Sudah satu jam ia berada di kamar ini, membelakangi jendela yg terkuak & tertahan oleh kait besi. Televisi 14 inci model usang yg tak dibuat lagi bertengger di atas rak. Di sampingnya setumpuk buku-buku bersampul keras, beberapa di antaranya memberikan juntaian pita pembatas berwarna merah yg keluar dr lipatan halaman.
Ia amati dgn seksama benda-benda lain di kamar ini; lemari kayu yg di atasnya bertumpuk keranjang, dingklik plastik, tas-tas yg ia lupa apa isinya. Rak sepatu & sebuah guling yg terkulai bagai mayat tentara, meja mencar ilmu yg rusak karena suatu hari pernah ia gebrak, karpet merah jambu dgn motif animasi produk disney, selembar kasur menguarkan wangi yg entah apa namanya,—tak ada seprai, hanya ada bantal-bantal, selimut, kain sarung, & buku-buku. Tumpukan buku di mana saja, tersusun dengan-cara acak, bersama lembar-lembar koran, majalah, makalah, surat, katalog.
Matanya tiba-tiba terasa panas. Dengan telunjuknya, ia raba bibirnya yg kering & terkelupas. Ia merasa ada penyakit keji sedang memasuki tubuhnya.
Ia tak mengerti kenapa matanya terasa panas, yg ia rasakan yaitu tekanan, menciptakan sesak rongga dada, seakan-akan setiap benda di kamar ini telah melontarkan bobotnya. Cairan bening membentuk selaput di matanya, semakin banyak & tak tertampung lagi hingga meluap. Di luar terdengar bunyi kanak-kanak, & wangi amoniak diuapkan matahari ke udara. Tak ada toilet di rumah ini, setiap malam jikalau ingin mencampakkan urine, penghuni rumah—termasuk dirinya—akan melakukannya di sepetak halaman depan, di bawah pohon kelapa yg berkembang miring, condong ke jalanan.
Ia kagettatkala tiba-tiba suara langkah kaki memasuki kamar. Itu putrinya, 12 tahun, tumbuh dlm jeratan disleksia, gres saja pulang sekolah. Dihempaskannya tas ke lantai semen, wajahnya kering, seperti batang pohon di tengah kemarau panjang. Gadis kecil itu menatapnya, tergesa-gesa ia membuka mulutnya, akal-akalan menguap, agar putrinya tak menduga kalau ia gres saja menangis. “Ngantuk, Pak?” kata putrinya itu. “Iya, makan dahulu sana,” jawabnya segera mengalihkan perhatian. Putrinya membuka sepatu, busana seragam, & melemparkannya ke keranjang. Ia amati gadis itu sebelum ia bergerak ke ruang depan & merasakan bagaimana waktu sudah jauh meninggalkannya. Ia hampir-hampir tak ingat lagi bagaimana putrinya itu tumbuh. Hanya sedikit pecahan saja yg terekam dlm benaknya. Saat-ketika tatkala tanpa alasannya adalah putrinya terkena serangan kejang berkali-kali, serangan yg melemahkan penggalan-kepingan otaknya & membuatnya susah sekali melafalkan kata.
Ia berupaya meraih rincian-rincian ingatan perihal putrinya, tapi kenangan itu terasa menjauh ke wilayah tak tertempuh. Sama samarnya tatkala ia berupaya—sebaliknya—membayangkan masa depan putrinya itu. Hanya saja upaya mengenang masa kemudian ia kerjakan dgn sekuat bisa, sementara dlm membayangkan masa depan ia lakukan dgn perasaan khawatir. Ya, ia cemas membayangkan masa depan putrinya, ia gentar oleh realita bahwa dunia kian angker baginya.
Sesungguhnya putrinya itu berkembang dgn baik. Meskipun tak seperti anak pada umumnya, yg menghabiskan waktu dgn bermain bersama anak-anak seusianya. Putrinya tak pernah menjadi sosok penting dlm permainan apapun. Ia mirip tak mampu melaksanakan apa-apa. Putrinya terlalu lemah, selalu di pihak yg kalah, bahkan sebelum permainan dimulai. Tapi putrinya itu mirip telah dibekali keinginan untuk bertingkah laku baik. Ia selalu minta izin jikalau mau melakukan apa saja. Bahkan untuk hal-hal remeh seperti mandi, makan, tidur, atau menonton tivi.
Ia sendiri gres saja pulang, sesudah hampir satu bulan berada di kota, membantu satu kelompok sandiwara meluncurkan buku & mementaskan lakon perihal kehidupan sehari-hari tiga cowok di masa-masa reformasi. Ia mengurus izin tempat, mengendalikan publikasi, menghubungi sobat-temannya yg bersedia membantu, serta memanggil sejumlah tokoh seni di kota untuk hadir dlm rangkaian acara kelompok sandiwara itu. Ia menghabiskan banyak waktu, tapi karena ia selalu bernafsu dgn kegiatan semacam itu, waktu menjadi semacam kesenangan yg mendebarkan. Itulah dunianya, dimana terbit perasaan yg meluap-luap, melihat suatu buku dibahas, orang-orang mengajukan pertanyaan, teks-teks dlm buku diseret ke atas panggung jadi peristiwa pertunjukan yg hanya berlangsung sekali. Itulah dunianya, dunia yg berjarak dgn rumah. Dunia yg tiba-tiba menjadi asing begitu ia pulang ke tempat tinggal.
