Daftar Isi (VIVAnews/Anhar Rizki Affandi) |
Bagi Sardjono Kartosoewiryo, anak ke-12 tokoh pencetus Negara Islam Indonesia (NII), Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, gerakan NII Komandemen Wilayah IX yang menyeret nama Panji Gumilang pendiri Pondok Pesantren Al Zaytun, Indramayu, Jawa Barat, berlawanan dengan misi sang ayah yang kerap diundang ‘Imam’. Hingga kini, anak bungsu Kartosoewirjo ini tak pernah bertemu dengan Panji Gumilang. Sardjono juga tidak mengetahui adanya berita setoran bagi anggota NII di bawah kepemimpinan Panji Gumilang.
Dalam wawancara dengan VIVAnews.com, Sardjono mengungkap awal mula usaha sang ayah yang membentuk Negara Islam Indonesia. Sardjono juga bercerita panjang lebar soal pembentukan Komandemen Wilayah-Komandemen Wilayah. Begitu pula disampaikan wacana adanya ‘Negara Islam Indonesia’ di Garut, Jawa Barat, pimpinan Zenzen Komara.
Sardjono juga memaparkan kiprah ayah dari Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera Hilmi Aminuddin, Muhamad Hasan, yang ialah Panglima Daerah Islam/Tentara Islam Indonesia atau dikenal dengan DI/TII. Berikut wawancara dengan Sardjono Kartosoewirjo di kantor VIVAnews.com, Jakarta:
Siapa nama asli Kartosoewirjo?
Nama ayah aslinya Sukarmaji. Su itu artinya anggun, Karma itu pekerjaan, Aji itu Raja. lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905. Lalu pindah ke Jawa Barat berubah menjadi Sekarmaji.
NII Kartosoewirjo itu seperti apa?
Kartosoewirjo itu tidak pernah ada perlakuan khusus. Kalau PKI ada imej bahwa dasarnya ialah ateis. Kalau kami sama-sama Islam, apanya yang dimusuhin. Waktu ayah meninggal, aku sudah umur enam tahun. Ibu saya dari awal ikut gerilya. Saya lahir di kawasan Denu, Tasikmalaya Selatan. Saat itu aku lahir di tengah hutan. Jangankan orang, kera saja tidak betah di situ, kami terdesak. Saat itu 14 April 1957, kami masuk ke hutan bambu. Sekitar Gunung Galunggung, Gunung Ciremai, kemudian di Gunung Talaga Bodas, Garut, Bandung.
Apa yang diingat dikala itu?
Semua menyedihkan. Jadi yang terkesan itu yang duka. Saat itu staf Imam (panggilan Kartosoewirjo) ada 500 orang, termasuk pengawal. Kaprikornus itu besar sekali. Saat mulai turun, itu di formasi Gunung Batara Guru, perbatasan antara Garut dengan Bandung, Danau Ciharu, kini ada PLTU Kamojang, di sanalah pasukan mulai terpotong oleh Tentara Nasional Indonesia. Pasukan kami terpecah. Saya pisah dengan bapak, aku ikut ibu. Bapak bawa pasukan pengawal, aku juga. Saya dapat pengawal sekitar enam orang. Pengasuh saya namanya Mustiah, itu penduduk lokal. Kemudian komandan pasukan pengawal mencari induk pasukan. Saat itu yang masih ada Agus Abdullah (Perwira DI/TII) ke Gunung Ciremai. Itu sekitar bulan Juni tahun 1962.
Kemudian di Desa Tambak Baya, di kawasan Garut sekitar PLTU Kamojang saat ini. Di sanalah ada peristiwa yang saya anggap patut dihargai. Saat itu aku tertangkap, ketika turun pada jam 9 pagi. Saat itu pula kami sudah memperoleh ajakan (tertulis) dari Imam yang ditanda tangani abang saya, Muhammad Darda. Seruannya, pertama hentikan tembak menembak, kedua, kembali ke pangkuan NKRI. Sebelah kiri ada pelengkap kalimat Pangdam VII Siliwangi, Ibrahim Aji. Kalimat itu, segera hubungi pos-pos Tentara Nasional Indonesia terdekat dan menjinjing perkakas perang dan dokumen. Ini sudah imbauan tapi jikalau pasukan, ya silahkan saja. Harus ada perintah dari komando lokal, itu namanya Kompas, komando setempat.
