Seharian berkeliling mencari rumah kontrakan, tak pula memperoleh. Maksudnya, mendapatkan yg pas dgn hati. Ya harganya, ya rumahnya. Ada rumah yg leluasa, besar, tenteram untuk keluarga anak tiga & usah skala kecil menciptakan kerajinan tangan, harganya tak terjangkau. Ada yg harganya cocok, rumahnya kecil & sumurnya lembap kekuningan. Akhirnya mengeluh lagi. Tentu saja alasannya adalah sudah seminggu saya mencari rumah kontrakan.
Motor yg belum lunas cicilannya ini kemudian berbelok ke suatu mushala. Mushala kecil di pinggir sawah. Di halamannya yg lumayan luas pohon mangga & rambutan mirip payung. Bebungaan membuat tenteram napas & penglihatan. Bunga bakung putih berbaris seperti garis batas.
Di belakang mushala, dipisahkan kolam kecil & dua petakan sawah besar, ada sebuah rumah. Mungkin rumah yg punya mushala ini. Mungkin hanya rumah peristirahatan, semacam villa yg dihadiri pemiliknya sekitar sebulan atau dua bulan sekali. Karena setiap mampir ke mushala ini, ikut mendirikan shalat, saya belum pernah menyaksikan penghuni rumah itu.
Setiap selesai berwudhu di belakang mushala saya selalu menatap rumah itu.
Rumah siapa & bagaimana di dalamnya? Pertanyaan itu selalu muncul di dlm hati.
Karena rumah itu hanya terlihat atapnya. Pohon baluntas yg menjadi pagar hidup tingginya menyamai orang sampaumur. Pepohonan besar mengelilingi rumah itu. Rambutan, mangga, sawo, nangka, sirsak, sepertinya asal menanam saja.
Di dlm mushala hanya ada seorang kakek sedang berzikir. Saya kemudian mendirikan shalat sendiri. Selesai shalat, berdoa yg pendek saja. Lalu merebahkan badan, meluruskan punggung. Terkejut pula waktu membuka mata, si kakek sudah berada di hadapan, mengajak bersalaman.
“Sepertinya sudah lama Bapak tak ke sini,” katanya.
Saya berdiri & tersenyum. “Iya, sudah usang saya tak melakukan pekerjaan lagi, tak berkeliling. Sekarang belajar perjuangan kecil-kecilan di rumah. Kok, Kakek tahu?” kata saya. Ya, hampir 20 tahun, semenjak sebelum menikah, saya selalu mampir ke mushala ini. Saat menjadi sales kopi, mie instan, bumbu-bumbu dapur, selalu istirahat di mushala ini. Selesai shalat bisa terus merebahkan tubuh, kalem, sambil mengkalkulasikan hasil jualan.
“Kakek kan yg menjaga mushala ini & rumah di belakang itu,” katanya. Seterusnya mengobrol ke sana ke mari seperti dgn kenalan lama. Katanya, persawahan yg luas itu, rumah & mushala ini, pemiliknya sama. Tapi si Kakek tak terlalu terang membuktikan siapa & tinggalnya di mana pemilik persawahan ini, kapan biasanya tiba beristirahat di rumah itu, atau yg yang lain. Saya sendiri, begitu saja menceritakan susahnya mencari rumah kontrakan. Padahal, rumah kontrakan yg kini ditinggali sepekan lagi mesti dikosongkan.
“Kalau butuh buat tinggal, lihat-lihat saja rumah yg di belakang itu. Sudah berkali-kali pemiliknya berpesan, tinggali rumah itu biar tak acuh taacuh & cepat rusak,” kata si Kakek.
Tentu saya sungguh tertarik. Tapi begitu masuk ke halaman rumah itu, apalagi ke dlm rumah, napas saya terasa berat. Rumah semegah itu bukan buat saya. Pepohonan di halaman yg dr jauh seperti asal tanam itu, ternyata rapi & indah. Pasti ditata oleh hebat taman yg sudah berpengalaman. Di dlm rumah, penempatan kursi, lemari hias, hiasan dinding, berpadu dgn warna cat yg harmonis. Dapur, ruang keluarga, ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, terasa nyaman.
