Salvo | Cerpen Beni Setia


Ada senapan serang AKA, dgn magasin penuh, dibelakang lemari pakaian kamar tidur utama. Sederetan paku di dinding menahannya semoga tak jatuh & tetap tersembunyi. Tersamarkan, meski dgn gampang kita meraih & mengokang membuka kuncinya, & dgn tekanan ringan dr telunjuk—dengan menggunakan popor lipat atau tidak—kita memuntahkan 52 tembakan beruntun. Dan bila kurang, ada magasin cadangan di atas lemari. Tapi sasaran tunggal apa yg bisa lolos dr berondongan sejauh lima meter?

Sejak SD gue sudah tahu ada simpanan senapan serang bikinan Rusia di situ. Sejak kelas VI gue sudah dilatih membongkar, membersihkan, & memasangkannya lagi. Dan tiga tahun sebelumnya gue sudah dibiasakan membongkar, membersihkan, & memasang lagi pistol FN, yg genggamannya terasa berat itu, terutama tatkala magasinnya penuh. Kalau disuruh memilih, rasanya lebih lezat memegang pistol polisi, colt—yang mekanisme penembakannya sungguh sederhana itu.

Dengan itu gue mimpi jadi cowboy perempuan. Bergerak menarik pasak & membiarkan silinder tersampir & bebas diputar, lalu ditangkupkan untuk dipasak. Atau menawan picu biar bisa menggesekputarkan silinder itu di lengan, atau dlm putaran gila sisi kepala—sebelum dikembalikan, diungkit, & mengentak pantat peluru atau kekosongan oleh pelatuk—mirip dlm film. Dan kami, di kamar anak petinggi polisi, sering mempraktikkannya dgn silinder kosong. Siapa mau mati?

Aku dipaksa berguru nembak ketika kelas II SD. Mula-mula cuma dgn pistol, langsung ke tanah. Letusan & entakan membuatku terkejut . Tanah lembek berumput membuat peluru itu tembus ke kedalaman. Mencacah akar flamboyan yg marong berbunga dgn daun hijau yg amat jarang. Ayah terbahak-bahak melihatku cemas. Ia menggenggam tangan & telunjukku yg masih lunglai oleh kejutan, lalu mendiagonalkannya ke tanah & memaksaku menembak lagi. Sebuah letusan lagi. Sangit mesiu melulur lengan & paras . Ibu muncul & menarik gue sambil mengomeli ayah—”Dia anak wanita, Pa!” katanya.

Setahun kemudian gue menguasai FN. Tiga tahun kemudian gue menguasai AKA. Sekali, tatkala kelas II SMP, banyak teman yg mengadu—selalu diperas preman di pangkalan angkot erat sekolahan—aku bersekolah dgn membawa pistol. Lalu mengunjungi pangkalan itu & mengokang serta menodongkannya pada si hero yg kurang didik itu. Mereka gemetar & secepatnya semburat tatkala diusir. Keesokan harinya gue diundang guru BP. Tapi sebelum ia banyak bicara, gue mengeluarkan FN di hadapannya, meloloskan magasin & satu peluru paling atas. Memasukkannya lagi ke magasin, mendorong ke genggaman & mengokangnya.

  Penglihatan | Cerpen Mashdar Zainal

“Sebaiknya semua itu jadi diam-diam berdua,” kataku. Guru itu mengangguk. Sejak saat itu gue didaulat untuk jadi kepala keselamatan dlm segala acara yg diadakan di sekolah. Dan tatkala lulus cobaan tampaknya mereka lega alasannya gue sudah tak ada di sana lagi. Tapi apa peduliku? Di Sekolah Menengan Atas gue malah memiliki kawan, anak petinggi polisi, yg memberi kenikmatan main-main dgn colt. Sebuah prosedur ledak & lesat peluru yg telanjang & gampang, sekaligus memberi kesadaran, kalau maut sungguh bersahabat, hanya setipis sentakan jari telunjuk yg mengentakkan picu.