Yang turun pertama itu, saya, abang saya Komalasari, Kartika, Cecep itu anaknya Jaja Sujadi (Ketua Majelis Keuangan). Lalu ditanya, ini anak siapa dan nama-namanya ditulis. Kami ini dikatakan anak pengasuh. Sampai ke markas itu, diperiksa lagi dari pemeriksaan pendahuluan, lalu BAP diubah, kesudahannya tertangkap basah kami bukan anak pengasuh. Dan ternyata ini anak Imam lalu BAP kami diubah, termasuk BAP anak Jaja Sujadi. Kemudian, pengasuh ditanya, kenapa tadi mengatakan ini selaku anak ibu? Ya untuk melindungi, takut ditembak.
Lain seperti apa?
Setelah itu, kami diantar lagi ke markas batalyon, di Cicalengka, bermalam lagi. Setelah itu saya dibalikin ke Garut, di Wisma Korem di Cipanas. Di sanalah aku bertemu bapak, sedang sakit. Bapak berserakan ambutnya, pakai piyama, itu sekitar bulan Juni tahun 1962. Setelah itu keluarga aku dipindah ke Ciumbuleuit (Bandung). Tapi bapak masuk rumah sakit, aku cuma dengan ibu masuk ke wisma Siliwangi. Di Ciumbuleuit itu di atasnya Rumah Sakit paru-paru.
Proses hukum sehabis penangkapan?
Setelah setahun lebih, ada gosip bapak dipanggil ke Jakarta karena mesti ke pengadilan. Setelah itu, bapak divonis mati. Berarti bapak tidak akan ketemu kami lagi, ya kami tidak mampu mengerti persis waktu itu usia aku 6 mau 7 tahun. Saya dengar dari abang saya, ada seruan bapak sebelum meninggal.
Pertama, ingin bertemu dengan perwira-perwira terdekat untuk terakhir kalinya. Tapi ditolak, alasannya adalah dianggap mereka ada unsur politik. Kedua, ingin hukuman ini disaksikan oleh wakil salah seorang dari keluarga, alasannya katanya di negara lain itu boleh disaksikan. Ini juga ditolak, karena mereka menilai itu menyeramkan. Ketiga, ingin jenazahnya dikembalikan ke pekuburan keluarga di Malangbong (Garut). Ini pun tidak dikabulkan, alasannya adalah nanti akan banyak yang ziarah. Keempat, ingin ketemu dengan keluarga. Nah ini boleh. Kami bertemu di Jakarta, di sekeliling Lapangan Banteng. Di sana ada Mahkamah Darurat Perang, itu tahun 1963.
Setelah itu kami berpisah dengan bapak. Kemudian saat akan dieksekusi, bapak boleh meminta satu ajakan lagi. Kata bapak, saya hanya ingin bertemu sang pencipta. Itu yang aku kagum, bapak yakin akan adanya hari berbangkit, hari dipertemukannya insan dengan Tuhan. Hari dievaluasinya seluruh kebijakan-kebijakannya selama ini.
Saya hanya ingin melihat dari kebijakan-kebijakannya itu, diterima atau ditolak oleh Tuhan. Itulah yang saya terkesan sampai kini kenapa saya menempelkan nama Kartosoewiryo kepada nama aku. Inilah selaku bentuk pengabdian saya, aku pakai nama Kartosoewiryo inikan mesti waspada sikapnya. Hingga balasannya tahun 2010 saya berziarah untuk pertama kalinya ke makam bapak saya karena sudah didapatkan di Pulau Onrust di gugusan Pulau Seribu.
Waktu perpisahan terakhir dengan bapak apa yang dibicarakan?
