Sarno | Cerpen Lilis Ummi Faiezah

Siang yg sangat terik itu Sarno duduk termenung di kursi becaknya yg mulai sobek-sobek dibeberapa tempat. Digeser duduknya di serpihan pinggir kursi, sehingga ia bisa sedikit menyandarkan kepalanya di tiang besi keras penyangga atap becaknya. Sejak pagi ia menanti datangnya penumpang yg mau memakai jasanya mengemudi becak. Namun, hingga matahari sempurna menyengat ubun-ubunnya, tak satu pun penumpang tiba menyambanginya.

Sarno merasa siang itu sungguh terik. Matahari tidak sedikit pun mau berkompromi dengannya yg sedang menjalankan ibadah puasa. Bahkan, Sarno merasa sang surya memancar lebih bernafsu dr umumnya, padahal perut Sarno cuma diisi makanan ala kadarnya sahur tadi. Dibekali tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, Sarno tetap menarik becak walaupun ia sedang berpuasa. Didengarnya azan dhuhur mengundang-manggil umatnya untuk tiba berserah pada Sang Kuasa.

“Shalat dulu. Semoga sehabis shalat ada rezeki yg tiba padaku,” batin Sarno berharap. Ia secepatnya turun dr becaknya & menuju masjid yg hanya berjarak seratus meter dr tempatnya mangkal. Dilihatnya beberapa temannya sesama pengemudi becak tertidur pulas didalam becaknya. Hanya Darmin yg masih terjaga & duduk dlm becaknya. Ia mengipasi lehernya dgn topinya yg sudah lama.

“Mau shalat, No. Ya, sana. Jangan lupa doain gue biar dapat rezeki yg banyak,” Darmin menyapa Sarno seenaknya. Sarno hanya tersenyum & berlalu. “Kenapa nggak berdoa sendiri saja,” batin Sarno.

Selesai shalat, kembali Sarno duduk didalam becaknya untuk menanti penumpang. Ditengoknya teman-temannya masih tertidur juga. Darmin pun ikut pulas. Sejenak Sarno melongo.

Dihelanya napas panjang berulang kali untuk melapangkan dadanya yg sesak. Hatinya gundah mempertimbangkan nasibnya yg tak kunjung berganti. Sudah tiga kali ini ia berganti pekerjaan. Namun, keberuntungan belum pula berpihak padanya. Ia pernah melakukan pekerjaan selaku kuli bangunan.

Namun, banyaknya tenaga terdidik menjadikannya tersingkir dr pekerjaan. Dicobanya pula menjadi kuli angkut di terminal, tetapi ia tak tahan karena hasil yg diperolehnya harus ia serahkan separuh pada sang penguasa pasar yg setiap harinya hanya duduk-duduk memantau para kuli bekerja keras. Mereka tak peduli meskipun penghasilan para kuli tersebut tak seberapa dibandingkan tenaga yg mereka keluarkan.

Menjadi tukang becak menjadi impian terakhir Sarno untuk menggantungkan hidupnya & keluarganya. Walaupun hasilnya sedikit, tetapi ia tak perlu menyetorkan hasil becaknya pada siapa saja. Ia hanya perlu menyisakan sebagian hasil becaknya untuk mencicil pembelian becak yg belum lunas. Toh becak itu akan menjadi miliknya sepenuhnya bila telah lunas nanti. Tak terasa kantuk mulai menyerang daya tahannya. Sarno tak mampu lagi bertahan hingga ia tak sadar sudah tertidur pulas didalam becaknya.

“Pak … pak… pak becak,” terdengar sayup-sayup orang berbicara agak keras di depannya. Diantara tidur & bangunnya Sarno merasa tempat yg ia duduki bergoyang-goyang pelan. Sontak ia terbangun. Ia agak kagettatkala didapatinya sesosok ibu-ibu gemuk tengah berdiri di hadapannya sambil menggoyang-goyangkan becaknya.