Lantas apa makna hidup? Lantas apa makna bertahan untuk hidup dgn semacam dukungan ilahiah nasib, bila nyawa seseorang hanya bergantung pada satu sentuhan ringan dr jarak dua meter? Dan pada dikala itu gue pun belajar mengintai dgn teleskop—membidik target vital dgn satu peluru. Mulanya di Perbakin, lama-usang gue kecanduan mengintai apa pun dgn teleskop & bimbingan sinar laser. Kini gue bisa berada sekitar lima puluh meteran untuk membidik seseorang & mengirimnya ke maut tanpa si bersangkutan memahami bagaimana ia mati.

Ayah yg mengajari—membimbingku dgn akomodasi latihan komando, tatkala jadi danyon. Mungkin ia menginginkan gue jadi prajurit, seperti dua kakakku—sehabis tiga abang perempuan cuma jadi istri serdadu. Tapi ibu menginginkan gue jadi dokter, mirip harapan tatkala ia kuliah kedokteran dulu. Ayah menertawakan impian lembek itu, & karenanya mendidikku dgn tradisi militer–mengharapkan gue menentukan karier militer. Ia membiarkan gue kuliah kedokteran bukan karena ibu ngotot tetapi lebih karena gue tak bisa masuk Akabri. “OK!” katanya, “sesudah lulus kamu daftar dokter prajurit. Kau tak boleh jadi anak Mama,” katanya. Ibu menggerutu namun tak berdaya. Dan karenanya gue bebas bergaul di luar kompleks—selama terus berlatih menembak.

Aku tak pernah membunuh orang. Sekali gue pernah menembak aspal jalan di segi kaki preman yg menghadang. Aku ambil FN dr tas, gue kokang, lantas menodong parasnya dr jarak tiga meter. Menurunkannya, & menembak. “Macam-macam kepalamu yg bolong,” kataku. Letusan itu keras. Peluru itu memukul aspal, membuat lubang & kekerasan lapisan batuan di bawahnya membuat peluru naik ke atas, membikin sudut naik pantulan dgn menjebol lapisan aspal. Menghambur jadi dua lesatan logam yg menghunjam di pohon mahoni & ban sepeda motor. Mereka beku—pipa jeans preman itu kotor oleh belahan. Aku beranjak. Naik ke boncengan & melesat.

Di boncengan gue gemetar. Kalau salah bidik & kena kaki preman urusannya bisa jadi lain. Polisi akan masuk & ayah akan menghajarku. Terlebih kalau keendus wartawan jadi gosip. Akan lain. Ayah terpaksa berurusan dgn panglima. Akan dapat konduite & segala risikonya. Padahal, kata ajudan, ayah ingin pensiun & bisa jadi bupati atau wali kota dua masa jabatan. “Kita mesti kejar setoran,” kata ajun gres lulus Akabri, yg senang diajak mengeluyur itu. Dan karenanya memberi gue keleluasaan main pistol & senapan. Bahkan berlatih menembak tak dlm posisi klasik berdiri. Kini gue terhibur dgn posisi jongkok menyamping, atau berbaring di balik batu—dan menjadikan tonjolan batu selaku alas.

“Kau seharusnya jadi sniper, Dik,” katanya. Aku tertawa. Aku bisa menembak bola tenis atau bola golf dr jarak tujuh puluh lima meter dgn satu tembakan. Ya! Tapi gue ragu-ragu bisa jitu menembak kepala gundul profesor sebesar bola sepak, atau punggung pelarian selebar papan pantul ring basket, atau kaki penyusup yg segede tiang gawang. Aku tak percaya mampu menembaknya dgn dingin, seperti menembak kaleng atau cecurut. Manusia itu bernyawa, & denyaran roh niscaya mengakibatkan sugesti yg menyentakkan—mirip yg gue rasakan tatkala menembak aspal di segi kaki preman.

Ada aura yg membuat kita mesti mengeraskan hati & membaca doa—lebih dahulu—meski itu cuma untuk menyayat tungkai, perut, dada, atau kepala jenazah dlm praktik kedokteran. Ya! Aku yakin ihwal hal itu. Dan ajun ayah pula percaya akan itu, sebab ia sendiri belum pernah menembak orang—atau berperang. “Aku kan cuma cari kerja, Dik,” katanya— tertawa. Ternyata jadi prajurit bisa bersifat sungguh administrasi.