Ya bicara umum. Bapak minta maaf, alasannya tidak mampu bertemu lagi. Bapak juga titip bawah umur pada ibu. Yang datang ada lima anggota keluarga. Itu alasannya banyak anak yang sudah meninggal. Salah satu abang aku masih ada di Jawa.
Anda tidak diberitahukan di mana makam Kartosoewirjo?
Tidak diberitahukan tempatnya, sebelumnya pada tahun 1964 simpulan, sempurna satu tahun sehabis konferensi terakhir dengan bapak, kami diundang oleh kodam, bahwa eksekusi itu telah dikerjakan di suatu daerah di kawasan aturan Indonesia, namun tidak diterangkan di mana. Lalu mereka menunjukkan barang-barang pribadi milik bapak. Ada jam tangan rolex, pulpen parker 51, pulpen pelikan, kawasan rokok itu ada gambar jaguar lapis emas, cincin kerikil pirus, baju batik yang terakhir dipakai bapak dan gigi palsu. Bapak giginya artifisial semua.
Makamnya ada penandanya, pakai epilog dan bawahnya dikeramik, lainnya itu tidak ada yang dikeramik. Di sana ada dua makam, bapak sebelah kanan dan di kirinya ada makan Hassanuddin Banten yang berontak ke Portugis kemudian dibuang sampai hasilnya ia meninggal. Di depan ada goresan pena plang, tidak ditulis Kartosoewiryo, tetapi “Makam salah satu tokok DI/TII yang dihukum tahun 1964”. Semua yang dikubur di pulau Onrust itu semua tercatat. Di sana ada banyak kuburan Belanda, ada juga kuburan muslim, serta bekas asrama haji.
Apakah Kartosoewirjo tidak meminta grasi ke Soekarno?
Saya tidak dengar, yang aku tahu grasinya ditolak. Terakhir aku dengar dari Sukmawati, sebelum undangan grasi itu ditandatangani pernah juga dibicarakan di meja makan. Dengan berat hati, bapak Sukmawati menandatangi hukuman.
Dari keluarga apakah benci kepada Soekarno?
Kalau aku tidak ada, saat itu saya masih kecil hanya menerima takdir saja. Saya tidak bisa membangun sebuah kebencian. Rasanya bukan cara membangun yang bagus. Saya hanya berpikir bagaimana menyelamatkan maklumat Imam terakhir yaitu bagaimana menyelamatkan mujahid. Kalau perang terus menerus akan habis nanti.
Karena pada tahun 1962 saat turun, jumlahnya seluruh tergolong Aceh, Sulawesi dan Jawa jumlahnya mencapai 40 ribu orang, itu catatan dari Kodam. Berbanding rakyat Indonesia yang berjumlah 40 juta. Jadi berbanding 1:1.000 ini tidak mungkin lagi perang.
Bagaimana hubungan pengikut Katosoewiryo?
Setelah tahun 1962 itu semua kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Semua melaksanakan peran-tugasnya semula. Yang bertani ya bertani, yang dagang kembali dagang. Setelah tahun 1970an menyelenggarakan pertemuan di rumah Danu Muhamad Hasan. Danu Muhamad Hasan itu yaitu panglima DI/TII dan salah satu anaknya yakni Ketua Majelis Syuro PKS, Zaenudin Hilmi. Lalu kami berkumpul, kami berkumpul sebab keamanannya terjamin oleh Ali Murtopo, pelaksana lapangan Soeharto. Kami mau membentuk Front Anti Komunis tahun 1970, aku hanya ikut-ikutan saja alasannya adalah masih SD.
Awal mula Komandemen Wilayah?
Saat itu, Adang Jaelani tidak kembali ke rumah, soalnya kalau dia pulang ke rumah akan dipanggil juga ke Kodam dan tidak kembali lagi. Dia kabur, kemudian Adang membangun lagi tata cara Komandemen Wilayah dengan argumentasi darurat, karena ada bentrok. Komandemen daerah ini boleh diaktifkan kalau dalam kondisi darurat cirinya kontak senjata.
