Hanya dua orang yg tak kenal Misdar di seluruh kecamatan paling ujung Provinsi Jawa Tengah itu. Pertama, memang tak gaul di lingkungannya atau mereka yg merantau. Tatkala di taman kanak-kanak, Misdar juara deklamasi tingkat kecamatan. Kemudian, dikala di sekolah dasar, ia memenangi cerdas cermat Pancasila tiga tahun berturut-turut.
Demikian pula di sekolah menengah pertama. Nilai ijazah Misdar juara umum sekabupaten. Sebuah prestasi hebat alasannya adalah ada murid dr sekolah di pelosok kabupaten mempunyai nilai nyaris sempurna. Sebuah prestasi hebat alasannya adalah nilai tertinggi selama ini senantiasa dipegang sekolah kota. Barangkali, karena itu pula Misdar terpilih pula menjadi anggota Paskibraka di Jakarta.
Dikala semua sobat sekelasnya kebingungan mencari akademi tinggi, Misdar tinggal memilih. Tiga perguruan tinggi kesohor menyuratinya untuk bergabung tanpa tes. Maka, diputuskanlah oleh Misdar menentukan sekolah tinggi tinggi yg alumninya banyak menjadi menteri.
Usai kuliah dgn nilai nyaris sempurna, sebuah perusahaan negara menawarinya sebelum wisuda. Lulusan terbaik mesti diambil apalagi dahulu sebelum proposal perusahaan lain menggiurkan sang wisudawan terbaik & contoh. Mobil, rumah, & seabrek akomodasi terang sudah di tangan hanya dlm tiga bulan.
Ibarat suatu lukisan, jalan hidup Misdar sangatlah indah dikanvaskan. Ditutur kan pada bawah umur bahwa orang bersungguh-sungguh berujung kesuksesan. Rajin pangkal pandai yaitu keniscayaan. Kedudukan, jabatan, ketenaran, cuma menunggu waktu direngkuhnya.
Namun ada satu puzzle yang belum tersisa hingga lukisan kehidupan Misdar tepat di bingkai. Yah, betul. Siti namanya. Gadis berambut panjang legam di kampungnya.
Misdar tak mengerti kenapa gadis itu lebih menentukan perjaka gelap & kumal dibandingkan dengan ia yg rajin belajar, saleh, & berkuning langsat. Apakah sebab Misdar tak bermotor kala sekolah? Atau sebab Misdar terlalu asyik dgn buku pelajaran & tak pernah ndangdutan keliling kampung bareng sahabat sebaya? Atau tatkala Ramadhan tak pernah mau Subuh keliling kampung bareng gadis-gadis kampung seusai sahur?
“Entah dukun mana yg membutakan Siti hingga menolak cinta Misdar.” Ungkapan itu paling tepat menggambarkan Siti kala Misdar mengingatnya. Ia kirimkan sepucuk surat melalui teman deket Siti usai Misdar dikukuhkan selaku siswa contoh di sekolahnya. “Masa ndak terpesona dgn perjaka tekun dgn sarat harapan masa depan?” Ia menanti dgn sarat keyakinan jawaban akan surat bersampul biru itu.
“Aku sudah mempunyai pacar ya. Maaf banget.” Misdar tersentak begitu ia membaca surat balasan dr Siti. Tak panjang & terperinci tegas. Dibaca berulang & dilihat tulisannya. Jangan-jangan bukan goresan pena Siti. Tapi benar, hurufnya & pulpen birunya terang itu boxy Siti yg digunakan menulis sehari-hari.
Pahit! Pemuda pola nan ganteng bermasa depan kalah saingan dgn Sardi yg kumal, perokok, & kusam. Apalagi di kelas, ketika pelajaran matematika, Sardi adalah murid paling sering disetrap gurunya. Sekarang, siapa yg berani menolak lamaran pejabat sebuah perusahan negara? Dan benar. Sulit Siti berkata tidak, begitu Misdar meminang & melamarnya. Siti mengabaikan Sardi yg tak terperinci maunya.
Hidup cowok kumal itu hanya ngumpul & ngumpul dgn organisasinya. Melamar tidak, tapi kalau pergi maunya boncengin Siti. Kampanye sana-sini & paling-paling tatkala menjelang pemilu Sardi punya beberapa lembaran merah di dompetnya. Siti baru merasakan traktiran Sardi di restoran siap saji kegemarannya.
