebih baik dibanding binatang buas. Tapi, Rosana tak merasakannya.
“Anda tidak mau bebas?” tanya Rosana penasaran.
Dongga menggeleng, kemudian melempar persepsi tajam ke jeruji pemisah di dinding ruangan, mirip sedang menerka-duga bahwa di sebaliknya penjaga-penjaga itu sedang memerhatikan mereka.
“Anda lelaki yg baik, Dongga.” Rosana menyapukan gumpalan tisu itu ke kening & ujung hidungnya. “Saya ingin menolong Anda.”
“Kenapa?”
“Karena keluarga Anda. Mereka niscaya menanti kepulangan Anda.”
Dongga mendengus. Matanya menggenang. Keinginan itu tentu saja ada, tetapi laki-laki itu sadar sesadar-sadarnya bahwa impian itu sia-sia. Ucapan Rosana terasa tajam menyilet pecahan dlm tubuhnya. Seperti olok-olok bernada lawakan yg ironis.
“Bagaimana dgn pengacara?”
“Saya sudah menceritakan insiden persisnya, tapi ia tak percaya. Ia bilang, saya tak akan memperoleh apa-apa. Sudahlah, lagi pula apa pentingnya? Saya sudah siap kapanpun mereka mengeksekusi saya.”
Rosana menyandarkan badan. Derit bangku besi itu memantul ke seluruh ruangan. Rosana secara tiba-tiba merasa kelu, menyadari keberadaannya di sana sangat tak memiliki kegunaan bahkan keji. Kejujuran Dongga menggugahnya, menepikan niat jelek yg dibawanya sebelum memasuki ruangan pengap ini.
“Apakah Anda benar-benaringin menolong saya, Nona?”
Rosana mengangguk lemah.
“Saya punya satu usul saja.”
“Apa itu?”
“Tolong kremasi jasad saya. Bawa abunya ke desa saya. Cuma itu.”
“Akan saya usahakan, Dongga.”
Waktu satu jam pun berakhir. Di luar ruangan, penjaga berteriak mengingatkan Rosana. Gadis itu mengulurkan tangan & menjabat tangan Dongga. Sekilas dilihatnya lelaki itu tersenyum, namun Rosana tak mampu membalasnya. Ketegaran di mata itu meruntuhkan ambisinya.
Satu bulan usai konferensi belakang layar itu, Dongga dihukum. Sesuai janjinya, Rosana membawa debu lelaki itu ke desa kelahirannya. Dengan cara itulah ia menutup keinginannya menguak kisah Dongga & menutupi perasaan bersalahnya alasannya tak mampu melakukan apa-apa. Ada kekuatan besar yg tak sanggup dihadapi Rosana & ia menentukan diam agar tak rampung seperti Dongga. (*)