Aku lulus kedokteran & masuk prajurit. Enak. Ditempatkan di kota, ngantor mirip orang kebanyakan—meski tetap dibimbing insting militer yg terus diasah. Tiga tahun kemudian ayah pensiun & jadi bupati di C. Dua tahun kemudian ibu sakit, kena kanker payudara yg baru tertangkap basah sehabis stadium IV. Ia minta biar gue merawatnya, khususnya alasannya ayah harus tetap sibuk melakukan pekerjaan dan—seperti yg dikeluhkan ibu—tertarik pemborong yg jadi rekanan pemda. “Ayahmu menerima kesenangan baru sebagai orang sipil yg pergaulannya menembus segala lapisan penduduk ,” katanya, mirip merindukan kehidupan eksklusif di kompleks. Tapi bisakah kita membalik laju waktu?

Aku menghubungi ayah. Memprotes tiadanya perhatian pada ibu. Ayah tertawa.

“Kau tahu apa?” katanya, “Kau orang militer yg cuma hidup dlm lingkungan pribadi dgn berkala -berkala yg terkontrol. Aku kini sipil, bergaul dgn banyak hal yg mesti dituntaskan tanpa ada panduan terperinci.” Aku memprotes tetapi telepon secepatnya dimatikan. Aku menelepon lagi namun ajudan yg mengangkat, yg menyampaikan Pak Bupati mesti ke kawasan untuk menggalakkan intensifikasi pangan. Dua jam kemudian gue menelepon lagi tetapi tak ada yg mengangkat. Dua jam kemudian gue menelepon ke tempat tinggal dinas. Pelayan yg mengangkat. Dua jam kemudian gue menghubungi rumah gendakan-nya, & dapat jawaban pelayan—Pak Bupati gres ke luar. Ke mana? Entah!

  Petahana | Cerpen Endang S Sulistiya

Sejak dikala itu gue tak pernah menelepon ayah lagi. Aku ikut ibu yg bungkam pada ayah, & cuma basa-kedaluwarsa jikalau ayah menghubungi menanyakan kondisi ibu. Dan kadang-kadang pergi bila sesekali ayah tiba menjenguk ibu. Hal yg menciptakan suami yg tangan kanan itu, abang-abang & ipar-ipar marah & mengadiliku. Aku diam saja. Aku cuma bilang tak tega menyampaikan keadaan ibu yg bantu-membantu—maksudku, tidak mau menceritakan kelakuan ayah pada mereka, meski gue yakin mereka mengenali tindakan ayah. Dan kebisuan itu berjalan tiga tahun, sampai ibu meninggal—menyeringai, tidak berguna melepas senyum di tengah deraan sakit. Mungkin ia ingin memberikan secercah bahagia alasannya sukses membuat gue dokter, yg telaten merawatnya. Apa akhirnya bila serdadu?

Ketika ibu meninggal ayah masih di C. Aku tak mengabarinya. Bahkan gue sengaja tak menginformasikan kondisi kritis ibu hingga dikala penghabisan mendekat, dgn menghimpun suami, abang, ipar, anak, & seluruh keponakan. “Kau tak mengabari ayah?” kata Samsidar. Aku mengangkat bahu. Ia bergegas menelepon ayah, yg langsung murka & menghujat-maki melalui telepon. Aku mematikan telepon. Ibu menatap. Aku mendekat. Tanganku digenggam. Aku, dlm kurang tidur, seperti mendengar bisikannya, semoga memberi pelajaran pada ayah yg sok sibuk itu—yang barusan menghujat-maki aku, sebab merasa dipermalukan sebagai Bupati, yg tak peduli akan derita istrinya yg sekarat. Tapi apa kepentingan ia di luar citra bupati teladan?

Ibu meninggal. Kami membawanya pulang sesudah dimandikan—siap disembahyangkan & dikubur. Aku masuk kamar utama. Mengunci pintu. Mengambil AKA. Mengokang & meletakkannya di dada sambil terlentang. Aku menunggu ayah. Berjam-jam menunggu ayah, yg niscaya tiba dgn langkah lebar & teriakan amarahnya yg khas. Ya—sepuluh menit lagi. Pasti. Sepuluh menit lagi. Biar ia mencicipi sakit di dada seperti yg dicicipi ibu selama lima tahun. Sakit dr cacahan peluru satu magasin—dengan lima dua lubang luka. Ya! Ya!