Ia memang pernah bertempat tinggal di kota. Bersama wanita yg kemudian menjadi istrinya. Menyewa sebuah kamar sempit & hidup dr tulisan-tulisannya. Ia sudah berhenti dr pekerjaannya sebagai pegawai di sebuah toko kaset tatkala putrinya menginjak usia dua tahun. Satu-satunya yg membuat ia melaksanakan hal itu yakni perasaan jenuh yg tak kepalang. Selama beberapa tahun bekerja, berangkat pagi & pulang tatkala matahari nyaris tenggelam. Ia merasakan dirinya menguap, pekerjaan itu telah menyiksanya, menjauhkannya dr eksistensinya. Ia kerap bengong dlm perjalanan pulang, hingga beberapa kali penumpang bus mini yg hendak turun mesti menegurnya karena kakinya menghalangi jalan.
Keputusannya untuk berhenti melakukan pekerjaan tak menerima penentangan bermakna dr istrinya. Bukan karena istrinya pasrah saja, tetapi karena ia cendekia meyakinkan istrinya bahwa pilihannya yaitu hal yg baik. Namun mirip yg sudah disangka , kesulitan mencari ongkos hidup perlahan-lahan mulai merayapi dinding kamar sewa. Setiap hari kepalanya terasa sesak, pertanyaan & cita-cita bagai palu & watu yg terus berbenturan. Ia menjual sebagian buku-bukunya untuk bayar sewa kamar & ongkos hidup sehari-hari. Saat itu, meskipun sudah lama menulis, belum ada orang yg mengenalnya. Tulisan-tulisannya ditolak nyaris semua redaktur. Ia hampir-nyaris putus asa, & berkesimpulan bahwa ia sudah memilih jalan yg salah. Tetapi pada alhasil, ia tetap teguh, ia menentukan hancur di jalan yg dipilihnya ketimbang mesti kembali.
Setelah upaya terus-menerus, namanya mulai diketahui . Semenjak tulisannya yg membicarakan satu program baca puisi terbit di sebuah majalah kebudayaan bergengsi. Bagai seekor siput yg berjalan lambat tetapi tiba-tiba saja sudah ada di titik tertentu, ia mampu mendatangkan dirinya di antara jajaran orang yg dikenal di bidang penulisan. Banyak orang kemudian memperhatikannya, & ia bahagia karenanya. Diam-diam ia besar hati pada dirinya. Tetapi apa yg telah ia katakan pada istrinya tak terbukti. Mereka tetap hidup pas-pasan.
Dengan segera kedua dunia itu terpisah kian jauh, & dirinya menjelma jembatan karet yg harus siap melar hingga sejauh-jauhnya.
Itulah kompensasi yg mesti dibayarnya, semenjak ia mengerti bahwa dunia di dlm rumahnya berlainan jauh dgn dunianya sendiri. Ia tak bisa berada di rumah lama-usang, ia bisa busuk karenanya. Ia bukan dirinya yg dulu, yg berangkat pagi dr rumah & pulang petang kembali ke tempat tinggal. Sekarang ia harus mengisi dirinya terus menerus, berupaya memelihara habitatnya, supaya ia terus hidup. Jika ia terus hidup, dunia di dlm rumahnya pula terus hidup. Karena itu ia putuskan untuk pindah, tak lagi menyewa kamar di kota. Ia memboyong keluarganya ke dusun asal istrinya, & mendirikan rumah kecil di atas tanah perlindungan. Rumah itu disusun dr batako murah. Atapnya dr asbes kelas dua. Terdiri dr hanya dua ruangan; satu ruangan berfungsi selaku dapur & satu ruangan lagi sebagai kamar tidur. Tidak ada kawasan untuk bangunan lain, ini hanya tanah pinjaman.
Ia bebas meninggalkan rumah berhari-hari, menginap di rumah mitra-kawannya di kota. Mengurus program-program sastra, mengorganisir komunitas non-profit yg menguras tenaga serta fikiran & tak mendatangkan keuntungan materi. Gerakannya di kota & cara hidupnya membuat ia dituduh terlalu obsesif. Dunianya membengkak, sementara dunia dlm rumahnya terasa kian mengecil. Di kamar tidur ini mereka tidur berempat, sehabis istrinya melahirkan anak kedua mereka, seorang bayi pria.
Di kamar tidur ini pula ia kini berdiri, dgn mata lembap. Ia merasa lelah. Letih atas cara hidup yg dipilihnya, ulang-alik dr dua dunia yg seperti tidak memiliki hubungan. Bahkan untuk hancur di jalan yg sudah dipilihnya ternyata bukan perkara gampang. Tatkala ia pejamkan mata, suatu tangga yg demikian tinggi hingga ujungnya tak nampak, terpampang di hadapannya. Ia ingin menaiki tangga itu, tapi seutas bunyi mengusiknya. Ia usap lagi matanya tatkala istrinya masuk & bertanya pada putrinya, “Mana bapakmu?” “Tidur,” jawab putrinya, rupanya putrinya menyangka ia sudah tidur. Buru-buru ia rebahkan tubuhnya di kasur, pura-pura tidur, sejenak ia lihat ponselnya berkedip-kedip, suatu pesan masuk, “Kapan kita kumpul lagi?”
Ia pejamkan mata, tangga itu tak ada lagi di sana. (*)