Komandan daerah saat itu tinggal satu-satunya adalah Adang Jaelani, otomatis gelar Imam diberikan kepada Jaelani dikala itu ia menduduki jabatan Komandan Wilayah VII. Orang kedua ialah Jaja Sujadi, ia Ketua Majelis Keuangan. Jaja menyampaikan kita tidak mampu masuk pada kontak militer alasannya adalah tidak ada tembak menembak mana mungkin kita menyampaikan ini darurat. Jadi kita kembali ke sipil saja. Kalau tertib sipil, secara otomatis gelar Imam diberikan terhadap Jaja Sujadi alasannya aturannya Ketua majelis yang ada mesti menerima gelar Imam. Nah itulah yang mereka sebut sebagai jihadbillah yang kini komandannya Zenzen Komara dari Garut. Lalu kita menjalani tertib sipil yaitu kembali ke pada acara semula. Berdagang dan bertani.
Komando Wilayah itu ada berapa?
Sampai tahun 1962 maklumat Imam yang tadi turun ada delapan Komandemen. Komando Wilayah I terdiri atas Priangan Timur: Tasik, Ciamis, Banjar, Kuningan Majalengka. Komando Wilayah II ialah Jawa Tengah, Komando Wilayah III adalah Jawa Timur, Komando Wilayah IV ialah Sulawesi, Komando Wilayah V yakni Aceh.
Komando Wilayah VI adalah Sumatera di luar Aceh, Komando Wilayah VII kembali lagi ke Garut, Bandung, Cianjur, Sukabumi, sampai ke Bogor, Komando Wilayah VIII yakni Kalimantan. Komando Wilayah ini diatur menurut waktu terbentuknya. Dalam Komandemen Wilayah dibuat untuk menangani darurat perang, itu artinya, seluruh sipil dimiliterisasi.
Bagaimana tentang Komando Wilayah IX?
Mungkin itu yaitu Adang Jalani tahun 1980an, bikinlah beliau di Jakarta Raya (Jabodetabek) dan Banten alasannya adalah telah banyak anggota yang tenggang rasa. Lalu terbentuklah Komando Wilayah IX. Saya nggak ikut fisabililah, bilillah, saya malah berhubungan untuk pembangunan bangsa ini termasuk bikin Anak Bangsa. Selain saya ada juga Khira Fandai, membuatpesantren. Anaknya sekarang anggota DPR dari PPP, Asep Mausul dan ada juga ada Hilmi Aminuddin, itu juga tidak ikut fillah dan fisabililiah.
Bagaimana dengan Panji Gumilang?
Totok Salam atau Panji Gumilang bahu-membahu yaitu ketua empat di Komandemen Wilayah IX. Seno adalah ketua pertama, yang kedua Bassar dan tiga aku lupa. Susunan ketua dengan tata cara itu itu bapak aku yang ciptakan tahun 1949. Masing-masing ketua ada pembagian kerjanya, kalau ketua pertama berurusan otomatis ketua kedua naik, begitu seterusnya.
Apakah Totok Salam alias Panji Gumilang dilindungi oleh intelijen?
Mungkin saja, tapi saya tidak yakin, itu kecurigaan orang alasannya adalah memang data-datanya telah terperinci. Semua dana ditujukan ke satu titik ialah Totok Salam (Panji Gumilang). Tapi dia sendiri tidak ditangkap, justru anak buahnya yang berbuat kriminal itu yang ditangkap. Dan kenapa Panji Gumilang belum ditangkap, alasannya adalah dia masih diperlukan dan belum waktunya dipanen.
Soal setor duit?
Ya aku juga heran itu orang kok mau saja, saya nggak habis pikir. Soal iming-iming surga itu kan orang-orang di sana kan ngerti agama. Hasanah dulu di dunia, gres bisa membeli hasanah di akhirat. Kalau nggak punya uang, nggak bisa infaq bagaimana bisa membeli surga? Tapi memang logikanya telah mati mereka. Dulu anggotanya sampai 250 ribu bila tidak salah. Itu tahun 2009an tetapi kabarnya jika ada orang yang akan keluar itu, tidak dikabari supaya aja keluar agar ada datanya biar kelihatan banyak.