Hati saya tersenyum. Si Kakek mungkin tak tahu, kesanggupan saya bukan mengontrak rumah seperti ini. Tapi, yg keluar dr ekspresi saya adalah pertanyaan, “Maunya berapa dikontrak per tahun, Kek?”
“Kalau mau ditinggali, silakan saja, tak mesti itung-itungan. Begitu kata pemilik rumah ini.” Si Kakek memandang saya, namun mirip yg tak menyaksikan keterkejutan di wajah saya. “Ini kuncinya. Silakan saja, kapan pun mau mulai pindahnya. Maaf tak bisa membantu alasannya Kakek mesti pergi.”
Aneh. Ajaib. Hidup barangkali memang aneh. Beberapa ketika saya tak bisa bicara. Si Kakek yg berpamitan mengajak bersalaman, hanya saya tanggapi dgn mengangguk. Mulut mirip di lem. Ah, barangkali semenjak dulu pun hidup ini aneh. Tidak saat ini saja. Tidak cuma dilema rumah kontrakan saja.
Saya pulang tergesa. Hari itu pula saya ajak istri & belum dewasa melihat-lihat rumah.
Ternyata istri & belum dewasa saya tak mau pulang lagi. Si bungsu yg gres berusia dua tahun berlari ke sana ke mari sambil tertawa, mengejar-ngejar kakaknya yg melihat-lihat ruangan sambil tak berhenti mulutnya menyampaikan kekaguman. Besoknya, saya sendiri yg pergi, mengangkut barang-barang.
Tentu saja sangat leluasa & tenteram tinggal di rumah baru. Usaha terasa lebih hening. Gudang yg luas saya bersihkan & menjadi bengkel kerajinan. Hidup terasa bergerak menjadi lebih baik. Pemasaran kerajinan mulai dr pasar terkejut hari Minggu, grosir besar, jejaring sosial internet, & toko swalayan, semuanya tercukupi. Pegawai yg menolong buatan terus meningkat, dr seorang menjadi tiga orang, lima orang, 10 orang, sampai hampir seratus orang.
Setelah itu duit seperti air selokan yg terus mengalir. Saat menatap para pegawai pulang kerja, saya sering tersenyum sendiri. Aneh. Ajaib pula usaha ini. Bertahun-tahun, sampai punya anak tiga, anak terbesar berusia 11 tahun, saya merintis usaha ini. Hanya bisa menitipkan perut ala kadarnya. Dapat untung besar melaksanakan proyek instansi kabupaten, tapi kemudian dibalas dgn rugi besar alasannya tertipu. Rejeki barangkali tak boleh sembarangan menerimanya.
Baru kini ini saya mampu berbelanja mobil angkutan perjuangan & mobil langsung keluarga masing-masing. Tidak satu kendaraan beroda empat, ya dipakai berlibur, main, ya digunakan belanja, mengirimkan barang. Setiap belum dewasa libur sekolah, bisa pergi ke mana saja. Usaha sudah ada pegawai yg mengurusnya. Saya hanya menerima laporannya setiap bulan, & tentu manfaatnya. Tabungan saya ada di beberapa rekening, pula mas & tanah.
Pernah pula sebenarnya terpikir untuk pindah rumah. Bagaimanapun, meski gratis, rumah ini bukan milik sendiri. Tapi, mencari ke manapun saya tak mendapatkan tanah atau rumah yg senyaman rumah ini. Terpikir pula untuk menanyakan harga rumah ini beserta mushala & persawahannya. Terutama dikala usaha saya mulai menanjak, setahun dua tahun sejak saya mendiaminya. Tapi, pemilik rumah tak pernah datang. Juga si Kakek yg katanya mengurus rumah & mushala di depan itu.
