Saat Hujan Turun | Cerpen Pelangi Pagi


Ika mengeluh waktu melihat layar hp, nyaris pukul dua belas. Kesal sudah terang. Dari pukul sembilan pagi menanti panggilan untuk diwawancara. Lapar yakni tambahannya. Mengeluh sebab terbayang, setelah selesai wawancara tak bisa berbelanja apa pun, semangkuk bakso sekalipun. Uangnya tinggal ongkos angkot & ojek.

Pelamar tinggal dua orang di ruang tunggu. Mungkin Ika giliran diundang terakhir. Ah, tapi Ika sudah pasrah. Tanggung bila mengundurkan diri & pulang. Rasanya tak akan beda dr hasil lamaran yg kemarin yg ahad lalu yg bulan kemudian. Perusahaan banyaknya mencari karyawan yg pengalaman atau yg bergelar sarjana. Mau pengalaman bagaimana, Ika baru lima bulan lalu lulus dr SMK?

Sejak lulus Ika bersungguh-sungguh memasukkan lamaran ke setiap perusahaan yg menginformasikan mencari karyawan. Beberapa perusahaan memanggilnya, namun sehabis wawancara tak ada yg memanggilnya lagi. Ada pula satpam yg berbisik waktu melamar ke suatu pabrik tekstil. Bila ingin diterima sesungguhnya mudah, asal ada buat pelicinnya, lima juta saja, katanya.

Ika tersenyum mendengarnya. Satpam itu tak tahu, bagi Ika untuk ongkos & fotokopi segala standar saja tidaklah gampang. Lagipula, bila punya duit pun cara seperti itu pasti dilewatinya. Sejak kecil Umi mengajarkan untuk jujur, tabah, & bersusah payah. Buat apa melakukan pekerjaan dgn jalan tak jujur? Lelah & putus asa tentu saja pernah.

Melamar & wawancara sudah tak terhitung seringnya. Suatu hari Ika bilang ke Umi: Mi, Ika kan dr kelas satu SD terbiasa berkeliling perumahan berjualan gorengan. Bila sulit mencari pekerjaan, sudah saja Ika berdagang lagi menolong Umi.

“Hus, jangan bilang begitu. Jangan putus cita-cita. Belum rejekinya saja bila masih belum diundang, kata Umi. Kamu itu lulus sekolah. Sayang bila tak merasakan melakukan pekerjaan .

Kumpulkan dulu modal. Usaha itu mesti punya modal. Bila sudah menyerap ilmu di perusahaan, bila sudah punya bekal, tak masalah berhenti melakukan pekerjaan & membuka usaha sendiri.

Ucapan Umi itu yg menjadikan Ika berpengaruh menghadapi kesalnya melamar & wawancara. Tapi, harus diakui, nasihat Umi tadi sempat kurang mujarab. Ika berpikir untuk pulang saja. Apotek Asri itu perusahaan besar untuk ukuran kota kabupaten, cabangnya ada di tiap kota. Pantas bila pelamar yg datang begitu banyak. Padahal, hanya seorang yg dicari. Tapi, sebelum pulang, hujan turun lebat. Di langit kilat berkelap-kelip, kemudian petir berbunyi. Ika ingat hikmah Umi, mesti tabah, jangan putus keinginan. Kita tak pernah tahu rejeki itu adanya di mana. Bila berdagang, Umi senantiasa mengusulkan untuk berkeliling sampai gang terakhir.

*****

“Ika Kartika,” kata seorang ibu yg dr tadi memanggil pelamar.

  Proyek Pencabut Nyawa | Cerpen Restu Ashari Putra

Ika berdiri, lalu masuk ke ruangan wawancara. Ika mengangguk & tersenyum pada seorang bapak yg sehabis memerintahkan duduk malah menatapnya. Ika tentu saja salah tingkah. ia menunduk. Beberapa usang bapak itu tak pula bicara. Waktu Ika mengangkat lagi wajahnya, mengangguk & tersenyum, si bapak membalas senyumnya.

“Masih ingat saya?” kata bapak itu kemudian.

Ika terkejut. ia menjajal mengenang sambil memandang si bapak. Masih muda usianya, mungkin cuma terpaut tiga-empat tahun dgn Ika. Terlalu muda bergotong-royong untuk seorang manajer.