Kini, bertahun-tahun sudah Misdar menikah dgn Siti & dikaruniailah dua anak. Di meja makan kala sarapan senantiasa diungkapkan bagaimana trik & tips meraih berhasil. Anak lelakinya diharapkan mengikuti jejaknya; rajin & disiplin.
“Jangan jadi anak pemalas mirip mantan Mama dulu.” Misdar menyelipkan kalimat itu menyindir mantan Siti dulu. “Mau jadi apa orang cowok yg kerjanya menjadi gedibal pengelola partai Jakarta?” Sembari menyuapkan sesendok nasinya, verbal Misdar terus mengoceh.
Jika sudah demikian, Siti hanya melihat & tak menjawab. Dibiarkan suaminya mengeluarkan unek-uneknya. Toh itu semua motivasi gratis bagi anak-anaknya. Bukankah ia menenggelamkan cinta demi anak keturunannya?
Sesekali, ada kekesalan pula karena apa yg sebenarnya sudah dikuburkan, dibicarakan & diungkapkan. Dan cinta pertama sulit terhapus dr kepalanya. Dikubur & dipendam olehnya, tapi sering dibangkitkan suaminya meski berencana memberikan kehebatannya dr sang mantan Siti. “Makara anggota dewan paling pula minta fee proyek. Bikin sulit negara aja!”
Misdar meluncur dr meja sarapan & menuju garasi. Pembantu telah siap untuk menutup gerbang begitu kendaraan beroda empat Misdar lenyap di sudut jalan. Diciumnya kening sang istri. “Papa agak malam pulangnya, nanti ada meeting antisipasi menyambut komisaris baru.”
Pintu gerbang kantor Misdar tampat megah meriah dgn bendera lembaganya di mana-mana. Para akseptor tamu terlihat anggun menawan berkebaya. Mereka semua menundukkan kepala memberi hormat, meski Misdar yg didalam mobil tak terlihat dr luar alasannya adalah jendela kendaraan beroda empat berkaca hitam enam puluh persen.
Tergopoh-gopoh satpam perusahaan negara itu menuju mobil sang presiden direktur yg berhenti tepat di depan pintu. Berdasi & berarloji glamor, Misdar terlihat kian gagah. Ia menuju ke ruangannya. Dipanggilnya ketua panitia penyambutan.
“Semua sudah siap? Jangan bikin malu, nanti ada komisaris gres. Kita buat penyambutan terbaik. Ingat ya, setiap kesalahan mampu berujung dipecat!”
Semua panitia mengangguk penuh takut. Kedisiplinan & ketegasan Misdar telah merenggut korban. Beberapa bawahannya dipecat. Ada yg sering telat waktu, ada yg melawan perintah Misdar.
“Siapa Bapak Komisaris yg gres?”
“Sardiman Sumintarjo, Pak,” jawab sang ketua panitia.
Misdar mengernyit sejenak. Ada yg menyelinap ke pikirannya. “Sardiman…” Misdar mengguman. “Sardi….” Ia kembali menyebut kata depan dr sang komisaris. “Ah, bukan…” Ia mencampakkan suatu kegelisahan. Nama yg sering ia ceritakan pada anak-anaknya membuat ia berpikir ke belakang. “Namanya nggak panjang.” Kembali ia meyakinkan diri sendiri.
Seluruh karyawan perusahaan negara itu berkumpul di ruang tengah. Di depan ada 50 manajer menengah. Staf ada nyaris 500 orang. Meriah sekali. Lalu Misdar menyaksikan segi samping pengiring hiburan
“Kok ada kendangnya?” Misdar menanyakan ke wakil direkturnya.
“Komisaris baru ini sukanya ndangdut, Pak!” Jawaban wakil direktur ini makin menciptakan Misdar resah.
“Oh, nggak apa. Jangankan ndangdut. Mau tari perut Lebanon kita mesti siapkan.” Misdar bahkan akan memberi lebih demi sang komisaris.
“Hadirin semua dimohon berdiri.” Sang pembawa program pun menyampaikan pengumuman. Misdar berdiri & bergegas menuju pintu menjemput sang komisaris. Senyum semringah ia tampilkan demi komisaris gres. Ia memberi instruksi agar seluruh bawahannya bertepuk tangan.
