Suatu malam, tatkala gue baru selesai membaca Metamorfosis, Gregor Samsa tiba dlm wujud kecoak. Bunyi sayapnya mencabik keheningan, mengusik tatanan ruang. Bagi penderita katsaridaphobia sepertiku, kedatangan seekor kecoak membuat ruangan jadi terasa sempit & mengancam. Serangga kemerahan yg mengilat itu dapat terbang, bergerak cepat, berisik, gemar menyelinap, & konon bisa mencium wangi ketakutan manusia. Semakin takut kita, semakin didekati olehnya.
Maka, tatkala kulihat seekor kecoak melayang & hinggap persis di atas buku Metamorfosis, gue terlonjak & segera menjauh. Serangga itu menggerak-gerakkan sungutnya seperti radar yg mencari sinyal. Aku melirik sekitarku, mencari benda yg kira-kira bisa kupakai untuk menumbuknya. Ada sepasang sepatu. Bila kuambil sebelah & kuhantamkan, kecoak itu mungkin eksklusif ringsek. Tetapi sampul buku itu akan terkena noda dr isi perut yg terburai. Noda itu niscaya terlihat menjijikkan, baik dengan-cara material maupun moral; bagaimana mungkin suatu buku hebat dr seorang penulis jago dikotori oleh isi perut seekor kecoak? Pikiran tersebut ditambah dgn kenyataan bahwa sepatu itu sering digunakan hingga alasnya niscaya kotor membuatku urung bertindak. Aku harus menunggu kecoak itu pindah tempat, ke lantai atau dinding.
Tapi ia tak pindah-pindah. ia membisu saja seolah-olah merasa tenteram. Aku jadi gelisah, & sebab tak lagi tabah, gue mengusirnya. Pada ketika itulah gue dengar seseorang berkata, “Tuan Pengarang, tolong bebaskan saya dr siksaan ini!”
Sidang pembaca yg baik, mungkin Anda membayangkan suara itu datang dr dlm kepalaku. Bahwa gue mungkin punya gejala skizofrenia. Atau mungkin suara itu tak jelas sumbernya, mengambang di udara mirip wahyu yg gaib. Tidak. Suara itu terang bersumber dr kecoak di atas buku. Cobalah nyalakan radio, televisi, atau gawai. Anda niscaya percaya bahwa bunyi musik atau pembawa program yg terdengar memang berasal dr benda-benda itu. Begitulah, gue yakin suara itu memang berasal dr kecoak di atas buku meskipun gue tak bisa melihat lisan serangga itu berbicara.
“Tuan Pengarang niscaya tahu siapa saya. Tidak ada di dunia ini seorang manusia yg berubah menjadi serangga, kecuali saya,” kata kecoak itu. Tentu. Dialah Gregor Samsa. Meskipun tak merasa khawatir, gue pula tak berupaya mendekat. “Saya datang untuk meminta bantuan,” lanjutnya. “Apabila Tuan Pengarang bersedia mendengarkan saya, bukalah mesin tulis Tuan & duduklah di depannya.”
Seperti mengalami sugesti hipnotik, gue melangkah menuju mesin tulis yg tadi kuletakkan di meja kecil. Kubuka & kutekan tombol energinya. Layar menyala. Gregor Samsa ada di samping kananku, di atas buku Metamorfosis.
“Saya kira Tuan Pengarang dgn gampang bisa membantu saya. Tak ada yg lebih membahagiakan bagi Tuan selain kesuksesan menulis cerita, bukan?” ujar Gregor Samsa. ia membalik tubuhnya menghadapku tanpa beranjak dr buku. Sungutnya bergerak-gerak. “Saya akan menawarkan pemikiran cerita bagi Tuan, & saya harap Tuan bersedia menuliskannya. Saya tahu Tuan punya kesanggupan. Sebelum berdiri di sini, tadi saya bersembunyi di belakang rak. Saya lihat plakat penghargaan di atas rak itu. Dan tatkala saya melihat Tuan membaca buku ini, yakinlah saya, Tuan bisa menolong saya bila mau,” katanya lagi. Barangkali alasannya gue diam saja, ia kembali bertanya, “Apakah Tuan bersedia?”