“Ingat?” katanya lagi.

Ika menggeleng sambil tersenyum.

“Waktu kecil saya pernah kehujanan di perumahan Ciboled Endah, di bawah pohon kersen.”

Ingatan Ika melayang ke belasan tahun yg lalu. Hujan lebat mirip tadi. Umi meminta Ika & Teh Ela berdagang.

“Hujan Umi,” kata Ika waktu itu.

“Terpaksa, sayang. Bila tak keliling, modal kita ada di dagangan.”

Ika ingin protes lagi, tapi Teh Ela menuntunnya. Waktu itu Ika melihat Umi menangis meski sudah berusaha menahannya dgn mengusap air matanya yg berjatuhan. Sementara, Ade & Emput, adik-adik Ika yg belum sekolah, memandang kedua kakaknya dr pintu. Ika & Teh Ela berpayung berkeliling perumahan sambil berteriak. Baru dua gang yg terlewati hujan mulai mereda. Tapi, yg berbelanja gorengan tak seperti hari-hari biasa. Dagangan masih menumpuk.

Waktu itu Ika sudah kelas satu SD, Teh Ela kelas empat. Setelah Abah meninggal, Umi berjualan gorengan setiap pagi & sore. Pagi-pagi Umi yg berkeliling. Tapi, sore lazimnya Ika & Teh Ela.

Ghuuu peddaass… bala-bala… kupat… lapis…, kata Ika.

Gehuuu peddaass… bala-bala… kupat…lapis…, kata Teh Ela.

Gang kesepuluh sudah terlewat, tetapi yg membeli hanya seorang dua orang. Di belokan ke gang kesebelas, mereka berhenti. Bukan, bukan alasannya adalah ada pembeli. Tapi, melihat seorang anak lelaki, kira-kira seumur Teh Ela, menggigil kedinginan di bawah pohon kersen. Entah siapa, Ika & Teh Ela tak mengenalnya.

“Teh, kenapa anak itu?” kata Ika.

“Sepertinya kedinginan.”

“Lapar mungkin ya.”

“Mungkin juga,” kata Teh Ela sambil menghampiri anak yg berjongkok menggigil itu.

  Pabrik di Seberang Jalan | Cerpen Mufa Rizal

“Mau ke mana, Teh? Kita pulang saja.”

Tapi Teh Ela tak menghiraukan.

“Mengapa berteduh di sini?” kata Teh Ela. “Rumahnya jauh?”

“Jauh. Malu ikut berteduh di rumah orang,” kata anak laki-laki itu sambil tersenyum malu.

Teh Ela memasukkan gehu, bala-bala, & kupat ke dlm pelastik.

“Ini makan, biar tak menggigil,” kata Teh Ela memperlihatkan plastik.

“Tidak punya uang.”

“Tidak apa, ini mah ngasih.”

Anak lelaki itu menerima plastik sambil menunduk. “Terima kasih,” katanya pelan.

Gang keduabelas nyaris terlewati, namun yg berbelanja tak pula bertambah.

“Teh, kita pulang saja. Jualan waktu hujan ternyata tak laku,” kata Ika.

“Hus, kita tak pernah tahu rejeki itu adanya di mana. Tanggung hanya satu gang lagi.”

Ika tersenyum. Pikirnya, Teh Ela sudah mirip Umi. Harus sabar, jujur, & jangan putus cita-cita. Begitu biasanya Umi menasihati. Padahal, Umi sendiri bila bersedih, ya menangis seperti tadi.

Ika terkesima di gang ketigabelas, gang terakhir, ada yg memanggilnya. Seorang ibu berbicara dgn suaminya tentang oleh-oleh ke acara saudaranya waktu Ika & Teh Ela menghampirinya. Kata suaminya, borong saja gorengan karena tak akan ada kesempatan lagi beli yg lain di pinggir jalan. Ika & Teh Ela bersorak waktu pulang dgn wadah yg kosong. Hujan waktu itu tinggal gerimis.

“Ingat kan sekarang?” kata si bapak lagi. Saya yg berteduh menggigil kedinginan di bawah pohon kersen itu.