  Arwana | Cerpen Harris Effendi Thahar

“Kok pada tidur semua nih gimana? Mau cari rezeki nggak sih,” kata wanita gemuk tersebut sinis. Peluh bercucuran di paras & lehernya yg berlipat-lipat banyak lemak. Didepannya teronggok dua tas besar entah isinya.

“Maaf, Bu, lagi puasa,” jawab Sarno sopan. Ia secepatnya turun dr becaknya.

“Pasar Manis sepuluh ribu ya. Biasa,” kata ibu gemuk itu singkat tetapi masih menunjukkan parasnya yg tak ramah.

Yah, tambahin dong, Bu, kan jauh. Biasanya lima belas kok,” Sarno meminta extra harga pada ibu tersebut. Namun bukan anggukan yg ia dapatkan justru omelan panjang lebar khas ibu-ibu pelit.

“Ya sudah jikalau nggak mau. Masih banyak yg mau dgn duit segitu,” katanya lebih ketus sambil beranjak dr tempatnya. Dalam hati Sarno mengeluh, tetapi berhubung sejak pagi ia belum menendapatkan sedikit pun penghasilan balasannya ia memenuhi untuk mengantarkan ibu dgn upah sepuluh ribu rupiah.

“Nah gitu. Udah biasa kok,” ibu itu berbicara lagi sambil bersiap naik ke becak Sarno. Tubuhnya yg gempal menjadikannya kesusahan menaiki becak Sarno. Sarno membantunya dgn sedikit menjungkitkan becaknya kedepan. Dengan begitu kepingan depan becak menjadi rendah & ibu tersebut mampu menaiki becaknya dgn mudah. Sarno membantu mengoptimalkan dua tas besar & berat didepan kaki ibu gemuk tersebut. Kini becak Sarno menjadi sarat sesak.

Sarno mulai mengayuh becak tersebut. Terlihat ia kepayahan dgn beban yg mahaberat & kondisi perutnya yg lapar. Demi keluarganya, ia bertekad mengayuh becaknya kuat-besar lengan berkuasa menenteng ibu gemuk tersebut sampai tujuan. Tak terkira peluh keluar dr pori-pori kulitnya yg hitam legam. Tenggorokannya terasa kering tetapi Sarno tetap bertahan. Tekadnya cuma satu, yakni mencari rezeki untuk anak & istrinya di rumah.

Sambil menarik becak, terbayang terperinci tampang istri & kedua anaknya di rumah. Terbayang pula dibenaknya ia harus mencari uang ekstra untuk diberikan pada istrinya menjelang hari raya nanti. Lebaran semakin dekat, tetapi ia belum mempunyai antisipasi apa pun untuk menyambutnya. Dibenaknya terbayang anak-anaknya yg merengek meminta baju gres atau istrinya yg sedih alasannya tak mampu berbelanja kue-kudapan manis sederhana khas Idulfitri. Semakin jelas gambaran-citra itu dibenaknya, kian ia bersemangat mengayuh becaknya. Ia berharap, mudah-mudahan ibu gemuk tersebut menjadi pembuka jalan masuknya rezeki pada hari ini.

*****


Sarno yg kelelahan kembali duduk di kursi becaknya. Diluruskannya kakinya & disandarkan kepalanya di jeruji penyangga atap becaknya supaya lelah yg menderanya secepatnya pergi. Tanpa terasa pikirannya mengembara ke masa Lebaran kemudian yg dilewatinya dgn hampa. Jangankan lontong opor khas Idulfitri, sekadar kudapan manis-kudapan manis sederhana pun ia tak bisa membelinya. Untunglah Watik istrinya sungguh memaklumi keadaannya, sehingga ia tak banyak menuntut.

Untuk membelikan baju bekas anaknya pun Watik terpaksa berutang kanan-kiri.