Tapi anggota sebenernya cuma 100 ribuan. Ketika itu setoran yang paling besar itu dari Semarang, kira-kira sampai 1 miliar untuk Al Zaitun. Menurut saya Al Zaitun itu dananya sebagian besar itu dari qirod, dalam islam itu semacam jual obligasi. Itukan dana perlindungan, ya jika operasionalnya telah jalan ya tolong kembalikan. Kalau tidak bisa dikembalikan secara tunai mampu sedikit demi sedikit, yang jadi persoalan itu tidak dikembalikan. Itu janji sesudah lima tahun dikembalikan, tapi sampai kini belum dikembalikan padahal kan sudah besar.
Kalau Anda bertemu Panji Gumilang apa yang mau disampaikan?
Saya mau menghimbau saja, pertama aku akan bacakan maklumat terakhir itu bahwa kembali ke pangkuan NKRI dan hentikan tembak menembak. Lalu pinjamannya kembalikan, kan Al Zaitun telah besar. Kalau soal basuh otak telah susah itu, tetapi jika komandonya diambil alih bisa diperbaiki. Itu bergotong-royong sama dengan orang mencari duit untuk membangun sesuatu, cuma ini modelnya lebih mutakhir.
Zenzen Komara ada kampung di Garut, apakah itu turunan dari DI/TII?
Iya, orang-orang keturunan NII yang mengambil jihad filah. Jalur jihad fillah, itu hanya nama saja tidak ada perbedaan. Jihad fillah itu pasif, kembali ke pangkuan RI, meneruskan dalam bentuk jihad pasif atau jihad yang sungguh luas. Bisa di bidang ekonomi, pendidikan dan lain-lain.
Untuk yang di Garut, informasinya ada susunan pemerintahan sendiri?
Iya, saya dengar-dengar ada. Imamnya Zenzen. Tapi beliau dianggap sakit, sebab salatnya itu berkiblat ke Malangbong, ke arah Timur. Kata Zenzen, ia pernah mendapat amanat dari bapak bahwa kiblat kita ke Malangbong, ke rumah aku. Mungkin menurut bapaknya, itu kiblat politik, tapi ditafsirkan ia kiblat salat sehingga membelakangi kiblat bahwasanya.
Kalau soal NII saat ini bagaimana?
NII kini ini keliatannya hanya nyari duit, untuk menyangga pesantren Al Zaitun.
Apakah ada kaitan antara NII dan terorisme?
Kalau terorisme memang bila secara tidak pribadi ada, jadi dahulu itu setelah Adang Jaelani mengangkat Totok Salam selaku penggantinya. Ternyata ada yang tidak baiklah dengan penyeleksian Totok, diantaranya Marzuki. Lalu Marzuki ini bersatu dengan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir menciptakan markas di Malaysia.
Dialah yang mengirim orang-orang Indonesia ke Pakistan, Afganistan dan Moro. Tapi belakangan Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar mengambil jalur keras dan Marzuki tidak mau. Karena memang maklumat Imam itu, berhenti tembak menembak dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia.
Kita ngirim orang-orang itu untuk dididik bukan untuk kontak senjata. Maka pecahlah dengan Marzuki. Akhirnya Abdullah Sungkar meninggal, tinggalah Abu Bakar Ba’asyir yang masih dengan anutan keras.
Gerakan-gerakan itu dibiarkan karena apa?
Kalau gerakan-gerakan itu dibiarkan sebab ada dua hal, pertama belum cukup untuk dipanen, jadi mesti dilindungi dulu untuk apa ditindak jikalau tidak ada alasannya adalah. Selama ini kan tidak ada sebab. Kalau praduga makar itu tidak mungkin, bila dugaan makarkan perlu lambang negara, bendera, lagu kebangsaan dan harus dibuktikan dengan senjata. Itu sukar.
Sumber: http://us.nasional.news.viva.co.id/news/read/246954-sardono-kartosoewirjo–semua-menyedihkan