Aku tak betul-betul percaya apakah sebab ingin tau atau alasannya adalah hal lain, gue mengangguk & bilang, “Baiklah. Aku bersedia.” Gregor Samsa bergerak sedikit, mirip mengungkapkan rasa senangnya. Sinar lampu neon bikin sayapnya yg terlipat berkilauan. Duri-duri di kakinya kubayangkan menusuk kulitku. Aku sedikit merinding. Gregor Samsa berkata, “Saya akan memperlihatkan paragraf pertama. Selanjutnya saya bakal bercerita & silakan Tuan mengolahnya. Asalkan sesuai dgn kisah saya.”
Aku tak pernah menulis dongeng di bawah kontrol siapa pun. Meski gue sering mengambil cerita mitra-kawanku yg dikisahkan dengan-cara lisan selaku sumber, bahkan kerap sekadar menceritakan ulang dlm bentuk goresan pena dgn sedikit perubahan. Tetapi kali ini gue bilang saja, “Aku siap.” Gregor Samsa berdehem sebentar, lalu memperbaiki posisi berdirinya & berucap, “Inilah paragraf pertama itu. Tulis: Setelah mati sebagai seekor kecoak, Gregor Samsa terlahir kembali. Beribu-ribu kali. Tetapi sayangnya tetap selaku seekor kecoak.”
Aku tercenung. “Apakah Kafka sudah menulis lanjutan kisah hidupmu?” tanyaku. “Tidak,” jawabnya cepat. “Dia tak tahu, setelah mati, saya lahir kembali beribu kali. Bahkan hingga ia sendiri mati, saya masih saja lahir di dunia ini.” Gregor Samsa tampak gusar. ia berputar-putar di atas buku. Lalu katanya, “Sudah, jangan terlampau banyak bertanya. Bukankah tadi Tuan bilang siap? Tulis paragraf itu, kemudian dengarkan lanjutan kisah saya.”
Aku ingin bertanya lagi, tapi melihat kegusarannya, gue jadi kecut, maka kutulis paragraf itu & kubilang, “Oke, baiklah. Lanjutkan ceritamu.” Gregor Samsa masih gelisah, ia bahkan menggerak-gerakkan sayapnya. “Ah, Tuan!” katanya. “Tuan membuat saya lupa apa yg mau saya ceritakan.” ia terus berputar-putar beberapa ketika, sebelum melanjutkan, “Pokoknya ceritanya begini: jadinya suatu hari Gregor Samsa lahir sebagai manusia. ia hidup, tumbuh dewasa & mati sebagai insan. Tuan Pengarang atur saja bagaimana itu semua terjadi, termasuk apakah setelah mati ia masuk nirwana atau neraka.”
Sebenarnya itu bukan undangan yg berat. Aku seorang pengarang. Masalahnya, sekarang gue mesti memakai tokoh orang lain, tokoh dr dongeng yg ditulis lebih dr seabad kemudian. Tetapi, sekali lagi, gue tak menolak undangan si kecoak.
“Baik,” kataku. “Tapi gue mau bertanya, untuk apa semua ini? Apakah dgn menuliskannya, nasibmu akan berganti?”
“Tentu saja, Tuan Pengarang. Kalau tidak, saya tak akan repot-repot berhadapan dgn Tuan. Saya tak takut mati. Tuan dapat menghantamkan sepatu itu ke badan saya, toh saya akan lahir kembali. Tapi saya ingin jadi insan lagi. Kalau Tuan sudah menulis kisah itu, maka apa yg terjadi dlm kisah, akan terjadi pula pada saya di alam positif.”
“Tapi kenapa saya? Aku bukan Kafka,” sanggahku.
“Tidak perlu Kafka,” ucapnya. “Sejak ia menciptakan saya, saya jadi sosok yg sering dipakai selaku acuan sisi gelap dunia terbaru. Saya faktual, mengada, hidup bersama manusia, & menjadi penggalan dr pemikiran mereka. Saya tak berdaya untuk mengubah nasib sendiri, saya butuh seseorang. Dan karena saya lahir dr seorang pengarang, maka cuma seorang pengarang yg bisa memilih nasib saya. Selama beribu kali kelahiran, saya tak pernah berjumpa dgn seorang pengarang. Saya lahir kembali di selokan-selokan. Baru kali ini saya lahir di dlm rumah, di dlm kamar mandi Tuan.”
“Ya sudah. Tapi begini, gue tidak mempunyai wawasan ihwal negara asalmu. Kaprikornus, gue tak mungkin menempatkanmu di sana. Dalam ceritaku nanti, kamu lahir di negaraku, kalau bisa bahkan di kota ini. Bagaimana?”
“Terserah Tuan saja, yg penting saya jadi insan lagi.”