Selanjutnya terasa berat untuk memiliki rumah sendiri. Karena pemilik rumah tak pernah timbul, saya memberanikan diri untuk memperbaiki taman di halaman depan, membuat kolam di belakang rumah. Sayang, mata air dr bawah pohon duku selama ini hanya mengalir ke sawah. Di tengah kolam dibentuk bangunan untuk beristirahat atau makan-makan. Kenalan, partner bisnis, sahabat bawah umur, banyak yg tiba untuk bercengkerama. Mereka sungguh menggemari rumah ini.
“Di sini pemandangannya indah banget, sukar diceritakan, jadinya malas untuk pulang,” kata mereka.
Saya, pula istri, & belum dewasa, hanya tersenyum menyikapi komentar seperti itu. Karena, setiap kenalan berkunjung ke rumah ini, makan-makan sambil bergurau di bangunan di tengah kolam, pulangnya senantiasa bilang seperti itu. Tentu saja orang bisa berkomentar begitu. Karena, saya sendiri tak jenuh tinggal di rumah ini.
Saking betahnya waktu tak terasa terus bergulir. Hari berubah, bulan berubah, kalender pun turun dr dinding. Anak-anak sudah besar. Sekolah Dasar, SMP, SMU, kuliah, dihabiskan di rumah ini. Teman-temannya terus meningkat, berdatangan & menggemari menghabiskan waktu di sekitar rumah.
Waktu anak pertama dilamar orang, tak terpikir mencari gedung untuk resepsi ijab kabul. Anaknya sendiri ingin berpesta di rumah. Nyatanya rumah memang lebih meriah & tenteram dibanding di gedung. Tetamu mengagumi kemeriahan pesta & menyenangi berlama-usang di sekitar rumah. Malah ada yg tiba kembali dua hari sesudah pesta akad nikah itu.
“Rumah yg sangat tenteram, Pak,” katanya santai. “Kalau diizinkan saya ingin memotret sekeliling, saya pula ingin membangun rumah dgn penataan seperti ini.”
Tentu saja saya bangga. Karenanya saya sangat tersentak, ada sesuatu yg mengganjal di hati, sesuatu yg tak yummy; ketika berjalan-jalan ke pertokoan ada yg mencegat saya.
“Bapak ini yg tinggal di rumah belakang mushala itu, ya?” tanyanya.
“Iya, betul.”
“Bagaimana kabarnya yg punya rumah?”
Deg! Ada yg menabrak hati saya. Sangat tak enak. Apalagi kemudian, entah bagaimana mulanya, orang yg mengaku kenal dgn yg punya rumah berdatangan di mana-mana. Waktu saya mengirim cucu membeli mainan, menemui partner bisnis, menengok sahabat yg sakit, berjalan-jalan ke perkebunan teh; senantiasa ada yg mencegat saya, mengaku kenal dgn yg punya rumah & menanyakan kabarnya.
Sejak itu anggapan saya terusik. Saya sering melamun. Sering tiba-tiba merasa duka, entah duka oleh apa. Malah kadang saya menangis. Apalagi suatu sore ada yg mengetuk pintu rumah. Tamu itu mengaku pemilik rumah. Tidak banyak bicara, terlebih meminta ini atau itu, tamu itu hanya bicara: “Ya, terima kasih jika merasa kerasan, apalagi betah tinggal di sini.” Setelah itu ia pamitan.
Saya semakin merasa sedih, sakit hati, tetapi entah oleh apa. Waktu saya mengeluh pada istri, ia menggenggam tangan saya.
“Bagaimanapun, rumah ini bukan milik kita. Kita cuma mengontraknya,” kata saya.
“Ya, suatu waktu kita harus pindah ke rumah sendiri. Rumah sendiri yg tak bisa dibeli oleh duit, tak bisa dibangun oleh kekayaan sebanyak apa pun. Dan, mungkin rumahnya tak senyaman ini.”
Di dlm hati, saya menangis. (*)