Sang Pengintai | Cerpen Much Taufiqillah Al Mufti


Beberapa hari ini gue merasa ada seseorang yg selalu mengintai. Aku tak tahu siapa dia. Kadang gue merasa ia melihatku dr balik pintu atau jendela kamar, lalu tiba-tiba menghilang dikala kutengok. Wujudnya tak terperinci. Apakah ia pria atau perempuan?

Kejadian itu sering kualami tatkala sendirian di dlm kamar, utamanya dikala sedang ada dilema. Muncul seseorang yg membisu-diam mengintai aku. Aku merasa ia memandangi seraya tersenyum & memandang hangat. Sepertinya ia hendak menyapa, tetapi tak hingga.

Sekali, dua kali, tiga kali, gue abaikan. Namun pada kali keempat, gue merasa terusik.

Kata Hadi, temanku di sekolah, itu hantu. Aku tak percaya itu sungguh-sungguh hantu dgn perwujudan menakutkan, sebagaimana dlm film-film horor. Dedi, temanku yg lain, memberikan citra kurang-lebih masuk nalar bahwa pengintai itu hanyalah imajinasiku.

“Kata Hadi ada benarnya,” kata Dedi waktu istirahat di kelas.

“Kenapa?” tanyaku.

“Hantu pun pecahan dr khayalan seseorang bukan?”

“Lo? Kalau ada orang mengaku menyaksikan penampakan hantu, itu pula imajinasi?”

“Iya,” kata Dedi. “Memang ananda pernah tahu kuntilanak timbul di Amerika? Atau ananda pernah lihat vampir di kuburan erat rumahmu?” katanya.

Penjelasan itu lumayan menciptakan pikiranku berputar-putar karena pemahamanku mengenai hantu sungguhan & imajinasi bercampur-baur. Dedi mengetahui gerak-gerik bola mataku yg menunjukkan kebingungan. Ia menenangkan gue supaya tak terlalu memusingkan masalah itu. Katanya, masih ada sesuatu yg layak dipusingkan. Itulah cobaan nasional, yg konon patokan nilainya dinaikkan lagi.

Kami pun tertawa.

Sepulang sekolah, gue kembali meyakinkan diri: pengintai itu hanyalah khayalan. Tidak konkret. Tidak perlu membuatku resah. Aku menawan napas panjang & mengelus-elus dada sambil berlangsung ke arah rumah.

  Jalan Ini dan Jalan-Jalan Itu, Sepanjang Pantura | Cerpen Ahmad Abu Rifai

Hari memang masih siang, tetapi rasanya sudah seperti malam.

*****

Bulan berpijar sempurna, menerima pantulan cahaya dr sang surya. Terdengar lolong ganjil anjing, seperti mengundang sang kekasih yg ia rindukan. Sejenak gue menengok ke jendela. Tampak awan tipis berarak disapu angin dr timur.

Di dlm kamar, gue membuka buku catatan matematika & berhenti di suatu halaman berisi soal-soal yg harus kuselesaikan. Soal kali ini lumayan mudah. Bu Apri memahami akulah yg terbodoh di antara para murid. Lambat dlm mengkalkulasikan.

Namun kali ini gue merasa soal-soal itu mudah alasannya adalah tak ada angka di semua soal. Tema soal itu yakni silogisme yg tak menuntut kedatangan angka. Entah kenapa konsentrasiku secara tiba-tiba ambyar setiap kali menghadapi masalah hitung-hitungan.

Sampai soal nomor tiga, gue berhenti. Sekali lagi gue merasa ada seseorang sedang mengintai. Kali ini, gue merasa harus membuktikan perkataan Dedi & Hadi; apakah pengintai itu hantu atau cuma imajinasiku.

Aku pun berpura-pura tak tahu sedang diintai. Pelan-pelan gue beranjak ke lemari & membukanya, seolah mencari sesuatu, padahal tak sama sekali. Kemudian tanganku menggapai gagang pintu yg dekat dgn lemari. Tatkala gagang tergapai, cepat gue membuka pintu itu. Klaaak! Dan. Kosong!