Tahun ini ia berharap menerima rezeki lebih untuk merayakan hari raya bersama anak & istrinya. Sebenarnya Sarno berharap anak sulungnya yg bekerja selaku TKW di Arab Saudi pulang walaupun untuk beberapa dikala saja.

  Kiai Maimun | Cerpen Asmadji AS Muchtar

Samtri sudah melakukan pekerjaan sebagai TKW selama lima tahun. Selama itu pula ia tak pernah pulang mengunjungi keluarganya. Bahkan, Sarno tak tahu kabar mengenai putrinya itu. Dalam hati ia ingin menanyakan keadaan putri sulungnya tersebut pada biro yg dahulu memberangkatkannya, namun distributor tersebut sudah pindah tempat & ia tak tahu ke mana lagi harus menanyakan kondisi putrinya. Ditahannya rasa kangennya hingga lima tahun ini. Ia hanya berharap Samtri dlm keadaan baik-baik saja. Dadanya perih bila ia melihat berita TV wacana banyaknya penyiksaan kepada TKW. Watik, istrinya pun senantiasa menitikkan air mata bila mengenang putri sulungnya Samtri. Tapi, ia tak bisa berbuat apa-apa.

Waktu semakin beranjak petang, tetapi belum ada lagi orang tiba meminta jasa becaknya. “Ah, apa yg akan kuberikan pada istriku nanti?” batinnya murung. Ia menetapkan untuk pulang saja bila waktu Maghrib tiba. Namun, ia masih berharap untuk menerima pelanggan lagi sebelum Maghrib. Sudah dua hari ini ia tak bisa mencicil becaknya alasannya penghasilannya sangat minim. Beruntunglah Haji Ahim juragan yg baik hati itu mau memaklumi keadaannya. Namun, ia merasa tak enak hati juga.

Dari jarak tak begitu jauh dilihatnya seseorang berlangsung ke arahnya. “Semoga ini rezekiku,” batinnya sungguh berharap. Ia berkemas-kemas turun dr becaknya tatkala seseorang tersebut berada nyaris di depannya. Hatinya bahagia. Senyumnya lebar.

“Pak, numpang tanya. Desa Sawo mana ya?” Tanya orang itu. Senyum Sarno menciut. Ternyata orang tersebut bukan ingin menggunakan jasanya, namun hanya bertanya tentang suatu alamat. Sarno menerangkan letak desa tersebut. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah desa yg dimaksud. Sarno sempat menunjukkan mengirim orang tersebut dgn becaknya, namun ia menentukan untuk berlangsung kaki saja. Sambil berlalu, ia mengucapkan banyak terima kasih pada Sarno.

*****


Hari sebentar lagi gelap. Sayup-sayup terdengar azan Maghrib mengalun merdu di telinga Sarno. Dikeluarkannya air putih di botol lama yg dibawanya dr rumah tadi. Diteguknya pelan pelan air itu. Kerongkongannya yg tadinya kering, terasa begitu lega sehabis beberapa teguk air putih mengguyurnya. Segera ia turun dr kursi becaknya & berkemas-kemas untuk pulang.

Hatinya sedih alasannya hari ini ia hanya menerima uang sepuluh ribu rupiah dr ibu gemuk yg diantarnya tadi siang. Dinaikinya sadel becaknya & ia bergegas menginjak pedal menenteng becak itu pulang.

“Becak, Pak. Tolong antar saya ke jalan Bambu ya. Tahu kan? Berapa?” seorang gadis memaksanya untuk berhenti lagi. Gadis itu menenteng beberapa tas besar seolah baru pulang dr bepergian jauh. Menilik dr logat bicaranya sepertinya ia bukan berasal dr tempat tersebut. Logat itu sangat abnormal bagi Sarno. Penampilannya modern, beberapa tambahan menempel di tubuhnya. Bahkan, tatkala ia menggerakkan tangannya, terdengarlah bunyi gemerincing alasannya beberapa gelangnya saling beradu.