Tiba-tiba, raut Misdar berubah. Semula semringah, perlahan wajah putihnya memerah. Sampai menjelang salaman & berpelukan dgn sang komisaris, tak terlihat senyum Misdar yg cerah.
“Halo Kang Misdar, piye kabare.” Sang komisaris menyapa duluan. “Ini sobat saya main di sawah dahulu.” Kembali sang komisaris menambahi.
Hadirin bertepuk tangan. Sang komisaris lebih aktif & lebih bisa membawa suasana. Di dikala semua bertepuk tangan & semringah, Misdar justru terlihat kaku.
Benar. Sardi di sampingnya kini yakni Sardi dahulu yg sering ia jadikan materi cerita meski tak ia sebut namanya. Sardi menjadi bahan komparasi sehingga orang menjadikan Misdar selaku figur ideal.
Kini, Misdar sungguh-sungguh diuji bagaimana bersikap. Meski sedikit yg tahu siapa Sardi yg membuat sang contoh itu gugup. “Ayo Kang, masuk…” Misdar memecah kebekuan suasana.
Hadirin pun seketika duduk semua. Sang pembawa acara memulai & memperkenalkan komisaris baru itu ke segenap karyawan perusahan negara yg mengatur hajat hidup orang banyak. Bagi Misdar, rangkaian program kali ini terasa paling usang yg ia ikuti. Sambutan demi sambutan terasa menjemukan. Apalagi, perkenalan basa-bau penuh puja-puji baik untuk dirinya maupun sang komisaris, baginya membosankan.
Terlebih dgn hiburan yg kini diganti alirannya. Lain dr lazimnya yg selalu bernuansa jaz. Begitu ketipung berdentum, sang komisaris baru eksklusif menuju panggung. Tangannya sempat mempesona Misdar, namun ditampik pelan.
“Dasar!” gumam Misdar berkomentar. Untung bunyi speaker ingar-bingar hingga umpatan Misdar tak terdengar.
Dua jam lebih ingar-bingar alunan dangdut—dari dangdut klasik hingga dangdut koplo ramai menggelegar. Hanya Misdar yg tak beranjak. Entah. Lantaran tak selera dgn musiknya atau masih tak percaya yg ia alami yakni nyata. Tak habis pikir. Tak masuk logika. Dunia seolah dijungkirkan di depannya Yang Mahakuasa. Tuhan Yang Mahabaik kenapa menyodorkan orang seperti Sardi? Shalat atau tidak, tak tertangkap basah. Berpuasa pula demikian. Boro-boro bersedekah. Diminta dukungan kelas saja ngajak duel. Huh.
Jalan saleh yg Misdar jalani kenapa tertutup oleh jalan kusam Sardi, karib kecilnya? Lalu, apa yg dimaksud jalan lurus itu selalu menuju puncak kesuksesan? Apa yg ada di benak anak buah Misdar tatkala tahu Sardi yaitu tokoh kasatmata yg sering ia ceritakan dengan-cara anonim? Misdar makin tak mengetahui. Bahwa orang pintar, belajar ialah niscaya. Orang tekun, berhasil adalah patut. Hanya itu yg ia paham & yakini.
Wajar bagi Misdar seusai acara perkenalan komisaris baru langsung melarikan mobilnya ke suatu hotel glamor. Dibantingnya pintu kendaraan beroda empat elegan idaman siapa saja. Ia masuk & naik lift tanpa melihat siapa di sekelilingnya. Rooftop yg ia tuju. Dipesannya segelas minuman. Ia murka & tak memahami. Kenapa Tuhan menyorongkan orang yg tak berprospek menjadi komisaris di perusahaan yg ia pimpin kerja sekarang. Apa yg diperlukan dr seorang bekas pemilik rumah bordil kampung?
Menjadi seorang yg selalu diselimuti puja-puji ternyata tak kuasa menghadapi masalah ini. Bahwa menjadi komisaris adalah jalan panjang yg tak gampang bagi siapa saja. Tetapi, kenapa orang seperti Sardi yg jadi komisaris? Tak satu pun sesi kasus semacam ini diceritakan para kiai. Sebuah pelajaran yg tak pernah Misdar dapatkan di surau tempat ia mengaji. (*)