Aku telah mempelajari teknik menulis cepat dr seorang pengarang muda yg kisah-ceritanya nyaris setiap ahad terbit di koran. Aku pula memanfaatkan kisah hidup seorang mitra, yg sering datang ke tempatku, sebagai materi. Sejak remaja hingga mahasiswa, kawan ini aktif selaku pemain film & sutradara teater. Namanya cukup diketahui . Tapi setelah menikah, ia meninggalkan dunia seni & melakukan pekerjaan selaku salesman. Dengan dua modal itu, gue mulai menulis cerita ihwal Gregor Samsa. Tak ada kesulitan memiliki arti, ceritanya sudah tersedia, tinggal gue ganti nama tokohnya. Sebentar saja cerita itu pun hampir berakhir. Lantas kubacakan.
“Kaprikornus, kisahnya seperti itu. Gregor Samsa lahir dr keluarga kelas menengah yg taat beragama. ia tumbuh dgn baik, tak kurang suatu apa. Tatkala remaja, ia mulai mengenal dunia seni. Di sekolah ia ikut sanggar teater & menjadi bintang. Itu terus berlanjut hingga ia kuliah. Kegiatan seni bikin kuliahnya tersendat-sendat. Ini bikin orang tuanya berang…”
“Sebentar, Tuan,” sela Gregor Samsa. “Gagasan itu mencemaskan. Bisakah Tuan bikin kisah yg baik-baik saja?”
“Sebuah kisah butuh konflik!” seruku. “Tak mungkin kisah bisa mempesona tanpa adanya konflik.”
Gregor Samsa menjilat-jilat kaki depannya. ia mungkin sedang berpikir. Tapi segera kulanjutkan kata-kataku, “Tenang saja. Meskipun Samsa ditentang oleh keluarga & ia tetap teguh dgn pendiriannya, pada alhasil ia menikah, bekerja, & hidup senang.” Aku bengong sebentar. Ragu-ragu dgn ceritaku sendiri. “Bagaimana?” tanyaku kemudian.
Gregor Samsa kembali menjilat-jilat kaki depannya. Pada dikala itu, suara sepeda motor terdengar di depan rumah. Sorot lampunya menembus beling & gorden tipis. Menimbulkan pendar, mirip sinar pencerahan. Gregor Samsa jadi bertambah gelisah, ia berseru, “Bisakah Tuan tak menjawab jika orang itu mengetuk pintu? Urusan kita belum selesai. Saya tak ingin kesempatan ini hilang.”
Terlambat. Aku tak mengunci pintu depan & orang itu masuk begitu saja. ia kawanku yg sering tiba, jadi tak perlu mengetuk pintu. Melihat orang itu sudah berada di dalam, Gregor Samsa panik. ia membuka sayapnya, bersiap melayang, “Tuan Pengarang, saya akan menanti sampai Tuan selesai. Saya harap Tuan tahu kenapa dulu saya berubah jadi kecoak,” ucapnya. Kawan yg tiba-tiba masuk itu melihat Gregor Samsa. ia tahu gue takut kecoak. Gregor Samsa melayang & hinggap di dinding. Kawanku memburunya. ia menjangkau sebelah sepatu & segera menghantamkannya ke tubuh Gregor Samsa. Isi perut kecoak itu terburai, tubuhnya merosot & jatuh ke lantai. Aku termenung. Kawanku yg kisahnya jadi sumber dongeng yg baru saja kutulismemang kerap tiba. Biasanya ia cuma membahas dua hal: kehebatannya di masa lalu & ganjalan atas pekerjaan yg menjadikannya tersiksa oleh rasa jenuh.
Tanpa menyingkirkan tubuh kecoak, ia duduk di dekatku. Wajahnya kusut & letih. Kualihkan pandang ke Gregor Samsa; gue rasa kecoak itu belum mati, itu artinya ceritaku mesti segera selsai. Aku tatap kawanku sambil merunut ceritaku tadi. Melihat wajah & mendengar keluhan-keluhannya, tak mungkin ia hidup bahagia. Aku yakin ia menderita. Setelah kutimbang-timbang, kukira tak ada jalan lain. Aku terpaksa mesti menutup ceritaku dgn kalimat yg nyaris sama dgn yg ditulis Franz Kafka lebih dr seabad lalu:
Ketika Gregor Samsa bangkit suatu pagi, ia mendapatkan dirinya telah bermetamorfosis seekor kecoak… (*)