Sejurus mataku menyapu ke seluruh ruangan. Sunyi. Nenek & Adik sudah tidur. Aku menengok jam yg tergantung di atas meja berguru. Pukul 00:00. Tatkala kembali menatap keluar, gue menyaksikan bayang-bayang bergerak cepat menuruni tangga. Aku secepatnya gue mengikuti dgn langkah cepat.

Saat sudah turun & meraih lantai dasar, gue menyaksikan pintu rumah agak terbuka. Tanpa menyapu pandangan ke seluruh ruangan, gue percaya bayang-bayang itu keluar lewat celah pintu. Seketika gue berlari ke luar rumah, menerobos kepekatan malam & menabrak terpaan angin malam yg menderu. Aku lupa mengenakan jaket, sehingga menggigil.

  Kuda Sembrani | Cerpen Eka Maryono

Tadi dr depan pintu rumah gue melihat bayang-bayang itu keluar melalui pagar. Aku pun memburu dgn hati-hati, layaknya kucing menderap tanpa menyebabkan bunyi apa pun.

Bayang-bayang itu terus berlari. Aku tak mengalah. Aku terus memburu, meski peluh sudah mengucur. Bayang-bayang itu berbelok ke kiri, ke arah taman bermain bawah umur. Tatkala gue hingga di sana, tak ada gejala kedatangan bayang-bayang itu lagi. Aku cuma menyaksikan ayunan bergerak, padahal angin tak menerpa. Sementara jungkat-jungkit membisu membeku, kedinginan.

*****

Kejadian itu menimpaku tiga malam berturut-turut. Suatu malam gue bahkan mencegat di taman, sehingga ia tak perlu sibuk-sibuk mengintaiku. Aku sungguh penasaran bagaimana perawakannya.

Apakah gue tak takut? Tdak. Aku jengah & marah. Kemarahan bisa melelehkan rasa takutku yg membeku.

Saat waktu istirahat di sekolah, mirip umumgue mengajak ngopi Dedi di pojok kantin & membahas kejadian itu. Walau balasan Dedi tak semuanya benar, setidaknya pikiranku terangsang untuk memperoleh tanggapan tersendiri.

“Ded, sudah tiga malam pengintai itu datang. Tatkala gue hendak menentukan, ia berlari kabur. Tidak jelas wujudnya mirip apa, pria-laki atau perempuan. Hanya bayang-bayang. Setiap kali gue mengejar-ngejar , bayang-bayang itu selalu mengarah ke taman,” kataku.

“Lalu? Tatkala hingga di taman, ananda melihatnya?” tanya Dedi kemudian meneguk kopi yg masih mengepul.

“Tidak ada apa pun yg kulihat, kecuali selurutan, ayunan, & jungkat-jungkit.”

Sejenak Dedi melongo. Mungkin ada sesuatu yg ia pikirkan. Kemudian ia memandang gue dgn senyum yg ganjil sekali. Sebelum hendak mengatakan sesuatu, Dedi meneguk kembali kopi & menaruh gelas di atas piring kecil. Hati-hati ia mulai berkata. “Sudah tiga kali ya?” tanya Dedi memutuskan.

  9+ Kisah Sangkuriang Pesan Budbahasa Dan Ringkasan Alurnya

“Iya, benar.”

“Kamu punya ingatan di taman itu?”

“Dulu, dikala kecil, gue sering bermain di sana bareng Ibu.”

“Sekarang ibumu di mana?”

“Ibu meninggal tahun 2012.”

“Kawan, kau sedang ada duduk perkara apa?”

“Aku tak punya problem apa-apa, Ded.”

“Tidak,” kata Dedi. “Kamu mengelak.”

Bel pulang berbunyi. Sejurus kemudian gue sudah mengayuh sepeda menuju ke pemakaman di erat rumah. Tiba di sana gue berhenti di sebuah makam dgn plaket nama yg hampir tak terbaca sebab catnya mengelupas. Aku menatap watu nisan di atas tanah kawasan terbaring jasad seseorang yg kusayangi di dalamnya.

Sebentar kemudian gue memejamkan mata, lalu membaca doa & memohonkan ampun untuknya. Aku kembali memandang makam itu lekat-lekat, hingga tak kusadari pipiku lembap. Dengan dada sesak, tak henti-henti gue mengucap, “Terima kasih, terima kasih, terima kasih. Ibu, rupanya kamu-sekalian yg selalu menemaniku”. (*)