“Ika mengangguk sambil tersenyum. ia kadang mencuri pandang sambil mengingat. Wajahnya memang seperti anak yg dulu itu. Tapi, anak itu kurus, hitam & kotor. Sementara, si bapak selain bersih, berkemeja & berdasi, pula badannya lebih berisi.

“Dulu itu saya memang lapar. Dari pagi belum makan, main di sawah, waktu pulang hujan lebat. Tapi, tak lama sehabis peristiwa itu ibu saya pindah. Makara saya tak sempat mengucapkan terima kasih. Tapi saya selalu ingat. Sekarang saja saya bilang ke Ika, terima kasih….”

Ika terkejut. ia tersenyum & mengangguk bekerjsama sambil menanti pertanyaan tentang pekerjaan. Tapi ternyata si bapak malah panjang membicarakan masa kecil, masa sekitar sebelas tahun kemudian. Bertanya perihal Teh Ela yg sekarang sudah berumah tangga, memiliki seorang anak, & tinggal di Bandung. Titip salam & titip terima kasih buat Teh Ela. Bertanya pula sebelah mana rumah Ika di perumahan itu.

  Menanti Bangau Lewat | Cerpen Asma Nadia

Tapi sampai azan zhuhur berkumandang tak satu kata pun pertanyaan perihal pekerjaan. Selanjutnya, bukan memerintahkan pulang, tetapi malah mengajak keluar. Si ibu yg memanggil pelamar saja memandang heran. “Ini masih saudara,” kata si bapak sambil tersenyum.

*****

Makan di gubuk lesehan di rumah makan Saung Nini. Sambil menunggu pesanan, shalat dulu di mushala. Ika terpana memandang kuliner yg berjajar di hadapannya.

Ayam goreng, pepes jamur, pepes belut, sayur asem, minumnya jus strowberi. Laparnya tiba-tiba begitu menggila.

“Silakan disantap. Ini sekadar ucapan terima kasih. Akang selalu ingat peristiwa itu.

Waktu itu selain lapar, kedinginan, pula demam. Tidak sekolah tiga hari. Tapi, Akang merasa senang, pernah bertemu dgn Ika & Teh Ela yg baik.”

Selanjutnya kuliner yg terhidang itu diserbu.

Namanya Adri. Kang Adri, begitu ia ingin dipanggil. Baru tiga tahun katanya melakukan pekerjaan di Apotek Asri. Sama lulusan dr Sekolah Menengah kejuruan. Tapi dipercaya oleh majikannya. Terkejut pula waktu diminta majikannya mengelola apotek gres. Luas sesungguhnya tanah apotek itu. Tapi baru depannya saja yg dibangun. Katanya, ke depannya planning dibuka praktik dokter. Selesai makan, Ika memberanikan diri bertanya mengenai lamarannya.

“Maaf, Kang, saya ingin tahu mengenai lamaran saya,” kata Ika malu-malu.

“Hari Senin sudah bisa memulai bekerja. Akang wawancara itu hanya mencari karyawan yg jujur, mau belajar & bersusah payah. Khusus untuk Ika, Akang sudah percaya semenjak dulu.”

Tentu saja Ika senang. Tapi waktu pulang naik angkot, ia terdiam. Sungguh aneh hidup ini. Peristiwa dahulu, insiden sepele sebelas tahun kemudian, insiden masa kecil, mampu menolong gelisah & frustasi masa cukup umur. Yang terbayang cuma kata-kata Umi yg suka ditiru Teh Ela: “Bila kita baik ke orang lain, artinya bukan sekadar baik ke orang lain, namun yg utama bekerjsama baik ke diri kita sendiri.”

Terima kasih Umi, Teh Ela, gumam Ika sambil mengusap matanya yg terasa panas.

Pelangi Pagi kegemaran menulis semenjak Sekolah Dasar. Namun, baru beberapa tahun belakangan ini berani mengantarkan karyanya (cerpen, puisi, dongeng anak) ke media massa. Belajar dr buku- buku & ceramah para pengarang. Di antara karyanya sudah diangkut di Indo Pos, Solo Pos, Suara Karya, Nova, Pikiran Rakyat, Banjarmasin Pos, Jembia, & sebagainya.