  Masjid Diatas Bukit | Cerpen Eka S. Saputra

“Bisa, Mbak. Dua puluh ribu ya,” jawabnya sambil turun dr becaknya. Ia hafal sekali kawasan tersebut karena tahun kemudian ia yakni salah satu penghuninya sebelum petugas Kamtib mengusirnya. Ia berharap mudah-mudahan gadis tak menawarnya. Si gadis tersebut menganggukkan kepala tanda oke. Seperti umumSarno eksklusif menjungkitkan becaknya untuk menolong penumpang naik. Sepatunya yg ber-high heel tersangkut di pinggiran lantai becaknya. Hampir saja ia terpeleset, untunglah ia masih sempat berpegangan pada sisi becak tersebut.

Gemerincingan bunyi gelang-gelang beradu menciptakan hati Sarno berdegup. “Ah, betapa kaya gadis itu,” batinnya. Bunyi gemerincing gelang-gelang yg dipakai gadis itu sungguh mengusik pikirannya. “Seandainya saja Watik pula memakai komplemen mirip itu, pastilah ia sungguh bahagia,” batinnya lagi.

Entah setan mana yg merasuki dirinya hingga pikirannya dipenuhi dgn beribu ‘seandainya’. Ia sudah lupa bahwa hari ini ia sedang berpuasa. Ia lupa pula akan shalat yg dilakukannya saban hari. Tiba-tiba kalbunya menjadi gelap. Pikiran jahat tiba-tiba tiba menyeruak ke alam pikirnya. Tekadnya lingkaran. Ia akan mencelakai gadis itu. Setelah tak berdaya, ia akan mengambil barang-barang yg dibawanya, utamanya beberapa gelang yg bergemerincingan di pergelangan tangannya. Tekatnya lingkaran & hatinya sudah terbawa bujuk rayu setan.

Namun belum lagi niat itu terlaksana terlihat sinar lampu motor berada sempurna di hadapannya. Dan ‘brakkk’ bunyi keras benturan itu tak dapat terelakkan lagi. Becak Sarno terpelanting, demikian pula penumpang sepeda motor yg ternyata anak muda itu. Untunglah semuanya masih dilindungi oleh Yang Maha Kuasa. Sarno membantu si gadis kaya itu berdiri. Setelah saling mengatakan Sarno & pengendara motor itu sepakat untuk berdamai saja. Kemudian pengendara sepeda motor itu segera pergi.

Sarno menghampiri gadis itu & meminta maaf atas kecelakaan tadi. Gadis itu berdiri tepat di bawah lampu penerangan jalan. Wajahnya terlihat terperinci di bawah sinar lampu itu. Hati Sarno tersirap melihat muka itu. Wajah yg begitu dikenalnya. Wajah Samtri anak sulungnya yg sudah lima tahun tak ditemuinya.

“Samtri. Kamu nduk?” kata Sarno terbata-bata. Tanpa menunggu jawaban Samtri, Sarno secepatnya memeluk gadis itu erat-erat. “Ini bapak, Nduk,” lanjutnya sambil terus mendekap erat Samtri.

“Bapak. Kok bapak narik becak?” Kata Samtri penuh tanya. Melihat laki-laki itu adalah Sarno ayahnya, Samtri gantian memeluknya erat.

“Ya, Nduk. Ceritanya panjang. Nanti bapak cerita. Ayo kita pulang. Kita sudah pindah. Rumah kita tak di sini lagi,” kata Sarno sesenggukan. Ia segera membawa Samtri pulang ke rumahnya. Sesekali terdengar helaan napas panjangnya. Sambil mengayuh becak ia membayangkan seandainya ia tadi menuruti hawa nafsunya, pastilah kejadiannya akan lain lagi & ia akan menyesal seumur hidupnya.

“Ya Allah, ampunilah aku,” batinnya menyesali diri. Allah SWT masih menyelamatkannya. “Allahu Akbar… Allahu Akbar,” dr bibirnya sayup-sayup mengalir takbir berkali kali. (*)